Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Baca
PART 2 dulu ne...
Previous part:
Ning nong.. ning nong..
Minho menekan bel rumah keluarga Kim.
Jin Ri berlari menuju pintu utama.
“Iya, tunggu sebentar…”
Klek. Jin Ri membuka pintu. Kedua bola matanya membulat. Mulutnya tak bisa mengeluarkan suara.
“Semoga ini mimpi. Untuk apa dia datang kemari?” batin Jin Ri.
*****
“Siapa?” tanya Ki Bum ketika keluar dari dapur.
Ki Bum menengok.
“Oh, Minho. Masuklah!”
Jin Ri kaget. Ia tidak menyangka kalau Ki Bum kenal dengan laki-laki di depannya ini.
“Siapa yang datang?” Min Ah juga ikut-ikutan menengok dari pintu dapur.
“Dia temanku di universitas, Bu. Dia yang sering aku ceritakan padamu.”
“Perkenalkan, aku Minho, Choi Minho. Senang bertemu dengan Anda,” Minho membungkukkan sedikit badannya.
“Ah… kau benar-benar tampan. Persis seperti yang diceritakan Ki Bum padaku,” puji Min Ah yang saat itu sudah berdiri di antara Jin Ri dan Ki Bum.
“Apakah dia kekasihmu? Cantik sekali…” lanjutnya.
“Ah,dia…”
“Benar, aku kekasihnya. Namaku Yuri, Kwon Yuri,” Yuri memotong perkataan Minho.
Minho kaget mendengar pengakuan Yuri. Yuri tersenyum.
“Baiklah… kenapa kalian berdua tidak mempersilakan mereka masuk?” tanya Min Ah pada Jin Ri dan Ki Bum.
“Si… silakan masuk…!” Jin Ri tertunduk malu, lalu berlari ke dapur.
“Kalian bertiga silakan mengobrol. Maaf, suasananya tidak begitu nyaman. Kami sedang bersih-bersih. Besok kakek Ki Bum akan berkunjung ke Korea,” jelas Min Ah.
“Baiklah…” ucap Minho sopan.
“Silakan duduk!” Ki Bum mempersilakan.
Ki Bum sengaja duduk berdekatan dengan Minho.
“Kenapa kau mengajaknya? Bukankah…?” bisik Ki Bum.
“Kami sudah baikan…” jawab Minho.
Yuri yang merasa dirinya menjadi bahan pembicaraan tersenyum manis pada Ki Bum. Ki Bum yang merasa tak enak pada Yuri balas tersenyum.
Tak lama kemudian, Jin Ri datang membawa nampan berisi minuman dan kue kering hangat yang baru saja keluar dari oven. Tangannya gemetaran.
“Kau kenapa?” Ki Bum heran melihat tangan Jin Ri yang gemetaran ketika meletakkan minuman dan toples berisi kue kering di atas meja.
“A… aku… aku tidak apa-apa…” jawab Jin Ri gugup.
Jin Ri lalu berbalik hendak kembali ke dapur. Namun tangannya ditarik oleh Ki Bum.
“Kau mau ke mana?”
“Ke dapur…”
“Duduk di sini saja… aku akan memperkenalkanmu dengan temanku…” ucap Ki Bum santai.
“Apa? Ti… tidak mau!!!” Jin Ri menarik tangannya.
Ki Bum mulai menatap Jin Ri dengan tatapan mautnya, seakan-akan berkata,
“Awas kau Jin Ri kalau tak mau duduk!”
Jin Ri menghela napas.
“Baiklah…” Jin Ri pasrah.
“Minho, ini adikku Jin Ri. Dia ini yang kau kira laki-laki. Meskipun perilakunya kadangkala menjengkelkan, tapi dia cantik kan? Kan? Kan?”
Wajah Jin Ri memerah.
“Ulurkan tanganmu! Kau ini sungguh tak sopan pada tamu!” perintah Ki Bum pada Jin Ri.
Jin Ri mengulurkan tangannya dengan enggan.
Jin Ri mengangkat sedikit wajahnya yang sedari tadi ditundukkannya. Minho menatapnya tajam. Dia menyambut uluran tangan Jin Ri.
“Jin… Jin Ri. Choi Jin Ri…”
“Choi?”
“Ah… penjelasannya panjang…” sambung Ki Bum cepat.
