Senin, 28 Mei 2012

EHM, L U L U S!!! YEAH…

Posted by Nur Fadhilah at 5:56:00 AM 0 comments
Sabtu, 26 Mei 2012. Inilah hari yang paling ditunggu-tunggu siswa kelas XII semester akhir se-jagad raya. Hari pengumuman kelulusan. Hari inilah di mana hasil dari belajar selama ± 3 tahun, try out berjuta-juta kali, ujian praktik, Ujian Akhir Sekolah (UAS), dan Ujian Akhir Nasional (UAN) diumumkan. Dengar-dengar sih, katanya SMAN 1 dan SMAN 4 Kendari persentase kelulusannya 100%. Aamiiin…
Pagi ini, kami berkumpul di lapangan upacara SMAN 4 Kendari untuk menanti hasil tersebut. Perlu diketahui bersama, pengumuman kelulusan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kalau pada tahun sebelumnya SMAN 4 Kendari mengumumkan kelulusan siswanya melalui koran, tahun ini diumumkan melalui surat yang diberikan kepada masing-masing siswa. Supaya rasanya lebih gimanaaaa gitu ^^
Kamera, siap. Jeprat, jepret. Nah, itu dia wali kelas XII Olimpiade, Pak Hartono tersayang, tercinta, terbaik, dan ter- ter- lainnya deh (lebay). Dia datang menghampiri barisan kami dengan membawa 39 pucuk surat di tangannya (saya yakin jumlahnya 39 karena jumlah siswa di kelas kami sebayak 39 orang).
Tapi sebelumnya… eh, apa-apaan ini? Tiba-tiba Pak Liu datang dan menyuruh kami melepaskan tas kami dan dikumpulkan di depan barisan. Ternyata ada sweeping piloks mendadak. Oh my God, di akhir kami bersekolah di sini pun masih sempat-sempatnya disweeping?? Berhubung karena hari pelulusan, otomatis banyak siswa yang membawa piloks untuk corat-coret baju. Saya pun sebenarnya membawa spidol. Hehe…
Tapi ternyata apa yang kami takutkan tidak terjadi. TIba-tiba, kepala sekolah kami yang baik hati dan tidak sombong, Pak Tryanto, mengumumkan bahwa kami boleh mengekspresikan kesenangan kami (maksudnya boleh corat-coret baju dalam pengertian kami) dengan syarat tidak boleh keluar dari lingkungan sekolah. Sontak suara “horeeee!!!” terdengar menggema di lapangan upacara SMAN 4 Kendari.
Okay, back to Mr. Hartono. Setelah memberikan beberapa wejangan dan senyum-senyum khasnya yang bikin klepek-klepek (peace v), beliau pun akhirnya membagikan surat yang sejak tadi dipegangnya kepada kami dengan memanggil nama sesuai urutan nomor ujian. Mulai dari 001-039.
Tapi, hal yang ganjil terjadi. Surat dengan nomor 021 tak ada. Jadi setelah nomor 020 yang ada adalah nomor 022. Pemilik nomor 021, Kiki Iqrayanti, mulai merasa was-was dan gelisah. Dia pun menanyakan kepada pak guru kenapa suratnya tidak ada. Pak guru hanya menjawab, “Mungkin di tercecer di bagian belakang. Tunggu saja!”
Deg. Nomor ujianku sudah dekat tuh. 027, 028, 029, 031, 032. Eh? 030 kok tidak ada. Saya pun juga bertanya pada pak guru. Jawabannya sama dengan jawaban yang diberikan pada Kiki. Saya pun dengan tenang menunggu hingga surat 039 selesai dibagikan. Tapi kok tetap tidak ada. Surat dengan nomor 021 dan 030 memang tidak ada, hilang, tercecer, atau… tidak lulus?
Kiki pun mulai menitikkan air mata. Tapi saya masih tegar dan menuduh pak guru menyembunyikan surat kami. Tapi pak guru mengelak. Dia pun bertanya pada wali kelas XII CIBI. Katanya, kalau tidak ada surat berarti tidak lulus. Deg. Saya masih tenang. Belum menangis. Sementara Kiki sudah bercucuran air matanya. Pak Hartono pun menyuruh kami berdua menghadap ke Pak Ahmad Daaba yang kebetulan sedang berdiri bersama guru-guru lain di podium. Dengan rasa takut, kami bertanya pada Pak Ahmad. Jawabannya sama dengan wali kelas XII CIBI tadi.
Hah, dengar kenyataan bahwa saya tidak lulus itu seperti dunia runtuh diterjang tsunami, angin topan, lebih parah deh dibanding film kiamat 2012 atau yang terbaru nih The Avenger. Kami pun kembali ke barisan. Saya sudah tidak sanggup berdiri lagi. Kaki saya lemas. Tidak tahu apa yang harus saya katakan pada kedua orang tua saya. Ditambah lagi tahun ini tidak ada ujian susulan. Mau tidak mau, air mata saya mulai bercucuran. Siapa yang tidak menangis coba, mengetahui dirinya tidak lulus. Akhirnya saya tahu, bagaimana perasaan teman-teman lain yang diberitakan di tv kalau dia tidak lulus. Saya mengerti mengapa mereka lebih memilih untuk bunuh diri. Ternyata begini rasanya. Seperti hidup sudah tidak berarti lagi. Hancur. Tanpa masa depan.
What? What the hell! Apa-apaan ini? Tiba-tiba teman-temanku yang lain bertepuk tangan. Sementara Pak Hartono datang menghampiri saya dan Kiki sambil tersenyum puas dan berkata, “Sepertinya ada 2 amplop yang nyangkut di kantung bapak nih.” Ahhh, saya dan Kiki spontan tertawa dan menangis lebih keras. “Ahhh, pak guru jahat, pak guru jahat, tega, tega!” Pak guru dan teman-teman yang lain pun tertawa. Ternyata mereka bekerja sama. “Saya tunggu Dhilah menangis dulu,” kata Pak Hartono.
Masih ingat tidak tulisan yang saya posting beberapa hari yang lalu tentang ulang tahun Pak Hartono? Kan biang keladinya saya tuh. Terus, nomor yang saya pakai adalah nomornya Kiki untuk menghubungi pak guru. Ternyata pak guru punya dendam kesumat kepada kami berdua. “1 sama,” katanya. Pak guru pun memberikan kami amplop. Setelah dibuka, tentu saja tulisannya LULUS. Hah, sekali lagi, teganya, teganya, teganya, dirimu pak guru. Pokoknya sejak kejadian ini, saya tidak mau lagi mengerjai orang, apalagi pada hari ulang tahunnya. Kapok deh, ampuuunn!!
Yah, meneruskan ritual nenek moyang. Kami pun menuju depan kelas XII Olimpiade untuk melakukan aksi corat-coret baju. Berhubung orang tuaku melarang saya melakukan aksi tersebut, jadi saya membawa selembar kain putih (sebenarnya warna krem sih, hehe) untuk dicoret sebagai pengganti baju. Kata orang tuaku, lebih baik seragamku disumbangkan kepada orang yang tidak mampu agar lebih berkah dan bermanfaat. Ya, semoga saja orang yang mendapatkan seragamku mengikuti jejakku sehingga lulus nantinya. Aamiiin… kepada siapa saja yng berhasil mendaptkan seragam limited editionku ini.
Acara selanjutnya. Foto-foto \{n_n}/
Setelah puas berfoto-foto ria di sekolah, kami, anak-anak Primagama berkunjung ke Primagama untuk bertemu dengan Mas Prasetyo Nugroho. Sesampainya di sana, ternyata kami sudah keduluan sama siswa-siswi SMAN 1 Kendari. Tapi tidak apa-apa. Kami have fun aja. Saling corat-coret dan foto-foto.
Setelah itu, ANALYSIS (Anak Loyal-Solid Olimpiade Sains) berkumpul di Studio Foto Tiara untuk berfoto bersama yang terakhir kalinya. Yah, walaupun pada kenyataannya tidak semua dapat hadir dalam kesempatan kali ini. Kemudian, kami singgah di RM Kelapa Gading untuk mengisi perut yang sudah keroncongan ini. Setelah puas berfoto, perut kenyang, it’s time to home. Ngantuk berat, capek, dan sebagainya.
The last but not the least, keep moving forward, friends! Walaupun banyak ANALYSIS yang tidak berhasil lulus SNMPTN jalur undangan (salah satunya saya, hiks), kalian harus percaya bahwa Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik buat kita di balik kegagalan ini. Jadi jangan galau terus ya! Contohnya saya, sudah gak galau. Hehe. Lebih baik, ayo kita fokus ke SNMPTN jalur tulis, mencari beasiswa, atau mendaftar di universitas swasta. Banyak kok yang bagus yang tidak kalah sama universitas negeri.
Kata Pak Mario Teguh, langkah awal yang paling baik dalam memulai sesuatu adalah memulai, jangan menunggu. Sayonara!!!

Kamis, 24 Mei 2012

HELLO TO MY JI EUN [PART 7]

Posted by Nur Fadhilah at 2:02:00 PM 2 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Romance, friendship, comedy (a little bit)
Rating : PG-13
Length : Multi-chapter
Casts : Lee Ji Eun (IU), Lee Taemin (SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Song Jieun (Secret), Hyorin (Sistar), Sandara Park (2NE1)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PROLOG, PART 1, PART 2, PART 3, PART 4, PART 5, & PART 6 dulu ne...


Previous Part:
“Cinta yang sempurna, tulus, dan suci.”

Ji Eun terhenyak ketika membaca kalimat itu.

“Tidak salah lagi. Pasti dia orangnya,” kata Ji Eun menerawang langit.


*****

Triit.. triit..

Tiba-tiba Ji Eun dikagetkan oleh getaran ponselnya. Sebuah SMS dari…

“Taemin?”

“Ji Eun-ah… aku sudah kembali dari London. Aku ingin bertemu denganmu. Besok kujemput kau pukul 10. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

Ji Eun menyunggingkan senyum manis di bibirnya. Diraihnya kembali kartu ucapan yang tadi dibacanya.

”Cinta yang sempurna, tulus, dan suci…” Ji Eun membacanya perlahan.

*****

Jonghyun sibuk mencari kontak orang yang ingin diteleponnya. Jujur, ia sangat merindukannya. Siapa lagi kalau bukan Ji Eun, calon tunangannya. Dua bulan lagi mereka benar-benar akan resmi bertunangan.

Karena terlalu sibuk dengan ponselnya, konsentrasinya menjadi terbagi antara menyetir dan mencari kontak Ji Eun. Sampai-sampai ia harus mengerem mobilnya mendadak ketika hampir menabrak seekor anjing kecil yang sedang menyeberang. Jonghyun sangat menyukai anjing.

“Huft… hampir saja!” ungkapnya lega.

Pada saat yang bersamaan, akhirnya ia menemukan kontak Ji Eun dan menekan tombol panggil.

BUKK!

“Arrrgghhhhh…”

*****

Ji Eun sibuk mondar-mandir di luar apartemennya. Ia menunggu seseorang, tapi bukan Taemin. Ia menunggu orang yang selalu mendatangi selama 5 hari sebelumnya. Namun, sudah lewat pukul 09.00, pengantar bunga belum juga datang.

“Kenapa ia tidak mengirimiku bunga hari ini? Padahal dia jelas-jelas sudah kembali dari London.”

“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

“Ah, ara! Sesuatu yang ingin dia berikan padaku itu pasti bunga untuk hari ini. Makanya ia sengaja ingin menemuiku…” begitulah spekulasi Ji Eun setelah mengingat kembali SMS dari Taemin kemarin.

Triit.. triit..

Ponsel yang sedang digenggamnya bergetar. Telepon dari Jonghyun.

“Yoboseyo?”

“Yoboseyo…”

Ji Eun dapat menebak bahwa suara di seberang telepon bukanlah suara calon tunangannya.

“Nuguseyo?” tanya Ji Eun hati-hati.

“Jwesonghamnida, saya dari pihak kepolisian. Apakah Anda Ji Eun-ssi? Kerabat dari Kim Jonghyun?” tanya suara berat dari seberang telepon.

“Ie… hwe? Dia calon tunangan saya.”

“Nomor Anda merupakan nomor terakhir yang dihubungi oleh saudara Jonghyun. Jadi saya menelepon Anda. Saya hendak mengabari bahwa saudara Jonghyun mengalami kecelakaan. Ambulance sedang menuju kemari.”

“M, mwo?” ujar Ji Eun syok.

Ji Eun lalu menanyakan di mana persisnya kecelakaan itu terjadi. Ternyata tidak jauh dari apartemennya. Dia lalu menutup telepon dan segera berlari menuju tempat tersebut. Ji Eun bahkan tak memedulikan Nyonya Bom yang heran melihat sikap Ji Eun yang sangat panik dan terburu-buru.

Tidak sampai 5 menit, Ji Eun sudah berada di lokasi kejadian bersamaan dengan tibanya ambulance yang akan membawa Jonghyun. Ji Eun lalu mendekati Jonghyun yang terbaring di atas kasur yang dipapah pegawai rumah sakit dengan berlumuran darah.

“Jwesonghamnida! Anda siapa?” cegat seorang polisi yang melihat Ji Eun hendak ikut memasuki ambulance.

“Saya calon tunangannya. Jebal, biarkan saya ikut!” jawab Ji Eun panik.

Polisi itupun membiarkan Ji Eun masuk ke dalam ambulance menemani Jonghyun.

Ambulance pun melaju kencang sambil membunyikan sirenenya.

“Jonghyun Songsaengnim… mengapa bisa seperti ini?” gumam Ji Eun di sela isak tangisnya sambil menggenggam erat tangan kanan Jonghyun.

