Rabu, 05 Desember 2012

HAPPY BIRTHDAY TO ME

Posted by Nur Fadhilah at 9:37:00 PM 0 comments
Terima kasih ya Allah, atas nikmat kehidupan yang telah Kau beri padaku…
Terima kasih ya Allah, atas nikmat umur yang telah Kau beri padaku…
Terima kasih ya Allah, atas nikmat kesehatan yang telah Kau beri padaku…
Terima kasih ya Allah, atas nikmat rezeki yang telah Kau beri padaku…
Terima kasih ya Allah, atas nikmat keluarga yang telah Kau beri padaku…
Terima kasih ya Allah, atas nikmat kepintaran yang telah Kau beri padaku…


Fiuh… tidak terasa sudah setahun berlalu sejak sweet seventeenku 5 Desember 2011 lalu. Hari ini genap sudah 18 tahun umurku. Memang sih semakin bertambah, tapi semakin berkurang pula batas waktuku di dunia.

Sangat banyak koreksi yang harus kulakukan pada diriku. Sepuluh jari tangan + sepuluh jari kakiku meskipun ditambah lagi dengan jari-jari kalian tak akan mampu menghitung betapa banyaknya dosa yang sudah kulakukan setahun terakhir ini, ah tidak, seumur hidupku.

Sudah 18 tahun aku hidup di dunia. Tapi rasa-rasanya belum ada satu hal yang bisa membuat diriku sangat bangga. Lalu apa gunanya 18 tahun aku hidup? Sungguh sulit mencari jawabannya. Namun… mungkin aku tahu jawabannya sekarang. Waktuku yang 18 tahun itu kugunakan untuk mencari jalan kesuksesan mungkin di umur 19, 20, 21, dst. Semoga Allah menghendakinya…

Teringat surprise ulang tahun yang diberikan teman-teman ANALYSIS + Bu Yulinalmi (guru matematika SMAN 4 Kendari). Saat itu teman-temanku bekerja sama dengan beliau untuk mengerjaiku. Bu guru menyuruhku mengerjakan soal-soal matematika di papan tulis dan tak ada yang boleh membantuku. Untung saat itu otakku lagi nggak mampet. Pada akhirnya ketika sudah nyerah, barulah teman-teman mengejutkanku dengan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’.

Tiga hari kemudian, 8 Desember 2011, aku kembali dikejutkan dengan surprise kue ulang tahun. Lucunya, hari itu juga bertepatan dengan hari ulang tahun salah seorang temanku, Muh. Riansyah. Sesuai ritual, kami selalu mengumpulkan uang untuk membeli kue tart. Saya juga ikutan ngumpul. Eh, pas kuenya datang, ternyata ada kue buat saya juga denga lilin berbentuk angka 17 di atasnya. Wah… terharu banget deh…


Pasti readers bertanya-tanya nih, gimana dengan tahun ini?? (kalau nggak ada yang bertanya, maka abaikan pertanyaan tadi!) Tahun ini lebih terkesan flat, tapi tetap meninggalkan kesan. Soalnya, teman-teman yang ngucapin bertambah. Kalau dulu palingan cuma sebatas teman SMA, SMP, dan SD. Maka tahun ini bertambah dengan adanya teman-teman di English Department Universitas Haluoleo. Wah, senang deh banyak yang ngucapin, ditambah lagi lewat akunku di Facebook :)

Yang parah adalah keluargaku. Masa tidak seorang pun dari mereka yang ingat, hiks… T.T Karena capek menunggu – tapi mereka nggak sadar-sadar, pada pingsan semua kale – keceplosanlah mulut ini untuk menyinggung permasalahan tersebut.

“Hari ini ulang tahunku tapi kok nggak ada yang ngucapin selamat atau beri kado, ya?”

“Oh, iya… hehe… maaf, lupa :D”

“… =_= …”

“Kita ngerayain ulang tahunmu di warung bakso depan lorong saja, ya?”

“… T.T …”

Maka jadilah kami sekeluarga makan bakso tenes mekar dan pangsit di warung depan lorong yang baru buka beberapa hari yang lalu. Nasib.. nasib.. Tapi biarlah. Syukuri apa yang ada, makan adalah anugerah.. tetap jalani hidup ini, aku tidak hapal lagi #plak! Ditampar sama D’Masiv gara-gara pelecehan hak cipta. Peace yo mas :)

Alhasil, terima kasih buat teman-teman yang telah membantuku selama setahun belakangan ini. Begitu banyak memori. Mulai dari UAN, pelulusan, ospek, dll. Terima kasih juga buat teman-teman atas doa ‘Wish you all the best!’ untukku. Aamiiin, Insya Allah. Tak lupa terima kasih atas curahan kasih sayang yang tak berujung dari kedua orang tuaku tercinta dan perhatian maksimum dari kakak-kakakku tersayang. I love you all…

Maaf atas air mata yang telah ibu jatuhkan untukku…
Maaf atas kata-kata kasarku yang membuat ayah mengelus dada…
Maaf atas keegoisanku yang membuat kakak marah…
Maaf atas kekeliruan yang pernah kubuat pada sahabat…


#Dhilah’s 18th birthday’s hopes:
Punya I-Pad, punya hard disk external, punya jam weker, beli buku 5 sekawan di Gramedia, makan steak, sarjana dalam ±3 tahun dengan IPK di atas 3.5, bisnis pulsaku lancar (yang ngutang cepat bayar!), dll.

Jumat, 23 November 2012

NARASI SURAT CINTA

Posted by Nur Fadhilah at 6:16:00 AM 0 comments
Oleh: Irianto Ibrahim

Aku bacakan yang ini saja:
Surat cinta yang tak jadi kukirim
Karena kutulis dengan huruf-huruf besar
Dan terlalu mencolok kata sayang dan rindu
Di setiap baitnya

Ini pun bila kau mau mendengarkan
Karena di samping isinya yang terserak
Suaraku juga telah habis terkuras
Oleh igau malamku yang seolah namamu menyatu dalam bibirku

Lagi pula
Aku sulit menemukan cara menulis surat
Dengan huruf miring yang mendayu-dayu
Meski perasaan saat menulis
Lebih menggelombang dari badai
Yang selalu menyurutkan nyali para pelaut

Setelah berkali-kali
Mencoba belajar seni melipat surat
Aku selalu gagal dan kesal
Aku merasa ada semacam penolakan yang sengaja ditimbulkan oleh surat ini
Karena mungkin saja ia tahu
Kalau tidak wajar sebuah surat tanpa pengirim

Tentu karena malu
Aku tak ingin menulis namaku yang amat tidak sepadan
Dengan gambar winnie the pooh di sudut kanan bawah
Kertas berwarna oranye ini

Atau begini saja
Lupakan kalau aku pernah menulis
Karena kamu akan mengabaikannya
Bahkan sebelum aku memintanya

MELODIA

Posted by Nur Fadhilah at 5:46:00 AM 0 comments
Oleh: Umbu Landu Paranggi

Cintalah yang membuat diri betah
Untuk sesekali bertahan
Karena sajakpun sanggup merangkum
Duka gelisah kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri
Dalam mengarungi suara-suara di luar sana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi
Membawa langkah ke mana saja
Karena kesetiaanlah
Maka jinak mata dan hati pengembara
Dalam kamar berkisah
Taruhan jerih memberi arti kehadirannya
Membukakan diri, bergumul, dan menyeri
Hari-hari tergesa berlalu
Meniup deras usia, mengitari jarak
Dalam gempuran waktu

Takkan jemu nafas bergelut di sini
Dengan sunyi dan rindu menyanyi
Dalam kerja berlumur suka duka
Hikmah pengertian melipur damai

Begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal
Pananggalan penuh coretan
Selalu sepenanggungan

Mengadu padaku
Dalam manja dan bujukan
Rasa-rasanya
Padalah dengan dunia sendiri manis
Bahagia sederhana di rumah kecil papa
Bergelora hidup dan kehidupan yang berjiwa
Kadang seperti terpencil
Namun gairah bersahaja harapan dan impian
Yang teguh mengolah nasib
Dengan urat biru di dahi dan kedua tangan

Sabtu, 27 Oktober 2012

LOVEY DOVEY COOKEY [PART2]

Posted by Nur Fadhilah at 2:10:00 PM 1 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PART 1 dulu ne..


Previous part:

“Tumben menelepon. Ada apa?” tanya Ki Bum tanpa basa-basi.

“Jadi selama ini, Jin Ri yang selalu kau ceritakan padaku itu… perempuan?”

“Jadi selama ini kau pikir dia apa?”

“Kupikir…”


*****

“Laki-laki? Hahaha…” Ki Bum sontak tertawa keras.

“Hei… kenapa kau tertawa? Foto terakhir yang kau perlihatkan padaku sewaktu kalian berdua masih kecil. Saat itu rambut Jin Ri masih sangat pendek. Jadi kukira dia laki-laki…” ungkap Minho malu-malu.

Ki Bum masih saja tertawa. Perutnya sampai sakit karenanya.

“Sudah. Kututup saja kalau begitu,” Minho ngambek.

“Hei, hei, kau jangan marah. Baik, baik, aku akan berhenti tertawa,” Ki Bum mengatur napasnya.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” sambungnya.

“Aku lupa. Nanti lagi kutelepon kalau ingat.”

“Hah… kau ini…”

Minho menutup telepon.

Beberapa saat kemudian, kepala Minho terasa sangat berat. Pasti akibat minum alkohol yang berlebihan. Benar kata Ki Bum. Ia tak kuat minum alkohol. Matanya serasa ingin terpejam.

.
.
.

Triit.. triit..

“Arghhh!!!”

Minho menggeram jengkel. Dia hampir saja terbawa ke alam mimpi, kalau saja ponselnya tidak berdering.

“Halo,” ucap Minho ketus.

“Kau di mana?”

“Ayah?” Minho lalu memperbaiki posisi duduknya dan mengucek matanya.

“Ada apa?” tanyanya.

“Kau di mana?” tanya ayah Minho sekali lagi.

“Aku di rumah.”

“Ke perusahaan sekarang!”

“Apa tidak bisa nanti saja, Yah?” rengek Minho.

“Sekarang!”

Tit. Choi Hyunmoo menutup telepon.

“Arghh!!” Minho menggeram lagi karena waktu tidurnya telah direnggut.

Minho lalu berganti pakaian resmi. Ia mengambil kunci mobilnya.

*****

“Hah… selesai juga…” ucap Jin Ri sambil menutup notebooknya.

“Kau haus?” tanyanya pada Jisun.

“Mm…” Jisun mengangguk pelan.

“Aku ingin makan es krim…” sambungnya.

“Es krim? Sepertinya segar juga. Baiklah, aku akan mentraktirmu makan es krim. Setelah itu, temani aku ke supermarket ya?”

“OK! Kau ingin beli apa di sana?”

“Ibu menyuruhku belanja. Minggu depan kakek akan datang. Kata ibu, aku harus bisa memasak makanan kesukaan kakek. Dengan begitu, kakek akan menyukaiku,” ungkap Jin Ri senang.

“Wah, benarkah? Aku jadi penasaran, kira-kira kakekmu itu seperti apa ya?”

“Jangankan kamu, aku juga sangat penasaran. Tapi dari foto-fotonya, kulihat wajahnya sangar.”

“Yah, mudah-mudahan saja wajahnya tidak sesangar hatinya, hihi…”

“Hihihi…”

Mereka berdua kompak tertawa. Jin Ri lalu mengajak Jisun menaiki mobil kakaknya.

*****

“Hah.. hah..” Minho menyemburkan napasnya ke tangan untuk mencium aroma mulutnya.

Minho terbatuk.

“Kalau ayah mencium napasku, dia pasti tahu kalau aku habis minum. Sebaiknya aku makan sesuatu.”

Minho lalu memelankan laju mobilnya untuk mencari toko.

“Oh, di sana!”

*****

“Berhenti di sini saja!” perintah Jisun.

“Di mana?” tanya Jin Ri.

“Di toko itu!”

“OK…”

Jin Ri lalu menepikan mobil.

Mereka berdua lalu bergandengan memasuki toko.

“Ouch!”

Minho menabrak pundak kanan Jin Ri.

“Maaf…” Minho lalu pergi dan menaiki mobilnya.

“Aduh… apa badannya terbuat dari besi? Sakit sekali…” rintih Jin Ri.

“Jin Ri! Apa kau kehilangan sesuatu?” tanya Jisun khawatir.

“Kau ini… bukannya menanyakan keadaanku, malah menanyakan ada yang hilang atau tidak…”

“Bukan begitu… apa kau tak nonton berita? Akhir-akhir ini, sedang marak pencuri berdasi…”

“Maksudmu?” Jin Ri tak mengerti.

“Ahh… ternyata benar kau tak pernah nonton berita. Memang pencurinya terlihat seperti orang yang punya jabatan, dia berdasi. Tapi, jangan kira, modus seperti menabrak target seperti tadi dijadikan kesempatan untuk mencuri…” jelas Jisun.

“Benarkah?”

“Sekarang cepat periksa tasmu! Kau kehilangan sesuatu atau tidak?”

Jin Ri dengan cepat memeriksa isi tas kecilnya.

“Jisun, dompetku tak ada…”

Jisun melongo.

“Berarti yang tadi itu…” kompak mereka berdua.

Jin Ri dan Jisun berlari memasuki mobil. Mereka lalu mengejar mobil Minho.

*****

“Ke mana mobil itu?” tanya Jin Ri gelisah.

Mata Jisun seperti memperhatikan satu-persatu mobil di depannya. Matanya lalu tertuju pada satu mobil.

“Itu dia!” serunya.

“Wah, dia cepat sekali.”

“Mungkin dia tahu kalau kita mengejarnya.”

“Mungkin juga. Ayo, tetap awasi mobil itu! Jangan sampai dia menghilang.”

Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah perusahaan.

“Kenapa dia berhenti di Choi Moo Group? Apa dia bekerja untuk mereka?” tanya Jin Ri.

“Memangnya ada apa dengan Choi Moo Group? Ini kan perusahaan besar…”

“Hubungan Choi Moo Group dan perusahaan ayahku kurang baik…”

“Jadi kau tak mau masuk?”

Jin Ri menggeleng.

“Hei, kau tak mau dompetmu kembali?”

“Oh iya, dompetku! Aku lupa tujuan utama kita mengejar pria itu. Ayo cepat!”

Jin Ri dan Jisun secepat kilat turun dari mobil dan berlari mengejar Minho.

Minho lalu memasuki lift. Tapi tiba-tiba Jin Ri datang menghalangi pintu lift yang hampir tertutup dengan kedua tangannya. Ia memandang sinis ke arah Minho.

“Hei, kalau kau ingin masuk, cepatlah! Aku buru-buru…” kata Minho dingin.

“Kembalikan dompetku!”

“Apa?” Minho terlihat heran.

“Jangan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa ya! Kembalikan dompetku sekarang!”

Minho terlihat semakin bingung.

“Hei, apa yang kau bicarakan? Dompet apa yang harus kukembalikan?”

“Tentu saja dompetku. Cepat kembalikan!”

“Kau ini kenapa sih? Aku tidak pernah mengambil dompetmu…”

“Aku tidak akan tertipu dengan penampilanmu. Kalau kau masih mengelak, akan kupanggil satpam untuk menggeledahmu,” ancam Jin Ri.

“Silakan! Panggil saja! Aku tak takut.”

