Kamis, 21 Agustus 2014

LOVEY DOVEY COOKEY [PART 9]

Posted by Nur Fadhilah at 10:50:00 AM 4 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee), Lee Jin Ki (Onew SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Previous part:

Tit.. tit..

Ponselnya kembali berdering.

Minho melirik. Masih nomor yang tadi.

“Angkat saja…!” saran Jin Ri sambil sibuk memasukkan pakaiannya ke koper.

Dengan malas Minho menjawab panggilan itu.

“Halo…”

“Minho? Sekarang aku di Itali!”

*****


“APA??”

Jin Ri berbalik ke Minho. Ia memasang ekspresi bertanya.

Minho menangkap maksud Jin Ri. Ia menjauhkan ponselnya dari telinganya dan berbisik ke Jin Ri.

“Sebentar. Ini penting!”

Minho keluar kamar.

Setelah memastikan Jin Ri tak dapat mendengarnya, ia melanjutkan percakapannya.

“Kau bilang apa?”

“Aku di sini, Minho. Di Itali…”

“Yuri… jangan main-main… bagaimana bisa kau ada di sini?”

“Aku memang di sini… aku baru saja landing. Kumohon jemput aku…!” Yuri memelas.

“Aku tidak bisa… lagi pula aku akan kembali ke Korea malam ini.”

“Kenapa? Kau takut ketahuan istrimu?”

“Bukan begitu… lagi pula apa yang kau lakukan di sini?”

“Pokoknya aku tidak mau tahu, aku akan tetap menunggumu di bandara sampai kau datang!”

Tit.

Yuri menutup telepon.

“Halo! Halo! Kwon Yuri!”

Percuma, Yuri sudah memutus sambungannya.

“Aish!!!”

Minho meremas kepalanya. Pusing rasanya memikirkan perkataan Yuri barusan. Tanpa pikir panjang, Minho berlari keluar dari hotel dan menahan taksi.

“Airport, Sir!” perintahnya pada supir taksi.

*****

“Memangnya siapa yang menelepon? Lama sekali,” kata Jin Ri sambil merapikan pakaian di koper.

Setelah menutup kopernya, ia bergegas keluar kamar mencari Minho.

“Minho?”

Tapi ia tak melihat siapa-siapa di luar kamar. Ia lalu menutup pintu kamarnya dan berjalan ke lobi.

Jin Ri celingak-celinguk mencari sosok Minho tapi tak ditemukannya.

“Dia ke mana?” ia bertanya pada dirinya sendiri.

*****

Minho berjalan dengan cepat menuju Arrival Gate. Ia mencari-cari sosok Yuri di tengah keramaian orang-orang di bandara.

Matanya segera tertuju kepada sosok perempuan yang memakai kemeja putih tipis dan rok jeans pendek.

“Kau sudah lama menunggu?” sapanya sambil menghampiri Yuri.

Yuri melepas kacamata hitamnya. Ia tersenyum bahagia.

“Minho?”

Yuri segera memeluk Minho.

“Aku kira kau tak kan datang. Aku takut sekali…”

“Bagaimana kabarmu?” Minho melepas pelukan Yuri.

“Aku baik. Sangat baik. Apalagi setelah bertemu denganmu. Kau sendiri?”

“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.”

“Aku lapar. Ayo cari makan!” Yuri menarik tangan Minho.

Minho hanya tersenyum. Ia pasrah ditarik-tarik oleh Yuri.

*****

“Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak mungkin mengejarku sampai ke sini kan?” tanya Minho setelah menghabiskan makanannya.

“Enak saja! Aku ke sini karena job. Aku akan ada sesi pemotretan di Venice 2 hari lagi. Seharusnya aku terbang ke sini besok, bersama kru dan manajerku. Tapi kupikir akan lebih mengasyikkan jika aku berangkat duluan. Aku ingin jalan-jalan keliling Roma bersamamu.”

Minho tersenyum mendengar penjelasan Yuri.

“Dari mana kau tahu aku sini? Aku kan tidak memberi tahumu kalau akan liburan di sini.”

“Ki Bum. Dia bilang kau sedang berbulan madu di sini,” Yuri tidak bersemangat mengatakan kalimatnya barusan.

“Tapi aku akan pulang malam ini ke Seoul. Kita tidak bisa jalan-jalan seperti yang kau inginkan.”

