::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Selasa, 05 November 2013
Sun and Flower
He is sun
And I am flower
He is over the sky
And I am on the earth
He is big
And I am small
He is hot
And I am pretty
He shines me
And I like it
He is bright
And I am … I don’t know! Am I bright?
I know him
But he doesn’t
I see him
But he is too far to see me
I need him
But he doesn’t
I cannot live without him
But… can he live without me?
He is sun
And I am flower
Forever like this
Ever after
She is sunflower
She is bright
She is yellow
Yeah… I’m jealous of her
Categories
Puisi siBluuu
Minggu, 03 November 2013
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 7]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
“Maaf, Anda siapa?” Minho masih berusaha bersikap sopan.
Dia tidak menjawab. Ia membalikkan kursi putar Minho.
“Apa secepat itu kau melupakanku?”
“Yuri?”
*****
“Ap… apa yang kau lakukan di sini?” Minho tergagap.
Yuri berdiri lalu berjalan mendekati Minho. Dia mencium pipi kanan Minho.
“Aku ingin kembali padamu…” bisik Yuri.
Minho kaget dan berbalik pada Yuri.
“Apa maksudmu?”
“Aku minta maaf karena meninggalkanmu. Kau tahu kan bagaimana shocknya aku ketika mendengar kau akan menikah? Aku minta maaf karena sudah memutuskan hubungan kita, tapi aku tidak bisa berpikir dengan jernih saat itu. Kau masih mau menerimaku kan, sayang? Kau pernah bilang asal aku mau menunggu kau akan kembali padaku. Aku sudah memikirkannya baik-baik,” Yuri berhenti sejenak.
“Aku akan menunggumu, kapan pun itu.”
Minho menelan ludahnya. Ia mulai tergoda.
“Kau serius?”
“Ya ampun, Minho… kalau aku main-main, untuk apa aku datang ke sini sepagi ini kalau hanya untuk menemuimu? Aku hanya tidak bisa menahan perasaanku yang ingin segera bertemu denganmu. Makanya aku datang ke sini sampai-sampai aku mengabaikan peraturan tamu yang berkunjung di perusahaanmu,” jelas Yuri.
Minho diam.
“Kenapa diam? Katakan sesuatu! Apa kau tidak senang?”
Minho masih terdiam.
“Aku akan menikah minggu depan,” katanya beberapa saat kemudian.
“Tidak masalah… kau tak ingin mengundangku?”
“Kau tak apa jika datang?”
“Aku tidak akan apa-apa karena aku tahu akhir cerita ini…”
“Akhir cerita?” Minho tak mengerti.
“Kau masih mencintaiku kan?” balas Yuri bertanya.
Minho menoleh ke arah lain, mengangguk, lalu menunduk.
“Kalau begitu aku tahu akhir ceritanya. Kita akan bersama,” ucap Yuri ditutup dengan senyuman.
*****
“Nona, tolong tegapkan badanmu!”
“Perlu setegap apa lagi? Ini sudah tegap…” keluh Jin Ri pada pegawai yang membantunya memakai gaun pra-wedding.
“Tapi Anda harus lebih tegap lagi agar gaunnya muat…”
Jin Ri pun berusaha lebih menegapkan badannya.
“Ah… akhirnya selesai juga…”
Jin Ri mematut dirinya di depan cermin. Dia berputar. Lekuk tubuhnya terlihat sempurna. Gaun putih selutut dipadukan dengan warna merah jambu terlihat sangat cocok dengan kulit beningnya. Rambutnya dibiarkan terurai. Dia pun keluar dari kamar pas untuk memperlihatkannya pada semua orang.
“Gimana, Bu? Bi? Terlihat cocok?” tanya Jin Ri polos.
“Cantik sekali!” puji Min Ah dan Tae Jinah.
“Nona, apa kau sudah selesai bersiap? Semua sudah menunggu untuk sesi pemotretan,” panggil seorang asisten fotografer pra-wedding Jin Ri dan Minho.
“Iya… aku akan segera keluar…”
“Ayo!”
Jin Ri keluar bersama Min Ah dan Tae Jinah.
Minho sedang memakai jasnya yang berwarna hitam kombinasi merah jambu saat Jin Ri memasuki ruang pemotretan. Mata Minho mengikuti langkah Jin Ri hingga ia berdiri di depannya.
“Gimana, Kak?” Jin Ri iseng bertanya.
Minho lalu mengalihkan pandangannya.
“Meskipun aku berkata jelek, apa kau akan menggantinya?”
Jin Ri menunduk dan menggeleng.