*****

Ji Eun menatap kosong ke arah Jonghyun yang masih terbaring di ruangan VIP Incheon St. Mary’s Hospital. Tuan Shin dan ommanya terdengar syok saat diberi tahu oleh Ji Eun perihal keadaan Jonghyun. Katanya, mereka berdua akan segera ke Seoul. Untungnya kata dokter, Jonghyun tidak apa-apa. Dia sudah melewati masa kritisnya dan tinggal menunggunya siuman saja. Tapi tetap saja Ji Eun khawatir akan kondisi Jonghyun.

Ji Eun lalu menatap jam dinding yang melekat di salah satu sisi dinding ruangan itu. Pukul 10.30. Tiba-tiba ia teringat akan janjinya dengan Taemin. Cepat-cepat ia mencari kontak Taemin di ponselnya. Ketemu.

“Yoboseyo?”

“Ya! Kau di mana? Aku ke apartemenmu tapi kau tak ada. Kukira kau sudah di café duluan. Tapi kau tak ada di sini. Kutelepon kau reject terus. Palli, datang! Kan sudah kubilang ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,” oceh Taemin cerewet.

Ji Eun mendengarkan ocehan Taemin dengan sabar. Memang tadi Taemin beberapa kali meneleponnya. Tapi karena pikirannya masih terpusat pada Jonghyun, ia lalu mengrejectnya, dan begitu seterusnya. Ji Eun sama sekali tidak mengingat akan janjinya dengan Taemin.

“Mianhae… aku sekarang sedang di rumah sakit,” kata Ji Eun dengan suara yang sedikit dipelankan. Ia takut mengusik Jonghyun. Padahal Jonghyun masih berstatus belum sadarkan diri.

“Hwe? Gwenchana?” tanya Taemin yang terdengar khawatir.

“Gwenchana.”

“Kuromyon, siapa yang sakit?”

“Err… tem, temanku kecelakaan. Kebetulan kejadiannya di dekat apartemenku. Jadi aku menemaninya hingga ke rumah sakit. Orang tuanya berada di luar Seoul. Jadi aku menungguinya sampai orang tuanya datang. Kuharap kau mengerti, Taemin-ah…” jelas Ji Eun sedikit berbohong. Ia tak mau Taemin tahu bahwa yang sedang ditungguinya bukanlah sekadar teman biasa, melainkan namja yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya.

“Jinjja? Kuromyon, kau sekarang di rumah sakit mana?”

Incheon St. Mary’s Hospital. Hwe?”

“Aku akan ke sana.”

“Mwo? Aniyo. Gwenchana,” larang Ji Eun panik. Ia tak mungkin mempertemukannya dengan Jonghyun. Sedikit ada rasa penyesalan di benaknya. Kenapa ia harus memberi tahu Taemin? Inilah akibatnya.

“Sudah kubilang, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

“Hah… di saat seperti ini dia masih memikirkan bunga itu…” batin Ji Eun.

“Gwenchana. Kau bisa memberikannya lain kali.”

“Shiro! Aku sudah janji padamu. Jadi, aku harus memberikanmu hari ini juga.”

“Dasar, namja ini! Namja pemaksa.”

“Gure. Terserah kau saja! Tapi kau menunggu di taman saja. Nanti aku yang akan datang ke sana,” kata Ji Eun mengalah.

*****

“Kau di mana? Aku sudah di taman rumah sakit.”

Ji Eun membaca SMS Taemin dalam hati.

Diliriknya Jonghyun yang masih terkulai lemas di atas tempat tidur. Dia belum sadarkan diri.

“Jonghyun Songsaengnim, aku tinggal dulu sebentar ne…” kata Ji Eun meminta izin.

Tentu saja Jonghyun hanya diam. Ji Eun lalu melangkah mengendap-endap keluar dari ruangan itu. Padahal dengan membanting pintu pun, Jonghyun belum tentu terbangun dari pengaruh obat biusnya.

Ji Eun lalu mencari sosok Taemin di taman rumah sakit yang cukup luas itu. Dia kemudian melihat sesosok namja yang sedang terduduk sambil memegang sebucket bunga.

“Annyeong!” sapa Ji Eun sambil berjalan mendekati Taemin.

Taemin yang kaget spontan menyembunyikan bunga tadi di belakang punggungnya.

“Ya, kau membuatku kaget,” ujar Taemin gugup.

“Palli! Apa yang mau kau berikan padaku? Kau sudah membuatku meninggalkan temanku sendirian,” kata Ji Eun tersenyum sendiri. Sebenarnya dia sudah tahu apa yang akan Taemin berikan padanya hari ini.

“Ini!” kata Taemin sambil memberikan sebucket white tulip yang disembunyikannya tadi.

“Kali ini masih fresh dan tidak layu,” sambungnya.

Teringat kembali red rose yang diberikannya minggu lalu. Ji Eun lalu menerimanya dengan senyum mengembang.

“Mengapa hari ini banyak sekali?”

“Banyak? Ya, sudah syukur aku memberikamu white tulip.”

“Aniyo. Maksudku, seharusnya hari ini kau hanya memberiku…” Ji Eun sibuk menghitung jarinya. “Enam. Ne, enam tangkai.”

“Enam tangkai? Hwe?”

“Ya, apa kau menderita penyakit lupa tingkat akut? Lalu white tulip yang kemarin itu apa?” tanya Ji Eun kesal.

White tulip? Aku baru sekali ini memberikannya padamu.”

“Ha? Maksudmu?”

“Kau ingat janjiku kan? Aku akan memberikanmu white tulip ketika aku kembali dari London. Dan ini dia. Janjiku tertepati,” ujar Taemin senang. “Jankanman! Jangan bilang, ada namja lain yang sudah mendahuluiku memberikan white tulip pertamamu padamu?” selidik Taemin.

“Ha? A, aniyo. Arayo? Tadi aku sedikit bercanda. Hahaha…” terdengar tawa garing menghiasi kebohongannya.

“Huft… syukurlah. Kukira ada namja lain yang menduluaniku.”

Mereka pun tertawa bersama.

“Kuromyon, kalau buka dia, siapa pengirim bunga itu? Mengapa pagi ini dia tidak mengirimiku bunga?”

*****

Tangan Jonghyun mulai bergerak pelan. Matanya terbuka. Walaupun samar, ia masih melihat dengan jelas sekelilingnya. Ketika penglihatannya sudah kembali jelas sepenuhnya, ia menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang. Ia kemudian teringat peristiwa yang menimpanya beberapa waktu yang lalu.

Triit.. triit..

Jonghyun menengok ke asal suara. Dilihatnya ponsel seseorang yang tak asing lagi baginya. Itu ponsel milik Ji Eun.

“Berarti Ji Eun ada di sini.”

Ia lalu mencoba bangikit dari tidurnya. Sedikit pusing. Ia memanggil nama Ji Eun. Tapi tak ada jawaban.

“Mungkin dia sedang keluar.”

Dilihatnya jarum infus yang menancap di tangan kirinya. Ia mencoba berdiri dan berjalan sambil mendorong tiang penggantung kantung infusnya menuju balkon ruangannya. Ruangannya saat ini terletak di lantai dua. Jonghyun lalu mengamati pemandangan dari balkon ruangan tersebut.

Tiba-tiba, matanya terhenti pada yeoja dan namja yang sedang duduk di kursi taman. Namja itu tampak memberikan bunga pada yeoja di sampingnya. White tulip. Bisa dilihatnya dengan jelas. Wajah Ji Eun pun dapat dilihatnya dengan lebih jelas. Jonghyun memicingkan matanya untuk melihat siapa namja yang bersamanya itu.

“Bukankah dia namja yang bersama Ji Eun malam itu?”

Jonghyun lalu memalingkan muka dari mereka dan berjalan kembali menuju tempat tidurnya. Kepalanya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia lebih memilih untuk kembali berbaring, daripada menjadi penonton dua pasangan yang sedang tertawa bersama tadi.

*****

Klek..

Ji Eun mendongakkan kepalanya ke dalam ruangan tempat Jonghyun dirawat. Untunglah dia belum sadar. Dengan cepat, ia kembali melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan mengendap-endap. Ditaruhnya sebucket white tulip yang tadi diberikan Taemin di atas meja di samping tempat tidur Jonghyun. Diperhatikannya baik-baik white tulip itu.

“Apakah ia tadi berkata jujur?”

“Hah… jinjja! Kau membuatku bingung…” gumamnya.

“Siapa yang membuatmu bingung?”

Suara Jonghyun membuat perhatian Ji Eun mengarah padanya.

“Jonghyun Songsaengnim, akhirnya kau sadar juga. Gwenchana? Apa ada yang sakit?” tanya Ji Eun khawatir.

“Kepalaku sedikit terasa berat…”

“Gure. Jankanman, aku akan memanggil dokter!”

Ji Eun lalu beranjak dari duduknya, tapi lengannya dicegat oleh Jonghyun.

“Tetaplah di sini! Aku tak perlu dokter. Tetaplah di sini menemaniku!”

Mau tak mau, Ji Eun kembali ke posisi duduknya yang semula.

“Bunga dari siapa?” tanya Jonghyun setelah melihat sebucket white tulip duduk manis di meja sampingnya.

“Ah, dari seseorang.”

“Penggemar rahasiamu lagi?”

“Molla. Mungkin sama dengan orang memberikanku bunga tempo hari,” jawab Ji Eun berbohong.

“Sudahlah, daripada menanyakan hal itu, lebih baik songsaengnim beristirahat. Aku sudah menelepon omma dan Tuan Shin. Mereka sedang menuju kemari,” sambungnya.

Ji Eun memutar bola matanya, sengaja tak mau menatap mata Jonghyun yang sedari tadi menatapnya. Ia tidak mau ketahuan berbohong.

“Ji Eun-ah, kenapa kau masih berbohong padaku? Ada hubungan apa kau dengan namja itu?”

Klek..

Jonghyun dan Ji Eun menoleh.

“Ji Eun-ah…”

Nyonya Lee dan Tuan Shin memasuki ruangan. Mereka terlihat sangat khawatir.

“Mengapa kau tak mengangkat teleponku?” tanya Nyonya Lee.

“Jwesonghamnida, omma. Aku tadi keluar sebentar.”

“Jadi yang menelepon tadi Nyonya Lee…” batin Jonghyun.

“Ah, kau sudah sadar rupanya. Syukurlah…” kata Nyonya Lee bahagia ketika melihat Jonghyun.

“Aboji tadi sangat panik ketika ditelepon oleh Ji Eun. Apalagi suara Ji Eun yang serak karena menangis. Aboji pikir sesuatu yang sangat buruk menimpamu. Untungnya, kau tidak separah apa yang aboji pikirkan…”

“Ji Eun menangis?”

Jonghyun lalu mengalihkan pandangannya ke Ji Eun. Ji Eun lalu menunduk malu.

“Oh, Jonghyun-ah, mengapa sampai bisa terjadi kecelakaan seperti ini?” tanya Tuan Shin.

“Molla. Saat itu aku mengerem mendadak mobilku karena hampir menabrak seekor anjing yang menyeberang tiba-tiba. Lalu, sebuah mobil menghantamku dari belakang. Setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi,” jelas Jonghyun.

“Lalu seorang polisi meneleponku dan mengatakan kejadiannya padaku. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke tempat kejadian yang terletak tidak begitu jauh dari apartemenku. Sesampainya di sana, aku menemukan Jonghyun Songsaengnim yang pingsan berlumuran darah. Untung saja ambulance segera datang dan membawanya. Aku pun…”

Ji Eun menghentikan penjelasannya ketika menyadari kebodohannya. Semua mata menatapnya dengan heran. Terutama Jonghyun.

“Aku pun ikut bersama Jonghyun Songsaengnim di ambulance dan tiba di sini…” Ji Eun mengakhiri penjelasannya dengan ragu-ragu. Ia menunduk malu.

“Aigoo… Ji Eun-ah, kebodohan apa lagi yang kau buat. Tidak seharusnya kau berkata seperti itu tadi!!” Ji Eun merutuki dirnya sendiri dalam hati.

“Hahaha… gomawo Ji Eun-ah. Gomawo karena kau telah mengkhawatirkan Jonghyun. Aku senang melihat perkembangan kalian berdua,” kata Tuan Shin.

“Oh, mengenai pertunangan kalian, omma telah membuatkan design baju untuk pertunangan kalian nanti,” kata Nyonya Lee membuka topik baru.

“Omma, kenapa repot sekali? Ini kan hanya pertunangan. Kami belum akan menikah, omma…” ucap Ji Eun.

“Kau jangan pernah menganggap remeh upacara sakral, walaupun itu hanyalah pertunangan. Kau ini seorang putri designer terkenal. Jadi mana mungkin omma membiarkanmu dan Jonghyun memakai baju hasil design orang lain. Apa kata orang nantinya? Apa kau keberatan Jonghyun-ah?”

Jonghyun tersenyum.

“Aniyo, Nyonya Lee. Saya pastinya akan merasa sangat bangga mengenakan baju rancangan Anda.”

“Aigoo… kenapa kau masih memanggilku dengan sebutan itu? Mulai hari ini dan seterusnya, panggil aku omma. Sebentar lagi kau akan menjadi menantuku.”

“Tapi aku merasa tidak sopan, Nyonya Lee…”

“Aish… sebutan itu lagi. Gwenchana. Cobalah!”

“Om, omma?” terdengar suara Jonghyun kaku yang tidak terdengar seperti sebuah pernyataan, tapi pertanyaan.

“Ah, gure. Aku menyukai panggilan itu…”

“Dan kau, Ji Eun-ah. Kau juga harus memanggilku aboji!” suruh Tuan Lee.

“Ie?” Ji Eun terlihat kaget.