“Satpam! Satpam!”

Triit.. triit..

Ponsel Jisun berbunyi. Jisun mengambil jarak dari Jin Ri dan Minho.

“Halo…” Jisun menjawab telepon dengan berbisik.

“Halo… Jisun?” tanya Min Ah.

“Iya, Bi. Ada apa?”

“Apa saat ini kau bersama Jin Ri?”

“Jin Ri? Iya, dia bersamaku.”

“Mengapa ponselnya tak bisa dihubungi?”

“Ponselnya lowbat, Bi.”

“Hah.. anak itu kebisaaan membiarkan ponselnya lowbat. Oh ya, tolong beritahu Jin Ri, dompetnya ketinggalan di rumah. Tadi kusuruh dia singgah di supermarket. Mungkin terburu-buru, dia lupa membawa dompetnya.”

“A, apa? Jin Ri lupa membawa dompet?”

“Kenapa memangnya? Kau terdengar sangat kaget…”

“Ah… tidak, Bi. Aku akan menyampaikannya pada Jin Ri.”

“Baiklah. Terima kasih, Jisun…”

“Sama-sama, Bi…”

Tit.

Jisun lalu menoleh pada Jin Ri. Terlihat Jin Ri sedang bercakap-cakap dengan seorang satpam mengenai kronologi kejadian sehingga dompetnya bisa hilang. Jisun keringat dingin.

Perlahan, Jisun berjalan mendekati Jin Ri. Jisun merasa sangat takut. Ia lalu menarik-narik tangan Jin Ri.

“Hei… ayo kita pulang… lupakan saja masalah ini…”

“Kau gila? Dompetku bagaimana?”

“Sebenarnya… ada yang ingin kukatakan. Makanya, ayo kita pergi dari sini…”

“Bicaranya di sini saja…”

“Tidak bisa…”

“Hei, kalian ini kenapa? Aku buru-buru…” tegur Minho yang sedari tadi diam saja.

“Jangan gunakan alasan buru-buru agar kau bisa lari, ya!” ancam Jin Ri.

Jisun menarik-narik tangan Jin Ri lagi.

“Apa sih?” Jin Ri mulai merasa risih karena Jisun terus mengganggu aktivitas marah-marahnya.

“Barusan ibumu menelepon, katanya dompetmu tertinggal di rumah…” ucap Jisun jengkel karena dibentak oleh Jin Ri.

“Apa?” Jin Ri kaget.

Jin Ri lalu melirik ke arah kedua satpam dan Minho dengan takut-takut. Tampak Minho yang tertawa cekikikan.

“Apa aku tak salah dengar, Nona? Dompetmu tertinggal di rumah?” sindir Minho.

“Pak, kira-kira hukuman apa yang cocok untuk kedua nona cantik ini? Pencemaran nama baik? Hukuman penjara 2 tahun? Denda 100 juta won?” lanjut Minho.

Jin Ri tertunduk. Mukanya memerah karena malu. Mana bisa ia menuduh seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan.

“Ya ampun… apa yang harus kulakukan? Apa aku lari saja?” batin Jin Ri.

Minho menundukkan kepalanya untuk melihat wajah Jin Ri.

“Kau kenapa? Kau pernah lihat udang rebus? Sekarang wajahmu mirip udang rebus. Hahaha…”

Tanpa ancang-ancang lagi, Jin Ri langsung berlari keluar dari Choi Moo Group. Ia kini memang malu sekali.

“Jin Ri, tunggu! Jangan tinggalkan aku…!” panggil Jisun sambil berlari.

Minho yang tadinya sudah berbalik ingin masuk kembali ke dalam lift, langsung menoleh.

“Jin Ri? Apa mungkin… ah, terserah…” batin Minho lalu memasuki lift.

*****

“Hahahahaha…” Ki Bum tertawa terbahak-bahak.

“Ah, kakak…” Jin Ri cemberut.

“Makanya, kau jangan sembarang menuduh…”

“Habis, Jisun terus mengomporiku.”

“Yah, aku kan juga tidak tahu. Kau jangan menyudutkanku!” Jisun membela dirinya.

“Tidak peduli siapa yang salah. Pokoknya, kalau kalian berdua bertemu dengan laki-laki itu lagi, kalian harus minta maaf! Terutama kau, Jin Ri!” camkan Min Ah.

“Iya, Bi… aku mengerti…” kata Jisun.

“Bagaimana, Jin Ri?” tanya Min Ah.

“Iya… iya… akan kulakukan…”

“Akan kulakukan nanti kalau penguin sudah bisa terbang. Hahaha…” pikir Jin Ri licik.

*****

“Aku pulang!” kata Jin Ri sambil memasuki dapur.

“Cepat sekali belanjanya. Mana Ki Bum?”

“Di belakang. Sengaja kutinggal.”

“Inilah alasan mengapa aku sangat malas jika disuruh menemani Jin Ri belanja. Dia tidak mau mengangkat belanjaannya,” keluh Ki Bum yang menyusul Jin Ri sambil membawa 2 kantung penuh bahan makanan.

“Kakak kan laki-laki. Mana mungkin aku yang membawa belanjaan?”

“Tapi setidaknya kau membantuku membawa sebagian. Ini berat tahu…” Ki Bum menaruh belanjaan di atas meja.

“Huh… dasar lemah! Pantas saja Kak Amber memutuskan kakak…”

Deg. Wajah Ki Bum tiba-tiba berubah masam. Sepertinya dia tidak senang dengan perkataan Jin Ri barusan.

“Ups…” Jin Ri menutup mulut. Ia sadar kalau ucapannya barusan menyakiti hati Ki Bum.

Min Ah yang menyadari terjadi ketegangan antara Jin Ri dan Ki Bum mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Jin Ri… mengapa urusan belanjaan disangkutpautkan dengan hal itu? Sudah. Sekarang pakai celemek dan cuci tanganmu. Kau harus kursus kilat hari ini. Tiga hari lagi kakek pulang.”

Jin Ri mengangguk. Ia memakai celemek dan mencuci tangannya. Ki Bum keluar dari dapur sambil membanting pintu keras-keras, hingga Min Ah dan Jin Ri kaget dibuatnya.

“Mengapa bicara begitu? Kau tahu kan bagaimana hubungan kakakmu dan Amber. Ibu tidak mau tahu, sebelum makan malam, kau sudah harus minta maaf pada kakakmu. Kalau tidak, ibu tidak akan mau mengajarimu masak lagi. Mengerti?”

Jin Ri menunduk, bersalah.

“Iya, Bu…”

*****

Tok.. tok.. tok..

“Kak…” panggil Jin Ri.

Tak ada jawaban.

“Kak… aku masuk ya…”

Jin Ri membuka pintu. Dilihatnya Ki Bum sedang berbaring sambil mengenakan headphone. Ki Bum lalu membalikkan badan memunggungi Jin Ri begitu melihat kedatangannya.

“Pantas saja kakak tidak menjawabku.”

Jin Ri duduk di atas tempat tidur Ki Bum.

“Kak, ponselmu bergetar.”

Tak ada respon dari Ki Bum.

“Wah, dari Kak Amber!”

Ki Bum menoleh sedikit. Tapi ia tahu kalau Jin Ri berbohong. Mana mungkin Amber meneleponnya.

“Kakak tidak mau mengangkatnya?”

Masih tidak ada respon.

“Aku angkat ya…”

Jin Ri lalu mengangkat telepon tersebut.

“Halo, aku Jin Ri.”

“…”

“Ah, aku baik-baik saja.”

“…”

“Kak Ki Bum? Ada. Tapi dia sedang marah padaku karena aku mengungkit hubungan kakak dengannya…”

“Hei, apa yang kau bicarakan?” Ki Bum lalu bangkit dan merebut ponselnya dari tangan Jin Ri.

“Halo…”

Tit.. tit.. tit..

“Hehe… bukan Kak Amber yang menelepon, tapi aku sendiri. Aku menelepon kakak. Lihat ini!” Jin Ri memperlihatkan layar ponselnya.

“Hah… kau ini…!”

Ki Bum membuang ponselnya, mengenakan headphone, lalu berbaring kembali.

“Maaf…”

Ki Bum melirik Jin Ri.

“Aku pasti sangat keterlaluan. Kumohon kakak memaafkanku. Aku berjanji tak akan mengungkit-ungkit hubungan kakak dan Kak Amber lagi. Maafkan aku ya, ya, ya!” Jin Ri sedikit memaksa.

“Janji?” tanya Ki Bum memperjelas pernyataan Jin Ri.

“Janji!”

Ki Bum tersenyum.

“Sekarang, ayo kita makan! Ayah dan ibu sudah menunggu. Hari ini aku yang masak loh…”

“Mana mungkin kau yang masak? Aku tidak percaya.”

“Ya, memang bukan sih. Aku hanya bantu cuci beras dan memotong-motong sayuran. Hehe… ini buktinya!”

Jin Ri memperlihatkan dua jarinya yang diplester akibat teriris pisau sewaktu memotong sayuran.

“Huu… baru begitu saja sudah luka. Kalau ibu itu kakek, dia akan menyuruh merendam jarimu di air garam.”

“Mana mungkin kakek sekejam itu?” Jin Ri ketakutan membayangkan ia harus merendam jarinya dalam air garam.

“Rasanya pasti sangat sakit,” lanjutnya.

“Ah, sudahlah. Ayo kita turun! Aku juga sudah sangat lapar,” ajak Ki Bum sambil merangkul Jin Ri.

“Apa kakek pernah melakukan itu pada kakak?” Jin Ri masih membayangkan betapa sakitnya jarinya kalau direndam dalam air garam.

“Lupakanlah! Tak usah membahas hal itu!”

“Beritahu aku! Apa kakek pernah melakukannya padamu?”

Pletak. Ki Bum menjitak kepala Jin Ri agar dia berhenti bertanya.

“Sakit…” Jin Ri meraba kepalanya.

“Baik, aku akan berhenti bertanya…” sambungnya.

*****

Triit.. triit.. triit.. triit.. triit.. triit..

Tit.. tit.. tit..

“Ayo, Minho… angkat teleponnya…!”

Triit.. triit..

“Halo.”

“Akhirnya kau angkat juga teleponku. Aku sangat khawatir padamu.”

“Ada apa?”

“Kenapa kau dingin sekali padaku? Apa karena aku tak segera meneleponmu setelah kejadian beberapa hari yang lalu? Ayolah… lupakan saja hal itu…”

“Mana mungkin aku bisa melupakan hari itu? Hari di mana kau menolak lamaranku.”

“Bisakah kita tidak membicarakan hal itu?”

“Lalu kau ingin membicarakan hal apa?”

“Aku merindukanmu. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

“Yuri… apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau ingin kembali padaku, tapi kau tak ingin menikah denganku.”

“Kau kan sudah tahu alasanku. Aku mau menikah denganmu, tapi waktunya belum tepat…”

“Lalu kapan?”

“Aku tidak tahu. Maka dari itu, kita harus memulai lagi dari awal. Agar kita tahu, kapan waktu yang tepat.”

“Baiklah. Kuberi kau satu kesempatan lagi. Kujemput kau jam 7 malam ini.”

Yuri tersenyum.

“I love you…”

*****

“Kau suka tempatnya?” tanya Minho.

Yuri melihat sekelilingnya.

“Aku suka. Di sini semuanya terlihat begitu mewah.”

Minho dan Yuri sejenak terdiam. Mereka menyuapkan sepotong beef steak ke dalam mulut masing-masing.

“Aku senang kita kembali seperti ini,” Yuri tersenyum pada Minho.

“Aku akan lebih senang jika kita lebih dari sekedar kekasih.”

“Minho, kumohon jangan mulai lagi…”

“Baiklah…” ucap Minho lirih.

“Beri aku waktu!”

“Aku akan menunggu…”

*****

Dua hari kemudian…

“Kau sudah selesai? Akan kujemput kau sekarang!” ucap Minho melalui telepon.

“Ya, sebentar lagi. Datanglah ke sini! Akan kuperkenalkan kau dengan partner modelku yang baru,” kata Yuri.

“Benarkah? Baiklah, 10 menit lagi aku di sana.”

Minho lalu menaiki mobilnya.

10 menit kemudian

Minho turun dari mobilnya. Terlihat Yuri sudah menunggunya bersama dua temannya.

“Ah, kau datang juga…” ucap Yuri senang melihat kedatangan Minho.

“Aku ingin memperkenalkan kalian dengan pacarku,” lanjutnya.

“Hai, aku Minho. Choi Minho.”

“Senang berkenalan denganmu. Aku Jin Woon.”

“Dan aku Shin Dong.”

“OK… aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu besok!” Yuri pamit pada kedua temannya, lalu bercipika-cipiki dengan mereka.

Minho memicingkan matanya.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Yuri setelah mereka memasuki mobil Minho.

“Tidak… kau hanya terlihat mesra dengan kedua temanmu tadi.”

“Oh, ayolah… Kau cemburu dengan mereka? Mereka hanya partner kerjaku. Berciuman seperti itu sudah biasa dalam dunia hiburan.”

“Tapi bisakah kau tak melakukan hal itu di depanku? Karena aku juga tak pernah melakukan hal itu di depanmu.”

“OK, OK! Jangan bicarakan hal ini lagi, ya? Aku bosan dengan perdebatan kita. Sekarang aku mau pulang.”

“Baiklah. Kita deal!”

“Sebelum aku mengantarmu pulang, kau tak keberatan jika mampir di rumah sahabatku? Ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya.”

“Terserah kau saja…”

Minho pun melajukan mobilnya menuju rumah Ki Bum.

Ning nong.. ning nong..

Minho menekan bel rumah keluarga Kim.

Jin Ri berlari menuju pintu utama.

“Iya, tunggu sebentar…”

Klek. Jin Ri membuka pintu. Kedua bola matanya membulat. Mulutnya tak bisa mengeluarkan suara.

“Semoga ini mimpi. Untuk apa dia datang kemari?” batin Jin Ri.

To be continued

Author’s NOTE:

Hai, hai!! Lama tak jumpa. Nih ff sudah bersarang laba-laba di laptopku. Sudah jadi setengah, tapi gak ada kesempatan buat ngelanjutin ceritanya. Padahal nih, banyak teman-teman yang sms, bilang kalau ceritanya bagus dan nunggu kelanjutan ceritanya. Wah, jujur… saya jadi merasa sangat bersalah dengan readers. Mianhae!!!
Mudah-mudahan cerita di part ini menarik. Saya tadi agak bingung mau dikasih bersambung di bagian mana. Ya sudah, saya panjangin saja ceritanya (bikin cerita baru) tentang Minho dan Yuri. Soalnya mereka belum ada kabarnya sih sejak awal cerita di part ini. Hehehe…
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

Kamis, 06 September 2012

SUMUR KERAMAT KAKEK SAM

Posted by Nur Fadhilah at 5:42:00 PM 0 comments

“JANGAN DEKATI SUMUR ITU!!!”

Aku selalu menutup telinga ketika mendengar kakek mengatakan hal itu. Kata-kata itu sudah kudengar ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali. Sejak aku kecil berumur 4 tahun hingga kini usiaku 16 tahun.

Sumur itu hanyalah sumur tua yang ada di belakang rumah Kakek Sam. Dikatakan sumur Kakek Sam karena letaknya yang masih berada di tanah hak milik Kakek Sam. Sedangkan keramat? Aku tak tahu. Itu hanya kata kakekku dan warga sekitar yang meyakini kalau sumur itu memang ada penunggunya alias keramat.