“Lalu untuk apa kau meminta pendapatku? Pendapatku tidak akan mempengaruhi apapun,” terang Minho dingin.
“Maaf, Nona… tolong pakai sepatu ini!”
“Ahh… haknya tinggi sekali… apa tidak ada yang lebih pendek? Aku belum pernah memakai hak setinggi itu…”
“Pakai saja! Kan hanya untuk keperluan pemotretan,” kata Minho.
Jin Ri berpikir sejenak.
“Baiklah…”
Jin Ri pun memakai sepatu itu.
“Mari kita mulai!” kata fotografernya.
Si fotografer pun mengarahkan pose-pose yang harus dilakukan oleh Jin Ri dan Minho.
“Pose kalian bagus. Tapi aku merasa ada yang kurang,” keluh si fotografer setelah mengambil beberapa foto.
“Apanya?” tanya Minho.
“Sepertinya kurang bisa mengekspresikan perasaan kalian berdua. Kalian memang tersenyum dan tertawa, tapi bukan karena cinta, melainkan karena instruksi dariku. Apa kalian paham?”
Minho dan Jin Ri mengangguk.
“Bagus. Mari kita coba sekali lagi! Sekarang Jin Ri berdiri di samping Minho!”
Jin Ri pun berjalan dengan sangat hati-hati. Dia takut jatuh. Namun walau berjalan sehati-hati apapun, insiden itu tetap terjadi. Kaki kanannya terlipat sehingga ia jatuh ke depan. Minho yang kaget tidak sempat menahannya. Jin Ri malah menindih badan Minho.
Semua orang kaget melihat insiden itu. Tapi si fotografer tidak tinggal diam. Dia mengabadikan kejadian langka itu.
“Ah… bagus sekali! Perfect!” puji si fotografer.
Jin Ri dan Minho baru sadar dari kejadian tersebut. Jin Ri cepat bangun dan memperbaiki rambutnya, disusul oleh Minho.
“Coba kalian lihat ini! Ini adalah foto yang sangat bagus!”
“Apa?” Minho dan Jin Ri heran dengan perkataan si fotografer barusan.
“Ini akan menjadi foto pra-wedding yang sangat bagus. Kalian akan melihat hasilnya nanti di hari pernikahan kalian.”
Minho dan Jin Ri saling pandang. Muka Jin Ri memerah.
*****
“Ki Bum, suruh Jin Ri turun! Kita sarapan bersama,” perintah Kim Myungsuk.
“Iya, Kek.”
Ki Bum menaiki tangga menuju lantai dua. Ia mengetuk kamar Jin Ri.
“Masuk!” suara Jin Ri dari dalam kamar.
Ki Bum membuka pintu.
“Ayo makan, anak malas! Semua sudah menunggumu di bawah,” kata Ki Bum melihat Jin Ri yang masih berbaring malas di tempat tidurnya.
“Sarapan duluan saja… aku masih ngantuk!” keluh Jin Ri sambil menutupi wajahnya dengan selimut.
“Dasar malas! Ayo bangun!” Ki Bum menarik selimut Jin Ri.
“Ahh… kakak…” omel Jin Ri manja.
“Bangun…!”
Jin Ri pun bangun dengan malas.
“Tungguin! Aku cuci muka dulu!”
“Cepetan!”
“Iya, tunggu! Bawel amat!”
Setelah cuci muka, Jin Ri turun bersama Ki Bum.
“Pagi, Kek… Ayah… Ibu…!” sapa Jin Ri sambil mencium pipi kakek, ayah, dan ibunya.
“Karena Jin Ri sudah datang, ayo kita sarapan!” kata Kim Myungsuk.
Jin Ri mengambil dua potong roti tawar dan mengolesinya dengan selai kacang.
“Tidak terasa, sarapan kita pagi ini adalah sarapan terakhir kita bersama Jin Ri,” kata Kim San.
“Maksud ayah?” Jin Ri tak mengerti.
“Dasar bodoh!” Ki Bum yang duduk di samping Jin Ri menjitak kepalanya.
“Aduh… kenapa sih?” Jin Ri mengusap-usap kepalanya.
“Kau ini bodoh atau apa? Setelah menikah, kau tentu tidak akan tinggal bersama kami lagi…”
“Masa? Memang benar, Yah?” tanya Jin Ri tak percaya.
“Benar… setelah menikah, kau akan tinggal berdua dengan Minho. Ayah Minho dan aku telah menyiapkan sebuah rumah untuk kalian berdua sebagai hadiah pernikahan dari kedua pihak keluarga.”