“Ehm…” Yuri berdehem.
Minho baru sadar kalau tangannya masih berjabat dengan tangan Jin Ri, begitu pun Jin Ri. Mereka berdua cepat-cepat melepaskannya.
“Aku ingin pulang sekarang!” Yuri membisiki telinga Minho.
Minho mengangguk.
“Ki Bum, sebenarnya tujuanku kemari hanya untuk memberikanmu ini,” Minho mengeluarkan sepucuk surat dari kantung jaketnya.
“Amber?” Ki Bum tersentak.
“Sebenarnya surat itu bukan untukmu, melainkan untukku. Tapi menurutku, ada baiknya kalau kau tahu apa isi suratnya.
“Ah, baiklah. Terima kasih…”
“Oke. Mm… aku pulang ya.”
“Cepat sekali…”
“Aku harus mengantarnya pulang,” Minho menunjuk Yuri.
“Oh, baiklah…”
“Katakan pada ibumu kalau aku pulang.”
“Beres!”
Ki Bum dan Jin Ri lalu mengantar Minho dan Yuri menuju mobil Minho. Sebelum masuk ke mobil, Minho sempat melempar senyum ke arah Ki Bum dan Jin Ri. Yuri melihatnya. Dia juga tersenyum pada Ki Bum, namun tidak pada Jin Ri.
“Dah!!” Ki Bum melambaikan tangan.
*****
“Kau sepertinya tertarik pada adik temanmu itu,” kata Yuri tajam.
“Kau ini bicara apa sih?” Minho balik bertanya. Pandangannya masih fokus ke depan.
“Perasaan perempuan tidak pernah salah.”
“Lalu apa perasaanmu mengatakan padaku bahwa aku tidak mencintaimu?”
Yuri melirik Minho yang masih fokus mengemudikan mobil.
“Maksudku tidak seperti itu… Tentu saja kau mencintaiku…”
“Lalu apa masalahnya? Kau tahu bahwa aku mencintaimu dan begitu pun sebaliknya. Kau paham?”
Yuri mengangguk. Terdiam.
“Baguslah kalau kau paham. Kuharap kau pun tidak mengecewakanku. Karena kau sendiri tahu, aku tidak akan mengecewakanmu.”
*****
Usai melambaikan tangan, Jin Ri lalu menarik tangan Ki Bum masuk ke dalam rumah.
“Ada apa sih?” tanya Ki Bum sambil melepaskan tangannya.
“Maksud kakak tadi menyuruhku duduk itu apa?” anya Jin Ri marah-marah.
“Aku hanya mau memperkenalkanmu dengan Minho. Kau ini kenapa sih? Maksudku kan baik. Aku jadi tidak mengerti kau marah-marah kepadaku.”
“Asal kakak tahu ya, dia itu laki-laki yang aku tuduh mencuri dompetku!”
“Apa?” Ki Bum kaget.
“Apa?” Min Ah yang sedang berjalan dari dapur ke ruang makan turut kaget mendengar pernyataan Jin Ri.
Sejenak suasana hening.
“Hahahahahahaha!” Ki Bum tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh ibunya.
Wajah Jin Ri memerah.
“Pantasan wajahmu tadi mirip udang rebus sewaktu kusuruh berkenalan dengan Minho,” ungkap Ki Bum.
“Tangannya juga gemetaran sewaktu menyiapkan minuman tadi,” sambung Min Ah.
“Ahh… Sudah ah…!”
Jin Ri berlari masuk ke kamarnya diiringi suara tawa Ki Bum dan ibunya.
*****
'Dear Minho…’
‘Hi, how’s your life? How’s Seoul? Err… Ki Bum? :)’
Ki Bum tersenyum.
“I’m fine…”
‘Tinggal di Amerika tidak begitu menyenangkan. Tak ada kau dan Ki Bum. Kau tahu, betapa pun menyebalkannya orang itu, aku tetap merindukannya.’
“Aku juga merindukanmu…”
‘Apa Ki Bum sudah punya kekasih? Dapatkah kau memberiitahuku bagaimana rupanya? Bisa kutebak, dia pasti lebih baik dariku.’
“Belum ada yang bisa menggantikanmu di hatiku, Amber…”
‘Mungkin tidak tepat mengirimkan surat ini padamu. Tapi aku membutuhkan teman curhat. Tak ada yang bisa memberiikanku solusi terbaik selain dirimu.’