Katanya, sumur itu telah ada jauh sebelum aku lahir dan mungkin jauh sebelum kakek lahir. Ya, dengan kata lain sumur itu sudah ada sejak kampung ini ada.

Setiap kali kakek memperdengarkanku wejangan-wejangannya yang membosankan, aku selalu bertanya hal yang sama. “Kenapa, Kek? Kenapa tidak boleh?” Tapi aku juga selalu mendapat jawaban yang sama. “Tidak boleh karena sumur itu keramat.” “Kenapa keramat, Kek?” “Karena ada penunggunya.” Hah… sumur itu semakin lama semakin membuatku muak.

Karena tak mendapat satu petunjuk pun dari kakek, aku menanyakan hal yang sama dengan warga lain. Sebut saja Nenek Lela. Dia adalah teman kecil kakekku. Nenek Lela tinggal sebatang kara di kampung ini. Suaminya meninggal karena sakit dan anak pergi merantau tak kunjung kembali.

“Nek, kumohon ceritakanlah padaku!”

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena sumur itu keramat.”

“Kata siapa keramat?”

“Sejak nenek tinggal di sini, sumur itu sudah dikeramatkan. Jadi berhentilah bertanya!”

“Tapi aku bisa mati penasaran karena sumur itu.”

“DAN AKU BISA MATI KARENA MENCERITAKAN SUMUR ITU!”

Nenek Lela tampak terengah-engah. Sepertinya dia sangat marah. Apa yang barusan dikatakannya? Dia pasti hanya menakut-nakutiku saja agar aku tak bertanya lagi padanya.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku menanyakan hal ini padanya. Sudah berkali-kali. Tapi tidak sebanyak kakekku.

“Apa maksud nenek?”

“Ah, lupakanlah!”

Aku tergolong orang yang kuat, keras, dan pantang menyerah. Meskipun sudah ditolak berkali-kali, aku tetap tidak putus asa. Aku terus bertanya dan bertanya. Baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Termasuk Kakek Sam.

“Jangan! Jangan bertanya padaku!” kata Kakek Sam saat melihatku datang. Padahal menyapanya saja belum aku lakukan. “Pergi! Tanya saja pada kakekmu atau pada orang lain! Yang penting, jangan pernah tanya padaku!”

“Tapi sumur itu milik Kakek Sam. Aku yakin, tidak ada satu pun orang di kampung ini yang tahu pasti selain kakek sendiri.”

“Aku masih belum terlalu tua. Aku tak mau mati hanya karenamu. Biarlah Tuhan saja yang mengambil nyawaku. Jangan kamu! Pergi sana! Aku tak akan mau bercerita apa-apa.”

Apa ini? Kakek Sam juga membicarakan hal yang sama dengan Nenek Lela. Sumur itu… sumur itu benar-benar membuatku penasaran. Meskipun aku akan mati, aku tak akan membiarkan diriku mati sebelum mengetahui rahasia di balik sumur itu. Aku berjanji.

Di suatu siang yang terik, saat itu kakek sedang tidur siang, aku pergi ke rumah Kakek Sam. Tapi bukan untuk menemui Kakek Sam, melainkan sumur itu. Aku bukan anak kecil lagi. Saat ini aku berusia 16 tahun. Jadi aku sudah tak bisa dibohongi lagi.
Dengan mengendap-endap aku berjalan menuju halaman belakang rumah Kakek Sam. Sepertinya dia juga sedang tidur.

Nah, ini dia! Sumur itu sudah di depan mataku. Sumur itu ditutupi oleh seng bekas yang sudah karatan. Aku coba membuka tutupnya tanpa menimbulkan suara, tapi tetap saja seng tua itu menimbulkan suara yang membuat gigiku ngilu. Aku berhenti sejenak. Kutajamkan pendengaranku. Mungkin akan ada reaksi dari Kakek Sam. Setelah kutunggu beberapa saat, tak terdengar apa-apa, berarti aku aman.

Kulanjutkan aktivitasku membuka tutup seng itu. Perlahan-lahan, akhirnya terbuka juga. Aku melongok ke dalam sumur itu. Gelap. Tak ada apa-apa. Aku memegang dinding bagian dalam sumur itu. Lembab dan berlumut. Aku mengeluarkan kepalaku.

“Apanya yang keramat? Di sini bahkan tak ada apa-apa.”

Sialnya, seseorang mendapatiku di sumur itu, tanpa aku menyadarinya. Ia lalu memberitahukan hal itu pada kakek. Kakek sangat marah. Mungkin kakek murka padaku. Air mukanya memerah, matanya melotot. Aku sangat takut. Belum pernah aku melihat kakek yang seperti itu.

“SUDAH KAKEK BILANG, JANGAN DEKATI SUMUR ITU! SUMUR ITU KERAMAT!”

“Kek, aku sudah besar. Aku tahu bahwa sesuatu yang keramat bukanlah hal yang mesti dipercayai. Itu hanya cerita orang dulu. Lagi pula aku tidak mendapati sesuatu yang aneh dengan sumur itu. Sumur itu sama seperti sumur-sumur tua lainnya.”

Kakek diam. Aku tahu kakek sedang memikirkan sesuatu. Mungkin ia memikirkan cara agar aku mempercayainya lagi. Tapi aku sudah tak akan termakan ucapan kakek lagi.

“Nak…,” kakek berhenti sejenak. Tubuhku melemas. Telingaku rasanya panas mendengar wejangan kakek tentang sumur itu.

“Apa kau benar-benar ingin tahu rahasia di balik sumur itu?”

Aku mengangguk.

“Baiklah. Tapi kakek punya satu pesan. Jangan pernah menyesali keputusanmu ini!”

Aku menegakkan tubuhku. Mimpikah aku? Kakek akan memberitahuku rahasia sumur itu. Aku sudah tak peduli, setan apa kira-kira yang merasuki pikiran kakek. Yang penting semua keingintahuanku ini akan terpecahkan.

“Aku tak akan pernah menyesalinya. Kakek juga tak akan menyesal karena sudah menceritakan hal ini padaku.”

Kakek menghela napas beratnya.

“Kau tahu kenapa Kakek Sam tetap mempertahankan sumur itu?”

Aku menggeleng.

“Karena orang tua dan istri Kakek Sam terakhir kali terlihat di sumur itu, sebelum akhirnya menghilang untuk selamanya.”

Aku memiringkan kepalaku. Aku belum begitu mengerti.

“Kau tahu ke mana perginya anak Kakek Sam?”

Aku lagi-lagi menggelengkan kepalaku.

“Dia gila karena sumur itu.”

“Nenek dan ayahmu juga terakhir kali terlihat di sumur itu sebelum menghilang.
Sedang ibumu gila seperti anak Kakek Sam dan akhirnya bunuh diri.”

Aku tersentak kaget mendengar pengakuan kakek tentang orang tuaku. Selama ini kakek tidak pernah menceritakan alasan kematian orang tuaku.

“Sumur itu dikeramatkan karena selalu memakan korban. Akan selalu seperti itu hingga akhir zaman. Kakek harap, jangan pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada keluargamu jika kelak kau menikah dan punya anak.”

Aku sudah tak tahan mendengar perkataan kakek. Air mataku mengalir. Aku berlari keluar rumah tanpa mempedulikan kakek yang terus memanggil namaku. Aku berlari menuju sumur itu. Aku hanya melihatnya dari luar pagar rumah Kakek Sam. Aku menangis.

Tiba-tiba, guntur menggelegar dan hujan turun dengan derasnya. Padahal siang ini begitu terik. Tak tahu kenapa aku teringat kakek. Aku segera berlari pulang.

Setibanya di rumah aku langsung mencari kakek. Aku meneriakkan namanya, tapi tak ada sahutan. Aku mencarinya di semua seluk beluk rumah, tapi tak menemukannya. Aku lihat sandal yang sering dipakainya juga masih ada. Lalu kakek ke mana? Apa lagi hujan sangat deras.

Tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Aku tahu persis itu bukan suara kakek. Itu Nenek Lela. Ia datang menembus hujan bermodalkan payung motif bunga-bunganya. Sarung dan kakinya basah. Wajahnya tampak sangat ketakutan.

“Mana kakekmu?”

“Aku tidak tahu. Aku keluar sebentar dan ketika kembali dia sudah tak ada. Bahkan sendalnya pun masih ada.”

“Apa dia menceritakan sesuatu padamu?”

“Ya. Dia menberitahuku rahasia dibalik sumur Kakek Sam.”

Tiba-tiba tubuh Nenek Lela menjadi lemas. Payungnya terjatuh begitu saja dari tangannya. Ia terduduk dan menangis.

“KAU JAHAT! KAU TELAH MEMBUNUH KAKEKMU!”

Aku hanya mengerutkan kening mendengar ucapan Nenek Lela.

“Ada satu hal yang tidak kakekmu ceritakan padamu.”

“Apa?”

“Siapapun yang telah membuka rahasia ini, pasti akan menghilang untuk selamanya. Bahkan jasadnya tak akan ditemukan.”

“Ali! Ali!”

Itu suara Kakek Sam. Dengan motor butut dan jas hujannya, ia menerobos derasnya hujan siang itu.

“Kakekmu! Kakekmu! Aku melihatnya di sumur.”

Seluruh tubuhku merinding, bergetar. Aku tak percaya atas apa yang terjadi. Kejadian ini, sumur itu, sungguh membuatku gila.

*****

Telah diterbitkan di Kendari Pos edisi 1 September 2012.

Sabtu, 25 Agustus 2012

LOVEY DOVEY COOKEY [PART 1]

Posted by Nur Fadhilah at 2:43:00 PM 1 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Seorang wanita duduk sendirian sambil memperhatikan seorang gadis kecil yang sedang asyik bermain luncuran di sebuah restoran cepat saji. Di depannya sudah tersedia minuman cola dan kentang goreng, juga sisa spaghetti dan jus jeruk bekas gadis kecil itu. Sesekali dia memperhatikan jam tangannya. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang.

“Ha Na, maaf aku terlambat,” kata seorang wanita yang tiba-tiba muncul di depannya.

“Oh, kau sudah datang? Duduklah…”

“Mana Jin Ri?”

Ha Na tidak menjawab. Dia hanya mengalihkan pandangan pada sesosok gadis kecil yang sedang tertawa gembira menuruni luncuran.

“Dia sudah besar. Cantik lagi, seperti ibunya.”

Ha Na hanya tertawa tersipu malu mendengar pujian sahabatnya itu.

“Min Ah… apa kau… masih menginginkan seorang putri?”

“Kau tahu kan itu sudah tidak mungkin. Rahimku diangkat setelah melahirkan Ki Bum. Meskipun aku sangat menginginkan seorang putri, aku tahu itu mustahil. Jadi, kukubur saja keinginan itu dalam-dalam. Suamiku juga akan marah jika aku mengungkit masalah itu lagi.”

“Bagaimana jika aku mengabulkannya? Apa kau bersedia?”

“Apa?”

“Kau tahu kan ini semua kecelakaan. Aku tidak akan hamil kalau bukan karena laki-laki itu. Aku belum siap jadi ibu, Min Ah. Aku juga sudah merasa tidak enak selalu menitipkan Jin Ri di rumah tetangga sementara aku bekerja. Aku bukannya mau menyembunyikannya. Tapi seluruh Seoul sudah tahu bahwa aku, Ha Na, model terkenal hamil di luar nikah. Mereka juga sudah tahu kalau aku memiliki seorang anak. Ini membuatku menderita. Aku sudah jarang menerima job. Aku seakan hilang ditelan bumi…”

“Jangan bilang kau akan membuangnya atau menitipkannya di panti asuhan?!”

“Jangan kau tanya, aku sangat menyayangi Jin Ri. Itulah mengapa aku lebih memilih untuk melahirkannya daripada menggugurkannya. Bagaimana pun aku seorang perempuan. Aku sangat menginginkan keluarga, tapi tidak seperti ini caranya. Ini terlalu cepat.”

“Apa sebeanarnya yang ingin kau katakan padaku?”

“Aku ditawari kontrak di Paris. Kontraknya sudah kubaca. Ini adalah peluang yang sangat bagus untuk mendongkrak kembali popularitasku di dunia modeling. Kau tahu ini impianku sejak kecil. Tapi aku tidak mungkin membawa Jin Ri ikut serta. Salah satu syaratnya adalah belum menikah. Mana mungkin aku punya anak tanpa suami. Kau tentu tahu ke mana arah pembicaraanku saat ini…”

“Apa kau ingin menitipkan Jin Ri padaku?”

“Lebih tepatnya memintamu mengangkat Jin Ri menjadi anakmu. Tak ada orang lain yang lebih kupercaya darimu…”

Min Ah menghela napas berat.

“Apa yang kau katakan padanya?” tanya Min Ah sambil memandang iba pada Jin Ri yang masih bermain.

“Aku berkata yang sebenarnya. Dia tak boleh dibohongi. Dia harus tahu bagaimana keadaan ayah dan ibunya.”

Min Ah tertunduk. Berpikir.

“Aku akan membicarakannya dengan suamiku.”

Ha Na menggenggam erat tangan Min Ah.

“Terima kasih, Min Ah…”

*****

Beberapa hari kemudian…

“Perkenalkan, namaku Jin Ri, Choi Jin Ri,” sapa gadis kecil itu polos.

“Jin Ri sangat manis…” puji Min Ah.

“Sangat mirip denganmu. Kurasa ketika orang-orang melihatnya, mereka akan mengira dia anak kita,” celetuk Kim San, suami Min Ah.

“Hah, astaga…” Min Ah tertawa.

Ha Na lalu berlutut, mensejajarkan diri dengan Jin Ri.

“Jin Ri, dengarkan ibu! Ibu akan pergi jauh dan sangat lama. Jadi kau harus tinggal di sini. Jangan anggap mereka orang asing. Mereka kini keluargamu. Itu ibu, ayah, dan kakakmu, Ki Bum. Bukankah kau ingin mempunyai kakak laki-laki yang akan selalu menjagamu?”

Jin Ri mengangguk.

“Anak pintar!” Ha Na mengelus kepala Jin Rin.

“Kapan kau akan ke Paris?” tanya Min Ah.

“Besok. Sebelum ke bandara aku akan datang lagi untuk mengucapkan salam perpisahan pada Jin Ri,” katanya sambil berdiri.

“Aku ingin mengucapkan terima kasih pada kalian. Kalau tak ada kalian berdua, aku tak tahu bagaimana nasib Jin Ri nantinya,” sambung Ha Na.

Min Ah dan Kim San tersenyum.

“Ki Bum, bantu bibi menjaga Jin Ri ya?”

“Iya. Bibi tenang saja. Aku sudah lama ingin mempunyai adik.”

“Terima kasih, anak tampan…”

Ha Na lalu memegangi pundak Jin Ri.

“Kau baik-baik ya di sini.”

“Iya, bu…”

“Ibu pulang dulu…” Ha Na lalu mencium kening Jin Ri.

“Ki Bum, antar Jin Ri ke kamarnya, lalu ajak dia melihat sekeliling rumah! Ibu dan ayah akan mengantar bibi Ha Na ke depan,” perintah Min Ah.

“Siap, bu. Ayo!” Ki Bum lalu mengangkatkan koper milik Jin Ri. Mereka berdua naik ke lantai 2.