“Dan aku juga sudah menyiapkan hadiah spesial untuk kalian berdua…” timpal Kim Myungsuk.
“Kakek juga?” Jin Ri semakin tak percaya.
“Ibu juga punya. Tapi ibu akan memberikannya nanti,” kata Min Ah.
Jin Ri tersenyum. Ia lalu menoleh pada Ki Bum.
“Kau tidak mau memberikanku hadiah?” kata Jin Ri dengan nada menggoda.
“Hah! Aku? Memberimu hadiah?”
Jin Ri mengangguk penuh harapan.
“Jangan mimpi!”
Jin Ri manyun mendengar jawaban Ki Bum. Kim Myungsuk, Kim San, dan Min Ah tertawa.
“Sudah, ayo kita lanjutkan makannya!”
*****
Hari pernikahan…
Tamu sudah berdatangan. Seluruh keluarga menyambut kedatangan mereka. Minho turut berpartisipasi.
Foto pra-wedding Minho dan Jin Ri dipajang di pintu masuk ruangan pernikahan. Setiap tamu yang berdatangan pasti memuji keindahan foto itu.
Tidak lama kemudian, Kim Myungsuk memerintahkan Minho untuk bersiap-siap di altar menyambut kedatangan Jin Ri. Ia lalu mengenakan sarung tangannya. Kim San disuruh bersiap-siap di luar ruangan bersama Jin Ri. Acara pernikahan Minho dan Jin Ri dimulai.
“Wah… Jin Ri cantik sekali…” ungkap Jisun kagum.
Jin Ri tersenyum malu-malu.
“Tidak usah banyak bicara! Jalankan saja tugasmu sebaik-baiknya!”
“Iya, Nyonya Choi…” goda Jisun.
Kim San tertawa.
“Hus! Jangan sembarang ngomong!” bantah Jin Ri.
“Memang nyatanya sebentar lagi seperti itu. Kau akan resmi menjadi istri Kak Minho. Itu berarti kau adalah Nyonya Choi.”
“Ishh… kau ini!”
Musik pertanda masuknya pengantin wanita ke dalam ruangan berbunyi.
“Sayang, ini saatnya!”
Kim San menggandeng tangan Jin Ri. Pintu terbuka. Jin Ri menegakkan badannya. Ia berjalan didampingi ayahnya. Terlihat seulas senyuman ketika matanya menangkap pandangan Min Ah dan Ki Bum. Jisun berjalan di belakang Jin Ri. Dia menjadi pengiring pengantin wanita. Ini merupakan permintaan khusus Jin Ri.
Jin Ri lalu memfokuskan pandangannya ke depan. Ia menangkap pandangan lain yang sedari tadi terus memandanginya. Minho memandangi Jin Ri. Tidak ada yang bisa memungkiri penampilan Jin Ri yang sangat cantik. Gaun panjang seputih salju dan selembut
sutra. Jin Ri tersenyum. Minho membalasnya.
Kini ia sampai di depan altar. Kim San memberikan tangan Jin Ri pada Minho. Minho menerimanya. Jin Ri naik ke altar. Mereka berdua lalu mengumandangkan janji pernikahan mereka.
Minho lalu menyematkan cincin di jari manis Jin Ri, begitu pun Jin Ri.
“Pengantin pria disilakan mencium pengantin wanita!”
Minho membuka penutup kepala Jin Ri. Ia mengangkat wajah Jin Ri yang tertunduk. Minho mulai mendekatkan wajahnya. Jin Ri menelan ludah. Ia tak sanggup melihat wajah Minho yang semakin dekat. Ia menutup matanya.
Cup~
Jin Ri membuka matanya. Minho tidak menciumnya di bibir, melainkan di bawah bibirnya. Dilihatnya Minho tersenyum nakal padanya. Wajah Jin Ri memerah. Kedua keluarga besar tersenyum menyaksikan mereka berdua.
Setelah melakukan sesi berfoto bersama, kedua keluarga sibuk menjamu tamu yang datang. Jin Ri dan Minho juga sibuk menjamu kerabat-kerabat mereka yang sempat datang.
“Ehm…”
Minho yang sedang berbincang dengan seorang temannya tiba-tiba berbalik. Ia sedikit kaget.
“Yuri? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Bukankah kau yang mengundangku?”
Minho celingak-celinguk. Ia takut kalau keluarganya melihat kehadiran Yuri. Ia menarik tangan Yuri ke pojok ruangan.
“Seharusnya kau memberi tahuku lagi kalau kau akan datang!”