“Dulu aku sangat menginginkan anak perempuan. Tapi sayang, ommoni Jonghyun sudah lebih dulu pergi meninggalkanku.”

“Aboji…” kali ini suara Ji Eun sangat pelan dan terdengar malu-malu. Lidahnya juga terasa kaku mengucapkan kata itu.

Tuan Shin terlihat sangat gembira dengan panggilan itu.

“Satu lagi, tadi omma mendengar kau memanggil Jonghyun… apa?” tanya Nyonya Leepada Ji Eun.

“Jonghyun Songsaengnim. Hwe?”

“Mulai hari ini juga, kau tidak boleh memanggilnya sepertinya itu. Dia itu calon tunanganmu. Mau sampai kapan kau memanggilnya seperti itu?”

“Tapi dia kan memang songsaengnimku…” ucap Ji Eun membela diri.

“Mengenai hal itu, aku sudah pernah menyuruhnya untuk berhenti bersikap terlalu formal padaku. Dia menurut. Tapi ia tidak bisa memberhentikan kebisaaannya memanggilku songsaengnim,” ujar Jonghyun menambahkan.

“Gwenchana. Nyonya Lee, anggap saja songsaengnim itu sebagai panggilan sayang bagi Ji Eun pada Jonghyun,” Tuan Lee ikut berargumen.

“Mwo?” ucap Ji Eun dan Jonghyun hampir bersamaan.

“Panggilan sayang? Padahal semua orang di kampus juga memanggilnya seperti itu…” batin Ji Eun.

Jonghyun hanya tersenyum melihat sikap Ji Eun.

Tiba-tiba Ji Eun membuka mulut. Ia ingin mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang dianggapnya aneh.

“Aku akan mencobanya!”

Ji Eun memberanikan diri memandang wajah Jonghyun dan memanggilnya.

“Jo, Jonghyun Songsaengnim…”

Karena Tuan Shin telah terlanjur mendoktrin kata songsaengnim sebagai panggilan sayang Ji Eun pada Jonghyun, Jonghyun lantas tertawa mendengar Ji Eun memanggilnya.

“Aish… kenapa panggilan itu jadi terdengar sangat aneh??” rajuk Ji Eun manja sambil memandang wajah omma dan Tuan Shin bergantian.

Seketika tawa meledak di ruangan itu.

*****

Dua minggu sebelum hari pertunangan Ji Eun dan Jonghyun…

Shining Boutique

“Aigoo… kenapa ponsel Ji Eun sibuk terus?” gerutu Nyonya Lee sambil terus mencoba menghubungi Ji Eun. Tapi hasilnya sama saja.

Nyonya Lee lalu mencari kontak Jonghyun di ponselnya.

“Yoboseyo?”

“Yoboseyo, omma. Tumben meneleponku. Ada apa?”

“Kau dan Ji Eun pulanglah ke Busan untuk mencoba pakaian yang akan kalian kenakan saat acara pertunangan kalian. Aku sudah menyelesaikannya. Aku yakin, kalian berdua pasti menyukainya. Ponsel Ji Eun tak bisa dihubungi, jebal beritahu Ji Eun, ne?”

“Oh, gure. Kamsahamnida omma. Omma terlalu memaksakan diri.”

“Gwenchana. Jaga kesehatanmu ne? Kau dan Ji Eun jangan sampai sakit. Kau juga harus sering-sering mengingatkan Ji Eun agar tak lupa makan. Soalnya, dia kalau sudah berkutat dengan buku pasti jadi lupa makan…”

“Ne, arasseo. Omma juga jaga kesehatan.”

“Ne… kututup teleponnya…”

Tit.

*****

“Kalian mau pesan apa?” tanya Ji Eun pada ketiga sahabatnya setelah lama membolak-balik daftar menu.

“Ji Eun-ah… di sini makanannya mahal-mahal. Orang tuaku belum megirimiku uang bulan ini…” keluh Dara.

“Uang bulananku juga dipotong appa, karena ketahuan kubelanjakan barang-barang yang menurutnya tak berguna,” sambung Song.

“Aku juga sedang berhemat, Ji Eun-ah. Kau tahu kan, aku ingin membeli biola baru…” kali ini giliran Hyorin.

“Ya… tapi aku ingin sekali makan pasta di tempat ini. Pasta di sini, pasta terenak yang pernah aku makan,” kata Ji Eun sedikit kecewa.

“Tapi bagaimana lagi, Ji Eun-ah?” tanya Dara tak kalah kecewanya.

Ji Eun berpikir sebentar. Uang bulanannya masih tersisa banyak. Karena belakangan ini, Jonghyun selalu mentraktirnya makan.

“Gure. Hari ini aku yang traktir. Kalian boleh pesan apa saja.”

“Jinjja? Yeah!!!”

Ji Eun pun memanggil pelayan. Pelayan itu lalu mencatat pesanan keempat sahabat itu.

“Ya, aku mau ke toilet sebentar,” izin Ji Eun pada sahabat-sahabatnya.

Ji Eun lalu beranjak menuju toilet.

Triit.. triit..

“Omma? Ya, aku angkat telepon dulu… Yoboseyo?” Hyorin lalu berjalan ke luar café, karena di dalam café sangat bising. Suara musik di mana-mana.

Triit.. triit..

Kali ini ponsel Ji Eun yang berbunyi. Dara yang duduk di samping kursi Ji Eun melongokkan kepalanya untuk melihat siapa yang menelepon.

“Jonghyun Songsaengnim?”

“Biarkan saja…” kata Song.

Dara pun membiarkannya berbunyi hingga berhenti sendiri.

Triit.. triit..

Ponsel Ji Eun kembali berbunyi.

Dara kembali melihat siapa yang menelepon. Jonghyun Songsaengnim lagi.

“Song, mungkin ini telepon penting. Jonghyun Songsaengnim sampai menelepon dua kali. Berarti ini benar-benar penting dan darurat,” kata Dara berspekulasi.

“Jangan diangkat. Tunggu Ji Eun kembali!” cegat Song.

“Tapi Ji Eun lama sekali… Kalau telepon ini benar-benar darurat, otte? Kau mau bertanggungjawab?”

“Mm… mungkin kau benar juga. Kuromyon, angkat saja! Katakan, Ji Eun sedang ke toilet!”

“Ne, aku juga tahu dia sedang ke toilet.”

Maka Dara pun mengangkat telepon dari Jonghyun.

“Yoboseyo?”

“Ji Eun-ah, lama sekali kau mengangkat teleponnya,” kata Jonghyun cepat.

“Aku buk…”

Jonghyun segera memotong perkataan Dara.

“Tadi omma menelepon, katanya sulit sekali menghubungimu. Dia juga berkata, pakaian yang akan kita kenakan di hari pertunangan telah selesai. Dia menyuruhmu dan aku pulang ke Busan segera untuk mencoba pakaian tersebut. Otte kalau besok? Besok kau tak ada kuliah kan?”

Dara kaget mendengar perkataan Jonghyun. Ia menatap Song.

“Hwe? Kenapa ekspresimu seperti itu?” tanya Song setelah melihat keganjilan pada ekspresi Dara.

“Siapa yang menelepon?” tiba-tiba Ji Eun sudah duduk kembali di kursinya. Ia melihat ponselnya menempel di telinga Dara.

“Yoboseyo? Ji Eun-ah? Kau mendengarku?” tanya Jonghyun karena tak mendapat respon dari orang yang diteleponnya.

Tit. Dara menutup telepon. Ia meletakkan ponsel Ji Eun kembali.

“Siapa yang menelepon?” Ji Eun kembali mengulang pertanyaannya. “Mianhae, membuatmu mengangkatnya. Tadi toilet lumayan penuh. Jadi kami mengantre.”

“Kau ada hubungan apa dengan Jonghyun Songsaengnim?” tanya Dara dingin.

“Ha?” Ji Eun terdengar sangat kaget disodori pertanyaan seperti itu. Matanya membulat. Ia menelan ludah.

“Ap, apa maksudku? Dia songsaengnimku dan aku mahasiswanya. Kalian juga seperti itu kan? Hwe?” ucapnya takut-takut. Ia tidak mau salah bicara.

“Hyorin-ah, kau ke mana? Cuma kau yang bisa menolongku pada saat seperti ini…” batin Ji Eun sambil jelalatan mencari keberadaan Hyorin, sang dewi penyelamatnya.

“Oh, gure? Kuromyon, songsaengnimmu tadi mengatakan bahwa omma menyuruhnya dan kau pulang ke Busan untuk mencoba pakaian yang akan kalian pakai pada hari pertunangan.”

Ji Eun dan Song terperanjat mendengar perkataan Dara.

“APA ITU MASIH BISA DISEBUT HUBUNGAN ANTARA SONGSAENGNIM DAN MAHASISWA?” suara Dara meninggi.

Pengunjung lain yang berada di dekat mereka segera menoleh ke asal suara dengan ekspresi risih.

“Kau anggap apa kami, Ji Eun-ah?” kali ini suaranya lebih pelan. Matanya berair. “Apa masih kurang kebersamaan kita selama ini, sehingga hal penting seperti ini kau sembunyikan dari kami? Hah?”

“Dara, jebal, dengarkan penjelasanku dulu. Ini tidak seperti yang kau pikirkan…” ucap Ji Eun yang kini telah menitikkan air mata.

“Cukup, Ji Eun-ah. Gomawo karena telah mentraktirku hari ini. Tapi aku pastikan, ini yang terakhir,” kata Dara sambil melangkah pergi yang diikuti oleh Song.

Ji Eun diam seribu bahasa. Tak ada yang bisa diucapkannya. Dia memang bersalah.

“Ah, Dara? Song? Ada apa? Apa kalian sudah selesai makan? Hwe? Kau menangis?” tanya Hyorin bertubi-tubi ketika berpapasan dengan Dara dan Song.

“Kau juga akan melakukan hal yang sama setelah mengetahui apa yang selama ini dia sembunyikan dari kita,” kata Dara lalu melangkah keluar dari café, mencegat taksi, dan menaikinya bersama Song.

Perasaan Hyorin jadi tidak enak. Hyorin yakin, ‘dia’ yang dimaksud Dara adalah Ji Eun. Dengan cepat, Hyorin berjalan ke arah Ji Eun.

“Ada apa?”

“Mereka… mereka sudah tahu, Hyorin-ah…” kata Ji Eun lalu menghambur ke pelukan Hyorin.

Menangis.

~to be continued~


Next TEASER:
“Aku penasaran, bagaimana reaksi Taemin setelah mengetahui hal ini.”

“Nyonya kecelakaan.”


Author’s NOTE:
Hai hai! Sebagai penebus rasa bersalahku karena dua postingan terakhirku telat, jadi postingan kali ini lebih cepat. Juga sebagai penebus PART 6 yang ceritanya rada-rada aneh menurutku. Mumpung lagi ada mood untuk menulis. Jadi bersemangat banget. Alhamdulillah, kerannya lagi tidak mampet. Hihi.. (bagi readers yang baca author’s note sebelumnya pasti ngerti)
Pemberitahuan saja nih, sebenarnya adegan Jonghyun kecelakaan itu tidak ada dalam skenarioku. Hanya saja tidak tahu kenapa, pas nulis nih cerita, saya kepingin ceritanya dibuat kayak gitu. Yah, jadi kayak gini deh. Oh ya, dalam part kali ini tidak ada kosa kata baru, jadi gak butuh word’s list.
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

Rabu, 23 Mei 2012

HELLO TO MY JI EUN [PART 6]

Posted by Nur Fadhilah at 7:05:00 AM 2 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Romance, friendship, comedy (a little bit)
Rating : PG-13
Length : Multi-chapter
Casts : Lee Ji Eun (IU), Lee Taemin (SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Song Jieun (Secret), Hyorin (Sistar), Sandara Park (2NE1)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PROLOG, PART 1, PART 2, PART 3, PART 4, & PART 5 dulu ne...


Previous Part:
“Gure,” kata Jonghyun tersenyum. “Kuromyon, mau kuantar pulang?”

Ji Eun berpikir sejenak lalu menganggukkan kepalanya. Jonghyun lalu berdiri dan memberikan tangannya pada Ji Eun. Ji Eun lalu menyambut tangan Jonghyun dengan hangat. Mereka pun berjalan bergandengan di tengah anak-anak kecil yang masih asyik bermain, walaupun matahari sepertinya sudah akan kembali ke peraduannya.


*****

Seoul National University

Suasana kelas yang tadinya gaduh berubah menjadi hening ketika seorang namja melangkahkan kakinya memasuki kelas. Wajahnya berbinar seakan mengekspresikan kerinduannya pada kelas yang telah ditinggalkannya selama ± seminggu lamanya.

“Annyeong haseyo!” sapa Jonghyun tersenyum ramah pada seluruh mahasiswanya.

“Annyeong haseyo, Songsaengnim!” balas mahasiswa tak kalah ramahnya. Sepertinya mereka juga merindukan akan sosok songsaengnimnya.

Jonghyun lalu melirik Ji Eun sebentar, yang kini sudah memberanikan diri untuk duduk kembali di deretan depan seperti bisaanya, sambil tersenyum manis sebelum kembali melanjutkan aktivitas mengajarnya.

“Ji Eun-ah, kali ini kuakui kau benar-benar hebat. Kau berhasil membawa Jonghyun Songsaengnim kembali. Kau bujuk dia dengan apa?” bisik Hyorin yang duduk di samping kanan Ji Eun.

“Kalau itu…” Ji Eun menghentikan perkataannya sejenak. “Rahasia!” lanjutnya sambil tersenyum nakal pada Hyorin.

“Aigoo…” kata Hyorin kecewa sambil memukul meja di depannya lumayan keras.