“Mari…” ajak Kim san.

*****

“Ini tempat favoritku!” tunjuk Ki Bum bangga.

“Dapur?” tanya Jin Ri heran.

“Ya. Kau pasti heran!”

“Kenapa?”

“Aku suka memasak.”

“Benarkah? Aku suka makan.”

Ki Bum tertawa geli.

“Ayah dan ibu tak mempekerjakan pembantu. Jadi, kalau ibu sakit, aku yang akan menggantikannya di dapur.”

“Di rumahku, ibu tak pernah masak. Aku makan pagi dan siang di rumah tetangga. Malam harinya, ketika ibu pulang kerja, dia pasti membawa makanan.”

“Mengapa tak pernah masak?”

“Setiap hari, ibu pergi pagi dan pulang malam. Tak ada hari libur.”

“Kau kasihan sekali…”

“Mm… Oh ya, nanti boleh aku mencicipi masakanmu?”

“Tentu saja. Aku akan membuatkanmu menu selamat datang yang paling spesial,” janji Ki Bum lantas tertawa.

Min Ah dan Kim San tersenyum melihat keakraban kedua anak mereka.

“Apa kau senang?” tanya Kim San.

“Ya. Kau tahu betapa aku sangat mendambakan seorang putri…” jawab Min Ah seraya tersenyum.

*****

“Jin Ri, kau tenang saja! Setiap hari ulang tahunmu, ibu akan mengirimimu kado, surat, dan foto ibu. Agar kau tak melupakan ibu nantinya,” janji Ha Na pada putrinya.

“Kapan ibu akan pulang?”

“Sudah ibu bilang, ibu akan pergi sangat lama. Jadi, selama ibu pergi, Bibi Min Ah akan menggantikan ibu. Dia akan menjadi ibumu. Panggil dia ibu. Dan dia ayah. Kau mengerti?” tegas Ha Na sambil menunjuk Min Ah dan Kim San.

“Mm…” Jin Ri mengangguk.

“Ibu akan sangat merindukanmu. Apa kau juga begitu?”

“Aku dua kali lipat akan lebih merindukan ibu…”

Ha Na tersenyum.

“Anak baik…”

Ha Na lalu menciumi pipi dan kening Jin Ri.

“Kau tak boleh nakal. Kau harus jadi anak yang manis. Kau juga harus menurut pada mereka,” pesan Ha Na lalu menoleh ke arah Min Ah, Kim San, dan Ki Bum.

Sekali lagi Jin Ri mengangguk.

Ha Na berdiri lalu memeluk Min Ah.

“Kutitipkan Jin Ri padamu dan Kim San. Anggaplah dia itu putrimu. Putri yang selama ini selalu kau dambakan…”

“Aku akan menjaga dan merawatnya dengan baik.”

Ha Na melepaskan pelukannya lalu menyerah sesuatu pada Min Ah dan Kim San.

“Ini adalah dokumen milik Jin Ri. Di dalam ada akta kelahiran, buku tabungan, dan surat-surat penting lainnya yang berkaitan dengan Jin Ri. Setiap bulan, aku akan mentransfer uang ke rekeningnya. Kelak, kau tak usah memberinya uang.”

“Sekarang Jin Ri adalah anak kami juga. Tak ada perbedaan antara dia dan Ki Bum. Apa yang kami berikan pada Ki Bum, tentu akan kami berikan juga pada Jin Ri. Kau tenanglah! Tak usah sampai seperti ini…” kata Kim San.

“Terima kasih… aku tak tahu berapa kali kata ini harus kuucapkan agar bisa sebanding dengan kebaikan kalian padaku dan Jin Ri.”

“Tak usah sungkan! Kita masih sahabat kan?” celetuk Min Ah.

“Tentu saja…” jawab Ha Na lantas tertawa.

“Kau benar tak ingin diantar ke bandara?” tanya Kim San.

“Tak usah. Kalian di sini saja. Lagipula taksi sudah menungguku…”

“Baiklah. Kau hati-hati di jalan ya. Telepon aku jika sudah tiba di Paris!” pesan Min Ah.

“Mm… pasti…”

“Jin Ri, ibu pergi. Dah…”

“Ibu pasti akan kembali kan?” tanya Jin Ri setengah berteriak.

Ha Na hanya tersenyum. Senyum terakhir yang diperlihatkannya pada Jin Ri sebelum ia masuk ke dalam taksi.

*****

12 tahun kemudian…

“Naikkan tegangan!” perintah dokter yang sedang memegang alat pemompa jantung pada suster.

“Sekali lagi!”

Tit.. tit.. tit.. tit.. tit..

“Hah… syukurlah…”

Dokter pun melangkah keluar ruangan ditemani susternya setelah memastikan keadaan pasien sudah stabil.

“Bagaimana ayah saya, dokter?” tanya Choi Hyunmoo harap-harap cemas. Istrinya dan Minho juga tak kalah tegangnya.

“Dia berhasil keluar dari masa krisisnya. Tapi keadaanya sekarang masih sangat lemah. Namun detak jantungnya sudah mulai stabil. Sebaiknya jangan bicarakan hal-hal yang akan mengganggu pikirannya. Karena dia bisa saja kembali drop dan saya takut dia sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”

“Terima kasih, dok.”

Wajah Choi Hyunmoo, Tae Jinah, juga Minho kini kembali sumringah. Perasaan lega menyelimuti hati mereka.

“Ayo kita masuk!” ajak Choi Hyunmoo.

Tae Jinah duduk di kursi di samping ranjang. Choi Hyunmoo berdiri di belakangnya. Sementara Minho berdiri di sisi lain ranjang tersebut.

Tae Jinah memegangi tangan mertuanya.

“Ayah, sadarlah…”

Perlahan, dia membuka matanya. Mulutnya menganga seakan ingin mengatakan sesuatu. Mereka terkejut.

“Aku punya janji…” dia membuka suara paraunya.

“Ayah… ayah jangan bicara dulu. Ayah belum pulih betul…” cegah Choi Hyunmoo, anaknya.

“Tidak… aku harus mengatakannya sekarang. Aku tidak tahu kapan akan pergi… jadi harus kukatakan sekarang…”

“Ayah…” tegur Tae Jinah tapi tak dipedulikannya.

“Dulu… aku dan sahabatku… Kim Myungsuk… pernah membuat janji… untuk menikahkan cucuku dan cucunya…”

“Apa?” serempak Choi Hyunmoo, Tae Jinah, dan Minho kaget.

“Tapi… 13 tahun yang lalu… dia meninggalkan Seoul dan menetap di Jerman setelah istrinya meninggal… kami sudah tak pernah bertemu lagi…”

“Mungkin dia juga sudah lupa pada janjinya, ayah…” kata menantunya.

“Janji adalah janji… kalau dia lupa, maka aku masih ingat… carilah anak Kim Myungsuk… Kudengar dia pengusaha sukses di Seoul… hanya saja aku tak pernah berhasil menemuinya hingga sekarang… Kau pasti kenal dengannya… namanya… Kim San…”

“Apa?! Kim San?” tanya Choi Hyunmoo dan Tae Jinah kaget.

Dia menganggukkan kepala.

“Jika Kim San memiliki anak perempuan, nikahkanlah Minho dengannya. Kalian mau berjanji kan untuk pergi mencarinya…?”

Choi Hyunmoo dan Tae Jinah saling berpandangan.

“Minho… kau mau melakukannya kan…?”

Minho hanya menunduk dan mengangguk pelan.

“Baguslah… sekarang aku bisa pergi dengan tenang… hah…”

“Ayah…”

“Kakek…”

Tiiiiit.. tiiiii.. tiiiiit..

“Ayah!”

“Kakek!”

Minho lalu menekan tombol emergency untuk memanggil perawat. Dengan cepat seorang dokter dan dua orang suster berlarian menuju kamar 305.

“Keluarga harap menunggu di luar,” suruh seorang suster.

Kini mereka bertiga kembali menampakkan wajah harap-harap cemas. Mereka khawatir kali ini Tuan Choi sudah tak bisa diselamatkan lagi.

Tak lama kemudian, dokter yang tadi datang keluar dengan wajah lesu.

“Maafkan kami, dia sudah tak tertolong lagi. Saya pribadi turut berduka cita. Semoga keluarga diberi ketabahan,” lalu melangkah pergi.

Terlihat dari dalam ruangan, seorang suster sibuk melepas berbagai peralatan rumah sakit yang menempel pada tubuh Tuan Choi. Lalu yang satunya lagi menutupi sekujur tubuh Tuan Choi dengan selimut putih.

“Bagaimana ini? Kita sudah terlanjur berjanji pada ayah…” keluh Tae Jinah.

“Sudahlah… jangan pikirkan hal itu dulu! Sebaiknya, kita urus pemakaman ayah dulu…” kata Choi Hyunmoo menenangkan istrinya.

*****

Sehari kemudian…

Jepret.. jepret..

“Ya, seperti itu. Bagus sekali! Tahan…”

Jepret.. jepret..

Minho tersenyum menyaksikan pemotretan kekasihnya, Kwon Yuri. Seperti biasa, Yuri terlihat sangat cantik. Meskipun Minho lebih muda 2 tahun darinya, tapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menjalin kasih. Benar-benar pasangan yang sempurna.

“Baik. Kita istirahat 10 menit…” ucap manager Yuri.

“Ah, Minho!” seru Yuri.

Yuri langsung berlari ke pelukan Minho.

“Tumben kau datang ke sini. Ada apa?”

“Apa tidak boleh aku datang melihat pemotretanmu?” balas Minho bertanya.

“Kau pasti merindukanku!” tebak Yuri.

“Aku selalu merindukanmu setiap hari…”

Yuri tersenyum malu-malu.

“Tapi sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Bicara saja! Aku punya 10 menit.”

Mereka lalu duduk di sudut ruangan.

“Kemarin kakek meninggal…”

“Apa?! Kenapa tak memberitahuku?”

“Maaf, kemarin kami sibuk mengurus pemakaman…”

“Aku turut berduka cita…”

“Bukan hanya itu yang ingin kubicarakan…”

“Apa lagi?”

Minho menarik napas panjang.

“Sebelum meninggal, kakek berkata bahwa… bahwa dia sudah… sudah menjodohkanku dengan seseorang…”

Yuri memasang wajah terkejutnya.

“Tapi hal itu tidak akan pernah terjadi jika…” Minho menggantungkan perkataannya.
“Jika apa?” Yuri penasaran.

“Jika kau mau menikah denganku…”

“Apa? Apa ini lelucon?”

“Apa ini seperti sebuah lelucon bagimu? Aku serius!!”

Yuri terdiam. Bola matanya terlihat bergerak-gerak.

“Apa ini sebuah lamaran?”

“Ya,” jawab Minho tegas.

Ia lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantung jaketnya.

“Maukah kau menikah denganku?” tanya Minho seraya membuka kotak tersebut di depan Yuri.

Yuri menatap cincin perak di depannya dan Minho secara bergantian dengan perasaan ragu.

Secara perlahan, tangan Yuri bergerak menggenggam kotak cincin yang masih berada di tangan Minho. Ia menatap cincin itu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya dan dengan cepat menutup kotak tersebut.

“Ada apa? Ada yang salah dengan cincinnya?” tanya Minho yang kaget dengan sikap Yuri.

Yuri menggeleng.

“Tidak. Tidak ada yang salah dengan cincinnya… hanya saja…”

“Hanya apa?”

“Minho… kau masih terlalu muda…”

“Apa itu masalah bagimu?”

“Bukan hanya itu. Kau tahu, karirku sedang menanjak akhir-akhir ini. Maafkan aku. Tapi aku lebih memilih untuk fokus pada karirku. Aku baru 22 tahun. Kita masih terlalu muda untuk melangkah ke jenjang seserius itu…”

“Jadi itu masalahnya?”

Yuri mengangguk pelan. Minho terlihat sangat kecewa dengan anggukan Yuri.

“Kumohon pikirkanlah baik-baik. Tak jawab sekarang pun tak masalah. Ini kesempatan yang…”

“Yuri, saatnya sesi pemotretan lagi…” suara manager Yuri membuat Minho tak dapat melanjutkan perkataannya.

“Maaf, Minho. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku belum siap untuk berkomitmen sehidup semati denganmu. Kau dan aku masih sangat muda. Jalan kita masih panjang…”

“Yuri!!” panggil managernya lagi.

“Baik. Aku segera ke sana…”

“Pulanglah! Aku akan meneleponmu nanti. Tolong sampaikan salamku pada ibu dan ayah!”
Yuri lalu mengakhiri pembicaraan mereka dengan sebuah ciuman di pipi Minho.

“Kau pasti akan menyesali keputusanmu, Yuri…” ucap Minho pelan setelah Yuri pergi.

*****

Ki Bum segera memasuki bar dengan tergesa-gesa. Bola matanya bergerak begitu cepat seperti mencari seseorang. Pandangannya lalu tertuju pada sesosok pria yang duduk sendirian di meja sudut sambil menenggak alkohol. Di atas mejanya sudah terdapat 2 botol minuman kosong yang beru ditenggaknya beberapa menit yang lalu. Ki Bum segeras menghampiri pria itu.

“Ada masalah apa?”

Pria itu tak menjawab. Ia masih saja terus menenggak minuman ketiganya.

“Yuri?” tebak Ki Bum.

Aktivitas pria itu berhenti sejenak begitu mendengar nama Yuri.

“Jangan sebut namanya di depanku!” pria itu kembali melanjutkan aktivitas minumnya.

“Minho! Berhentilah minum! Aku tahu kau tak kuat minum. Lihat wajahmu! Sudah sangat merah…”

Minho menaruh botol ketiganya yang kini kosong di atas meja bersama kedua botol lainnya.

“Aku melamarnya,” katanya dingin.

“Biar kutebak. Dia menolakmu.”

“Dia bilang aku masih terlalu muda. Dia juga bilang kalau dia lebih memilih karirnya daripada aku…”

“Sudah kubilang, Yuri itu tak serius denganmu. Kau itu tampan, pewaris tunggal pengusaha kaya. Semua orang juga tahu kalau kau juga menjadi ahli waris dari keluarga Choi. Siapa yang tak suka denganmu??!”

Brak!!!

Minho menukul meja.

“Jadi kau menganggap Yuri hanya tertarik pada hartaku saja, hah?”

“Bukan seperti itu. Maksudku, kau harus selektif dalam memilih pendamping hidup…”

“Kakek sudah menjodohkanku…”

Mata Ki Bum membulat kaget.

“Apa? Dengan siapa?”

“Cucu teman kakek.”

“Kau setuju?”

“Bagaimana mungkin aku menolak di saat keadaan kakek sedang kritis?”

Ki Bum terdiam.

“Lupakanlah Yuri! Cobalah buka hatimu untuk perempuan lain!”

“Seenaknya kau suruh aku melupakannya. Kau sendiri? Apa kau sudah bisa melupakan Amber?”

“Kau jangan balik menyerangku! Kita sedang membicarakan masalahmu. Jangan ungkit-ungkit masa laluku…”

Minho menyeringai.

“Kau juga mau minum?”

“Tidak. Aku sudah berjanji tak minum lagi pada Jin Ri.”

“Hah, adikmu itu…”

“Kapan-kapan aku akan mengenalkannya padamu.”

“Untuk apa? Sudahlah, tak penting.”