“Aku tahu. Ki Bum juga bilang padaku. Tapi apa kau tega membiarkanku sendirian di sini? Atau paling tidak tinggallah sampai yang lainnya datang! Aku benar-benar tak kenal siapapun di sini…”

“Yuri… aku benar-benar tidak bisa tinggal. Sungguh! Kakek sudah membookingkan aku dan Jin Ri tiket malam ini…”

“Minho… aku ke sini karena dirimu. Apa kau tahu betapa senangnya aku ketika manajerku mendapatkan pekerjaan ini untukku?”

“Tapi Yuri…”

“Kalau kau tidak mau tinggal, aku juga tidak akan tinggal. Aku akan menghubungi manajerku sekarang juga dan menyuruh dia membatalkan semua kontraknya!” ancam Yuri.

“Yuri… kau tidak bisa seperti ini. Kau harus professional! Kau tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaanmu…”

“Aku tidak peduli!”

Yuri mengambil ponselnya dan menelepon manajernya.

“Siapa yang kau telepon?” selidik Minho.

“Manajerku,” jawab Yuri singkat.

“Ha…” Minho menarik ponsel Yuri dan memutus sambungan telepon.

“Kau kenapa sih?”

“Kau yang kenapa?”

“Kembalikan ponselku!”

Minho berdiri dan meninggikan tangannya.

“Berjanji dulu kalau kau tidak akan membatalkan kontraknya!”

“Aku akan tetap membatalkannya kalau kau tak mau tinggal di sini bersamaku!”

Minho menarik napas dalam-dalam.

“Ck… kau memang keras kepala! Baik, aku akan tinggal di sini bersamamu. Tapi ingat, hanya sampai besok. Okay?”

Sekejap Yuri pun tersenyum mendengar perkataan Minho.

“Tentu saja.”

Yuri memeluk Minho erat-erat.

“Kau tidak akan membatalkan kontraknya kan?” Minho memastikan.

Yuri menggeleng.

“Tidak akan! I swear, Sir!

Minho tertawa melihat tingkah Yuri. Yuri pun tertawa dan kembali memeluk Minho.

*****

Jin Ri melirik jam tangannya. Sudah pukul 5. Ia cemas.

Ia memeriksa ponselnya. Barangkali ada missed call atau sms dari Minho. Tapi tidak ada.

“Kau ke mana?”

Jin Ri memutuskan untuk menghubungi Minho.

*****

Minho dan Yuri berjalan bergandengan tangan menyusuri pasar tradisional di Roma. Yuri tampak bahagia sekali.

“Minho, kau mau makan kembang gula?” Yuri menunjuk penjual kembang gula.

“Boleh!”

Mereka membeli 2 kembang gula.

Mereka kembali berjalan sambil memakan kembang gula masing-masing.

“Lihat apa yang ada di hidungmu!” Minho tertawa.

Yuri meraba hidungnya. Dirasakan kembang gula menempel di hidungnya. Ia tertawa.

Setelah lama berjalan, Minho melihat kincir angin.

“Mau naik kincir angin?”

Yuri mengangguk senang.

Tit.. tit..

Minho melihat ponselnya. Jin Ri memanggil.

“Yuri, aku angkat telepon dulu ya…”

“Mm… kalau begitu akan kubeli tiketnya.”

Minho mengangguk.

Setelah Yuri pergi, Minho menjawab panggilan Jin Ri.

“Halo! Ada apa, Jin Ri?”

“Kau di mana? Kita harus ke bandara sekarang!”

Minho menepuk dahinya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan kepulangannya malam ini. Ditambah ia lupa memberi tahu Jin Ri bahwa ia menunda kepulangannya hingga besok.

“Eh… Jin Ri… maafkan aku. Tapi aku ada urusan tambahan di sini. Kalau kau tidak keberatan, kau pulanglah duluan malam ini. Aku akan menyusul besok. Kuharap kau mengerti…”

“Urusan apa?”

“Akan kujelaskan nanti! Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang.”

“Tapi kalau kakek dan yang lainnya bertanya aku harus jawab apa?”

“Serahkan saja itu padaku. Aku akan menelepon kakek.”

“Baiklah…” suara Jin Ri terdengar lemas.

“Kau tak apa?” Minho sedikit khawatir.