“Ehm…”

Terdengar deheman Jonghyun sebagai aksi penegurannya terhadap kelakuan Hyorin. Hyorin yang merasa dirinya disoroti hanya bisa tersenyum kikuk pada Jonghyun.

“Jwesonghamnida, Songsaengnim…”

*****

“Aish… ke mana perginya mereka? Tadi kan masih di sini…” keluh Ji Eun sambil meninggikan lehernya berusaha mencari ketiga sahabatnya di antara mahasiswa-mahasiswa yang lain.

“Hah, baru kutinggal ke toilet sebentar mereka sudah hilang. Malah ponselku lowbat,” sambungnya.

Ji Eun terdiam sebentar dan berpikir.

“Gure. Aku pulang duluan saja.”

Maka berjalanlah Ji Eun sendirian di tengah keramaian mahasiswa lain. Ketika keluar dari gerbang kampusnya, ia langsung menuju halte bus yang berada tidak jauh dari kampusnya.

TIN.. TIN..

Sebuah mobil Ford Focus ST menepi tepat di depan halte tersebut. Setelah kaca mobil diturunkan, barulah Ji Eun mengetahui siapa pemilik mobil tersebut.

“Songsaengnim?” tanya Ji Eun kaget.

“Ya, sudah berapa kali kau menumpang di mobilku, kau masih belum bisa mengingatnya? Aigoo…” ucap Jonghyun yang melihat ekspresi kaget Ji Eun.

Ji Eun yang tersipu malu lalu menggaruk tengkuknya.

“Mau pulang? Mana ketiga temanmu?” sambung Jonghyun.

“Ne. Ketiga orang itu meninggalkanku entah ke mana. Ponselku lowbat, jadi tidak bisa menghubungi mereka,” jelas Ji Eun.

“Naik!” suruh Jonghyun sambil membukakan pintu depan mobilnya dari dalam.

“Ha?”

“Naik!” suruh Jonghyun sekali lagi.

“Tapi… otte kalau orang lain melihat. Ini kan masih dekat kampus…” kata Ji Eun setengah berbisik karena lumayan banyak mahasiswa yang berdiri menunggu bus di halte itu.

“Mereka tak akan curiga. Naiklah!” jawab Jonghyun juga setengah berbisik.

Ji Eun tersenyum.

“Gure.”

Ji Eun lalu naik ke mobil Jonghyun. Tak lama, Jonghyun pun melajukan mobilnya di antara kendaraan-kendaraan lain.

“Besok setelah kuliah, kau ada acara?” tanya Jonghyun membuka pembicaraan.

“Mm… aniyo. Hwe?”

“Kau ingat, kau masih punya hutang jalan-jalan denganku.”

Mendengar jawaban Jonghyun, Ji Eun lalu melirik Jonghyun dengan ekor matanya. Ia kembali teringat kejadian beberapa hari lalu yang membuat Jonghyun marah dengan dirinya.

“Kau tak perlu mengingat kejadian itu lagi! Aku sudah melupakannya,” ujar Jonghyun tiba-tiba seakan tahu apa yang sedang Ji Eun pikirkan.

“N, ne…” jawab Ji Eun gugup.

“Otte besok setelah kuliahmu selesai, kita jalan-jalan ke suatu tempat?” tawar Jonghyun sambil sesekali melirik Ji Eun.

“Mm…” Ji Eun berpikir sejenak.

“Hwe? Kau bilang tak ada acara. Atau kau sudah membuat rencana diam-diam dengan namja tempo hari?” singgung Jonghyun.

“Aniyo!” balas Ji Eun spontan sambil membentuk tanda X dengan kedua tangannya.

“Hahaha… just kidding…” kata Jonghyun menertawai sikap Ji Eun.

“Ah? Hahaha…” Ji Eun pun membalas dengan tawa garing dan senyum kikuknya.

“Aigoo Ji Eun-ah, ini sudah kesekian kalinya kau mempermalukan dirimu sendiri di depan Jonghyun Songsaengnim,” batinnya.

“Gure, aku setuju!” ucap Ji Eun akhirnya.

Jonghyun hanya melirik Ji Eun sebentar lalu tersenyum. Tak lama kemudian, mobil Jonghyun berbelok di sebuah jalan. Sudah terlihat jelas papan bertuliskan Donghook Apartment.

Jonghyun menepikan mobilnya.

“Gure. Besok kujemput kau di kelasmu.”

“Mwo? Andwe. Orang lain bisa curiga…” kata Ji Eun khawatir.

“Gwenchana. Percayalah padaku!” kata Jonghyun menenangkan Ji Eun.

“Gure. Terserah Songsaengnim saja. Tapi awas saja kalau ada orang lain yang sampai curiga pada kita.”

Setelah pamit, Ji Eun pun turun dari mobil Jonghyun. Jonghyun pun kembali melajukan mobilnya.

*****

“Ha? Itu Ji Eun baru pulang? Berarti kami tadi meninggalkannya. Hah, kukira dia sudah pulang duluan. Dia naik mobil siapa? Sepertinya mobilnya tak asing,” Dara berpikir sejenak sambil tetap melihat Ji Eun yang melambaikan tangannya mengiringi kepergian mobil itu dari jendela kamarnya.

“Hah… molla. Aku lupa.”

*****

“Ji Eun-ah, kami mau jalan-jalan ke mal. Kau mau ikut?” tanya Song pada Ji Eun setelah kelas mereka siang itu usai.

“Ah, aniyo. Aku ada urusan dengan Jonghyun Songsaengnim,” jawab Ji Eun.

Mendengar perkataan Ji Eun, Hyorin langsung menyikut lengan Ji Eun.

“Eh, mak, maksudku urusan mengenai tugas. Yah, tugas, hehe…” kata Ji Eun cepat-cepat mengklarifikasi pernyataannya tadi. “Jadi, kalian pergi saja bertiga. Lain kali aku pasti ikut.”

“Oh, gure. Kajja!” kata Song sambil mengajak Dara dan Hyorin meninggalkan kelas.

“Annyeong, Ji Eun-ah!” ucap mereka bertiga serempak.

“Annyeong!” balas Ji Eun tersenyum.

“Huft, hampir saja,” kata Ji Eun lega setelah ketiga sahabatnya pergi.

Diperhatikannya sekeliling kelasnya. Aman. Tak ada orang lain lagi selain dirinya.

Ji Eun lalu mengambil cermin dari tasnya. Diperhatikannya lagi wajahnya baik-baik.

“Hah, ige bwoya? Aku sangat tegang…”

Kembali Ji Eun memperhatikan wajahnya di cermin.

“Yeppo!!” kata seseorang yang telah berdiri di pintu masuk kelas tersebut.

Ji Eun yang kaget lalu mengintip dari balik cerminnya, kemudian dimasukkannya kembali cermin tadi cepat-cepat dalam tasnya setelah mengetahui bahwa orang yang mengatainya ‘yeppo’ adalah Jonghyun.

Jonghyun hanya tertawa melihat Ji Eun yang salah tingkah.

“Kajja!” ajaknya.

Ji Eun lalu berdiri dari duduknya lalu cepat-cepat turun dan keluar dari kelas. Jonghyun sudah berjalan cukup jauh di depannya. Ji Eun mengerti. Jonghyun sengaja berjalan duluan agar tak ada yang curiga dengan mereka berdua. Ji Eun lalu mengekor di belakang Jonghyun.

Setelah tiba di parkiran, Jonghyun lalu menaiki mobilnya dan membukakan pintu untuk Ji Eun dari dalam.

“Palli! Sebelum ada orang yang memperhatikan kita,” kata Jonghyun.

Ji Eun pun segera berlari kecil menuju mobil Jonghyun dan menaikinya. Jonghyun pun melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus.

“Hahaha…” tiba-tiba Ji Eun tertawa sendiri.

“Hwe?” tanya Jonghyun bingung.

“Setelah kupikir-pikir, sikap kita berdua tadi seperti mafia yang sedang menyamar dan ditugaskan melakukan misi rahasia. Hahaha…”

“Hahaha… kau ini…” Jonghyun pun ikut tertawa.

Hening sejenak. Jonghyun melirik Ji Eun sebentar.

“Hari ini kau tampak sedikit berbeda. Warna bajumu cerah sekali,” kata Jonghyun sambil sesekali melirik Ji Eun.

“Ha?” ucap Ji Eun kaget lalu berdeham cukup keras.

“Biasa saja…” sambungnya malu-malu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Apapun yang kau pakai, tetap terlihat manis…” puji Jonghyun tanpa melihat ke arah Ji Eun.

Wajah Ji Eun langsung memerah setelah mendengar pujian Jonghyun. Dia lalu menelan kembali air ludahnya. Matanya terus berkedip seakan-akan baru saja menyaksikan suatu hal yang luar biasa.

“Kita mau ke mana?” tanya Ji Eun cepat mengalihkan pembicaraan setelah tersadar.

“Molla. Aku juga tak punya tujuan.”

“Haha…” Ji Eun tertawa kecil mendengar jawaban Jonghyun.

Jonghyun hanya tersenyum tipis sambil tetap fokus pada kemudinya.

“Kau sudah dengar mengenai pertunangan kita?” tanya Jonghyun membuka topik pembicaraan baru.

“Ne. Setelah ujian kan?”

Jonghyun hanya mengangguk.

“Kau setuju?” tanya Jonghyun lagi.

“Aku tidak mungkin bisa menolak.”

“Hwe?” tanya Jonghyun penasaran.

“Aku tak mau mengecewakan omma…”

“Oh…” Jonghyun mengangguk.

Suasana kembali hening sejenak.

“Nah, aku parkir di sana saja,” kata Jonghyun sambil menunjuk sebuah celah yang lumayan besar di antara beberapa mobil yang juga sedang parkir.

“Lho, kenapa di sini?”

“Dari sini, kita akan berjalan menuju taman yang ada di sana,” kata Jonghyun lagi sambil menunjuk sebuah taman yang ramai pengunjung.

Dalam hati, Ji Eun tertawa.

“Kenapa harus selalu di taman?” batinnya.

“Ya! Kau memikirkan apa? Kajja!” ajak Jonghyun yang juga bersiap turun dari mobil.

“Ah, ne…”

Jonghyun lalu menghampiri Ji Eun dan meraih tangannya.

“Kajja!” ajak Jonghyun sembari menarik tangan Ji Eun lembut.

Ji Eun hanya diam diperlakukan seperti itu. Sekilas, seulas senyum tersungging di bibir mungilnya.

Jonghyun lalu mengajak Ji Eun duduk di salah satu kursi taman tepat di bawah sebuah pohon yang rimbun.

“Kau mau coffee?” tanya Jonghyun.

“Oh, ne,” jawab Ji Eun mengangguk.

“Kau suka apa?”

Americano…”

“Gure. Jankanman!” kata Jonghyun lalu pergi meninggalkan Ji Eun.

Ji Eun lalu menatap kepergian Jonghyun hingga berbelok di suatu belokan. Diperhatikannya sekelilingnya. Beberapa anak sedang berkejar-kejaran, seorang yeoja yang bermain dengan anjingnya, orang-orang yang berlalu lalang, dan sepasang kekasih sedang berjalan sambil bergandengan tangan yang baru saja lewat di depannya. Ji Eun tersenyum melihat pasangan itu.

Taman itu terbilang sangat asri. Terletak lumayan jauh dari jalan raya sehingga terhindar dari polusi udara. Pohon-pohon besar nan rimbun ada di mana-mana. Rumput hijau menjadi karpet taman itu. Ji Eun lalu mengambil napas dalam dan menutup matanya.

“Noona…” tiba-tiba suara seorang anak lelaki mengagetkannya.

Ji Eun tersenyum pada anak itu.

“Hwe?”

“Ini untuk noona,” kata anak itu lalu menyerahkan setangkai white tulip.

“Kau memberikan bunga ini untukku?” kata Ji Eun mengambil bunga itu dari anak tadi.

“Aniyo. Hyung di sana yang memberikannya,” kata anak itu sambil menunjuk ke suatu tempat.

“Mana?” tanya Ji Eun karena tak melihat siapa pun di sana.

“Tadi hyung itu berdiri di sana dan menyuruhku memberikan bunga ini pada noona.”

“Bagaimana ciri-cirinya?” tanya Ji Eun penasaran.

“Hyung itu tampan dan tinggi. Dia juga baik. Lihat, dia memberiku lollipop,” kata anak itu senang.

“Ah, gomawo…” kata Ji Eun tersenyum sambil mengusap lembut kepala anak itu.

Anak itu lalu berlari meninggalkan Ji Eun dan kembali bermain bersama anak-anak yang lain.

Ji Eun lalu memperhatikan white tulip itu baik-baik. Mungkin ada pesan tersembungi di dalamnya. Tapi nihil, dia tidak menemukan apa-apa. Dia kemudian melihat ke tempat yang tadi ditunjukkan anak itu. Benar, tak ada siapa-siapa di sana.

“Apa mungkin… Taemin?” pikirnya.

“Andwe. Mana mungkin dia. Dia kan pergi ke London. Tapi… ”

“Apa yang kau lakukan?”

“Aku akan mengganti bunga ini dengan white tulip.”

“Shiro! Kau telah memberikannya kepadaku. Jadi ini milikku sekarang. Kau tidak boleh mengambilnya lagi!”

“Kuromyon, jankanman! Aku akan membelikanmu white tulip.”

“Aniyo! Kau bisa membelikanku lain kali.”

“Kuromyon, aku akan membelikanmu white tulip ketika pulang dari London.”


Tiba-tiba, percakapannya dengan Taemin beberapa hari yang lalu kembali terngiang-ngiang di kepalanya.

“Tapi… otte?” tanyanya lagi pada dirinya sendiri.

“Bunga dari siapa?” tiba-tiba suara Jonghyun membuyarkan lamunannya.