“Aku kan sudah memberi tahu kamu hari itu. Aku kan sudah bilang bahwa aku tahu akhir cerita ini…” Yuri mengelus kerah kemeja Minho.
Minho pucat.
“Kau kenapa? Apa kau takut hubungan kita diketahui istrimu?”
Minho menelan ludah.
“Kita tak perlu membicarakan itu sekarang!”
*****
“Jin Ri, lihat itu! Kak Minho sedang bersama siapa?” tanya Jisun yang tidak sengaja melihat Minho dan Yuri di pojok ruangan.
“Mana?”
“Itu… yang di pojok sana!”
Jin Ri memperhatikan mereka berdua.
“Sepertinya aku kenal perempuan itu…”
Jin Ri memicingkan matanya.
“Ya ampun! Dia kan kekasih Kak Minho.”
“Hei, apa yang kau lihat?” suara Ki Bum mengagetkan Jin Ri.
“Ah… tidak, bukan apa-apa…” Jin Ri berbohong.
Tapi terlambat. Ki Bum bisa melihat apa yang sedang dilihat Jin Ri.
“Aish… kenapa perempuan itu bisa datang ke sini?” umpat Ki Bum.
“Ayo kita ke sana?” Ki Bum menarik tangan Jin Ri.
“Ke mana?”
Ki Bum tidak menjawab. Tapi Jin Ri tahu ke mana Ki Bum akan membawanya.
“Hei… kalian berdua mau ke mana? Aku kok ditinggal sendiri?” Jisun malah kebingungan sendiri.
*****
“Yuri? Kau juga datang rupanya! Kenapa tak menemuiku? Lama tak berjumpa denganmu!” Ki Bum sengaja memecah suasana.
Minho dan Yuri menoleh ke arah Ki Bum.
“E… rencananya aku baru akan menemuimu setelah menemui Minho. tapi, tiba-tiba kau malah menghampiriku di sini. Sungguh kebetulan, hahaha…” Yuri tertawa garing.
Mata Minho dan Ki Bum bertatapan. Ki Bum memberi tanda agar Minho memperkenalkan Jin Ri pada Yuri.
“Oh ya, per… perkenalkan! Ini is… istriku. Jin Ri, ini Yuri. Yuri, ini Jin Ri,” Minho terlihat gugup.
“Kurasa kita sudah pernah bertemu sebelumnya. Kau ingat kan?” tanya Yuri.
Jin Ri mengangguk.
“Bagus! Jadi kurasa perkenalan ini tidak perlu,” Yuri tersenyum.
“Jadi kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Ki Bum.
“Iya. Saat itu Kak Minho datang ke rumah bersama Kak Yuri untuk menyampaikan surat dari Kak Amber. Tapi kakak sedang tidak ada di rumah,” jelas Jin Ri.
“Oh, waktu itu…” Ki Bum mengingat-ingat.
“Em… karena kita sudah bertemu, sebaiknya aku pulang!” kata Yuri.
“Kenapa terburu-buru?” tahan Jin Ri.
“Aku hanya tidak mau berlama-lama di sini,” Yuri mengatakannya sambil menatap tajam mata Minho, lalu tersenyum pada Jin Ri dan Ki Bum.
“Semoga kalian bahagia!”
Sekali lagi, Yuri melempar tatapan penuh arti pada Minho. Ki Bum dapat mengerti arti tatapan itu. Ia tahu, telah terjadi sesuatu antara Minho dan Yuri. Tapi tidak demikian dengan Jin Ri.
*****
“Jin Ri, Minho, kalian akan pulang dengan mobil ini! Aku sudah memberi tahu supirnya alamat rumah kalian,” kata Kim San.
“Pu… pulang ke mana, Yah?” tanya Jin Ri polos.
“Tentu saja pulang ke rumah kalian!”
Kim San tersenyum geli. Jin Ri dan Minho saling berpandangan.
“Ibu juga sudah menaruh hadiah yang pernah ibu janjikan di sana!” kata Min Ah.
“Err… ibu juga sudah menyiapkan hadiah untuk Jin Ri…” Tae Jinah tidak mau kalah.
“Ibu?” Minho tak percaya ibunya juga ada di balik semua ini.
“Sudahlah, sekarang kalian harus pulang! Istirahat yang cukup! Beberapa pakaian kalian sudah tersedia di sana,” perintah Kim Myungsuk.
Jin Ri dan Minho berpamitan pada kedua keluarga mereka. Ragu-ragu mereka menaiki mobil.