“Aku tak apa.”

“Kau yakin?”

“Mm…”

Tit.

Jin Ri menutup meneleponnya.

“Tapi setidaknya kau datang ke sini dan memberi tahuku. Apa kalau aku tidak meneleponmu kau sama sekali tidak akan ingat padaku?”

Air mata Jin Ri jatuh. Ia segera menghapusnya. Ia menarik kopernya dan koper Minho. Ia check out dari hotel dan tidak lupa menitipkan koper Minho di resepsionis.

*****

1 pesan diterima.

Aku menitipkan kopermu di resepsionis hotel. Datanglah mengambilnya.

Minho menghembuskan napasnya yang berat.

“Sudah teleponnya?”

Suara Yuri mengagetkannya.

“Mm…”

“Ini tiketnya. Ayo kita naik sekarang!” Yuri menarik tangan Minho.

Minho hanya tersenyum.

Telepon aku setibanya di Seoul. Sekali lagi aku minta maaf. Aku janji akan menjelaskan semuanya padamu nanti. Semoga perjalananmu menyenangkan :)

*****

Attention, please! …

Terdengar panggilan untuk menaiki pesawat. Jin Ri berdiri dan menarik kopernya. Namun tiba-tiba ia berhenti. Ia memperhatikan tiketnya. Tidak tau apa yang dipikirkannya. Ia merobek tiketnya. Ia menghembuskan napasnya dalam-dalam.

“Aku tau ini gila, tapi aku akan melakukannya. Kakek, Minho, semuanya, maafkan aku!”

Jin Ri lalu berbalik dan berjalan keluar bandara.

Ia baru saja melakukan hal gila. Ia merobek tiketnya dan melewatkan penerbangannya. Terdengar namanya dipanggil beberapa kali karena belum menaiki pesawat. Ia tidak peduli. Ia langsung menaiki taksi.

Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu jalan.

Tidak tau mengapa, tiba-tiba ia berpikir ingin pergi ke Venice. Ya, Venice.

*****

Setelah mengantar Yuri pulang ke hotel, Minho kembali ke hotel tempatnya menginap dengan Jin Ri. Ia menanyakan kopernya. Ia lalu memesan satu kamar lagi untuk semalam.

Minho berbaring di kasur. Ia kelelahan.

Ia mengecek ponselnya. Sudah lewat tengah malam, Jin Ri seharusnya sudah sampai di Seoul. Tapi mengapa ia tak menelepon. Mungkin lupa, pikir Minho.

Minho mencari kontak Jin Ri dan meneleponnya. Nomor Koreanya tidak bisa dihubungi.

Minho menghubungi ibu Jin Ri.

“Kalian di mana? Sudah sampai di Seoul? Kakek sangat bersemangat menunggu kepulangan kalian,” jawab ibunya bersemangat.

“Kakek bahkan bertanya, apa Jin Ri sudah hamil? Hahahaha…” lanjut Min Ah.

Apa? Jin Ri belum tiba? Bagaimana bisa? Seharusnya ia sudah tiba dari tadi. Apa pesawatnya delay?

“Minho? Kamu kok diam saja?”

“Pesawatnya mungkin delay, Bu.”

“Jadi kalian masih di bandara?”

“E… aku akan menghubungi ibu sebentar lagi!”

“Ah, Min…”

Tit.

Minho bangun. Ia mulai berpikir macam-macam.

Jin Ri ke mana? Kalau pesawatnya delay seharusnya ia menghubungiku. Kalaupun ia sudah sampai di Seoul, ia tentunya menghubungi ibu.

Minho kembali mencari kontak Jin Ri. Kali ini ia menghubungi nomor Italinya.

Tersambung.

“Halo!” terdengar suara Jin Ri.

“Kau di mana?” napas Minho memburu.

“Aku… aku sudah di Seoul.”

“Jangan bohong! Barusan aku menelepon ibu. Dia bilang kau belum sampai. Cepat katakan kau ada di mana!”

“Hah… baiklah… tapi jangan marah… aku membatalkan tiketku. Sekarang aku di Venice. Besok juga aku akan pulang. Aku akan menunggumu di bandara. Jadi orang-orang di rumah tidak akan curiga. Aman kan?”

“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”

Minho mengkhawatirkanku? Deg.