Sebenarnya Ji Eun berniat menyembunyikan keberadaan bunga itu. Tapi ia terlambat menyadari kehadiran Jonghyun.

“Err… err… molla. Tadi seorang anak memberikannya padaku,” jawab Ji Eun gugup.

“Mungkin dari penggemar rahasiamu?”

“Ha? Penggemar rahasia?”

“Apa mungkin?” batin Ji Eun.

“Hahaha… sudahlah. Lupakan saja! Ini coffeemu,” kata Jonghyun lalu memberikan coffee pesanan Ji Eun.

“Gomawo…” jawab Ji Eun seraya mengambil gelas coffee tersebut dari tangan Jonghyun.

“Kajja, kita berjalan-jalan. Tadi kulihat, pemandangan di sana sangat indah,” ajak Jonghyun.

Ji Eun hanya tersenyum dan mengangguk.

Ji Eun lalu berjalan mensejajarkan diri dengan Jonghyun. Tak lama mereka berjalan, mereka berdua tiba di suatu jalan setapak di mana kanan dan kiri jalan tersebut penuh dengan pohon-pohon rimbun yang daunnya berwarna merah hingga oranye. Benar kata Jonghyun, pemandangan di sini sangat indah.

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan itu sambil menikmati coffee masing-masing. Jonghyun terlihat sangat menikmati pemandangan itu. Tapi tidak dengan Ji Eun. Ji Eun sibuk menoleh kanan kiri berusaha mencari sesuatu. Tangan kirinya menggenggam erat white tulip yang tadi diberikan padanya.

“Kalau memang Taemin orangnya, berarti saat ini dia sedang mengawasiku. Tapi dari mana dia tahu kalau aku ada di sini? Apa dia mengikutiku? Jankanman! Kuromyon, dia tahu kalau saat ini aku sedang bersama Jonghyun Songsaengnim? Ahh, otteokhe?” berbagai macam spekulasi kini berkeliaran bebas di otaknya.

“Hwe? Apa yang sedang kau cari?” suara Jonghyun mengagetkan Ji Eun.

“Eh, aniyo. Gwenchana…” jawab Ji Eun tersenyum lalu kembali fokus berjalan ke depan.

“Tapi… mungkinkah?” batinnya.

*****

Keesokan harinya…

Tok.. tok.. tok..

Tiba-tiba, Ji Eun yang baru saja keluar dari kamar mandi, lengkap dengan pakaian mandi dan handuk di kepalnya, dikagetkan oleh suara ketukan di pintu apartemennya.

“Nuguseyo?”

“Pengantar bunga,” terdengar suara dari balik pintu.

Dilihatnya jam dinding. Baru pukul 08.00. Pengantar bunga sepagi ini? Dari siapa? pikirnya.

Ji Eun lalu berjalan menuju pintu dan mengintip dari balik lubang kecil di pintunya. Terlihat seorang namja berseragam dengan topi paduan warna biru dan kuning bertuliskan Flowist. Ternyata benar, si pengantar bunga. Ji Eun membuka pintu.

“Annyeong haseyo! Apakah Anda Lee Ji Eun-ssi?” sapanya namja itu sopan.

“Ie…” jawab Ji Eun singkat.

“Saya mengantar paket bunga untuk Anda. Silakan tanda tangan di sini,” kata pengantar bunga itu sambil menunjukkan dua kertas bukti tanda terima dan menyodorkan pulpen.

Ji Eun lantas mengambil pulpen dan tanda terima itu, lalu menandatanganinya. Setelah itu, dikembalikan kepada pengantar bunga tadi. Pengantar bunga itu mengambil satu dari tanda terima itu dan memberikan satunya lagi pada Ji Eun.

“Kamsahamnida!” pamit pangantar bunga itu setelah memberikan paket bunga untuk Ji Eun.

Ji Eun menutup pintu. Ditatapnya paket bunga yang baru saja diterima. Dua tangkai white tulip. Dihirupnya wangi segar bunga itu.

Ji Eun sepertinya memiliki ide bagus. Dia mengambil vas bunga yang terletak di atas meja tepat di samping tempat tidurnya, mengeluarkan bunga plastik yang mengisi vas tersebut, mengisi vas itu dengan sedikit air, dan memasukkan dua tangkai white tulip yang baru diterimanya ke dalam vas tersebut.

“Indah sekali! Tapi, siapa pengirimnya?”

Ji Eun lalu memeriksa kembali bukti tanda terima yang tadi diberikan padanya. Tidak ada nama pengirimnya. Dia juga lupa menanyakannya.

“Huh, pabo!” kesalnya.

“Ah, aku harus bergegas. Hari ini kan aku kuliah pagi,” sambungnya setelah menyadari jarum jam telah menunjukkan pukul 08.10.

*****

Hari berikutnya…

Tok.. tok.. tok..

“Nuguseyo?”

“Pengantar bunga.”

“Hah? Pengantar bunga lagi?” batin Ji Eun heran.

Dilihatnya jam dinding. Pukul 08.00 lewat. Ji Eun membuka pintu.

“Annyeong haseyo! Benarkah Anda Lee Ji Eun-ssi?” Tanya pengantar bunga itu ramah sambil membaca nama Ji Eun dengan hati-hati di kertas yang dipegangnya.

“Ie…”

Pengantar bunga hari ini berbeda dengan kemarin.

“Saya mengantarkan paket bunga untuk Anda. Ini tanda terimanya. Mohon tanda tangan di sini.”

“Mm, jwesonghamnida. Bolehkah saya bertanya?” tanya Ji Eun sopan setelah menandatangani bukti tanda terima tersebut.

“Ie?”

“Siapa yang mengirim bunga ini?” tanya Ji Eun penasaran.

“Jwesonghamnida. Saya juga tidak mengetahui hal tersebut. Saya hanya ditugasi untuk mengantarkan bunga ini. Tapi biasanya nama pengirim tertulis di kertas ini…” jelas si pengantar bunga sambil menunjuk kertas tanda terima.

“Di sini nama pengirimnya tidak tercantum,” ucap Ji Eun sedikit kecewa setelah memeriksa kertas tersebut.

“Oh, mungkin itu permintaan khusus dari pengirim agar namanya tidak dicantumkan.”

“Apa masih ada yang lain?” sambung pengantar bunga itu.

“Ah, aniyo,” jawab Ji Eun tersenyum.

“Gure. Kuromyon, saya permisi. Kamsahamnida!”

Ji Eun lalu menatap paket kiriman bunga untuknya. Tiga tangkai white tulip.

“Aneh…” batinnya.

*****

“Kamsahamnida!” ujar seorang pengantar bunga lagi pagi ini, lalu melangkah pergi.

Empat tangkai bunga white tulip. Namun kali ini rasa penasaran Ji Eun mungkin akan terobati. Karena dia menemukan sebuah kartu ucapan terselip di antara keempat tangkai bunga white tulipnya. Dia mengambil kartu itu dan membukanya. Malangnya, bukan rasa penasarannya yang terobati, tapi rasa penasarannya yang semakin memuncak.

“Aku senang melihatmu tersenyum ketika menerima bunga ini.”

Segera setelah Ji Eun membaca kartu tersebut, ia keluar dari apartemennya yang berada di lantai dua dan melongok ke bawah. Mungkin saja ia bisa menemukan sosok orang yang selalu mengiriminya bunga akhir-akhir ini. Namun, cuma pengantar bunga tadi yang dilihatnya sedang berjalan menuju motor yang diparkir di depan Donghook Apartment.

*****

Seoul National University (cafetaria)

“Ji Eun-ah!” panggil Song tiba-tiba yang sukses membuyarkan lamunan Ji Eun.

“Hwe? Apa yang kau pikirkan?” sambungnya.

“Hari ini white tulip itu datang lagi. Semakin hari jumlahnya semakin banyak,” jawab Ji Eun pelan.

Song, Dara, dan Hyorin saling berpandangan.

“Apa kau tahu, siapa kira-kira yang mengirimnya?” tanya Hyorin.

“Molla. Tapi aku sempat terpikir pada seseorang,” jawab Ji Eun menerawang.

“Ya! Apa dia penggemar rahasiamu? Atau mungkin dia suka padamu?” sergah Dara.

“Ha? Penggemar rahasia?” Ji Eun teringat perkataan Jonghyun menanggapi dirinya yang menerima white tulip dari orang yang tak diketahuinya.

“Suka?” kali ini Ji Eun mengkerutkan keningnya.

Tiba-tiba ia teringat Taemin.

“Suka?” kembali Ji Eun mempertanyakan pertanyaan Dara tadi.

“Ne. Mungkin dia tahu kau suka white tulip, jadi ia mengirimimu. Itu berarti dia suka padamu,” jawab Dara.

“Mungkin…”

*****

Empat hari berlalu sejak ia selalu menerima white tulip dari orang yang misterius. Pagi ini ia menerimanya lagi. Lima tangkai white tulip dengan kartu ucapan diselipkan di antara tangkainya.

“Cinta yang sempurna, tulus, dan suci.”

Ji Eun terhenyak ketika membaca kalimat itu.

“Tidak salah lagi. Pasti dia orangnya,” kata Ji Eun menerawang langit.

~to be continued~


Word’s list:
1. Palli : cepat
2. Noona : panggilan adik laki-laki untuk kakak perempuan
3. Hyung : panggilan adik laki-laki untuk kakak laki-laki


Next TEASER:
White tulip? Aku baru sekali ini memberikannya padamu.”

“Kau ada hubungan apa dengan Jonghyun Songsaengnim?”


Author’s NOTE:
Hai hai! Jumpa lagi kali ini di PART 6. Maaf ya, postingnya agak lama lagi. Soalnya, beberapa hari yang lalu, saya sibuk mengurus perpisahan sekolah. Yaa, berhubung saya salah satu pengisi acara, jadi harus latihan dari pagi hingga sore. Makanya saya tidak sempat untuk melanjutkan cerita ini.
Kalau menurutku, cerita di part ini agak aneh dan sedikit membosankan. Berhubung karena lama tidak menulis, jadi saya menderita penyakit lupa mengenai kelanjutan cerita ini. Padahal saya sudah merancang cerita di part ini akan seperti apa. Tapi lupa, jadi saya buat kayak gini saja. Maaf ya… Tapi semoga kalian masih suka dan tetap menunggu kelanjutan cerita ini. Janji deh, PART 7 harus lebih gregetan lagi ^^
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

OUR BELOVED TEACHER’S SURPRISE BIRTHDAY PARTY

Posted by Nur Fadhilah at 6:28:00 AM 0 comments
“Dhil, kamu tolong hubungin Pak Hartono, ya!” pinta Darmalianti Rahim (bendahara) sewaktu bertandang ke rumahku buat menagih uang untuk surprise partynya Pak Hartono, wali kelas kami di XII Olimpiade.

“Boleh. Tapi saya nanti bilangnya apa?”

“Bilang saja mau daftar PPMP!”

“Oh, ok ok!”

Maka jadilah rencana iseng saya untuk mengerjai Pak Hartono. Saya bilang ke beliau, kalau saya mau mendaftar PPMP. Mungkin terkesan agak memaksa, saya menyuruh beliau datang ke sekolah (berhubung besoknya itu beliau tidak ada jam mengajar). Beliau pun berjanji untuk datang ke sekolah sekitar pukul 10.00 Wita.

Senin, 21 Mei 2012. Sebelum pukul 10.00, kami, para ANALYSIS (Anak Loyal-Solid Olimpiade Sains) sudah berkumpul di Telkom. Setelah itu, kami bersama-sama menuju sekolah kami, yang sebenarnya terletak persis di depan Telkom (SMAN 4 Kendari).

Tapi kami gelisah karena sang kue belum datang-datang juga. Akhirnya, sekitar pukul 10.30 Wita, Lia dan Afriyanti S. Lamuru datang juga dengan membawa kue. Katanya masih ada dua kue lagi.

Sudah hampir pukul 11.00 Wita, tapi Pak Hartono belum datang-datang juga. Setelah disms, katanya beliau akan ke sekolah jam 11.00. Setelah jam 11.00 berlalu, beliau disms lagi. Katanya dia akan datang pukul 12.00 Wita. Kami jadi berpikir, sebenarnya yang dikerjain siapa sih? Kami atau Pak Hartono??

Akhirnya, pada pukul 12.00 lewat, beliau datang juga.

“Eh, eh, Pak Hartono sudah datang!”

“Mana-mana? Di mana?”

“Di dekat palang.”

“Dhilah, Dhilah, mana Dhilah?”

(Perhatian: dialog di atas didialogkan dengan penuh kehebohan)


Saya panik. Berhubung saya sedang mendownload video di laptop, saya jadi bingung harus mendahulukan yang mana? Downloadan saya atau janji saya bertemu dengan Pak Hartono? Akhirnya, saya memutuskan untuk menemui Pak Hartono sesegera mungkin. Saya pun berlari menghampiri beliau. Dalam keadaan yang masih ngos-ngosan, saya pun bertanya macam-macam hal dengan beliau, asal nyambung saja dengan topik PPMP.

Beliau pun mengajak saya ke ruangan wakasek kesiswaan. Ketika beliau sudah memasuki ruangan, saya pun memberi kode kepada teman-teman yang lain untuk memulai surprise partynya.

Saya sudah mulai kehabisan kata-kata dalam menghadapi Pak Hartono. Karena kenyataannya, saya memang tak ingin mendaftar PPMP. Jujur, kepanjangan PPMP saja saya baru tahu ketika bertanya kepada Lia. Lupa juga apa kepanjangannya. Hehe..

Saya pun kembali menambah daftar kebohongan saya. Saya bilang, kalau saya harus mendaftar PPMP hari ini, karena besok saya harus keluar kota bersama seluruh keluarga untuk menghadiri acara pernikahan keluarga dan tidak tahu kapan akan kembali. Yee… saya berhasil membuat Pak Hartono bingung harus berbuat apa menghadapi kondisi saya.