“Terserah kau saja…”

Minho terdiam. Pikirannya tertuju pada Yuri. Ia masih tak percaya bahwa Yuri menolak untuk menikah dengannya.

*****

Tae Jinah tampak gelisah. Sedari tadi ia terus mondar-mandir di depan suaminya.

“Jinah, berhentilah mondar-mandir. Kau membuatku semakin pusing,” keluh Hyunmoo.

“Mana mungkin ayah menjodohkan Minho dengan anak Kim San? Hubungan bisnis perusahaan kita kan kurang baik dengan perusahaannya…”

Hyunmoo terdiam. Ia kembali teringat perkataan ayahnya sebelum meninggal.

“Jika Kim San memiliki anak perempuan, nikahkanlah Minho dengannya.”

“Tunggu! Bukankah ayah belum pernah bertemu dengan Kim San? Ayah juga berkata, jika Kim San memiliki anak perempuan, maka kita harus menikahkan Minho dengannya. Itu berarti ada kemungkinan Kim San tidak memiliki anak perempuan.”

“Sayang, perkataanmu ada benarnya juga. Bagaimana kalau kita suruh orang untuk menyelidiki keluarga Kim San? Apakah benar dia memiliki putri atau tidak?” usul Jinah.

“Baiklah. Akan kutelepon sekertaris Yoon untuk menyelidiki semua ini.”

*****

Ki Bum baru saja keluar dari mobilnya. Sedang Jin Ri sudah menungguinya di beranda rumah.

“Ada apa? Kau sepertinya gelisah sekali…” tanya Ki Bum pada Jin Ri yang meremas-remas tangannya.

“Kakek akan pulang…”

“Kapan?”

“Kata ibu, minggu depan…”

Ki Bum menyeringai senang.

“Baguslah,” katanya sambil melangkah memasuki rumah meninggalkan Jin Ri.

“Bagus apanya?” tanya Jin Ri yang mengekor di belakang Ki Bum.

“Sudah 13 tahun kakek meninggalkan Seoul. Minggu depan ia akan kembali. Bukannya itu bagus?”

“Ya… bagus sih… tapi kan kakak pernah bilang kalau kakek tak suka pada perempuan yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Aku kan jadi takut…”

Ki Bum lalu berbalik dan memegang pundak Jin Ri.

“Kakekku adalah yang terbaik. Kau tenang saja! Kalau kakek bisa mengajari anak berusia 7 tahun seperti aku dulu untuk memasak masakan Prancis, mana mungkin ia akan menyerah pada dirimu? Tak akan… yang perlu kau lakukan hanyalah bersabar. Kakek itu gampang marah…”

Wajah Jin Ri semakin menunjukkan ekspresi takut.

“Ki Bum… jangan membuat Jin Ri takut pada kakekmu…” tegur Min Ah yang baru turun dari lantai 2.

Ki Bum lalu tertawa memamerkan deretan gigi putihnya.

“Ahh… kakak… selalu begitu deh…” kesal Jin Ri.

“Sudahlah, aku masuk dulu,” kata Ki Bum sambil mengacak-acak rambut panjang Jin Ri.
“Ahh…” Jin Ri menepis tangan Ki Bum lalu memperbaiki letak rambutnya.

“Hai, bu…” Ki Bum mengecup pipi ibunya lalu berlari ke kamarnya di lantai 2.

Min Ah lalu menghampiri Jin Ri.

“Bu… bagaimana ini? Aku kan belum pernah bertemu dan berbicara dengan kakek. Bagaimana kalau kakek tak menyukaiku?”

“Tenang saja. Kau tak usah khawatir begitu. Kakek pasti akan menyukaimu.”

“Tapi aku tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga…”

“Kau tak perlu melakukan itu agar kakek menyukaimu. Kau hanya perlu sedikit pendekatan.”

“Pendekatan seperti apa?”

“Sini ibu bisik!”

Bla bla bla…

“Apa cara itu ampuh?” tanya Jin Ri setelah Min Ah selesai membisikinya.

“Itu adalah cara yang ayah ajarkan untuk merebut hati kakek sewaktu ibu masih pacaran dengan ayah dulu…”

“Oh… baiklah. Aku akan melakukannya!!”

*****

“Minho…” panggil Jinah ketika melihat Minho memasuki rumah.

“Wajahmu merah… kau habis minum?” sambungnya.

“Bukan urusan ibu…” jawab Minho lalu menaiki anak tangga menuju lantai 2.

“Tunggu dulu! Ibu ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

“Apa?” Minho menghentikan langkahnya.

“Ini mengenai perjodohanmu dengan cucu sahabat kakek…”

“Terserah ibu dan ayah saja! Dijodohkan atau tidak, itu bukan masalah bagiku…” kata Minho lalu melanjutkan perjalanannya lagi menuju kamarnya.

“Apa?!” Tae Jinah hanya melongo mendengar perkataan Minho.

*****

“Hah…” Minho membenamkan diri di atas tempat tidur empuknya.

Tiit.. tiit..

Terdengar nada sambung telepon. Minho menelepon Ki Bum.

*****

Tok.. tok.. tok..

“Kak… boleh aku pinjam mobilmu?” tanya Jin Ri setelah mengetuk pintu kamar Ki Bum.

Tak ada jawaban.

“Kak… kau tidur?”

Tetap tak ada jawaban.

“Kak… aku buru-buru nih…”

Masih tak ada jawaban.

“Aku masuk ya…”

Jin Ri lalu membuka pintu kamar Ki Bum pelan. Ia lalu mendengar suara aliran air dari dalam kamar mandi.

“Kak… kau lagi mandi?” teriak Jin Ri.

“Iya… ada apa?” teriak Ki Bum juga.

“Boleh aku pinjam mobilmu? Aku ada kerja kelompok di rumah Jisun.”

“Ambil saja kuncinya di atas meja! Ingat, kau jangan membuat mobilku lecet!”

“Tenang saja! Mobilmu akan kembali dengan selamat…”

Jin Ri lalu mengambil kunci mobil Ki Bum.

Triit.. triit..

Ponsel Ki Bum bergetar. Telepon dari Minho.

“Kak… ada telepon dari Minho…” teriak Jin Ri.

“Kau angkat saja dulu! Katakan padanya kalau aku sedang mandi…!”

Jin Ri lalu menjawab telepon Minho.

“Halo?”

Minho kaget mendengar suara perempuan. Ia lalu mengecek lagi apakah benar nomor yang diteleponnya adalah nomor Ki Bum.

“Ini benar nomor Ki Bum. Tapi kenapa perempuan yang menjawab teleponku. Setahuku Ki Bum tidak suka kalau ponselnya berada di tangan orang lain…” kata Minho pada dirinya sendiri.

“Halo?”

“Halo… apa Ki Bum ada?” tanya Minho ragu-ragu.

“Ada, tapi dia sedang mandi.”

“Mandi?” Minho shock mendengar jawaban perempuan itu.

“Apa Ki Bum membawa perempuan masuk dalam kamarnya? Atau di hotel?” pikiran Minho tak karuan.

“Ma… maaf… saya bicara dengan siapa ya?”

“Aku Jin Ri, adik Kak Ki Bum.”

“Jin Ri?” Minho kaget.

“Sini, berikan padaku!” pinta Ki Bum yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Jin Ri memberikan ponsel padanya.

“Aku pergi ya. Terima kasih mobilnya…” kata Jin Ri lalu melenggang pergi.

Minho mendengar percakapan Ki Bum dan Jin Ri barusan dari balik telepon.

“Tumben menelepon. Ada apa?” tanya Ki Bum tanpa basa-basi.

“Jadi selama ini, Jin Ri yang selalu kau ceritakan padaku itu… perempuan?”

“Jadi selama ini kau pikir dia apa?”

“Kupikir…”

To be continued


Author’s NOTE:
Hai hai… Alhamdulillahff keduaku sesuai janji jadi juga. Mumpung masih suasana lebaran nih, jadi saya mau ngucapin minal ‘aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

Ff kali ini berbeda 180° dengan ff sebelumnya, HELLO TO MY JI EUN. LOVEY DOVEY COOKEY tidak menggunakan bahasa Korea. Alasannya simple aja. Lagi kepingin buat dalam gaya bahasa Indonesia. Bagusan mana hayo?? Ff kali ini juga tidak pake prolog. Langsung ke PART 1. Alasannya lebih simple lagi. Malas. Haha.. :D

Saya juga mau minta maaf ke readers yang fans sama Minho dan Yuri. Karakter mereka sedikit saya rubah di ff ini. Ya… mungkin sedikit menjengkelkan.

Kalau judulnya ok tidak? Awalnya agak bingung mau kasih judul apa. Tiba-tiba 3 kata terpikirkan olehku. Lovey, dovey, dan cookey. Kugabung aja. Semoga kalian suka ya.

Saya senang banget sama respon dari HELLO TO MY JI EUN. Alhamdulillah banyak yang suka. Ratingnya juga lumayan tinggi. Sebagai author pemula, tentunya saya berharap yang demikian juga terjadi pada ff terbaruku, LOVEY DOVEY COOKEY.

Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

OSPEK ITU…

Posted by Nur Fadhilah at 5:47:00 AM 0 comments
OSPEK itu… apa ya??

Rasanya ikutan OSPEK itu seperti lari dikejar sekawanan ular, ulat, dan cacing. MENEGANGKAN!!! (lebay gak sih ini??)

Hai… kali ini saya mau share pengalaman OSPEKku di Universitas Haluoleo. Yah, mahasiswa baru (maba) gitu.. hehe… pengalaman kali ini ada yang menyenangkan dan ada yng menakutkan. Yakin deh, teman-teman tidak akan pernah berharap hal ini terjadi pada kalian. Cukuplah diriku saja yang mengalaminya.

Ada berita gembira. Adik-adik yang Insya Allah lulus tahun depan (aamiiin…) tidak usah takut lagi dengan OSPEK. Karena mulai tahun ini OSPEK memiliki wajah baru. Nggak ada lagi OSPEK angker yang selama ini kita kenal. Kini OSPEK sudah berganti nama menjadi pendidikan karakter yang diisi dengan pelatihan MHMMD yang diprakarsai oleh wanita kelahiran Sulawesi Selatan, Ibu Marwah Daud Ibrahim, Ph.D.

MHMMD adalah singkatan dari Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan. Pokoknya, setelah mengikuti pelatihan ini, maka masa depan kita akan lebih baik dan terencana jika kita benar-benar mengaplikasikan kiat-kiatnya dalam meraih mimpi-mimpi kita.

Inti dari pelatihan ini adalah SUKSES. Di mana sebelum sukses, kita harus tahu dulu potensi apa yang ada dalam diri kita. Jangan pernah mengatakan, “Saya nggak punya potensi.” Allah itu Maha Adil. Setiap manusia diciptakan mempunyai potensi masing-masing. Jadi, temukan potensi kalian, kembangkan, dan optimalkan!!

Setelah itu, kita akan diajak untuk menilik masa lalu, masa kini, dan masa depan. Nah, pada sesi inilah terjadi banyak pertumpahan darah, ups, air mata maksudnya (hehe..). Jangan dikira hanya cewek doang yang ingusnya meler. Cowok juga loh. Jadi ingat sewaktu mereka sok kenal sok dekat hanya gara-gara mau minta tisu.. haha :D

Meskipun demikian, sebenarnya masih ada sih yang namanya bentak-bentak dan latihan push up. Tapi, jika kamu datang dengan damai dan bersikap baik, kamu akan bernasib sama dengan diriku. Datang tepat waktu, duduk di bagian tengah, diam, bertanya ketika disuruh, menjawab ketika diminta, bicara seperlunya, dandan biasa-biasa saja, perbanyak diam, jangan berani-berani menatap senior dengan pandangan aneh, tidak tersenyum ketika diajak bicara oleh senior, dan sebisa mungkin jangan melakukan kesalahan, maka kamu akan selamat (banyak benar syaratnya…). Tapi bukan berarti menjadi pasif, harus tetap aktif menurut kadar yang sewajarnya.

Nah, masuk pada bagian yang menakutkan ya…

Saya mengalami kejadian ini pada hari pertama pra OSPEK. Mendekati waktu pulang, seorang senior memberiku tugas mencari senior-senior yang namanya ia sebutkan. Memang terdengar mudah. Tapi tahu tidak, senior tidak akan mau mengaku kalau itu adalah namanya. Inilah letak kesulitannya. Tugasnya harus selesai hari itu juga.

Mataku sudah mulai berair ketika tidak ada senior yang mau mengakui nama tersebut. Juga tidak ada senior yang mau memberi tahu atau memberi sedikit petunjuk. Saya malah diberi petunjuk yang salah.

Akhirnya seluruh maba sudah pulang. Tinggal saya seorang yang bertahan di ruangan itu bersama beberapa senior. Tiba-tiba…

BRAK!!!!!!!!

Kursi di depanku dibanting oleh seorang pria yang baru saja memasuki ruangan. Karena mataku yang memang sudah sejak tadi berair, kini berubah menjadi sebuah tangisan. Mungkin karena takut dan kaget, makanya saya menangis.

Seorang senior yang tidak terima dengan sikap kasar pria itu menjadi marah. Mereka pun adu mulut. Maaf ya, masalahnya tidak bisa saya ceritakan di sini. Lalu si pria mengajak senior berkelahi. Ia tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dari saku belakang celananya.

Tangisanku semakin menjadi-jadi. Saya lalu memalingkan wajah tak mau melihat apa yang terjadi, kemudian lari bersembunyi di belakang seorang senior. Terdengar beberapa senior wanita yang menjerit ketika melihat pisau diangkat oleh pria itu.

Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Saya sibuk menenangkan hati dan pikiran. Tanganku gemetaran dan dingin, karena semua yang terjadi di depan mataku. Yang pastinya, masalah berhasil diselesaikan dengan damai dan tak ada korban dalam peristiwa ini.

Setelah semuanya membaik, beberapa senior mencoba menenangkanku. Tapi setiba di rumah, kembali saya menceritakan apa yang terjadi pada mama dan pastinya menangis lagi sampai mata dan hidungku memerah.

Hampir diculik

Hampir diculik? Ralat. Sudah diculik malahan. Sama siapa? Tukang ojek. Istilahnya tuh, dibawa lari.

Ceritanya gini. Sehari setelah penutupan OSPEK, saya ke kampus lagi untuk mengurus KRS (Kartu Rencana Studi). Karena ada sesuatu yang terlupa, saya akhirnya pulang dan kembali lagi ke kampus. Siang itu waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12. Khawatir prodi tertutup, saya memutuskan untuk naik ojek di gerbang utama universitas (jarak gerbang utama dan fakultasku lumayan jauh).

Karena buru-buru, ya saya asal naik saja. Padahal sekian banyak ojek yang menawariku untuk menaiki motornya, tidak tahu kenapa saya memilih ojek itu.

Ojek itu tidak mengambil jalan kompas. Dia mengambil jalan lain. Tapi dia malah membawa saya ke fakultas lain. Sy masih belum menaruh curiga padanya. Anggapanku, mungkin dia salah dengar, makanya salah tujuan. Tapi bukannya pergi ke tempat yang saya tuju malah ke fakultas lain lagi. Nih ojek budeg kali ya??

Ketika menemui perempatan, ojek itu belok kanan, sementara kalau menuju fakultasku seharusnya belok kiri. Tapi saya masih diam. Mungkin dia mengambil jalan lain, pikirku.