“Aku baik-baik saja. Aku menginap di hotel kemarin. Besok kita akan bertemu di bandara.”

“Sudah. Jangan ke mana-mana! Aku akan menjemputmu sekarang!”

“Bagaimana kau akan menjemputku? Mana ada kapal tengah malam begini? Kita ketemu saja di bandara… tak perlu menyusul ke sini…”

“Kau pikir kalau ada apa-apa denganmu siapa yang bertanggung jawab? AKU! Jadi tunggulah di sana, besok aku akan menyusulmu!”

“Tapi…”

“Jangan membantah! Dan jangan menelepon ibu. Biar aku yang urus semuanya!”

“Ba… baik…”

Tit.

“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”

Deg.

Jin Ri memegang dadanya.

“Ya ampun…”

*****

Keesokan harinya…

Minho sudah selesai memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Ia tinggal ke Venice dan menjemput Jin Ri, lalu kembali ke Roma dan terbang ke Seoul.

Ia turun ke lobi dan check out di resepsionis.

“Minho? Kebetulan sekali…”

“Yuri? Kamu ngapain ke sini?”

“Manajer dan kruku baru saja tiba di Roma. Rencananya kami akan ke Venice pagi ini.”

“Loh, kemarin kamu bilang pemotretannya besok?”

“Iya, tapi manajerku bilang, fotografernya mau ketemu aku hari ini. Jadi, dari bandara kami rencananya langsung ke Venice. Tapi kamu bilang kamu mau kembali ke Seoul pagi ini, jadi aku singgah untuk mengucapkan selamat tinggal.”

“Aku tidak jadi pulang pagi ini. Aku juga akan ke Venice.”

Really? OMG! Kok kebetulan banget sih? Kamu ada urusan apa di sana?”

“Emm…”

“Ya sudah, nggak penting! Yang penting kamu mau ke Venice dan aku juga mau ke Venice, ya kita barengan saja. Kruku sudah menyewa sebuah kapal. Akan sangat menyenangkan kalau kamu mau ikut dengan kami…”

“Em… tapi… Yuri…”

“Sudah! Nggak ada tapi-tapian!”

Yuri langsung menarik koper Minho. Ia menyuruh krunya untuk memasukkannya ke bagasi mobil.

“Yuk, tunggu apa lagi?” Yuri sudah menunggu dalam mobil.

Dengan pasrah Minho ikut masuk ke dalam mobil.

*****

Aku akan jalan-jalan pagi ini. Tenang saja, aku bisa jaga diri kok. Telepon aku kalau kau sudah tiba di sini…

Kirim.

Jin Ri siap mengelilingi Kota Venice. Ia sudah sedikit tahu jalan di sini berkat tour yang dia lakukan bersama Minho dan turis lainnya.

Jin Ri berjalan-jalan riang sambil jeprat-jepret tempat dan bangunan yang belum sempat difotonya saat tour yang lalu. Sesekali ia meminta tolong pada orang lain agar difotokan.

Ia singgah di kerumunan orang. Ada pertunjukan seni. Jin Ri menikmatinya. Ia mengeluarkan dompetnya dan memberiikan uang, lalu kembali berjalan.

Pluk.

Dompet Jin Ri terjatuh tanpa disadarinya.

“Excuse me? Lady!”

Seorang pria memungut dompet itu. Ia membuka dompet tersebut dan membaca tanda pengenal Jin Ri.

“Seoul?”

Pria itu mengejar Jin Ri.

“Hei, you! You!”

Jin Ri terus saja berjalan. Sesungguhnya ia mendengar panggilan itu, tapi ia tidak mengira bahwa orang yang dimaksud adalah dia.

“Hei, Choi Jin Ri!”

Jin Ri langsung mengerem langkahnya. Ia spontan berbalik.

“Apa kau Choi Jin Ri?” tanya laki-laki itu.

“I… iya… kau orang Korea? Emm… maaf, tau namaku dari mana ya?”

Jin Ri menggenggam erat tasnya. Ia takut kalau ini adalah modus pencopetan. Ia kembali teringat kata-kata Minho di telepon.

“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”


“Apa kau merasa kehilangan sesuatu?”

“Tidak…” jawab Jin Ri sambil menggeleng.

“Coba periksa tasmu baik-baik!”