Di tengah beliau yang kebingungan, tiba-tiba terdengar nyanyian lagu ‘Happy birthday’. Saya masih ingat dengan sangat jelas ekspresi wajah beliau ketika mendengar lagu tersebut. Awalnya datar dan masih memberikan penjelasan kepada saya. Beliau sama sekali tidak menyadari bahwa lagu tersebut dipersembahkan untuknya. Ketika saya juga sudah mulai bernyanyi dan teman-teman yang lain mulai mengerumuni Pak Hartono, barulah dia sadar bahwa hari ini adalah ulang tahunnya.

“Wah, saya sendiri saja tidak ingat kalau hari ini ulang tahun saya,” katanya sumringah masih dengan suara yang berat dan berwibawa.

Beliau pun meniup lilin. Tepuk tangan sorak-sorai gembira bergemuruh. Saya lalu mencium tangan Pak Hartono dan memohon maaf karena telah mengerjainya.

Ternyata beliau sama sekali tidak menyangka akan mendapat surprise party. Katanya, saya sangat meyakinkan dalam mengerjai beliau. Apalagi diriku yang terkenal polos ini (jiaahhhhh!!)..^^

Selanjutnya adalah acara potong-potong kue. Karena kuenya banyak, kami pun membagi-bagikannya kepada guru-guru. Pak Arimappa, Bu Naniatri, Pak Mangalisu, Pak Edy Husain, dan lain-lain. Tak lupa kami juga memberikan beliau kado spesial berupa baju koko dan sajadah pada Pak Hartono. Masih ada dua kue lagi. Kami lalu memakannya bersama. Ternyata, masih ada sisanya lagi. Kami pun membagi-bagikannya pada adik-adik kelas yang kebetulan lewat.

Alhamdulillah, masih ada satu kenangan yang bisa kami tinggalkan di SMAN 4 Kendari sebelum kami benar-benar akan meningalkan sekolah ini. Tinggal menghitung hari, hal itu akan terjawab pada tanggal 26 Mei 2012 nanti. Insya Allah seluruh siswa kelas XII angkatan 2011/2012 SMAN 4 Kendari, terkhusus ANALYSIS, lulus 100%. Aamiiin…

Sekali lagi, HAPPY BIRTHDAY PAK HARTONO :)

Rabu, 16 Mei 2012

HELLO TO MY JI EUN [PART 5]

Posted by Nur Fadhilah at 5:23:00 PM 3 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Romance, friendship, comedy (a little bit)
Rating : PG-13
Length : Multi-chapter
Casts : Lee Ji Eun (IU), Lee Taemin (SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Song Jieun (Secret) Hyorin (Sistar), Sandara Park (2NE1)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PROLOG, PART 1, PART 2, PART 3, & PART 4 dulu ne...


Previous Part:
Jonghyun menatap kepergian mobil itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Antara sedih, marah, dan kecewa. Ia lalu memukul stir kemudi mobilnya. Ia tertunduk dan tertawa kecut. Menertawai nasibnya. Kemudian diliriknya sebucket white tulip yang ia simpan di kursi sampingnya.

“Cinta yang sempurna, tulus, dan suci?” gumamnya sedih.


*****

“Taemin-ah, kau mau membawaku ke mana?” tanya Ji Eun ketakutan.

“Kau diam saja! Sebentar lagi kita sampai,” jawab Taemin santai sambil tetap fokus pada kemudinya.

“Ya, sebentar lagi gelap…” kata Ji Eun gelisah.

“Tenang saja! Kau lihat, cahaya bulan malam ini sangat mendukung,” kata Taemin menyerinyai sambil melirik Ji Eun yang duduk di sampingnya.

“Kau tidak berencana akan berbuat sesuatu yang tidak-tidak padaku, kan?” tanya Ji Eun dengan tatapan mata tajamnya pada Taemin.

“Aku benar-benar akan berbuat sesuatu padamu jika kau bertanya terus. Diamlah sebentar saja, ne?” kata Taemin sambil menolehkan kepalanya bergantian menghadap Ji Eun dan kemudinya.

“Aish… kalau tahu begini, harusnya tadi aku pakai jeans agar bisa memberi pelajaran pada namja di sampingku ini jika nanti dia berbuat macam-macam padaku,” umpat Ji Eun sengaja memberi penekanan pada akhir kalimatnya agar Taemin dapat mendengar perkataannya.

Taemin hanya tersenyum manis menanggapi perkataan Ji Eun.

Beberapa saat kemudian…

“Nah, ini dia tempatnya!” kata Taemin lalu memarkir mobilnya di tepi jalan.

“Mwo? Ini?” tanya Ji Eun tak percaya.

Ji Eun lalu memandang tempat di depannya dari kaca mobil dengan samar-samar. Karena hanya ada beberapa lampu jalan di situ. Hutan. Taemin membawa Ji Eun ke hutan. Jalanan di daerah itu juga terbilang lumayan sepi. Hanya sesekali kendaraan yang lalu-lalang. Perasaan Ji Eun jadi tak enak.

“Kajja, turun!” ajak Taemin mengagetkan Ji Eun sambil membukakan pintu mobil untuknya.

“Taemin-ah, ini tempat apa?” tanya Ji Eun ketakutan. “Apa kau akan membawaku masuk ke dalam sana?” tanya Ji Eun lagi sambil menunjuk area hutan di depannya.

“Ne, sesuai janjiku membawamu ke tempat yang belum pernah kau datangi. Kau belum pernah masuk ke hutan, kan?” tanya Taemin dengan senyum nakalnya.

“Y, ya!!! Tapi bukan berarti kau harus membawaku ke sini,” kata Ji Eun sambil memperhatikan sekitar hutan itu. “Kau tidak akan berbuat macam-macam, kan?”

“Aniyo. Dasar otak mesum! Aku sudah berkali-kali mengatakannya padamu. Atau jangan-jangan… kau…” goda Taemin.

“Andwe! Jangan melihatku seperti itu!!” balas Ji Eun dengan mata tajamnya.

“Hahaha… ne, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Kajja!” kata Taemin sambil menarik tangan Ji Eun keluar dari mobil lalu mengunci mobilnya.

Taemin lalu menarik tangan Ji Eun memasuki area hutan itu. Benar kata Taemin. Bulan malam ini sangat cerah, sehingga memudahkan mereka berdua berjalan di antara pohon-pohon. Walaupun demikian, Ji Eun tetap saja ketakutan dan mempererat genggaman tangannya pada Taemin. Hal itu, membuat Taemin menyeringai senang.

“Berhenti di sini!” kata Taemin tiba-tiba.

“H, hwe? Apa ada sesuatu yang datang?” tanya Ji Eun yang semakin ketakutan sambil melihat sekelilingnya.

“Aniyo. Kau jangan berlebihan. Tidak ada binatang buas di hutan ini. Aku hanya menyuruhmu berhenti berjalan,” jelas Taemin yang melihat ketakutan Ji Eun.

“Ya, kuromyon, kau jangan bicara tiba-tiba. Membuatku kaget saja,” ucap Ji Eun lega.

“Ternyata ada juga sesuatu di dunia ini yang kau takuti. Kukira kau tak takut apapun,” ledek Taemin.

Ji Eun hanya mencibir pada Taemin tanda kekesalannya.

“Sudahlah, kau terlihat jelek dengan wajah seperti itu. Sekarang, pejamkan matamu!” suruh Taemin.

“Ya, apa yang mau kau lakukan?” tanya Ji Eun untuk kesekian kalinya, namun kali ini dengan nada bicara yang lebih waspada.

“Aku cuma menyuruhmu untuk memejamkan mata. Sekali lagi aku katakan, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Arasseo?” kali ini Taemin lebih menekankan perkataannya. Berharap Ji Eun akan berhenti menanyakan hal yang sama.

Namun sepertinya Ji Eun belum puas dengan jawaban Taemin.

“Gure. Ini! Kau pegang kunci mobil dan ponselku!” kata Taemin sambil memberiikan kunci mobil dan ponselnya pada Ji Eun. “Kau bisa kabur menggunakan mobilku dan menelepon aboji atau ommoni bila aku berbuat macam-macam padamu.”

“Gure. Aku pegang kata-katamu,” kata Ji Eun akhirnya sambil mengambil kunci mobil dan ponsel Taemin kemudian memasukkannya ke dalam tas mungilnya.

“Sekarang pejamkan matamu! Kau tidak boleh membukanya sebelum kusuruh dan jangan mengintip sedikit pun!” suruh Taemin untuk kedua kalinya.

Akhirnya Ji Eun menurut juga. Ia lalu memejamkan matanya. Dia kemudian merasakan tangannya dituntun Taemin dengan hati-hati ke suatu tempat. Agak lama mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sampai akhirnya mereka berhenti berjalan. Taemin sengaja memutar badan Ji Eun agar membelakanginya.

“Sekarang, buka matamu!”

Ji Eun membuka matanya.

“Apa ini? Hanya pohon tua. Kalau hanya ini, aku bisa melihatnya di mana-mana, tidak perlu jauh-jauh membawaku ke sini…” ujar Ji Eun yang memandangi sebuah pohon besar dan tua di depannya.

“Bukan yang itu, pabo! Berbaliklah!” perintah Taemin.

Ji Eun lalu membalikkan badannya. Ekspresi kaget dan kagum terpampang jelas di wajahnya.

“Omo! Indah sekali!” ucapnya tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Sebuah danau berukuran lumayan besar terbentang di hadapan mereka berdua. Air danau yang mengkilat terkena cahaya bulan menambah indah pemandangan itu. Beberapa ekor angsa yang berenang anggun di danau turut menambah kesan romantis pada danau itu. Sebuah pohon besar yang daunnya sudah mulai berguguran menghiasi sisi-sisi danau itu. Benar-benar danau yang sangat indah.

“Seandainya kau tadi tak menghambat, kita pasti bisa lebih cepat tiba di sini. Bisaanya, menjelang malam, banyak kupu-kupu beterbangan di sini…” kata Taemin membuyarkan kekaguman Ji Eun.

“Jadi, kau menyalahkanku? Ini bukan sepenuhnya kesalahanku, salahmu juga. Seandainya kau memberi tahu kalau kau akan membawaku ke tempat ini, pasti aku tidak akan menghambatmu,” kata Ji Eun membela dirinya.

“Sudahlah. Kita sudahi perdebatan ini. Lebih baik kau menikmati pemandangan ini…” kata Taemin tanpa memandang Ji Eun.

“Taemin-ah, kau tahu tempat ini dari mana?” tanya Ji Eun ragu karena takut Taemin marah pada dirinya.

“Kau lihat rumah yang di atas sana?” tanya Taemin sambil menunjuk sebuah rumah di atas bukit tak jauh dari danau itu.

“Ne. Hwe?” tanya Ji Eun penasaran.

“Dulu, itu adalah vila keluargaku. Tapi kemudian dijual oleh aboji beberapa tahun yang lalu. Ketika berlibur di vila itu, aku sering datang ke sini jika merasa bosan,” jelas Taemin.

“Tempat ini benar-benar sangat indah,” ucap Ji Eun tersenyum, lalu duduk di atas rerumputan hijau yang membentang di bawah kakinya. “Kau berhasil!”

Taemin lalu memandang Ji Eun, lalu ikut duduk di samping Ji Eun.

“Maksudnya?”

“Selama ini, jika ada seorang namja yang tidak aku sukai mendekatiku, maka aku akan meminta hal yang sama dengan hal yang kuminta padamu. Jika dia menyanggupinya, maka aku akan menerima ajakannya untuk berkencan. Tapi jika tidak, maka kusuruh dia menjauh. Namun akhirnya, ada juga namja yang berhasil melakukan tantangan ini,” jelas Ji Eun tak henti-hentinya mengembangkan senyum manisnya.

“Kuromyon, setelah ini, kau mau berkencan denganku?” tanya Taemin tersenyum pada Ji Eun.

“Hah? Shiro! Hal ini tidak berlaku padamu,” jawab Ji Eun kikuk.

“Hwe? Bukankah kau sudah kalah? Aku pemenangnya. Setiap pemenang harus mendapatkan hadiah,” ucap Taemin yang masih setia memandangi wajah manis Ji Eun.

Ji Eun spontan tersenyum mendengar perkataan Taemin, menambah manis wajahnya di bawah sinar rembulan.

“Hah… molla,” ucap Ji Eun mengangkat kedua pundaknya.

“Tapi kau sudah memaafkanku, kan?”

Ji Eun lalu menghadapkan wajahnya ke Taemin.

“Kita lihat saja nanti…” kata Ji Eun tersenyum nakal, lalu berlari menjauhi Taemin.

“Ya, kau sudah janji padaku!! Jangan lari!” ucap Taemin lalu berlari mengejar Ji Eun.

“Kejar aku kalau bisa!!!” teriak Ji Eun sambil tertawa riang.

“Awas saja kalau kau tertangkap!” balas Taemin yang masih terus mengejar Ji Eun.

Sesaat, hanya terdengar tawa mereka berdua yang berkejaran di bawah sinar rembulan, disaksikan angsa-angsa yang masih berenang dengan anggun di air danau yang semakin mengkilat diterpa sinar bulan itu.

*****

“Sampai jumpa di kencan pertama kita!” ucap Taemin setelah menurunkan kaca mobilnya.

“Ya, aku tak pernah mengiyakan ajakanmu itu. Kencan saja sendiri!” jawab Ji Eun ketus.

“Hah, kini kau kembali seperti semula. Kembali menampakkan wajah sinismu itu…” kata Taemin.

Ji Eun pun tersenyum mendengar perkataan Taemin.