‘Apa suratku terlalu singkat? Ya, isinya tidak sebanding dengan besarnya biaya yang aku keluarkan untuknya. Tapi aku tetap berharap kau membalas suratku. Tolong sertakan juga alamat emailmu. Beberapa hari yang lalu, komputerku terkena virus. Semua datanya hilang. Hal itu membuatku sangat frustasi. Kejadian itu membuat darah tinggiku naik.’
Ki Bum tertawa.
‘Oh ya, satu hal yang paling penting dan tidak pernah lupa kutulis di setiap akhir suratku. Jangan beri tahu apa-apa pada Ki Bum. Kau tahu aku mencintainya. Tapi rasa sakitku masih tetap mengalahkan rasa cintaku padanya.’
‘Take care, Minho. Bye…’
‘Amber’
Ki Bum menghela napas panjang saat membaca paragraf terakhir. Sebenci itu kah Amber padanya? Dia bahkan belum sempat menjelaskan apa pun sebelum kepergiannya ke Amerika.
‘Tapi rasa sakitku masih tetap mengalahkan rasa cintaku padanya.’
Kalimat itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.
*****
Keesokan harinya…
“Kau yakin tak ingin ikut?” tanya Kim San pada putrinya.
“Tidak. Aku ingin mempersiapkan diri di rumah bersama ibu…” jawab Jin Ri kaku.
“Kita sekarang punya robot hidup di rumah. Lihat! Kau berbicara seperti robot,” ejek Ki Bum.
Jin Ri memonyongkan bibirnya.
“Ki Bum…” Min Ah memperingati Ki Bum.
“Hehehe…” Ki Bum cekikikan.
“Kau tak usah terlalu tegang! Ayah tidak sekejam yang kau pikirkan…” kata Kim San menenangkan.
“Tapi Kak Ki Bum selalu mengatakan kalau…”
“Kau tahu kan, Ki Bum selalu menambahkan bumbu pemanis di setiap perkataannya,” potong Min Ah.
Jin Ri lalu melirik Ki Bum. Ki Bum memasang wajah tanpa dosanya. Ia lalu bersiul-siul tidak jelas. Karena kesal, Jin Ri lantas meninju bahu kanan Ki Bum.
“Adaoww….!!”
“Sudahlah… jangan seperti anak kecil! Sebaiknya kita berangkat sekarang. Kalian tahu kan, perjalanan dari sini ke Incheon membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Kurang dari itu, pesawat kakek sudah akan mendarat di bandara. Jadi sebaiknya kita cepat kalau tak mau mendapat omelan!” jelas Kim San.
*****
“Tolong bawa piring-piring itu ke meja makan!” Min Ah memberi perintah.
Jin Ri bergegas mengangkat piring-piring makanan dan mengaturnya di meja makan.
Ning… nong… ning… nong…
“Ha? Siapa yang datang? Ayah tidak mungkin datang secapat ini,” Jin Ri keheranan.
“Siapa yang datang, Jin Ri?” tanya Min Ah.
“Tidak tahu. Akan kubuka pintunya!”
Jin Ri berlari menuju pintu utama. Dibukanya pintu. Dilihatnya sesosok lelaki tua dengan penampilan modis remaja masa kini dan menenteng dua koper besar di tangan kanan dan kirinya.
“Maaf, Anda mau mencari siapa?” tanya Jin Ri sopan.
“Kau siapa?” balas lelaki tua itu.
“Aku? Aku anak pemilik rumah ini…” jawab Jin Ri curiga.
“Anda siapa?” sambungnya.
“Kau tidak tahu siapa aku?”
Jin Ri menggelengkan kepala. Ditatapnya kakek itu dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas.
“Kakek ini aneh sekali. Lihat pakaiannya! Topi bundar, baju kembang-kembang merah, celana pendek, sepatu keds. Memangnya dia mau pergi ke pantai? Sok bertanya-tanya lagi. Apa mungkin dia orang gila?” batin Jin Ri.
Kring… kring…
Min Ah menjawab telepon.
“Halo!”
“Sayang, aku dan Ki Bum tak bisa menemukan ayah,” kata Kim San panik.
“Hah? Bagaimana bisa?” tanya Min Ah tak kalah panik.
“Aku juga tidak tahu…”
“Apa mungkin pesawatnya belum tiba?”