Jin Ri semakin yakin kalau ini adalah modus pencopetan.

Jin Ri mundur selangkah sebelum memeriksa tasnya.

“Ah…”

Wajah Jin Ri menyiratkan ekspresi kepanikan. Dompetnya tidak ada.

“Do… dompetku hilang!”

“Nih…” laki-laki itu menyodorkan dompet Jin Ri.

Jin Ri mengambilnya dengan cepat. Ia memeriksa semua isinya. Uang, tanda pengenal, surat-surat penting, ATM, semuanya lengkap tanpa kurang satu pun.

“Tenang saja… tidak akan ada yang hilang. Kau tadi menjatuhkannya setelah menonton pertunjukan di sana,” pria itu menunjuk tempat pertunjukan tadi.

“Oh… begitu rupanya… terima kasih banyak. Padahal aku tadi sempat berpikiran jelek tentangmu. Aku minta maaf dan sekali lagi terima kasih…” ucap Jin Ri tulus.

“Tidak apa-apa…”

“Oh ya, karena aku sudah lancang memanggil namamu, maka aku juga harus memperkenalkan. Aku Jin Ki, Lee Jin Ki.”

“Ah, ternyata benar kau juga orang Korea. Senang bertemu orang yang memakai bahasa yang sama denganku di sini,” Jin Ri menyeringai. “Aku Choi Jin Ri. Salam kenal…”

“Kau sendirian?”

Jin Ri mengangguk.

“Kau?”

“Aku juga. Ini kali pertamanya aku ke sini. Apa kau juga?”

“Tidak. Ini yang kedua kalinya…”

“Oh, kalau begitu aku sangat beruntung! Kalau kau tidak keberatan, apa nggak apa-apa kalau aku ikut kamu jalan-jalan?”

“Boleh. Berdua lebih menyenangkan daripada sendirian.”

“Kalau begitu kita ke mana?”

Jin Ri mengingat-ingat tempat yang pernah dikunjunginya sewaktu tour kemarin.

“Ah, aku tahu! Kita akan mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Venice.”

Jin Ki tersenyum.

Mereka pun berjalan beriringan berdua. Sesekali mereka saling gantian difotokan.

“Mengapa liburan sendirian ke sini? Padahal Venice adalah kota yang sangat indah untuk liburan bersama pasangan,” kata Jin Ri.

“Oh ya? Aku tak tahu itu. Aku ada panggilan kerja di sini, jadi aku ke sini. Kau sendiri juga berlibur sendirian…”

“Oh, aku… aku sebenarnya bersama seseorang. Tapi ia mempunyai urusan lain sehingga aku harus di sini sendirian.”

“Pacarmu?” tanya Jin Ki menggoda.

Jin Ri tersipu malu.

“Bukan…”

“Oh, hahaha… kukira pacarmu…”

“Dia itu…”

Tit.. tit.. tit..

“Tunggu sebentar, aku ada telepon…”

Jin Ri mengangguk.

Jin Ki menjauh sebentar untuk menerima telepon.

“Itu dari manajer model yang akan kufoto…”

“Memangnya kau ini apa?”

“Aku ini apa? Hahaha… aku juga manusia sama seperti dirimu…”

Jin Ri tertawa.

“Bukan… maksudku pekerjaanmu apa?”

“Aku fotografer…”

“Fotografer? Pantas saja hasil potretanmu bagus-bagus. Kau pasti kecewa dengan hasil potretanku…”

“Haha… nggak apa-apa… oh ya, sebentar aku akan bertemu dengan modelku. Kau ikut ya! Siapa tahu bisa memberiikan ide seputar tempat-tempat menarik di sini untuk jadi lokasi pemotretan…”

“Apa nggak apa-apa kalau aku ikut? Nanti merepotkan…”

“Kan aku yang ajak, jadi nggak akan merepotkan. Mau ya?”

“Oke deh!”

Jin Ki mengajak Jin Ri high five.

*****

“Kau akan ke mana setelah ini?” tanya Yuri tiba-tiba.

“Aku akan ke suatu tempat,” jawab Minho.

“Temani aku dulu yuk!” ajak Yuri.

“Tapi aku harus ketemu seseorang…”

“Ayo, Minho… Cuma sebentar…” rajuk Yuri.

“Memang kita mau ke mana?”