“Apa kakak tahu mengenai rumah itu?” tanya Jin Ri ketika mobil mereka sudah jauh meninggalkan gereja tempat mereka melangsungkan pesta pernikahan.
“Tidak,” Minho menggeleng.
“Aish… kalau begini kan gawat!”
“Bukannya itu bagus?”
“Bagus? Bagus apanya? Kita akan tinggal berdua!!”
Minho menoleh ke arah Jin Ri.
“Kau punya otak tidak sih? Kalau kita tinggal berdua, itu berarti tidak ada yang mengawasi kita. Dengan kata lain, kita BEBAS!”
“Bebas? Bebas melakukan apa?” Jin Ri mulai ketakutan dengan perkataan Minho barusan. Ia menutup dadanya.
Minho tertawa melihat sikap refleks Jin Ri. Ia lalu menatap Jin Ri dan mendekatkan wajahnya. Semakin dekat. Jin Ri menutup mata sambil menyilangkan tangannya di depan wajah Minho.
“Dasar gadis berpikiran jorok!” bisik Minho.
Jin Ri membuka matanya. Ia baru sadar kalau Minho mengerjainya.
Si supir melihat aksi sepasang pengantin baru itu dari kaca depan mobil. Ia tertawa kecil.
Selama sisa perjalanan, tak ada percakapan. Mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
*****
“Terima kasih…”
Jin Ri dan Minho membungkuk yang dibalas anggukan kepala sang supir. Mobil itu pun melaju pergi.
Mereka berdua berbalik menatap rumah yang cukup besar di hadapan mereka.
“Haruskah kita memperkerjakan satu dua orang pembantu di rumah ini? Aku rasanya tak sanggup untuk mengurusnya sendirian,” keluh Jin Ri.
“Tidak!” jawab Minho tegas.
“Kenapa?” Jin Ri penasaran.
“Aku tidak mau ada orang lain yang tinggal di rumah ini, selain kita berdua.”
“Lho, memangnya kenapa?” Jin Ri semakin penasaran.
Minho menoleh kepada Jin Ri dengan tatapan yang tajam. Hal itu membuat Jin Ri diam dan tidak berani lagi mengajukan pertanyaan.
“Aku capek, mau mandi,” kata Minho seraya meninggalkan Jin Ri.
“Mandi? Hah!” Jin Ri membulatkan matanya. Ia cepat menggeleng menghilangkan berbagai pikiran negatif di kepalanya.
*****
Jin Ri mengikuti Minho memasuki sebuah kamar tidur.
“Haaa??!!!” Jin Ri menahan napas melihat Minho.
Minho berbalik. Ia juga kaget.
“Ap… apa yang kau pegang itu?!!” Jin Ri menunjuk lingerie yang dipegang Minho.
Minho refleks membuangnya ke atas tempat tidur.
“Aku… aku tidak tahu! Itu begitu saja ada di situ! Bukan aku yang membawanya…” Minho sedikit ketakutan.
Jin Ri memicingkan matanya curiga.
Tidak sengaja Minho melihat sebuah note yang ditempelkan pada lingerie itu.
Happy wedding, honey… :)
Ibu
“Ha! Ini dari ibu,” kata Minho yang dengan cepat mengenali tulisan tangan ibunya.
“Lalu… kenapa kau mengikutiku ke sini?”
“Aku kan juga ingin istirahat…”
“Ini kamarku! Pergi ke kamar sebelah!” perintah Minho.
Jin Ri menghela napas. Ia pun menuju kamar sebelah.
Klek.
Jin Ri menatap datar kamar itu.
“Kosong?”
Ia lalu kembali ke kamar Minho.
“Kak, kamar di sebelah kos… AAAAAAAAAAAAAA!!!” jerit Jin Ri.
Minho yang sedang melepas bajunya kaget melihat kedatangan Jin Ri. Dengan cepat ia mengenakan kemeja putihnya kembali.
“Apa kau tidak bisa ketuk pintu sebelum masuk?” bentak Minho.
“Ma… maaf…” Jin Ri menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Aku hanya mau bilang, aku tidak bisa tidur di sebelah. Ruangannya kosong.”
“Kalau begitu, tidur saja di sofa!”
“APA?!!” Jin Ri seakan tak percaya mendengar perkataan Minho.
“Aku yang duluan mendapatkan kamar ini, jadi ini kamarku. Siapa suruh jalanmu lambat sekali,” ucap Minho santai.
Jin Ri menggigit bibirnya. Ia kesal sekali. Sambil mengumpat marah, ia mengambil beberapa potong baju dari lemari, bantal, dan selimut. Ia keluar dari kamar.