“Tidak mungkin. Kata petugas bandara, pesawatnya sudah tiba sejak sejam yang lalu. Lebih cepat dari biasanya.”
“Baiklah, teruskan saja mencari ayah! Jangan sampai dia tersesat…”
Tit.
“Sayang…” panggil Min Ah pada Jin Ri sambil berjalan menuju pintu utama.
“Tadi ayah menelepon kalau kakek…” tiba-tiba Min Ah berhenti bicara.
“Ayah?!” katanya setengah tak percaya.
“Kakek?” Jin Ri sedikit bingung.
“Astaga, ayah! Kenapa ayah bisa langsung ke sini? Padahal Kim San dan Ki Bum datang menjemput ayah di bandara,” kata Min Ah sambil membantu mertuanya masuk ke dalam rumah.
“Jin Ri… ayo, angkat tas kakekmu!” sambungnya.
“Kakek?” Jin Ri masih bingung.
“Iya, dia ini kakekmu!”
Jin Ri lalu memperhatikan sekali lagi wajah kakeknya dengan wajah yang terpampang di foto keluarga besar Kim. Sungguh berbeda. Kakek telah mencukur kumisnya. Pantas saja Jin Ri tak mengenalinya.
Jin Ri tersadar dari segala pikirannya. Ia memasang wajah takut, lalu berlari mengangkat koper-koper kakeknya.
“Aduh… betapa bodohnya diriku ini…! Inilah kesan pertama kakek terhadapku setelah berlatih dengan susah payah. Aduh!!!” gerutu Jin Ri dalam hati.
“Ayah, duduk di sini! Ayah pasti capek sekali,” kata Min Ah pada ayahnya, Kim Myungsuk.
“Siapa anak tadi?” tanya Kim Myungsuk.
“Dia itu yang selalu aku dan Kim San ceritakan pada ayah. Dia Choi Jin Ri.”
“Oh, anak temanmu yang kau angkat menjadi anakmu?”
“Iya, ayah.”
Kim Myungsuk menarik ujung bibirnya. Dia tersenyum kecil.
Jin Ri lalu kembali datang dengan membawa dua cangkir teh panas. Dia berjalan penuh ketakutan. Kepalanya ditundukkan. Wajahnya memerah karena malu.
“Si… silakan diminum, kek!” kata Jin Ri ragu-ragu.
Kim Myungsuk lalu menyeruput teh buatan Jin Ri. Jantung Jin Ri serasa berhenti berdetak menantikan komentar kakeknya tentang teh buatannya.
“Kau ini bodoh atau apa? Kau menyuruhku meminum teh sepanas ini? Kau ingin membakar lidahku? Sejak kapan aku mulai minum teh panas…” Kim Myungsuk jengkel.
Min Ah memukul kepalanya.
“Gawat! Aku lupa memberiitahu Jin Ri kalau ayah tidak suka teh panas.”
“Ah, ayah… tolong maafkan Jin Ri! Aku yang salah karena tak memberiitahunya. Kalau saja dia tahu, dia pasti tidak akan melakukannya,” bela Min Ah.
Jin Ri mengangguk tanda perssetujuan dengan perkataan ibunya.
“Kau jangan menyalahkan dirimu! Dia yang salah! Mengapa dia tak bertanya padamu? Hah…”
Jin Ri semakin menundukkan kepalanya.
“Maafkan aku, kek…” ucapnya lirih.
“Kak, kek, kak, kek… memang aku kakekmu? Sejak kapan aku jadi kakekmu?”
Jin Ri dan Min Ah kaget mendengar perkataan Kim Myungsuk.
“Tapi… aku kan…” Jin Ri ingin membela diri.
“Sudahlah! Sekarang aku mau makan,” potong Kim Myungsuk.
“Oh, aku dan Jin Ri sudah menyiapkan makanan spesial untuk ayah,” Min Ah mencoba membangkitkan suasana kembali.
“Dia?” Myungsuk sedikit tidak percaya.
“Aku hanya membantu sedikit. Ibu yang mengerjakan hampir seluruhnya…” kata Jin Ri.
“Hah, sudah kuduga. Mana mungkin kau yang memasak semua ini?”
Jin Ri mendesah. Kakek sepertinya tidak terlalu menyukainya.
“Apa ayah tidak mau menunggu Kim San dan Ki Bum dulu?” tanya Min Ah.