“Aku mau bertemu dengan fotograferku besok. Temani aku ya? Ya? Ya?”

“Kan sudah ada manajer dan yang lainnya…”

“Nggak mau! Aku maunya ditemani sama kamu! Kapan lagi kita bisa berduaan di Venice?”

Minho berpikir sejenak. Ia tidak mau mengecewakan Yuri, tapi ia juga ingin segera bertemu dengan Jin Ri.

“Kau mau kan, Minho?” tanya Yuri sekali lagi.

“Tapi setelah ini aku boleh pergi kan?”

Yuri mengangguk.

“Setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku janji!”

“Baiklah kalau begitu. Ayo kita bertemu dengan fotografermu!”

Yuri tersenyum lalu memeluk Minho.

“Makasih… makasih, Minho…”

*****

“Ini namanya Rialto Bridge!” Jin Ri berlagak seperti seorang pemandu wisata.

Jin Ki tertawa.

“Kau sudah seperti guide sungguhan. Dari tadi kau memperkenalkan semua tempat dan berlagak seperti pemandu wisata senior, hahahahaha…”

Jin Ri juga tertawa.

“Pemandangan dari atas sini indah, bukan?” tanya Jin Ri.

Ia kembali mengingat saat-saat ia berdiri berdua dengan Minho. Saat Minho menciumnya.

“Mm… sangat indah…”

Jin Ri berdiri di pinggir jembatan.

Jepret. Jepret.

Jin Ki tersenyum melihat hasil fotonya. Ia berjalan menghampiri Jin Ri.

“Kau tahu?”

“Apa?” tanya Jin Ri.

“Apa kau mau jadi modelku?”

“Maaf?”

Jin Ki tersenyum.

“Coba lihat ini!” Jin Ki memperlihatkan hasil fotonya tadi.

“Kau memotretku?” Jin Ri tak percaya.

“Hasilnya bagus kan?”

“Tentu saja bagus, kau kan seorang fotografer…”

“Seorang fotografer yang hebat juga harus didukung oleh objek yang hebat juga. Menurutku kau cocok menjadi model…”

Jin Ri tersipu malu.

“Tapi aku tidak bisa. Aku akan kembali ke Roma hari ini dan langsung terbang ke Seoul.”

“Kenapa cepat sekali?”

“Aku sudah berhari-hari di Itali dan aku harus kembali…”

“Oh ya, tadi kau bilang kau menunggu seseorang. Siapa dia?”

“Suamiku…”

“Kau sudah menikah? Tapi di tanda pengenalmu…”

Jin Ri menunjukkan cincin pernikahannya.

“Aku belum sempat memperbaharuinya.”

Jin Ki tersenyum.

“Kenapa tersenyum?” Jin Ri heran.

“Aku hanya tidak menyangka kalau kau sudah menikah…”

“Memang kenapa kalau aku sudah menikah?”

“Kurasa aku menyukaimu!”

“Apa?” Jin Ri kaget mendengar pernyataan Jin Ki.

“Tap… tapikan kita baru saja bertemu…”

“Cinta datang begitu saja ketika melihatmu. Di bandara, di kapal, di hotel, hingga akhirnya dompetmu jatuh dan menakdirkan kita untuk bersama-sama seperti ini…”

“Di Bandara? Kapal? Hotel? Maksud kamu apa?”

“Aku melihatmu pertama kali di bandara kemarin malam. Aku baru saja tiba. Kau langsung menaiki taksi yang juga akan kunaiki. Kita duduk berseberangan di kapal. Bahkan kita tetangga kamar di hotel.”

“Kau serius?” Jin Ri seakan tidak percaya.

“Semuanya seperti sudah terencana dengan baik sekali!”

“Maaf, aku sama sekali tidak menyadarinya…”

“Nggak apa-apa…” Jin Ki tersenyum.

Tit.

Jin Ki membaca smsnya.

“Mereka sudah di sini.”

“Siapa? Modelmu?”

“Mm… ayo kita pergi!”

Jin Ri mengangguk.

*****

“Duduklah!” Jin Ki menarik kursi untuk Jin Ri.

“Makasih…”

“Mereka lama sekali… aku paling tidak suka menunggu orang…”

“Mm… mereka itu yang di sana?” tunjuk Jin Ri.

Maybe… aku juga belum pernah melihatnya langsung. Hanya pernah melihat fotonya.”