Kecurigaanku mulai muncul ketika jalanan yang kami lewati berangsur-angsur sepi. Hanya 1 atau 2 motor yang lalu lalang. Sisi kiri dan kanan jalan adalah hutan dan semak-semak yang cukup tinggi. Perasaanku semakin tidak enak ketika jalan yang dilewati belum pernah saya lewati sebelumnya. Keadaan semakin sepi. Ini sudah terlalu jauh dari fakultas dan pusat keramaian.

Saya lalu meminta turun. Sampai 3 kali ojek itu tak mau menghentikan motornya. Dalam hati saya berjanji, kalau saja di permintaan terakhirku ojek ini tetap tak mau menghentikan motornya, maka saya nekad lompat dari motor demi keselamatan diriku.

Alhamdulillah, Allah membantuku. Ojek itu mau mendengarkanku. Dengan cepat saya memberikannya selembar uang 2 ribuan dan berjalan cepat tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah ojek itu. Jujur saya sangat ketakutan dan hampir menangis, apalagi ketika lewat 2 orang pengendara motor yang mencoba menggoda.

Mulutku tak berhenti beristighfar. “Ya Allah… ini di mana?” Berkali-kali saya mengucapkan kata itu karena tempat itu sangat asing buatku. Tapi saya tidak peduli. Saya terus saja menyusuri jalan. Sampai akhirnya seseorang menawariku ojek. Awalnya saya sempat ragu untuk naik ojek lagi. Berbekal permohonan perlindungan dari Allah, saya memberanikan diri untuk menaiki motor ojek tersebut. Alhamdulillah, ojek itu adalah orang baik. Terima kasih ya Allah karena sudah menolongku lewat perantara ojek ini.

Yah, itulah sedikit pengalamanku selama OSPEK. Saya sih positive thinking saja. Saya jadikan OSPEK sebagai sarana mencari pengalaman baru, lebih mengenal senior, dan mengakrabkan diri dengan teman-teman baru.

Berikut ini beberapa kesan ospek dari teman-teman SMAku dari fakultas dan jurusan yang berbeda.

Darmalianti Rahim, fakultas kedokteran:
“OSPEK tashun ini sangat berkesan bagi saya, apalagi ada pembinaan pendidikan karakter oleh MHMMD. Berkat MHMMD saya bisa memfokuskan masa depan saya. Awal yang baik belum tentu akhir yang baik pula, itu yang saya rasakan sewaktu OSPEK fakultas. Tapi apa mau dikata, pengalaman seperti ini tidak datang 2 kali.”

Desty Triyaswati, fakultas MIPA, jurusan biologi:
“Buat pendidikan karakternya 4 jempol deh! Luar biasa kegiatannya…”

Hikmawati Madjid, fakultas ekonomi, jurusan akuntansi:
“Pendidikan karakternya benar-benar membantu kita memahami potensi diri. Tidak cuma itu, kita juga jadi lebih dekat pada Tuhan. Jadi percaya kalau dream do come true. We just gotta believe and pursuit it. Never stop dreaming. Karena segala hal hebat berawal dari mimpi. Hanya sayang, bully masih ditunjukkan oleh sebagian senior. Banyak yang minta dihargai, tapi tindakannya tidak menunjukkan orang yang patut dihargai. Semoga tahun depan bisa lebih baik lagi.”

Ishmah Nurul, fakultas kedokteran:
“OSPEKnya menarik sekali! Banyak pelajaran yang bisa saya ambil, terlebih tentang pengelolaan hidup dan masa depan. Meskipun OSPEK fakultasnya sedikit berat, tapi semuanya benar-benar menyenangkan. Tanoshikatta yo!!

Ranny Stefany, fakultas tekhnik, jurusan tekhnik sipil:

“Tahun ini OSPEK di tekhnik keras tapi tidak sekeras tahun lalu. Para senior baik dan perhatian pada para juniornya. Kalau pulang, kami selalu ditahankan mobil atau ojek. Mereka sangat kompak dan peduli pada nasib rakyat kecil. Itulah sebabnya, anak tekhnik suka berdemo, mengadakan bakti sosial, dll. Semoga OSPEK tahun depan lebih baik dari tahun ini.”

Ya, semoga pendidikan karakter tahun depan sudah bisa diterapkan secara murni dan konsekuen. Tidak ada lagi kekerasan walaupun sedikit :)

Rabu, 01 Agustus 2012

HELLO TO MY JI EUN [PART 10] (END)

Posted by Nur Fadhilah at 10:18:00 AM 0 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Romance, friendship, comedy (a little bit)
Rating : PG-13
Length : Multi-chapter (last part)
Casts : Lee Ji Eun (IU), Lee Taemin (SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Song Jieun (Secret), Hyorin (Sistar), Sandara Park (2NE1)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PROLOG, PART 1, PART 2, PART 3, PART 4, PART 5, PART 6, PART 7, PART 8, & PART 9 dulu ne...


Previous Part:
“Yoboseyo?” terdengar suara Ji Eun.

“Bagaimana kalau kita akhiri saja pertunangan ini?!”


*****

Jonghyun membuka pintu apartemennya kemudian membantingnya. Ia lalu melemparkan sebucket white tulip yang dipegangnya ke atas sofa lalu ikut menghempaskan dirinya.

Triit.. triit..

Jonghyun meraih ponsel yang ada dalam saku celananya. Telepon dari Ji Eun.

Jonghyun berpikir sejenak lalu mengeject panggilan tersebut. Ponselnya berbunyi lagi dan masih dari orang yang sama. Jonghyun melakukan hal yang sama. Ketika ponsel itu berbunyi untuk ketiga kalinya, Jonghyun lalu menonaktifkan ponselnya dan membuangnya ke atas meja.

“Hah…”

Jonghyun menghela napas lalu memejamkan matanya.

*****

“Otte?” tanya Song.

Ji Eun menggelengkan kepalanya.

“Dieject…”

“Coba lagi!” suruh Dara.

Ji Eun kembali mencoba menelepon Jonghyun untuk kedua kalinya.

“Tetap saja…”

“Coba sekali lagi!”

‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar area. Cobalah beberapa saat lagi!’

“Ponselnya tidak aktif…” kata Ji Eun kecewa sambil memanyunkan bibirnya.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Ji Eun-ah?” tanya Hyorin.

“Molla… tiba-tiba saja dia meneleponku dan meminta agar pertunangan ini diakhiri
saja. Aku juga bingung…”

“Pasti kau telah membuat kesalahan!” ucap Dara.

“Ne. Jonghyun Songsaengnim adalah tipe orang yang jarang marah. Sekali marah, akan sangat menakutkan. Itu pun jika kau berbuat kesalahan yang fatal,” tambah Song.

“Apa mungkin…”

“Mungkin apa?” kompak ketiga sahabat Ji Eun.

“Sebenarnya sore tadi aku berkencan dengannya. Setelah makan, dia mengajakku nonton. Tapi, karena penasaran dengan penggemar rahasiaku, aku menolak. Dia tidak marah kok. Malah dia menawarkan untuk mengantarku, tapi aku tolak juga,” jelas Ji Eun.

“Apa kau memberitahunya bahwa kau akan pergi menemui si penggemar rahasiamu itu?” tanya Hyorin.

“Tentu saja tidak!”

“Benar juga ya? Apa sebenarnya yang membuatnya sangat marah padamu?”

“Oh, ara!” kata Song tiba-tiba.

“Kau tahu kenapa?” tanya Ji Eun penasaran, begitu pun Dara dan Hyorin.

“Ne. Menurutmu, kau tidak melakukan satu kesalahan pun terhadap Jonghyun Songsaengnim. Sikapnya terhadapmu sebelumnya baik-baik saja dan tidak ada masalah. Namun tiba-tiba ia meneleponmu dan meminta untuk mengakhiri pertunangan kalian. Apa kalian tidak sadar, ada sesuatu yang ganjil dengan semua fakta ini…”

“Aigoo… kau terlalu banyak teori. Cepat beritahu kami!!” paksa Dara.

“Ada kemungkinan, Jonghyun Songsaengnim diculik.”

“Mwo? Diculik?” ketiga sahabatnya tak percaya dengan hipotesis Song.

“Memang siapa yang menculiknya?” tanya Hyorin.

“Tentu saja seseorang yang tak senang dengan pertunangan Ji Eun dan Jonghyun Songsaengnim.”

“Berarti orang itu tahu mengenai pertunangan Ji Eun. Bukankah hanya beberapa orang saja yang tahu mengenai masalah ini?”

“Kata Ji Eun, ia tak bertemu dengan penggemar rahasianya di taman. Mungkin saja dia tahu kalau Ji Eun pergi berkencan dengan Jonghyun Songsaengnim. Karena dendam, si penggemar rahasia Ji Eun lalu menculik Jonghyun Songsaengnim lalu menelepon Ji Eun seolah-olah dia adalah Jonghyun Songsaengnim,” lanjut Song.

“Aigoo…! Hipotesismu berlebihan, Song-ah. Mana mungkin kau membuat jalan cerita seperti itu,” kata Ji Eun.

“Hehe… aku kan hanya berusaha membantu…” bela Song.

“Tapi kau membuat semua orang jadi takut. Ahh… buang pikiran anehmu itu! Tak masuk akal.”

“Huuu… dasar Song!”

Dara dan Hyorin kompak melempari Song dengan bantal kursi Ji Eun.

Ji Eun kembali mencoba untuk menelepon Jonghyun. Tapi tetap saja, bukan Jonghyun yang menjawab teleponnya, tapi si nona operator.

‘Bagaimana kalau kita akhiri saja pertunangan ini?!’

Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?


*****

Seoul National University…

“Ji Eun-ah, kami mau ke cafeteria, kau mau ikut?” tanya Song pada Ji Eun ketika kuliah siang itu berakhir.

“Aniya. Kalian saja! Aku mau ke perpustakaan…”

“Gure. Kami pergi. Annyeong…”

“Annyeong…”

Ji Eun pun membereskan buku-bukunya dan memasukkannya dalam tas. Ia lalu keluar kelas dan menyusuri lorong-lorong yang juga dipadati mahasiswa lainnya. Sampailah ia di sebuah gedung yang bertuliskan ‘PERPUSTAKAAN’.

Suasana perpustakaan siang ini sangat padat. Sehingga, setelah mencari dan memilih beberapa buku, Ji Eun menjadi kesusahan mencari tempat duduk. Sepertinya tak ada yang tersisa untuknya.

Tiba-tiba, dilihatnya sebuah kursi kosong yang baru saja ditinggalkan seorang mahasiswa. Dengan cepat, Ji Eun berlari kecil menuju kursi itu dan duduk di situ.

Ji Eun lalu membuka bukunya dan menengok kiri dan kanan melihat siapa saja yang duduk di sampingnya.

“Omo!” ucap Ji Eun kaget.

“Jonghyun Songsaengnim? Annyeonghaseyo!” bisik Ji Eun.

Dengan malas, Jonghyun membalas senyuman Ji Eun.

“Annyeonghaseyo!”

Jonghyun lalu menutup buku yang dibacanya dan pergi meninggalkan Ji Eun.

Ji Eun yang merasa tak enak turut menutup bukunya dan mengambilnya. Ia memutuskan untuk meminjamnya saja.

Ji Eun lalu berlari mengejar Jonghyun.

“Jankanman, Jonghyun Songsaengnim!”

Mau tidak mau, Jonghyun harus berhenti berjalan. Bagaimanapun, Ji Eun adalah mahasiswanya. Jika tak menghiraukannya, bisa menjadi tontonan aneh nantinya.

“Hwe?” tanya Jonghyun dingin.

“Ada apa sebenarnya? Mengapa tiba-tiba songsaengnim memintaku untuk meng…”

“Lee Ji Eun! Ini kampus. Jangan bicarakan masalah pribadi di sini! Apalagi di tempat ramai seperti ini,” kata Jonghyun pelan memotong perkataan Ji Eun.

“Gure, kuromyon bisakah kita bicara di tempat lain?”

Triit.. triit..

Ponsel Ji Eun berbunyi.

“Yoboseyo?”

“Nande, Taeminyeyo…”

“Oh, Taemin-ah…”

Mendengar bahwa yang menelepon adalah Taemin, Jonghyun menghela napas berat, lalu pergi meninggalkan Ji Eun. Ji Eun hanya menatap kepergian Jonghyun dengan penuh rasa kecewa.

“Hwe?” lanjut Ji Eun.

“Ya, kau masih kekasihku hari ini.”

“Oh, mianhae… aku lupa.”

“Hah, kau ini. Aku akan menjemputmu sekarang!”

“Sekarang?”

“Ne. Hwe? Kau ada kegiatan?”

“Aniya. Gure. Kutunggu…”

“Gure.”

Tit.

Ji Eun meninggikan lehernya, mencari-cari sosok Jonghyun, tapi tak ditemukannya.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Sambil menenteng buku-buku yang tadi dipinjamnya di perpustakaan, Ji Eun bergegas menuju halaman depan Seoul National University.

Tin.. tin..

Taemin membunyikan klakson mobilnya seraya membuka jendela depan agar Ji Eun dapat melihat dirinya.

Taemin lalu turun dari mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk Ji Eun. Ji Eun lantas tersenyum dan dengan senang hati naik ke mobil Taemin. Taemin pun juga naik kembali ke mobil dan melajukan mobilnya.

“Kita mau ke mana?”

“Ada café baru. Pemiliknya adalah temanku. Kau mau coba?”

“Terserah kau saja.”

“Gure.”

*****

“Jonghyun-ah, jebal, biarkan aku menumpang di mobilmu! Kita kan satu arah…” mohon Changmin yang mobilnya pagi ini masuk bengkel.

“Shiro! Aku buru-buru.”

“Aigoo… kau jahat sekali… Ayolah, kutraktir kau nanti. Kebetulan ada café baru di simpang sana. Kutraktir kau minum kopi. Otte?”

“Jeongmal? Kau mau mentraktirku?”

“Ne…”

Okay.”

“Kuromyon, kau mau mengantarku pulang?”

“Ne… kajja!”

Wajah Changmin pun berubah menjadi sumringah ketika permohonannya dikabulkan Jonghyun.

Traktir minum kopi tak apalah. Pikir Changmin.

*****

“Di sini tempatnya?” tanya Jonghyun.

“Mm…” angguk Changmin.

“Wah, parkirnya padat juga…”

“Kan ini café baru. Tentu peminatnya banyak.”

Setelah mendapat tempat parkir yang strategis, Jonghyun dan Changmin pun masuk ke dalam café.

SPECIAL OPENING: DISCOUNT 10% TODAY

“Ige bwoya? Diskon 10%?” Jonghyun membaca tulisan yang ada di pintu masuk.

“Hehe… aku melihatnya di koran tadi pagi,” kata Changmin cekikikan.

“Hah. Pantas saja kau mengajakku ke sini.”

“Tak apa kan…”

“Tidak di dalam, tidak di luar. Semuanya padat,” keluh Jonghyun.

“Di sana! Di sana ada tempat kosong! Palli!” tunjuk Changmin lalu menarik tangan
Jonghyun.

“Ya! Jangan menarikku seperti itu! Di sini banyak orang…”

“Kita harus cepat sebelum diambil orang…”

Mereka berdua akhirnya duduk di tempat yang ditunjuk Changmin.