“Gomawo untuk hari ini,” kata Ji Eun masih dengan senyumnya yang mengembang.

“Ne… Haikke! Annyeong…” ucap Taemin lalu melajukan mobil hingga berbelok memasuki halaman rumahnya.

Ji Eun lalu berjalan menyeberangi jalan, karena apartemennya berada di seberang jalan. Ji Eun sempat menghentikan langkahnya setelah melihat sebuah mobil terparkir depan Donghook Apartment.

“Mobil ini sepertinya tidak asing?” Ji Eun berpikir sejenak. “Ahh… molla,” ujar Ji Eun menggeleng.

Dia lalu memasuki pintu apartemen yang masih terbuka lebar itu. Dilihatnya jam dinding yang terpampang tepat di depan pintu masuk. Pukul 08.00 tepat.

“Ji Eun-ah…” panggil seorang namja.

Ji Eun berbalik ke asal suara tersebut. Namun Ji Eun hanya bisa menelan ludah setelah mengetahui siapa namja yang memanggil namanya.

“Nyonya pemilik apartemen ini bilang kalau kau pergi dengan seorang namja. Apa kau sudah sembuh? Atau kau memang tidak sakit?” tanya Jonghyun dengan ekspresi datarnya.

Ji Eun membulatkan matanya. Tidak tahu harus berkata apa. Dia sangat takut melihat ekspresi Jonghyun.

“Kalau kau sudah sembuh, sayang sekali. Padahal aku membawakan buah-buahan untukmu,” sambung Jonghyun sambil menunjukkan keranjang buah yang dibawanya. “Kuromyon, tolong kau berikan saja pada teman-temanmu. Mereka pasti suka. Itupun kalau kau tak mau memakannya.”

Ji Eun hanya bisa menunduk. Perasaan saat ini benar-benar berkecamuk. Dia tidak pernah mengira Jonghyun akan datang ke apartemennya malam ini. Padahal ia sudah melarangnya untuk datang.

“Jonghyun Songsaengnim, aku… aku…” Ji Eun tak berani melanjutkan kata-katanya karena kini Jonghyun berjalan ke arahnya.

Jonghyun terus berjalan ke arahnya hingga jarak mereka berdua sangat dekat. Jonghyun mendekatkan wajahnya ke wajah Ji Eun. Ji Eun yang ketakutan semakin menunduk dan menutup matanya rapat-rapat. Kini Ji Eun dapat merasakan hembusan napas Jonghyun.

Namun Jonghyun ternyata tidak melakukan apa yang Ji Eun kira. Jonghyun lalu mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Ji Eun.

“Kalau memang kau tak mau pergi denganku, katakanlah! Aku tidak memaksa,” bisik Jonghyun.

Ji Eun lalu membuka matanya dan memandang wajah Jonghyun. Masih sama. Tanpa ekspresi.

“Tapi jebal, jangan membohongiku seperti ini! Kau tak tahu rasanya. Sakit, Ji Eun-ah…” sambungnya.

Jonghyun lalu memundurkan wajahnya. Menatap mata Ji Eun sebentar, lalu berbalik dan keluar dari Donghook Apartment tanpa sepatah kata pun. Beberapa saat kemudian, hanya terdengar suara pintu mobil yang ditutup dengan kasar.

Ji Eun yang baru tersadar, segera berlari keluar apartemen untuk mengejar Jonghyun. Namun sayang, Jonghyun sudah lebih dulu melajukan mobilnya tanpa menghiraukan suara Ji Eun yang memanggil-manggil namanya.

“Mianhae…” lirih Ji Eun sambil mengusap air matanya yang terjatuh tanpa sadar.

*****

Seminggu kemudian…

Ji Eun-ah, kau tak lupa kencan kita kan? Kutunggu kau hari ini di Olympic Park jam 10. Kau harus datang! Ada suatu hal yang ingin kuberitahu padamu.

“Mwo? Aku kan sudah bilang, kencan saja sendiri! Hah…” ucap Ji Eun ketus setelah membaca sms dari Taemin.

Ji Eun lalu melirik jam wekernya.

“Omo! Sudah jam 9. Kenapa dia baru memberiitahuku hari ini? Malah aku belum selesai membersihkan tempat ini…” kata Ji Eun sambil memperhatikan apartemennya yang masih berantakan itu.

“Hah, terserah dia. Siapa suruh baru memberiitahuku. Aish…” gerutu Ji Eun yang akhirnya tetap memilih untuk melanjutkan kegiatan bersih-bersih di Hari Minggunya.

Sejam kemudian…

“Huft… akhirnya bersih juga,” kata Ji Eun sambil menyeka keringatnya.

Diliriknya kembali jam wekernya.

“Selamat menunggu ria, Lee Taemin. Hahaha…” katanya tertawa puas membayangkan Taemin yang sedang menunggu dirinya di Olympic Park.

*****

Ji Eun melangkap mengendap-endap ketika melihat Taemin yang duduk di bangku taman. Dia berencana mengagetkannya.

“Ya!!!” teriak Ji Eun sambil memegang kedua pundak Taemin.

Taemin hanya berbalik sebentar menunjukkan ekspresi datarnya tanpa berkata apa-apa.

“Ya, kau marah?” tanya Ji Eun yang telah duduk di samping Taemin.

“Menurutmu?” balas Taemin ketus.

“Aku hanya terlambat sejam…” ujar Ji Eun sambil melirik jam tangannya tanpa rasa bersalah.

Taemin hanya menanggapi perkataan Ji Eun dengan desahan panjang.

“Ini untukmu!” kata Taemin sambil menyerahkan sebucket red rose pada Ji Eun dengan sedikit kasar.

“Ha? Ige bwoya?” tanya Ji Eun polos.

“Bunganya sudah layu. Itu kubeli dua jam yang lalu…” kata Taemin tanpa memperdulikan pertanyaan Ji Eun.

“Hahaha… Mianhae… Lagipula aku tak menyuruhmu membelikanku bunga. Tapi mengapa membelikanku red rose?”

“Karena ini kencan pertama kita. Awalnya, aku juga bingung mau membeli bunga apa. Tapi kupikir, semua yeoja menyukai red rose, jadi kubeli saja itu,” jelas Taemin.

“Pikiranmu salah. Aku tak begitu menyukai red rose…” kata Ji Eun pelan.

“Mwo? Kuromyon, kau suka bunga apa?” tanya Taemin penasaran.

White tulip,” jawab Ji Eun singkat.

“Hwe?”

White tulip adalah bunga kesukaan almarhum appa. Omma bilang, setiap pulang kerja, appa selalu membawakan white tulip untuknya, sebagai tanda cintanya yang sempurna, tulus, dan suci. Aku selalu membayangkan, jika saja ada seseorang yang memberikanku white tulip. Pasti…” Ji Eun menggantungkan kata-katanya, dia lantas tersenyum sendiri.

Taemin yang mendengar perkataan Ji Eun lalu mengambil kembali bunga pemberiannya tadi dari tangan Ji Eun. Ji Eun yang kaget, langsung menghentikan aksi senyam-senyumnya itu.

“Apa yang kau lakukan?”

“Aku akan mengganti bunga ini dengan white tulip,” jawab Taemin polos.

“Shiro!” kata Ji Eun sambil merebut kembali bunga itu dari tangan Taemin. “Kau telah memberikannya kepadaku. Jadi ini milikku sekarang. Kau tidak boleh mengambilnya lagi!” sambungnya lalu menghirup aroma red rose itu.

“Kuromyon, jankanman! Aku akan membelikanmu white tulip,” kata Taemin yang beranjak dari duduknya.

“Aniyo!” cegah Ji Eun sambil memegang tangan Taemin, lalu melepasnya cepat. “Kau bisa membelikanku lain kali,” ucap Ji Eun pelan sambil tersenyum menundukkan kepalanya karena malu atas aksinya memegang tangan Taemin.

Melihat hal itu, Taemin lantas balas tersenyum dan duduk kembali.

“Kuromyon, aku akan membelikanmu white tulip ketika pulang dari London.”

“Mwo?” tanya Ji Eun kaget. “Kau akan kembali London?”

“Ne. Besok aku akan ke London selama seminggu. Aboji membuka cabang baru perusahaan di sana. Aku disuruh untuk memantau perkembangannya dan menandatangani beberapa kontrak. Sebenarnya ini tugas aboji, tapi beliau sepertinya kurang sehat belakangan ini. Jadi, aku ditunjuk menggantikannya,” tutur Taemin.

Ji Eun hanya tersenyum mendengar penuturan Taemin.

“Hwe?”

“Aku hanya tidak habis pikir. Kau ternyata sangat peduli dengan keluargamu,” puji Ji Eun.

“Oh, ahh…” Taemin tersipu malu mendengar pujian Ji Eun.

Hening sejenak.

“Oh, Taemin-ah. Karena kau seorang namja, aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” kata Ji Eun memecah keheningan.

“Mwo?”

“Jika seorang yeoja berbuat salah padamu yang membuatmu sangat marah dan sulit memaafkannya, apa yang akan kau lakukan pada yeoja tersebut? Apakah kau akan memusuhinya seumur hidup?” tanya Ji Eun sambil memandang wajah Taemin.

“Mm… kalau aku… aku mungkin akan memaafkannya jika dia sungguh-sungguh menyesal atas perbuatannya itu. Hwe? Kenapa kau tanyakan itu? Apa ada seorang yang marah padamu?” tanya Taemin penasaran.

“Ah, aniyo… mmm… Song! Song telah membuat seorang namja marah padanya. Ia bertanya padaku. Karena aku juga tak tahu, jadi aku tanya saja padamu…” jawab Ji Eun berbohong lalu tersenyum pada Taemin.

“Oh…” angguk Taemin. “Kajja! Kita berjalan-jalan. Aku tak mau menghabiskan waktu kencan pertama kita hanya dengan duduk di sini,” ajak Taemin sembari menarik tangan Ji Eun untuk berdiri.

“Ahh, ne…” balas Ji Eun tersenyum.

Pikiran Ji Eun masih melayang-layang.

“Apa Jonghyun Songsaengnim juga berpikir seperti itu?” batinnya.

“Annyeong haseyo!” sapa Changmin Songsaengnim ramah.

“Annyeong haseyo, Songsaengnim!”

“Gure. Mulai hari ini hingga seminggu ke depan, aku akan menggantikan Jonghyun Songsaengnim mengajar di kelas ini. Jonghyun Songsaengnim sedang ke luar kota untuk urusan keluarga. Jadi, mohon kerjasama mahasiswa sekalian.”


Ji Eun kembali mengingat perkataan Changmin Songsaengnim beberapa hari yang lalu.

“Aku yakin, dia pergi karena marah padaku,” batin Ji Eun dalam hati. “Andwe! Aku tidak boleh begini terus. Aku harus bertindak.”

*****

“Changmin Songsaengnim, jebal, beritahu kami ke mana Jonghyun Songsaengnim pergi!” pinta Hyorin pada Changmin Songsaengnim.

“Sudah berkali-kali kukatakan pada kalian berdua, dia pergi ke luar kota untuk urusan keluarga. Aku sendiri tak tahu di mana,” kata Changmin Songsaengnim.

“Tak mungkin songsaengnim tak tahu. Kalian berduakan berteman baik. Jebal!” kata Ji Eun memelas lalu membungkukkan badannya tepat 90°.

Melihat sikap Ji Eun, Hyorin lantas ikut membungkukkan badannya di depan Changmin Songsaengnim. Hati Changmin Songsaengnim perlahan mulai lunak melihat sikap kedua siswanya itu.

“Gure, gure. Jangan seperti ini. Kalian berdua bangunlah. Jika orang lain melihat sikap kalian berdua seperti padaku, bisa-bisa aku dituduh melakukan sesuatu yang tidak-tidak,” kata Changmin Songsaengnim akhirnya. “Jika kalian bisa memberiku sebuah alasan mengapa kalian sangat ingin bertemu Jonghyun Songsaengnim, mungkin aku akan berubah pikiran,” sambungnya.

“Jinjja? Horee…” lompat Hyorin kegirangan. “Ji Eun-ah, cepat beritahu alasanmu!”

“Tapi Hyorin-ah, aku harus bilang apa? Apa aku harus bilang padanya yang sebenarnya?” bisik Ji Eun.

“Kau gila mau memberitahunya? Kau berikan saja alasan yang lain…” balas Hyorin berbisik.

“Apa yang kalian bicarakan?” suara Changmin Songsaengnim tiba-tiba mengagetkan Ji Eun dan Hyorin yang saling berbisik.

“Ah, jwesonghamnida!” kata Ji Eun dan Hyorin bersamaan.

“Err… keluargaku kenal baik dengan keluarga Jonghyun Songsaengnim. Tapi, seminggu ini, Jonghyun Songsaengnim tak pulang ke rumah. Haraboji sedang sekarat di rumah sakit dan ingin sekali bertemu Jonghyun Songsaengnim. Ponsel Jonghyun Songsaengnim tak bisa dihubungi. Jadi, appa Jonghyun Songsaengnim meminta tolong padaku untuk mencari keberadaannya. Maka dari itu, jebal, beritahu aku di mana Jonghyun Songsaengnim sekarang!” kata Ji Eun berbohong.

“Jinjja? Kenapa kalian tak bilang dari tadi. Aku akan meneleponnya sekarang dan menyuruhnya pulang,” kata Changmin Songsaengnim sambil merogoh kantung celananya untuk mengambil ponselnya.

“Aniyo, Songsaengnim. Aku kan sudah bilang, ponselnya tak bisa dihubungi,” cegah Ji Eun cepat.

“Gwenchana. Kita belum mencoba. Lebih cepat memberitahunya lebih baik,” ucap Changmin Songsaengnim.