“Memang mereka siapa sehingga seorang Kim Myungsuk harus menunggu mereka dulu untuk makan? Aku yang tertua di sini. Lagipula siapa suruh mereka terlambat menjemputku di bandara. Aku sekarang menjadi sangat marah dengan mereka. Tunggu saja kalau mereka pulang, tak akan kuizinkan makan!” omel Myungsuk.
“Kakek ini galak sekali! Kan ayah yang punya rumah, tapi kenapa kakek yang sok berkuasa?” umpat Jin Ri dalam hati.
“Hei, kenapa menatapku seperti itu? Kau juga mau tak kuizinkan makan?” tantang Myungsuk.
“Ah, ti… tidak, kek…”
“Sudah kubilang jangan panggil aku kakek! Aku ini bukan kakekmu!”
“I… iya, kek…”
“Kau menantangku?” Myungsuk menatap Jin Ri marah.
“Ah, ti… tidak! Maafkan aku, k…” Jin Ri hampir saja mengucapkan kata ‘kek’ lagi.
“Ayah, sudahlah… tidak baik marah-marah di meja makan…” tahan Min Ah.
“Ah, kau benar! Anak ini membuat darah tinggiku naik.”
Min Ah mengambilkan nasi untuk ayahnya.
“Ayah, cobalah daging ini! Rasanya sangat enak,” promosi Min Ah.
“Benarkah? Baiklah…”
Myungsuk lalu mengambil daging tersebut dengan sumpitnya.
“Mm… ini benar-benar enak. Dagingnya empuk sekali. Bisa kupertimbangkan untuk dimasukkan dalam daftar menu restoranku. Kau tak berubah, Min Ah. Kau pandai sekali memasak!” puji Myungsuk.
“Daging itu buatanku! Aku sendiri yang memasaknya tanpa bantuan ibu. Aku telah berlatih untuk memasaknya secara sempurna selama berhari-hari. Apa benar rasanya enak, kek? Kapan kakek akan memasukkannya dalam daftar menu kakek? Kalu kakek suka, aku akan memasakkannya lagi untuk kakek nanti,” ucap Jin Ri panjang lebar.
“Jadi ini buatanmu?”
Jin Ri mengangguk dan tersenyum.
Myungsuk memandang Min Ah. Min Ah juga mengangguk.
“Dia telah berlatih keras agar berhasil membuat masakan ini khusus untuk kakek. Jadi kuharap kakek mau menghabiskannya!”
“Pasti ini pengaruh teh panas yang kau buatkan tadi. Kini lidahku terbakar sehingga aku tak bisa membedakan mana makanan yang enak dan tidak. Seandainya saja lidahku tak terbakar, aku pasti sudah membuang daging ini dari tadi,” Myungsuk menyembunyikan rasa malunya.
Jin Ri dan Min Ah tersenyum.
“Kami datang!”
Kim San dan Ki Bum memasuki rumah dengan tergesa-gesa.
“Mana ayah?” Kim San lalu celingukan mencari ayahnya.
“Ada apa kalian mencariku?” Myungsuk keluar dari ruang makan.
“Ayah baik-baik saja?”
“Seperti yang kau lihat.”
“Syukurlah… kami tadi sangat panik ketika mengetahui pesawat kakek sudah mendarat sejam yang lalu sebelum kami tiba di bandara. Untunglah kakek masih mengingat jalan pulang,” ungkap Ki Bum.
“Aku sangat lapar. Kalian bertiga sudah makan? Ayo, Ki Bum, kita makan! Ibumu pasti memasak banyak makanan enak hari ini,” ajak Kim San.
“Siapa yang memperbolehkan kalian makan? Kalian tidak dapat makan siang karena sudah membiarkanku pulang sendirian. Kalian tahu? Aku sangat marah pada kalian berdua.”
“Ah, kakek… kami kan juga lapar…” rengek Ki Bum.
“Terserah kalian saja!”
Kim San dan Ki Bum pun terduduk lemas di kursi ruang tamu. Kakek kalau ngambek memang seperti itu kelakuannya. Seperti anak kecil.
“Jin Ri…!” Myungsuk memanggil Jin Ri.
“Pergilah! Biar ibu yang bereskan semuanya. Nanti ayah marah lagi,” suruh Min Ah yang sedang membereskan meja makan bersama Jin Ri.