Jin Ki mengeluarkan beberapa foto dari tasnya.

“Kau mau lihat? Ini!” Jin Ki memberiikan foto-foto itu kepada Jin Ri.

“Coba aku lihat…”

“Ini kan…” mata Jin Ri membesar.

“Hai, apa kau Lee Jin Ki?” tanya manajer Yuri.

“Benar sekali. Panggil saja Jin Ki!” Jin Ki berdiri lalu bersalaman dengan manajer Yuri.

“Ini dia modelnya, Kwon Yuri!”

“Halo… aku Yuri…” Yuri bersalaman dengan Jin Ki.

“Dan ini…” Jin Ki bermaksud memperkenalkan Jin Ri.

Jin Ri yang sedari tadi menunduk akhirnya mengangkat kepalanya lalu ikut berdiri.

“Jin Ri?” Yuri terbelalak, kaget melihat keberadaan Jin Ri.

“Kenapa kau bisa di sini? Bu… bukannya kau sudah pulang kemarin?” lanjutnya.

“Kalian sudah saling kenal?” Jin Ki bingung.

“Jin Ri?” Minho tiba-tiba muncul dari belakang.

“Minho?” Jin Ri kaget.

“Kenapa kau bisa di sini?” tanya Jin Ri dan Minho hampir bersamaan.

~to be continued~


AUTHOR’S Note:

Hai hai! Maaf untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.

Ada yang baru di cerita episode 9 ini. Saya memasukkan tokoh baru, yaitu Onew. Mungkin ada pembaca yang sudah mulai bosan karena konfliknya hanya di sekitar situ. Jadi saya mencoba menambahkan masalah baru dalam kehidupan Minho dan Jin Ri. Awalnya sempat bingung sih, bingung memilih tokoh siapa yang ingin saya tambahkan. Saya kan sudah pernah membuat ff tentang Jonghyun dan Taemin. Minho dan Key sudah saya masukkan di ff ini. Kasihan Onew namanya belum saya masukkan. So, fix sudah saya memilih Onew untuk dimasukkan dalam ff ini. Semoga kalian suka yaa…

Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

Selasa, 19 Agustus 2014

ANALYSIS with KOJAK

Posted by Nur Fadhilah at 3:13:00 PM 0 comments
Actually this is a very late article or you can say this is expired haha :D

This is about ANALYSIS (Anak Loyal Solid Olimpiade Sains) charity work. We collaborated with KOJAK (Komunitas Anak Jalanan/Street Children Community) this year. KOJAK is a community where the street children are gathered. KOJAK’s members teach them the lesson in school. So it’s like a non formal school for them. There were kindergarten, elementary, and high school. The class is on every Sundays afternoon. I want you to know that this kind of organization exists in Kendari, Southeast Sulawesi.

I don’t know exactly since when the street children arose in Kendari. Kendari isn’t a big city like Jakarta, Makassar, or others. It's still developing. But the street children are almost in every edge of the city. I myself hate to see them in the stoplight. It was the reason why ANALYSIS chose KOJAK as our partner.

Sunday, July 13, 2014. We were looking forward for this day. This is THE DAY. We already packed 40 packages the day before. A package is for each child. They got school uniforms, stationeries, bags, books (novels and comics) and money. Some of them also got toys and clothes.

The agenda began at 2 pm, delayed an hour from the schedule. Because ANALYSIS was new in KOJAK, we introduced ourselves first. I couldn’t stand for those kids, they are so cute and adorable. Most of them are beggars. KOJAK always try to stop them, but their parents don’t. It’s miserable, isn’t it?

Kak Nia, from KOJAK, gave a speech about Palestine and asked the children to pray for Palestine. The chief of KOJAK gave speech to the parents. He explained about their children’s progress and improvement during study in KOJAK. He also gave a report card to each parent.

Afterwards, we gave them the packages. They were very excited and so were we.


At 4 pm, everything had finished, but problem always come. One of the parents couldn’t receive the result of the report card. He said his son always came on Sunday. But in fact he never came. He whatsoever didn’t trust us and blamed us. Yaahh… whatever… there are so many kids out there want to study in KOJAK.


We’re from ANALYSIS was very happy of this nice moment and looking forward of what happen next year, insya Allah :)
 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review