“Ji Eun-ah, memang benar apa yang kau katakan tadi?” bisik Hyorin.

“Aniyo. Aku saja tak tahu, apakah haraboji Jonghyun Songsaengnim masih hidup atau tidak,” balas Ji Eun berbisik.

“Ha? Jinjja! Kau pandai sekali berbohong. Otte kalau Changmin Songsaengnim berhasil menghubungi Jonghyun Songsaengnim dan memberitahunya?”

“Molla. Kita lari saja kalau memang kejadiannya seperti itu,” balas Ji Eun gugup.

“Hah, kau benar. Ponselnya tak bisa dihubungi,” kata Changmin Songsaengnim.

“Jinjja? Hah… syukurlah…” ucap Ji Eun lega lalu melakukan high-five dengan Hyorin.

“Ya! Hwe kalian begitu senang?” kata Changmin Songsaengnim yang kaget melihat tingkah Ji Eun dan Hyorin.

“Aniyo… Ah, sekarang jebal beritahu kami di mana Jonghyun Songsaengnim berada!” kata Hyorin mengalihkan keadaan.

“Dia pulang ke Busan. Aku sendiri heran, mengapa dia tidak pulang ke rumahnya? Padahal rumahnya di Busan. Kuromyon, ke mana dia pergi?” pikir Changmin Songsaengnim.

“Dia berada di Busan? Oh, gure. Kamsahamnida, Songsaengnim…” kata Ji Eun lalu cepat menarik tangan Hyorin keluar dari ruangan Changmin Songsaengnim sebelum mereka diserang berbagai pertanyaan lagi.

“Lalu, apa yang akan kau lalukan sekarang?” tanya Hyorin setelah berada cukup jauh dari ruangan Changmin Songsaengnim.

“Aku akan pulang ke Busan,” jawab Ji Eun mantap.

*****

Rumah Nyonya Lee (Ji Eun)

“Nona Ji Eun, annyeong haseyo! Kenapa begitu tiba-tiba?” kata pelayan keluarga Lee kaget ketika melihat Ji Eun memasuki rumah.

“Aku rindu pada omma. Jadi aku pulang. Oh ne, omma mana?” kata Ji Eun tersenyum.

“Oh… Nyonya sedang ke butik. Mungkin sebentar lagi akan kembali.”

“Mm… kalau omma kembali, katakan padanya aku di kamar, ne?”

“Ie…”

*****

Tok tok tok…

“Ji Eun-ah…” panggil Nyonya Lee seraya membuka pintu kamar Ji Eun pelan.

“Omma…” balas Ji Eun yang terbangun dari tidurnya, lalu duduk di sisi tempat tidurnya.

“Omma tidak yakin alasanmu pulang karena merindukan omma,” kata Nyonya Lee tersenyum dan mengambil kursi meja belajar Ji Eun lalu duduk di depannya.

“Hahaha, omma tahu saja,” ucap Ji Eun yang tersenyum dan menunduk malu.

“Kuromyon, kenapa kau tiba-tiba pulang?”

“Aku hanya ingin pulang. Lagipula, aku tak ada kelas untuk dua hari ke depan,” jawab Ji Eun.

“Ohh… otte hubunganmu dengan Jonghyun? Gwenchana?”

“Berarti Jonghyun Songsaengnim belum menceritakan apa-apa pada omma. Syukurlah…” batin Ji Eun.

“Gwenchana, omma,” jawab Ji Eun tersenyum.

“Ah, Ji Eun-ah, masalah pertunanganmu dengan Jonghyun, omma sudah membicarakannya dengan Tuan Shin. Bulan depan kan kau ujian. Jadi, kami memutuskan acara pertunangan kalian dilangsungkan dua bulan ke depan, otte?” tanya Nyonya Lee.

“Jonghyun Songsaengnim sudah tahu mengenai hal ini?” tanya Ji Eun ragu.

“Ne. Awalnya kami memutuskan acaranya dilangsungkan bulan depan saja, tapi Jonghyun menolak. Katanya, bulan depan kau ada ujian. Dia tak mau ujianmu terganggu. Hah… dia namja yang sangat perhatian. Kau beruntung mendapatkannya,” kata Nyonya Lee sambil mengusap kepala Ji Eun.

“Ah, ne…” jawab Ji Eun tersipu malu. “Om, omma, apa Jonghyun Songsaengnim dalam seminggu terakhir ini pernah mampir ke sini?”

“Aniyo. Hwe? Kau tak bertemu dengannya di kampus?” tanya Nyonya Lee curiga.

“Aniyo. Dia sudah seminggu ini tak masuk kampus. Kata Changmin Songsaengnim, dia pulang ke Busan. Ponselnya juga tak bisa dihubungi,” jelas Ji Eun sedih.

“Ahh… arasseo. Kau pulang ke Busan karena merindukannya, ne?” goda Nyonya Lee.

“Mwo? Aniyo, aniyo omma…” balas Ji Eun kikuk.

Nyonya Lee hanya bisa tertawa melihat tingkah putri semata wayangnya itu.

“Errr… omma…” panggil Ji Eun ragu.

“Ne?” balas Nyonya Lee.

“Boleh aku minta alamat rumah Tuan Shin? Aku ingin menemui Jonghyun Songsaengnim…”

*****

Sore itu, Ji Eun berjalan lunglai menatap jalan yang ditapakinya. Dia merasa sedih dan terus dihantui rasa bersalah pada Jonghyun. Lusa dia akan kembali ke Seoul, tapi belum berhasil bertemu dengan Jonghyun.

“Masalah ini harus segera kuselesaikan sebelum kembali ke Seoul,” pikirnya.

“Jonghyun memang sudah seminggu di sini. Tapi, dia pergi sejak pagi entah ke mana. Kau mau menunggunya di dalam? Sekalian kau bisa ikut makan malam bersama kami,” ajak Tuan Shin.

“Ah, aniyo. Aku pulang saja. Kasihan omma, sendirian di rumah…”


Kembali teringat percakapannya dengan Tuan Shin tadi. Ji Eun lalu menghela napas.

“Mungkin dia benar-benar marah padaku, hah…”

Ji Eun terus berjalan hingga melewati sebuah taman bermain yang sudah lama tak pernah dijumpainya. Di bibirnya tersungging sebuah senyuman tipis. Kaki mungilnya melangkah memasuki taman itu, lalu duduk di atas sebuah ayunan. Diamatinya anak-anak kecil yang sedang bermain dan berlarian ke sana kemari. Diingatnya kembali kejadian belasan tahun yang lalu.

“Ahjushi sedang mencali siapa?”

“Ahjushi sedang mencari anak ahjushi. Tadi, dia bermain ayunan di sana. Apa kau melihatnya?”

“Aniyo. Mau kubantu mencalikannya untuk ahjushi?”


Ji Eun hanya bisa tersenyum. Dia lalu beranjak dari ayunan tempatnya duduk dan berjalan mengelilingi taman itu. Langkahnya kembali terhenti ketika melihat sebuah pohon tua yang kini sudah semakin besar. Dia kembali menyunggingkan senyum.

“Apa namamu Jonghyun?”

“Ne, dari mana kau tahu?”

“Appamu mencalimu! Ayo tulun!”


Ji Eun lalu berjalan mendekati pohon itu dan duduk di bawahnya. Kembali diperhatikannya anak-anak kecil yang sedang bermain. Tiba-tiba…

TUK!

“Aw…” ucap Ji Eun kesakitan. Seseorang menimpukinya dengan batu dari atas pohon. Diambilnya batu itu.

“Jinjja! Nuguya?” sambungnya seraya mendongak ke atas. Dia ingin tahu, siapa yang berani menimpukinya dengan batu.

“Ha?” Ji Eun tertergun melihat siapa orang itu.

“Ji Eun-ah!”

“Jo, Jonghyun Songsaengnim?”

*****

“Ini batu songsaengnim…” kata Ji Eun pelan sambil mengambalikan batu milik Jonghyun yang tadi terjatuh di atas kepalanya.

“Mianhae. Aku tadi tak sengaja menjatuhkannya,” kata Jonghyun datar sambil menerima batu itu.

Hening. Mereka berdua hanya terduduk di atas bangku taman yang tak jauh dari pohon tadi tanpa sepatah kata pun. Tiba-tiba, terdengar suara isak tangis Ji Eun.

Jonghyun langsung berbalik melihat wajah Ji Eun yang tertunduk. Dia bingung harus berbuat apa.

“H, hwe? Kau menangis?” tanya Jonghyun gugup.

“Mianhae, mianhae, mianhae… Aku benar-benar menyesal. Mianhae, mianhae Songsaengnim…” kata Ji Eun pelan masih disela-sela isak tangisnya. Dia menggenggam tangannya erat. Bisa dirasakan, tangannya sangat dingin karena takut Jonghyun tak mau memaafkannya.

“Ara. Aku salah. Ara… Jeongmal mianhae…” kali ini tangis Ji Eun benar-benar tumpah.

Jonghyun masih terus menatap wajah yeoja di sampingnya itu. Hatinya tidak tega melihat seorang yeoja menangis karenanya. Diraihnya badan Ji Eun lalu dipeluknya erat.

“Uljima! Uljima, Ji Eun-ah…” katanya pelan menambah erat pelukannya.

Ji Eun sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Semakin erat pelukan Jonghyun, maka semakin keras tangisannya. Tubuhnya merasa sangat nyaman dalam dekapan Jonghyun. Wangi khas tubuhnya, membuat Ji Eun semakin membenamkan kepalanya dalam pelukan Jonghyun.

“Uljima!” kata Jonghyun lagi sambil mengusap air mata Ji Eun lembut setelah melepaskan pelukannya. Dia lalu tersenyum.

“Aku baru pertama kali melihatmu menangis. Kyowo!” goda Jonghyun yang mencubit pipi Ji Eun.

“Mianhae, Songsaengnim…” kata Ji Eun yang masih diliputi rasa bersalah.

“Ya, berhentilah mengucapkan kata itu…”

“Aniyo. Aku tak akan berhenti sampai kau memaafkanku. Aku akan melakukan apa saja asal songsaengnim mau memaafkanku…” kata Ji Eun yang masih sesenggukan karena menangis.

Jonghyun lalu tertawa dan mengusap kepala Ji Eun lembut.

“Kau tak perlu melakukan apa-apa lagi. Ini sudah cukup. Aku senang kau datang.”

“Maksudnya?” tanya Ji Eun yang langsung mengangkat wajahnya.

“Mm, tak ada ruginya juga aku pulang ke Busan dan meninggalkan kelasku untuk Changmin.”

“Ja, jadi… songsaengnim sengaja melakukan semua ini?”

“Mm… memang terdengar sedikit jahat. Tapi ini berhasil,” kata Jonghyun melirik Ji Eun sambil menyunggingkan senyum manisnya.

“Ha? Aigoo. Apa yang telah kulakukan? Mempermalukan diriku sendiri? Aigoo ya…” kata Ji Eun syok sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya.

“Hahaha… kau jangan berkata begitu. Aku jadi terdengar sangat jahat. Hahaha…” tawa Jonghyun.

“Songsaengnim sangat keterlaluan,” kata Ji Eun kesal.

“Lalu apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku?” tanya Jonghyun yang masih memandang wajah Ji Eun yang memerah.

“Kau mau kubelikan es krim?” sambungnya.

“Ha?” tanya Ji Eun kaget lalu membalas menatap Jonghyun.

“Ya, aku bukan anak kecil lagi…” sambungnya.

“Gure,” kata Jonghyun tersenyum. “Kuromyon, mau kuantar pulang?”

Ji Eun berpikir sejenak lalu menganggukkan kepalanya. Jonghyun lalu berdiri dan memberikan tangannya pada Ji Eun. Ji Eun lalu menyambut tangan Jonghyun dengan hangat. Mereka pun berjalan bergandengan di tengah anak-anak kecil yang masih asyik bermain, walaupun matahari sepertinya sudah akan kembali ke peraduannya.

~to be continued~


Word’s list:
1. Ige bwoya? : apa ini?
2. Haraboji : kakek
3. Uljima : jangan menangis


Next TEASER:
"Apapun yang kau pakai, tetap terlihat manis…"

"Hari ini white tulip itu datang lagi. Semakin hari jumlahnya semakin banyak."


Author’s NOTE:
Hai hai! Tidak terasa ya, sudah sampai PART 5. Maaf kalau PART 5nya agak lama saya posting. Soalnya memang baru selesai. Ada beberapa kendala. Pertama, saya rehat sejenak karena persiapan USM salah satu sekolah tinggi di Indonesia, lalu karena memang belum dapat pencerahan alias ide untuk melanjutkan cerita ini. Kalau di part-part sebelumnya sih, idenya lancar banget kayak air keran yang mengalir tiada henti. Makanya postingnya juga cepat. Tapi kali ini kerannya lagi mampet kali ya?? ^^
Oh ya, saya terkadang sulit membagi waktu Ji Eun-Taemin dan Ji Eun-Jonghyun. Tapi saya akan berusaha membagi Ji Eun dengan keduanya seadil-adilnya (emang Ji Eun barang apa?? #ngeekk). Biar pembaca makin penasaran akhirnya Ji Eun sama siapa. Sebenarnya sudah sempat terpikir endingnya kayak gimana. Tapi tidak tahu juga kalau akan berubah nantinya. Readers, be patient, ok?!
Ah, saya lagi-lagi mau meralat word’s list entah di PROLOG atau PART 1 (*lupa). Ralatannya adalah jwesonghamnida= maaf (formal), sebelumnya tulisannya begini jwesonghamnida= maaf (informal). Maaf ya, inilah manusia tak pernah terhindar dari kesalahan. Thanks buat pembaca yang sudah memberitahuku hal ini :)
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review