“Eh, tunggu dulu!” panggil Minho tiba-tiba.
Jin Ri tersenyum.
“Apa dia berubah pikiran ya?” pikir Jin Ri.
“Ada apa?” Jin Ri berbalik, sengaja memasang wajah masam.
“Ambil itu! Aku tidak mau menyentuhnya lagi!” suruh Minho sambil menunjuk lingerie yang ada di atas tempat tidur.
Jin Ri kesal mendengar jawaban Minho. Ia lalu mengambil lingerie itu dan keluar kamar.
“Dasar laki-laki tidak berperikemanusiaan!!!”
*****
Jin Ri sedang mempersiapkan sofa yang akan ditidurinya saat Minho keluar dari kamar. Ia hanya mengambil segelas air minum lalu kembali memasuki kamar.
Jin Ri menatapnya kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengumpat saja.
“Akan kubalas kau nanti!”
Jin Ri menarik selimutnya dan bersiap untuk tidur.
Klek. Minho membukan pintu kamar.
“Hei, kau!”
Jin Ri tak menjawab.
“Kau sudah tidur?”
Jin Ri tetap tak menjawab.
“Ya sudah. Tadinya aku berubah pikiran mau menyuruhmu tidur di kamar, tapi karena kau sudah tidur duluan, apa boleh buat. Selamat malam!”
“Tunggu!!”
Jin Ri bangun. Dengan cepat ia berlari memasuki kamar.
“Terima kasih,” ia tersenyum nakal lalu menutup pintu dan menguncinya.
Minho terdiam sesaat.
“Dasar perempuan aneh!”
Minho tersenyum. Ia pun tidur di sofa tempat Jin Ri berbaring tadi.
*****
“Hoaaaammmm!!”
Jin Ri meregangkan badannya. Untuk sejenak ia berpikir di mana dirinya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya.
Jin Ri tersenyum. Dilihatnya jam. Sudah pukul 8.35.
Ia beranjak dari tempat tidur. Dibukanya jendela. Ia keluar kamar. Ia menuju dapur untuk meminum segelas air.
“Kak Minho?” panggilnya setelah sadar tak ada siapa pun di rumah.
Jin Ri memeriksa ponselnya. Dua pesan belum dibaca.
Pesan pertama dari Ki Bum:
Datanglah ke rumah hari ini! Kakek ingin memberimu sesuatu.
Pesan kedua dari Minho:
Aku berangkat kerja.
“Apa aku bangun begitu telat?” katanya sambil melirik jam dinding.
Jin Ri bersiap-siap mandi.
*****
“Bagaimana malam pertamamu?” tanya Min Ah.
“Ah… ibu… itu kan masih terlalu cepat…” muka Jin Ri memerah.
Min Ah dan Kim Myungsuk tertawa.
“Kau masak apa pagi ini?”
“Tidak ada.”
“Bagaimana bisa tidak ada? Kau tidak memasak untuk suamimu?”
“Bukannya tidak mau, Bu. Tapi ketika aku terbangun, Kak Minho sudah berangkat ke kantor.”
“Kau pasti bangun kesiangan lagi!”
Jin Ri tersenyum malu-malu.
“Ya sudah. Kau tak perlu memarahinya…” lerai Kim Myungsuk.
“Ambil itu!” katanya sambil menaruh sebuah amplop di atas meja.
“Ini apa, Kek?” tanya Jin Ri seraya mengambil amplop itu.
“Buka saja! Itu hadiah pernikahan dari kakek.”
Penasaran, Jin Ri membuka amplop tersebut.
“Ha?!!” serunya kaget.
“Kalian akan bulan madu ke Italia. Bagaimana? Kau suka?” tanya Kim Myungsuk.
“Bulan madu?”
*****
Klek.
“Aku pulang!”
Begitu mendengar suara Minho, Jin Ri lalu menyambutnya di depan pintu.
“Selamat datang!”
Minho kaget. Ia melihat jam dinding. Sudah pukul 11 malam.
“Kau belum tidur?”
Jin Ri menggeleng.
“Kau menungguku?”
“Ponsel Kak Minho tidak aktif. Kau juga tidak memberiku kabar jam berapa akan pulang. Kau sudah makan?”
Minho menatap Jin Ri aneh.
“Kau kenapa? Kenapa jadi sangat perhatian padaku?”
“Apa?”
Minho berjalan ke dapur untuk minum. Jin Ri mengikutinya.
“Maaf karena tadi pagi aku bangun kesiangan. Mulai besok aku akan memasak. Kau ingin aku masak apa besok?”