“Aigoo… sangat ramai. Pelayannya mana ya?” kata Changmin sambil meninggikan lehernya mencari-cari keberadaan pelayan di tengah padatnya pengunjung.

Sambil Changmin sibuk mencari pelayan, Jonghyun memperhatikan sekitarnya. Café yang cukup mewah menurutnya. Tempatnya cukup strategis dengan harga yang lumayan.

Tiba-tiba mata Jonghyun menangkap sesosok orang yang sangat dikenalnya. Lebih dari itu. Dia… tunangannya. Lee Ji Eun bersama seorang namja yang mungkin bernama Taemin. Dilihatnya Ji Eun tertawa lepas bersama namja itu. Sungguh pemandangan yang menyayat hati.

“Pelayan!” panggil Changmin setelah mencari-cari cukup lama.

Pelayan itu pun dengan sigap mendatangi meja Changmin dan Jonghyun, lalu menyerahkan buku menu.

“Aku pesan hot cappuccino blend.”

Pelayan itu pun mencatat pesanan Changmin.

“Kau mau pesan apa?” tanya Changmin pada Jonghyun seraya menyerahkan buku menu yang dipegangnya.

“Aniya. Aku tidak jadi pesan. Kau saja. Aku mau pulang,” kata Jonghyun lalu meninggalkan Changmin.

“Ya! Jonghyun-ah…”

Jonghyun tak menoleh sedikit pun.

“Jwesonghamnida. Aku juga tak jadi pesan,” kata Changmin lalu mengejar Jonghyun.

“Ada apa denganmu? Mengapa tiba-tiba tak jadi pesan?” tanya Changmin ketika berhasil mengejar Jonghyun.

“Sudahlah. Jangan tanya lagi.”

“Tapi kau harus memberitahuku ada apa!”

“Naiklah, palli! Kalau tidak, aku akan meninggalkanmu.”

Jonghyun pun melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Hatinya serasa terbakar mengingat apa yang dilihatnya tadi.

Apa kau benar-benar ingin mengakhirinya? Gure, kalau itu maumu.

*****

Sepertinya tadi aku mendengar suara Jonghyun Songsaengnim?

Ji Eun lalu mulai mencari-cari asal suara dengan memutar kepalanya ke kanan dan kiri.

Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Apa ini efek samping karena dia marah padaku?

“Apa yang kau cari?” tanya Taemin setelah menelan sesuap pastanya.

“Ah, ani. Aku senang dengan suasana di café ini. Nanti aku juga akan mengajak Dara, Hyorin, dan Song ke sini,” jawab Ji Eun tersenyum.

“Oh. Makanlah yang banyak! Akhir-akhir ini kau terlihat lebih kurus.”

“Jeongmal? Aku memang sedang banyak pikiran…”

“Banyak tugas di kampus?”

“Mm… salah satunya…”

Taemin hanya membalas dengan tersenyum lalu melanjutkan makannya lagi. Setelah selesai, mereka berdua kembali ke mobil Taemin.

“Malam ini kedua orangtuaku mengundangmu ke rumah.”

“Ada apa?”

“Katanya mereka sangat merindukanmu. Sudah sangat lama kau tak pernah datang berkunjung.”

“Ah, itu… gure. Lagipula perjanjian kita akan berakhir malam ini, bukan?”

“Perjanjian apa?”

“Ya, kau pura-pura lupa? Kekasih sehari?”

“Oh, haha…”

“Kajja!”

“Ke mana?”

“Mengapa kau menjadi begitu bodoh? Tentu saja jalan-jalan. Atau… kau mau mengantarku pulang dan mengakhirinya sampai di sini?”

“Hahaha… benar juga. Tapi ke mana?”

“Ke mana pun kau ingin pergi,” tutup Ji Eun menampakkan senyum manisnya yang sangat suka dilihat Taemin.

*****

“Kau kenapa sih?” tanya Changmin yang penasaran pada sikap Jonghyun yang tiba-tiba berubah.

Jonghyun tidak menjawab. Tatapan hanya fokus pada jalan di depannya.

“Ahh… gure kalau kau tak mau cerita.”

Tiba-tiba Jonghyunmenepikan mobilnya dengan kasar.

“YA! YA! YA! Apa yang kau lakukan? Kau bisa saja membunuhku!”

“Apa kau bisa menjaga rahasia?” tanya Jonghyun tiba-tiba menatap dalam pada Changmin.

“Ra, rahasia apa?”

‘Apa Changmin Songsaengnim tahu mengenai pertunangan kita?’

‘Aku tak akan memberitahu siapa pun kecuali kau memberi izin.’


“Hah… sudahlah, lupakan saja!” kata Jonghyun setelah mengingat janjinya pada Ji Eun beberapa waktu lalu.

“Aish… kau seperti menjilat ludahmu sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur penasaran. Palli, beritahu aku!”

“Shiro! Tidak jadi!”

“Ya, kau ini. Beritahu aku!”

“Sekali lagi kau bersuara, kuturunkan kau di sini.”

“Aish… kau sensitif sekali…” Changmin mengakhiri percakapan mereka berdua dengan wajah ditekuk, kening dilipat, dan bibir dimanyunkan.

*****

Rumah Keluarga Lee…

“Ji Eun-ah… sudah lama tak berkunjung ke sini,” sapa Tuan Lee.

“Bagaimana kabarmu?” giliran Nyonya Lee yang menyapa.

“Baik,” jawab Ji Eun tersenyum tulus. “Kata Taemin, Anda kurang enak badan?” tanya Ji Eun pada Tuan Lee.

“Ne. Beberapa waktu lalu kesehatanku menurun. Tapi, seperti yang kau lihat sekarang, tubuhku sudah kembali bugar,” jawab Tuan Lee sambil mengangkat kedua tangannya layaknya seorang binaragawan.

“Hahaha…”

“Ja, kita masuk! Di luar sangat dingin…” ajak Nyonya Lee.

Ji Eun, Taemin, Tuan dan Nyonya Lee berjalan memasuki rumah sambil tertawa ceria.

Tak berapa lama setelah mereka berempat duduk di ruang tamu, seorang pelayan datang membawa minuman. Setelah itu dia kembali lagi membawa kue dan camilan.

“Oh ya, bagaimana kabar ommamu?” tanya Nyonya Lee.

Ji Eun tersenyum tipis.

“Omma sudah meninggal beberapa minggu yang lalu…”

“Mwo?” ucap Taemin, Tuan dan Nyonya Lee bersamaan.

“Kenapa tak memberitahu kami?” lanjut Nyonya Lee.

“Jwesonghamnida. Ini kesalahanku.”

“Hah… gure. Kami turut berduka cita.”

“Kamsahamnida…” ucap Ji Eun tersenyum.

“Aigoo… kenapa suasananya jadi seperti ini? Hahaha…” kata Tuan Lee mencairkan suasana.

Mereka lalu tertawa bersama.

“Bagaimana kelanjutan hubungan kalian?” tanya Nyonya Lee lagi pada Taemin dan Ji Eun.

“Hubungan?” tanya Ji Eun balik lalu melirik Taemin.

“Ahh… ommoni, hubungan kami tidak sejauh itu. Kami biasa-biasa saja,” jawab Taemin lumayan gugup.

“Biasa apanya? Kau mengajak Ji Eun jalan-jalan seharian, lalu kau bawa kemari, itu
dibilang hubungan yang biasa? Apalagi di hari terakhirmu di Korea.”

“Hah? Hari terakhir? Maksudnya?” tanya Ji Eun bingung sambil menatap Nyonya Lee dan Taemin bergantian.

“Apa dia tak bilang padamu kalau dia akan ke London?” Nyonya Lee balik bertanya sambil menunjuk Taemin.

“Lon, London?”

“Om, ommoni, aboji, aku dan Ji Eun permisi dulu. Aku akan mengajaknya ke taman
belakang,” sergah Taemin cepat.

“Oh, gure. Bawalah Ji Eun berkeliling sebentar…”

*****

“Jadi ini alasanmu atas permintaan konyol itu?” tanya Ji Eun setibanya di taman belakang rumah Keluarga Lee.

“Konyol? Kau bilang permintaanku konyol?”

“Tentu saja. Kau tiba-tiba datang dan memintaku menjadi kekasihmu. Apa itu tidak konyol namanya?”

“Kuromyon, jika kau menganggapku konyol, tentunya kau lebih dari itu. Kenapa kau mau menerimanya?”

“Karena aku sudah berjanji padamu.”

“Kalau kau waras, tentunya kau berpikir dua kali sebelum menerimaku.”

“Jadi kau menganggap aku gila? Atau jangan-jangan kau melakukan ini semua hanya sebagai kenang-kenanganmu nanti di London?”

“Bukan seperti itu... Aku hanya…”

“Sudahlah. Aku pulang saja. Kontrak kita sudah berakhir!”

Ji Eun lalu berbalik dengan perasaan yang tak karuan. Ia marah karena tak diberitahu hal yang sebenarnya oleh Taemin. Ia merasa ditipu.

Tiba-tiba Taemin berjalan cepat mengejar Ji Eun lalu menarik tangannya dari belakang.

“Jangan pergi!”

Ji Eun hanya diam.

“Aku begini karena aku punya alasan yang jelas.”

“Mwo?” tanya Ji Eun dengan posisi masih memunggungi Taemin.

“Kalau kau mau, aku akan menunggumu hingga lulus dan kembali untuk membawamu bersamaku.”

“Maksudmu?” Ji Eun berbalik.

“Aku berharap malam ini tak pernah berakhir. Aku ingin terus seperti ini.”

“Aku masih belum mengerti. Berkatalah yang jelas!”

Taemin lalu mengambil selangkah lagi sehingga ia bisa mengambil tangan Ji Eun dan meletakkan di dadanya.

“Apa kau dapat merasakannya?”

Deg.. deg.. deg..

Perasaan apa ini? Mengapa jantungku berdegup begitu kencang juga?

“Ap, apa kau…?”

“Ne. Mian karena baru mengatakannya sekarang. Aku tidak pernah mempunyai saat yang tepat. Tapi besok aku akan ke London untuk memimpin perusahaan aboji di sana. Molla, kapan aku kembali. Jadi kurasa, aku harus mengatakan ini sekarang.”

Ji Eun menarik tangannya. Dia tersenyum kecut.

“Mengapa baru sekarang? Tidak adakah saat yang tepat bagimu selama ini? Jadi, harus menunggumu pergi dulu baru akan datang saat yang tepat? Jika kau menganggap sekarang saat yang tepat bagimu, kau salah…”

Taemin tersenyum tak kalah kecutnya.

“Ara… aku memang sudah sangat terlambat…”

“Maksudmu?”

“Namja itu… dia tunanganmu kan?”

Mata Ji Eun terbelalak. Tidak mungkin Taemin mengetahui hal ini.

“Ot, otte? Bagaimana kau bisa tahu?”

Taemin menyeringai.

“Kuromyon, itu benar?”

Ji Eun mengangguk pelan. Ia menunduk, tak berani menatap mata Taemin.

“Kau masih ingat saat aku datang ke rumah sakit untuk memberikanmu white tulip?”

Ji Eun mengangguk lagi.

“Saat itu aku tidak langsung pulang. Aku mengikutimu.”

FLASHBACK

“Huft… syukurlah. Kukira ada namja lain yang menduluaniku.”

Mereka pun tertawa bersama.

“Mm… Taemin-ah, tak apa kan jika aku pergi sekarang? Aku takut ketika temanku terbangun, aku tak ada di sampingnya.”

“Memang siapa yang sakit?”

“Kan sudah kubilang temanku…”

“Ne, tapi temanmu yang mana? Setahuku kau tidak mempunyai teman dekat selain
Hyorin, Dara, dan Song.”

“Err… temanku… temanku yang… ya! Memangnya temanku hanya mereka bertiga? Temanku banyak. Pokoknya temanku!”

Taemin mengangguk tanda mengerti.

“Gure. Kuromyon, masuklah!”

“Ne. Gomawo white tulipnya…” ujar Ji Eun tersenyum manis lalu pergi meninggalkan Taemin.

Taemin lalu mendongak. Rasanya ada sepasang mata yang dari tadi mengamatinya dan Ji Eun. Tapi tak ada siapa-siapa.

Taemin masih bisa melihat Ji Eun yang berjalan menuju pintu rumah sakit.

‘Mengapa hari ini banyak sekali? Maksudku, seharusnya hari ini kau hanya memberiku enam tangkai.’

‘Ya, apa kau menderita penyakit lupa tingkat akut? Lalu white tulip yang kemarin itu apa?’

Kata-kata Ji Eun barusan masih terngiang-ngiang di pikirannya.

Apa benar dia hanya bercanda?

“Tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang terjadi selama aku di London.”

Taemin lalu berdiri dan berlari menuju pintu rumah sakit. Matanya terlihat awas mencari sosok Ji Eun.

“Itu dia!”

Ji Eun baru saja menaiki lift. Taemin mengamati angka yang tertera di lift itu.
Angkanya berhenti di angka 3, 4, dan 5. Taemin tidak tahu di lantai mana Ji Eun berada.

“Omo… mengapa bisa terjadi kecelakaan seperti itu…”

“Tenanglah Gyeongsil-ah… aku yakin Jonghyun baik-baik saja. Kan ada Ji Eun…” ujar Tuan Shin menenangkan omma Ji Eun.

Ji Eun? Apa mungkin Ji Eun yang mereka maksud sama denganku? batin Taemin.

Tuan Shin dan Nyonya Lee lalu bergegas menaiki lift.

Ah, aku ikut saja.

Taemin pun dengan cepat ikut menaiki lift yang sama dengan mereka.

Tuan Shin dan Nyonya Lee berhenti di lantai 3. Taemin mengikuti mereka dari belakang. Dengan sikap yang tidak mencurigakan tentunya. Mereka lalu memasuki kamar 310 dengan tergesa-gesa. Taemin mengintip dari balik kaca pintu.

“Ji Eun-ah… Mengapa kau tak mengangkat teleponku?” tanya Nyonya Lee.

“Aku tadi sedang keluar sebentar, omma.”

“Ah, kau sudah sadar rupanya. Syukurlah…”

“Aboji tadi sangat panik ketika ditelepon oleh Ji Eun. Apalagi suara Ji Eun yang serak karena menangis. Aboji pikir sesuatu yang sangat buruk menimpamu. Untungnya, kau tidak separah apa yang aboji pikirkan…”

“Oh, Jonghyun-ah, mengapa sampai bisa terjadi kecelakaan seperti ini?” tanya Tuan Shin.

“Molla. Saat itu aku mengerem mendadak mobilku karena hampir menabrak seekor anjing yang menyeberang tiba-tiba. Lalu, sebuah mobil menghantamku dari belakang. Setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi,” jelas Jonghyun.

“Lalu seorang polisi meneleponku dan mengatakan kejadiannya padaku. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke tempat kejadian yang terletak tidak begitu jauh dari apartemenku. Sesampainya di sana, aku menemukan Jonghyun Songsaengnim yang pingsan berlumuran darah. Untung saja ambulance segera datang dan membawanya. Aku pun ikut bersama Jonghyun Songsaengnim di ambulance dan tiba di sini…”

“Hahaha… gomawo Ji Eun-ah. Gomawo karena kau telah mengkhawatirkan Jonghyun. Aku senang melihat perkembangan kalian berdua,” kata Tuan Shin.