“Jin Ri…!”
“Iya, kek… aku datang!!!”
“Kau bisa mengendarai mobil?”
“Bisa, kek.”
“Kalau begitu ganti pakaianmu sekarang! Antar aku ke suatu tempat!”
“Baik, kek.”
Jin Ri lalu berlari memasuki kamarnya di lantai 2 untuk berganti pakaian.
“Ayah mau ke mana? Apa ayah tidak capek?” tanya Kim San yang masih terduduk lemas bersama Ki Bum.
“Aku harus ke suatu tempat yang penting untuk menepati janji lama.”
“Janji apa?”
“Untuk itu kau tak perlu tahu! Kalian berdua boleh makan saat aku pergi. Mengerti?”
Kim San dan Ki Bum saling berpandangan senang.
“Kami mengerti!”
*****
“Berhenti! Berhenti! Ya, di sini! Berhenti di sini!” Myungsuk memberi perintah.
“Apa alamatnya sudah benar, kek?” tanya Jin Ri.
Myungsuk mencocoknya alamat dan nomor rumah dengan rumah mewah yang terpampang di hadapannya.
“Ya, benar, ini dia! Setelah 13 tahun, semuanya menjadi begitu berbeda.”
“Jadi kakek akan bertemu dengan teman lama kakek yang sudah berpisah dengan kakek selama 13 tahun?”
“Iya.”
“Wah, kakek hebat! Aku berharap persahabatanku dan Sujin juga bisa selanggeng kakek dan teman kakek.”
“Jangan pernah samakan diriku denganmu! Juga jangan panggil aku kakek! Bukankah sudah kubilang padamu tadi?”
“Eh… iya. Maafkan aku…”
“Kau tunggu di sini sampai aku kembali!” perintah Myungsuk.
“Iya, kek. Ups, maksudku iya…”
Myungsuk pun memasuki rumah itu.
*****
“Maaf, tapi mungkin Anda belum mendengar kabar ini. Ayah saya, Choi Soo Hyun, sudah meninggal belum lama ini,” kata Choi Hyunmoo.
“Aku turut berduka cita…” kata Kim Myungsuk.
“Tapi apa benar Anda yang bernama Kim Myungsuk?” tanya Tae Jinah hati-hati.
“Ya, benar itu aku. Aku adalah sahabat Choi Soo Hyun.”
Choi Hyunmoo dan Tae Jinah saling berpandangan.
“Apa Choi Soo Hyun pernah meninggalkan pesan sebelum dia meninggal?”
“Sebenarnya…” Choi Hyunmoo mulai bercerita panjang lebar.
“Maaf sebelumnya, tapi bukankah Anda tidak mempunyai cucu perempuan?” tanya Tae Jinah lagi.
“Siapa yang mengatakan hal itu?”
“Oh, hahaha… kami tentunya giat mencari informasi.”
“Kalau begitu, informasi yang kalian dapat mungkin keliru.”
“Apa maksud Anda?”
“Anakku mengangkat seorang putri ketika dia masih berumur 5 tahun. Namanya Kim Jin Ri. Dia yang akan aku jodohkan dengan anak kalian, cucu Choi Soo Hyun.”
To be continued
Author’s NOTE:
Hai hai…
Happy New Year 2013! Ini adalah
postingan pertamaku di tahun penuh berkah ini (aamiiin…). Maaf atas keterlambatanku yang sudah tidak bisa ditolerir ini lagi yak! Maklum, mahasiswa baru alias maba 2012 Universitas Haluoleo ini sibuknya minta ampun. Tugas di mana-mana… belum lagi tidurnya kalau orderan tugas lagi sepi. Belum lagi stres kalau dosennya marah-marah gitu. Memang dunia perkuliahan adalah dunia yang kejam. Waspadalah bagi readers yang tahun ini
Insya Allah lulus UAN dan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
PART 3 ini sebenarnya sudah sangat lama tersimpan di lappyku. Tapi dasar malas dan kehabisan ide, jadi tidak kulanjutin. Maaf ya kalau misalnya
part ini kurang gregetan. Istilahnya kalau dalam ilmu literatur, part 1-3 ini masih berupa
exposition alias perkenalan (jiahhh… mengaplikasikan ilmu yang didapat dari kelas literatur nih yeee :p).
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar
comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::