Minho menatap Jin Ri.
“Apa aku tidak salah dengar? Kau yakin?”
Jin Ri mengangguk.
“Besok pagi aku mau makan pancake dengan madu. Kau tidak perlu repot-repot memasak untuk makan siang, aku akan makan di luar. Malamnya masakkan aku ayam panggang. Bisa?”
Jin Ri berpikir sejenak.
“Bisa!”
“Bagus. Besok pagi makanan sudah harus siap sebelum pukul 8. Mengerti?”
Jin Ri mengangguk.
“Oh ya, sebelum pulang aku singgah di toko furnitur. Aku sudah membeli beberapa furnitur untuk kamar sebelah. Mungkin besok pagi mereka akan mengantarnya. Setelah itu, pindahlah dari kamarku!” kata Minho sambil berjalan meninggalkan dapur.
*****
Keesokan paginya…
Jin Ri sudah menaruh beberapa bahan untuk membuat pancake di hadapannya.
“Seingatku Kak Ki Bum pernah mengajariku cara membuat pancake. Tapi itu sudah lama sekali. Apa benar semua ini bahannya?” Jin Ri berpikir keras.
Jin Ri mendapat ide.
“Ah, benar juga!”
Ia mengeluarkan ponselnya. Ia menuliskan CARA MEMBUAT PANCAKE MADU di kotak pencarian YouTube. Ia memilih salah satu video. Jin Ri pun mengikuti langkah-langkah memasak pancake madu seperti di video. Hasilnya…
“Apa ini?”
“Pancake dengan madu…” Jin Ri menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Minho tertawa.
“Ini kau sebut pancake?” tanya Minho sambil memandang pancake setengah jadi di hadapannya.
“Maaf…”
“Sudahlah. Kau makan saja itu sendiri. Aku tak mau memakannya!”
Minho beranjak meninggalkan dapur.
“Aku akan memasak ayam panggang malam ini! Kau ingat kan?”
“Ya. Kuharap ayam panggang masakanmu enak. Aku pergi!”
Jin Ri memanyunkan bibir.
*****
Jin Ri sedang mendorong troli belanjanya.
Tit.. tit.. ponsel Jin Ri berbunyi.
“Hei, kau di mana?” bentak Jin Ri.
“Aku sudah di supermarket! Kau di bagian mana?” terdengar suara Jisun.
“Aku di bagian penjualan ayam.”
“O, aku ke situ!”
Tit.
Jin Ri mulai memilih-milih ayam.
“Maaf, aku telat…” ucap Jisun tersenyum tanpa penyesalan.
“Dasar!”
“Jadi malam ini kau akan memasak ayam panggang?”
Jin Ri mengangguk.
“Memang kau pernah masak ayam panggang sebelumnya?”
Jin Ri menggeleng.
“Lalu bagaimana kau akan memasaknya?”
“Kan ada internet…”
“Kau terlalu menganggap remeh! Bagaimana jika tidak enak?”
“Pasti enak!”
“Minta bantuan Kak Ki Bum saja!”
“Tidak usah!”
“Kenapa?”
“Aku dan Kak Minho sudah berjanji, kami tidak akan melibatkan keluarga masing-masing dalam urusan rumah tangga.”
“Tapi kan kau hanya bertanya bagaimana cara memasak ayam panggang…”
“Kubilang tidak usah! Kau cerewet sekali sih!”
“Huu… dasar keras kepala!” Jin Ri jengkel.
“Daripada kau mengomeliku terus, lebih baik bantu aku mencari bahan-bahan di list ini! Oke?”
“Terserah kau saja…”
*****
Jin Ri memasuki rumahnya dengan membawa 2 kantung besar belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Ia menaruhnya di meja dapur. Ia lalu mengeluarkan barang-barang belanjaannya satu per satu.
“Nah, mari kita mulai!”
Jin Ri mengeluarkan ponselnya. Ia membuka sebuah web yang sudah disimpannya.
“Ini dia… cara membuat ayam panggang lezat…”
Jin Ri memulai aksinya dengan mencuci ayam terlebih dahulu. Ia tersenyum malu.
“Jin Ri… masakanmu malam ini enak sekali. Tolong besok masakkan aku lagi ya!” ujar Jin Ri sambil menirukan suara berat Minho.
“Hahahaha…. Dia pasti akan mengatakan hal itu dan meminta maaf karena marah-marah padaku tadi pagi, hahaha…” kata Jin Ri membayangkan.