“Oh, mengenai pertunangan kalian, omma telah membuatkan design baju untuk pertunangan kalian nanti,” kata Nyonya Lee.

Pertunangan? Apa namja itu tunangan Ji Eun? Andwe! Andwe!

Taemin kemudian berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu. Perasaannya masih berkecamuk. Ia tak tahu harus percaya atau tidak. Ia tidak mengerti, mengapa Ji Eun menyembunyikan hal ini darinya.

FLASHBACK END


“Saat itu aku tahu kenyataannya, tapi aku tak mau percaya. Aku tahu kau tak begitu menyukainya. Makanya aku tak menyerah. Jika saja masih ada satu kesempatan untukku…”

“Taemin-ah… aku sudah bertunangan. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku tak bisa menolak. Aku tak mengerti pada apa yang kurasakan saat ini. Perkataanmu saat ini percuma…” Ji Eun menarik napas dalam-dalam. “Mianhae…”

Taemin lalu memeluk Ji Eun.

“Tetaplah seperti ini untuk beberapa saat…”

Bisa didengar oleh Taemin suara tangis Ji Eun. Taemin hanya tersenyum pahit pada kebodohannya. Hanya semilir angin yang terus menemani kesedihannya.

“Datanglah besok pagi pukul 10. Aku ingin melihatmu sebelum pergi. Aku akan menunggumu…”

*****

Donghook Apartment…

“Ji Eun-ah, ada seseorang yang mencarimu. Dia sudah menunggumu sejak tadi,” kata Nyonya Bom ketika melihat Ji Eun datang.

“Nuguya?”

Nyonya Bom tidak menjawab. Dia hanya menoleh ke arah orang tersebut.

Jonghyun Songsaengnim?

Ji Eun lalu berbalik ke halaman. Dilihatnya mobil Jonghyun yang diparkir agak jauh ke depan.

“Kamsahamnida…” ucapnya pada Nyonya Bom.

Ji Eun lalu memasuki ruangan. Dia menarik napas panjang kemudian tersenyum.

“Ehm…”

Jonghyun mengangkat kepalanya.

“Sudah lama? Mengapa tak telepon? Aku kan bisa pulang lebih cepat.”

Jonghyun tak menjawab. Dia hanya berdiri lalu menyambar tangan Ji Eun dan menariknya. Langkahnya yang lebar memaksa Ji Eun berjalan lebih cepat, mungkin sedikit berlari.

“Ya, kita mau ke mana?”

Jonghyun masih tak menjawab.

Akhirnya Ji Eun berteriak pada Nyonya Bom.

“Nyonya Bom, aku akan pulang larut. Jangan tunggu aku, tidurlah duluan!”

Nyonya Bom hanya terlihat mengangguk pelan. Dia bingung atas apa yang terjadi.

Jonghyun membuka dan menutup pintu mobilnya dengan lumayan kasar. Lalu melajukan mobilnya yang Ji Eun pun tak tahu ke mana. Mereka berdua diam tanpa kata.

*****

Setelah beberapa saat saling berdiam-diaman, Jonghyun akhirnya menepikan mobilnya di jembatan tepi Sungai Han. Ia turun dari mobil, yang diikuti oleh Ji Eun.

Jonghyun memegang besi pada jembatan lalu mengedarkan pandangannya ke setiap sisi sungai itu. Ada kapal pesiar mewah yang baru saja berlabuh, kerlap-kerlip lampu samar-samar, dan suara riak air yang tak beraturan.

Semilir angin merusak tatanan rapi rambut Ji Eun. Rambutnya terbang ke sana kemari. Cuaca saat itu memang lumayan dingin. Untungnya Ji Eun tidak memakai mini dress.

Ji Eun memandang sisi sebelah kiri wajah Jonghyun. Rambutnya juga ikut dihamburkan oleh angin.

“Ada apa?” tanya Ji Eun sambil berusaha menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.

“Aku pernah berjanji padamu. Tapi kau sendiri yang memaksaku mengingkari janji itu. Aku tidak bisa seperti ini terus.”

Tampak Jonghyun menghela napas beratnya, lalu merogoh saku celana jeansnya.

Jonghyun lalu mengambil tangan Ji Eun dan menaruh sesuatu yang tadi diambil dari saku celananya. Ia lalu menutup telapak tangan Ji Eun tadi dengan tangannya yang satunya lagi.

“Simpanlah! Berikan pada orang yang menurutmu tepat.”

Ji Eun penasaran dengan apa yang tadi diletakkan Jonghyun di tangannya. Perlahan-lahan, dia membuka tangannya.

“Ha?!!”

Ji Eun cukup kaget dengan apa yang dilihatnya. Jonghyun mengembalikan cincin pertunangan mereka. Mata Ji Eun mulai berkaca-kaca.

“Bwoya?”

“Hah… Kau pulanglah sendiri! Aku masih akan mengunjungi tempat lain. Nanti akan kuteleponkan taksi...” ucap Jonghyun lirih.

Jonghyun lalu melangkah pergi menuju mobilnya. Ji Eun masih terdiam seperti patung di tempatnya dengan cincin di tangannya.

Jonghyun menghidupkan mobilnya. Namun tiba-tiba Ji Eun berlari dan menghadang mobil Jonghyun yang hendak pergi. Jonghyun yang kaget segera mengerem mobilnya, lalu keluar menghampiri Ji Eun.

“Apa yang kau lakukan?”

“Apa yang kulakukan? Bukankah seharusnya aku yang bertanya apa yang songsaengnim lakukan? Ha?” balas Ji Eun tak kalah kerasnya.

“Songsaengnim pernah berkata bahwa tak akan meninggalkanku, lalu tiba-tiba ingin mengakhiri semuanya. Sekarang songsaengnim mengajakku ke sini dan mengembalikan cincin pertunangan kita. Sebenarnya apa mau songsaengnim? Aku tidak tahu di mana letak kesalahanku. Jika memang songsaengnim ingin memutuskan pertunangan ini, jebal berikan aku alasan yang jelas…”

“Apa semuanya belum begitu jelas bagimu?”

Ji Eun mengangguk pelan. Ia masih bisa menahan air matanya.

“NAMJA TU ALASANNYA. APA ITU MASIH KURANG JELAS?!!”

Cukup sudah. Ji Eun tak dapat membendung air matanya lagi.

“Sudahlah. Kita akhiri saja! Aku akan meneleponkan taksi untukmu.”

Jonghyun lalu berbalik hendak masuk ke dalam mobilnya lagi.

“Namja itu…”

Kata-kata Ji Eun membuat langkah Jonghyun terhenti.

“… dia akan ke London besok dan tak tahu kapan akan kembali. Aku tidak pernah menjalin hubungan apa-apa dengannya. Pepatah bilang, cinta pertama adalah segalanya. Tapi songsaengnim sudah mematahkan pepatah itu.”

Air mata Ji Eun masih terus mengalir.

“Apa aku begitu rendah? Apa aku begitu rendah jika aku berkata aku sangat mencintai songsaengnim? Apa aku serendah itu?”

Ji Eun menyeka air matanya.

“Mianhae jika aku sudah menyakiti songsaengnim. Tapi sesakit apapun hati songsaengnim, hatiku lebih sakit…”

“Tak usah meneleponkan taksi untukku! Biar kucari sendiri,” sambungnya lalu berbalik pergi, mengambil jalan yang berlawanan dengan Jonghyun.

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat di tubuhnya.

“So, songsaengnim?”

Jonghyun memeluk Ji Eun dari belakang.

Selama beberapa saat Ji Eun membiarkan tubuhnya dalam dekapan Jonghyun.

“Saranghae, Ji Eun-ah…”

.
.
.
‘Though it seems I have everything
I don’t wanna be a lonely fool
All of the women, all the expensive cars, all the money don’t amount to you
So I can make believe I have everything, but I can’t pretend that I don’t see
That without you girl my life is incomplete’
.
.
.

_Jonghyun-Incomplete_


*****

Sudah lewat tengah malam. Jonghyun dan Ji Eun masih duduk berdua di pinggir jembatan. Walaupun banyak orang yang sudah terlelap, tapi suasana di Sungai Han seakan tidak pernah tidur. Semilir angin masih setia menemani mereka, membiarkannya merasuki setiap inci kulit mereka.

“Aku punya sesuatu untukmu.”

“Mwo?”

“Pejamkan matamu!”

Tak perlu waktu yang lama, Ji Eun segera memejamkan matanya.

Jonghyun lantas tersenyum lalu merogoh saku jeansnya lagi. Sebuah kotak putih kecil dengan hiasan bunga di atasnya. Dia membukanya.

“Sekarang buka matamu!”

Ji Eun membuka matanya. Matanya berbinar.

“Bwoya?”

“Untukmu.”

“JJ?” Ji Eun membaca inisial yang tertera di kalung itu.

“Jonghyun-Ji Eun,” jawab Jonghyun tersenyum bangga.

“Hoo… hahaha…”

Ji Eun lalu mengambil kalung tersebut dan mengangkatnya di bawah sinar rembulan.

“Yepputa… jeongmal gomawo…”

“Kemarikan!”

“Hwe? Songsaengnim kan sudah memberiku. Kenapa memintanya kembali?”

“Ya! Aku tidak akan mengambilnya. Sini!” Jonghyun merebut paksa kalung itu.

Jonghyun lalu membuka pengait kalung itu dan mengalungkannya di leher Ji Eun. Tangan kekarnya membentuk lingkaran di leher Ji Eun. Jonghyun semakin memajukan wajahnya agar dapat mengaitkan kalung itu kembali. Namun tanpa sadar, wajah mereka berdua sudah begitu dekat. Kalung sudah berhasil dikaitkan. Tapi Jonghyun masih mendekatkan wajahnya, kali ini ke wajah Ji Eun.

Pipi Ji Eun memerah. Ia bisa merasakan suhu tubuhnya yang hangat karena desahan napas Jonghyun.

“Ahh… aku mau bersin,” Ji Eun tiba-tiba memalingkan wajahnya.

“Bersin?”

“Ne, bersin. Songsaengnim tidak percaya. Lihat ini, hattchiiii!!!” Ji Eun menirukan
gaya bersin yang sengaja dibuat-buat.

Jonghyun lalu tertawa. Ji Eun yang malu, juga ikut tertawa.

*****

“Ah… songsaengnim, apa tak bisa lebih cepat?” tanya Ji Eun gelisah.

“Ya, ini sudah sangat cepat. Kita bisa kena tilang kalau kalau lebih cepat lagi…”

“Aish… ini semua gara-gara songsaengnim!”

“Mwo? Kenapa gara-gara aku?” tanya Jonghyun sambil tetap fokus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

“Aku kan tidur jam 2 pagi. Akhirnya bangun terlambat…”

“Gure. Ini semua gara-gara aku. Mianhae. Puas?”

“Ish…”

Jonghyun lalu tersenyum mendapati wajah Ji Eun yang terus-terusan cemberut sepanjang perjalanan.

*****

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30. Tapi Ji Eun belum datang juga. Para penumpang pesawat London Airlines sudah sedari tadi dipersilakan untuk menaiki pesawat. Tapi Taemin masih tetap bertahan di tempat duduknya. Ia masih menunggu kedatangan Ji Eun.

“TAEMIN-AH!” terdengar teriakan Ji Eun.

Taemin menoleh ke asal suara.

Ji Eun lalu berlari ke arah Taemin. Di belakangnya berjalan seorang namja. Jonghyun.

“Mianhae, aku terlambat…” kata Ji Eun yang masih ngos-ngosan.

“Gwenchana. Malahan kukira kau tak akan datang.”

‘Perhatian, perhatian! Tuan Lee Taemin, penumpang London Airlines, dipersilakan
menaiki pesawat melalui pintu 1!’


“Ya! Kau sudah dipanggil. Pergilah!”

“Ne. Ingat, undang aku jika kau menikah nanti! Aku akan merindukanmu…” ucap Taemin tersenyum.

“Dan kau…” ucap Taemin pada Jonghyun. “Jagalah Ji Eun baik-baik. Jika kau lengah, aku akan kembali untuk menjemputnya.”

“Tentu saja,” balas Jonghyun tersenyum.

“Gure. Haikke. Annyeong!”

Taemin pun memasuki ruang tunggu dengan cepat dan keluar melalui pintu 1. Ji Eun dan Jonghyun melambaikan tangan hingga sosok Taemin tak tampak lagi.

*****

2 tahun kemudian…

London…


Tok.. tok.. tok..

“Come in…”

Seorang yeoja berambut pirang memasuki ruangan.

“Sir, there is a packet from Seoul for you.”

“Really?” Taemin lalu mengambil paket tersebut. “Thank you.”

“Your welcome.”

Yeoja itu lalu keluar dari ruangan Taemin.

“Ji Eun?” Taemin membaca nama pengirimnya.

Dengan hati-hati, Taemin membuka paket yang berbentuk persegi panjang itu. Di dalamnya terdapat sebuah undangan dan foto.

Taemin mengambil undangan yang terletak paling atas.

‘UNDANGAN PERNIKAHAN KIM JONGHYUN - LEE JI EUN’

Taemin tersenyum membacanya.

Kemudian diambilnya kartu yang terselip di undangan itu.

‘Sesibuk apapun dirimu, kau harus datang ne… salam hangat penuh kasih Ji Eun-Jonghyun’

Taemin lalu menelepon sekretarisnya.

“Sarah, there’re important meetings next week?”

“No, Sir. Why?”

“Good. Booking a ticket to Seoul for next week. I’ll go there.”

“Is it for business or privacy trip, Sir?”

“Privacy.”

“Okay, Sir.”


Taemin menutup telepon. Diambil foto-foto yang dikirim Ji Eun, foto pra weddingnya dan Jonghyun.

“Tunggu aku…”

~The end~


Word’s List:
1. Nande : aku
2. Ja : ayo
3. Saranghae : aku mencintaimu


Author’s NOTE:
Hai hai! Tidak terasa ya, HELLO TO MY JI EUN akhirnya tamat juga. Meskipun menghadapi berbagai rintangan seperti ceritanya rada-rada gaje, kehabisan akal, sampai terlambat posting. Part ini sebenarnya sudah lumayan lama menganggur. Sengaja tidak saya selesaikan cepat karena menunggu rating part 9 naik dulu. Nah, setelah dirasa ratingnya sudah cukup, baru deh buru-buru nyelesain ending part ini.
Setelah saya baca ulang, rasanya ada yang aneh deh dengan ending ini. Feelnya gak dapat menurutku (*gimana caranya mau dapat, diketiknya sambil dengar lagu nge-beet dari 2NE1, haha :D). Maaf yee… Tapi kalau menurut kalian bagaimana?
Untuk ff setelah ini sebenarnya ada rencana mau bikin lagi (setelah OSPEK). Ceritanya sudah tersusun rapi dalam otakku. Tapi tergantung mood sih. Kalau lagi rajin, sy tulis. Kalau malas, yaa malas ah. Tapi kalau misalnya jadi, saya mau izin sama Sulli dan Minho buat namanya saya pake di ffku nanti. Hehe…
Akhir kata, terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang sudah meluangkan waktu untuk membaca ff pertamaku ini yang masih terbilang gaje (gak jelas). Jangan bosan-bosan mampir ke blogku ya. Kalau Anda suka sama blog saya, yuk join aja. Tinggal klik follow, maka Anda akan selalu mendapatkan ‘sesuatu’ yang ter-up to date dari blog saya.. ^_^
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review