Jin Ri mengikuti resep dengan baik. Ia melakukannya sesuai dengan langkah-langkah memasak yang tertera di resep.
“Baik… sekarang tinggal dipanggang. Pangganglah selama ± 30 menit,” baca Jin Ri.
Jin Ri lalu memasukkan ayam yang telah dibumbui kedalam oven dan mengatur waktunya. 30 menit.
“Kali ini aku pastikan tidak akan terjadi kesalahan seperti tadi pagi,” ucap Jin Ri yakin.
Sudah pukul setengah 6 sore.
“Kak Minho pulang pukul 7. Nanti aku tinggal menghangatkan ayamnya saja!” katanya pada dirinya sendiri.
Sambil menunggu ayamnya matang, ia membersihkan peralatan memasaknya dan mencuci piring.
30 menit kemudian…
Ting..
“Ah… akhirnya masak juga…” ucap Jin Ri bersemangat.
Ia mengeluarkan ayam panggangnya dengan hati-hati.
“Wah… terlihat mirip dengan gambarnya!” katanya sambil membandingkan ayam panggang buatannya dengan foto ayam panggang yang ada di resep.
“Sempurna!”
Jin Ri mengambil sedikit sayuran dan menyicipinya. Ia mengecap-ngecap. Wajahnya terlihat aneh. Ia memotong sedikit bagian ayam dan menyicipinya lagi. Wajahnya pucat.
“Oh Tuhan, jangan bilang aku lupa menambahkan garam!”
Jin Ri kembali menyicipi ayamnya. Rasanya masih sama. Baik ayam maupun sayurannya, keduanya terasa tawar. Jin Ri terduduk. Sudah pukul 6.
“Mati aku!”
Ia melihat jam.
“Waktunya sudah tidak cukup untuk berbelanja dan membuatnya ulang. Aku harus bagaimana?” tanya Jin Ri bingung.
Ia meremas kepalanya. Berpikir.
Seulas senyuman terlintas di bibirnya.
“Aku punya ide!”
Ia meraih ponselnya. Mencoba mencari kontak.
“Halo, Restoran Ayam!”
“Halo, tolong pesan ayam panggang jumbo!”
“Alamat Anda?”
Jin Ri menyebutkan alamatnya.
“Silakan ditunggu dan terima kasih…”
Jin Ri menyeringai puas.
“Masalah selesai!”
*****
Minho membereskan pekerjaannya. Menyusun kembali dokumen yang berhamburan di meja kerjanya dan menutup laptopnya. Ia keluar dari ruangannya.
“Hari ini kau tidak perlu lembur. Aku pulang cepat,” kata Minho pada sekertarisnya.
“Iya, Pak. Harap berhati-berhati!”
Minho memasuki lift, menuju lantai bawah.
Ting.. pintu lift terbuka.
“Kau sudah mau pulang?”
Minho kaget.
“Yuri?”
Ia melangkah keluar dari lift.
“Apa yang lakukan di sini?” tanya Minho bingung.
“Aku baru mau mengajakmu makan malam!”
Minho melihat jam tangannya.
“Kenapa? Kau ada janji dengan klien?”
“Ah, tidak…”
“Lalu?”
Minho berpikir mencari alasan.
“Ah, kau mau pulang cepat? Merindukan istrimu?” tebak Yuri.
Minho menatap Yuri. Tak menyangka mendengar perkataan Yuri.
“Ah… tentu saja tidak.”
“Baik. Mari kita makan malam berdua!” Yuri menarik tangan Minho.
*****
Sementara di rumah, Jin Ri mempersiapkan ayam panggang yang baru diantar dan membuang ayam panggang buatannya. Ia mengatur meja makan. Piring, gelas, serbet, pisau, dan garpu sudah tertata rapi. Ia juga menaruh amplop yang diberikan kakeknya kemarin. Ia rencana akan memberi tahu Minho perihal bulan madu mereka setelah makan.
Sudah pukul 7.
Sambil menunggu Minho, Jin Ri menonton tv.
Sudah pukul 7.30. Jin Ri meraih ponselnya, hendak menelepon Minho.
Sibuk.
Pukul 8.
Pukul 9.
Jin Ri memutuskan untuk menghangatkan kembali ayam panggangnya.
Jin Ri masih menunggu. Ia akhirnya tertidur di sofa. Ia tak tahu, Minho sedang menikmati makan malam berdua dengan Yuri.
*****
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Readers, saya tidak bisa berbicara (baca: menulis) banyak. Kuharap deep bow-ku dapat menjelaskan semuanya. Mianhae untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Langganan:
Postingan (Atom)