Kamis, 21 Agustus 2014

LOVEY DOVEY COOKEY [PART 9]

Posted by Nur Fadhilah at 10:50:00 AM 4 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee), Lee Jin Ki (Onew SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Previous part:

Tit.. tit..

Ponselnya kembali berdering.

Minho melirik. Masih nomor yang tadi.

“Angkat saja…!” saran Jin Ri sambil sibuk memasukkan pakaiannya ke koper.

Dengan malas Minho menjawab panggilan itu.

“Halo…”

“Minho? Sekarang aku di Itali!”

*****


“APA??”

Jin Ri berbalik ke Minho. Ia memasang ekspresi bertanya.

Minho menangkap maksud Jin Ri. Ia menjauhkan ponselnya dari telinganya dan berbisik ke Jin Ri.

“Sebentar. Ini penting!”

Minho keluar kamar.

Setelah memastikan Jin Ri tak dapat mendengarnya, ia melanjutkan percakapannya.

“Kau bilang apa?”

“Aku di sini, Minho. Di Itali…”

“Yuri… jangan main-main… bagaimana bisa kau ada di sini?”

“Aku memang di sini… aku baru saja landing. Kumohon jemput aku…!” Yuri memelas.

“Aku tidak bisa… lagi pula aku akan kembali ke Korea malam ini.”

“Kenapa? Kau takut ketahuan istrimu?”

“Bukan begitu… lagi pula apa yang kau lakukan di sini?”

“Pokoknya aku tidak mau tahu, aku akan tetap menunggumu di bandara sampai kau datang!”

Tit.

Yuri menutup telepon.

“Halo! Halo! Kwon Yuri!”

Percuma, Yuri sudah memutus sambungannya.

“Aish!!!”

Minho meremas kepalanya. Pusing rasanya memikirkan perkataan Yuri barusan. Tanpa pikir panjang, Minho berlari keluar dari hotel dan menahan taksi.

“Airport, Sir!” perintahnya pada supir taksi.

*****

“Memangnya siapa yang menelepon? Lama sekali,” kata Jin Ri sambil merapikan pakaian di koper.

Setelah menutup kopernya, ia bergegas keluar kamar mencari Minho.

“Minho?”

Tapi ia tak melihat siapa-siapa di luar kamar. Ia lalu menutup pintu kamarnya dan berjalan ke lobi.

Jin Ri celingak-celinguk mencari sosok Minho tapi tak ditemukannya.

“Dia ke mana?” ia bertanya pada dirinya sendiri.

*****

Minho berjalan dengan cepat menuju Arrival Gate. Ia mencari-cari sosok Yuri di tengah keramaian orang-orang di bandara.

Matanya segera tertuju kepada sosok perempuan yang memakai kemeja putih tipis dan rok jeans pendek.

“Kau sudah lama menunggu?” sapanya sambil menghampiri Yuri.

Yuri melepas kacamata hitamnya. Ia tersenyum bahagia.

“Minho?”

Yuri segera memeluk Minho.

“Aku kira kau tak kan datang. Aku takut sekali…”

“Bagaimana kabarmu?” Minho melepas pelukan Yuri.

“Aku baik. Sangat baik. Apalagi setelah bertemu denganmu. Kau sendiri?”

“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.”

“Aku lapar. Ayo cari makan!” Yuri menarik tangan Minho.

Minho hanya tersenyum. Ia pasrah ditarik-tarik oleh Yuri.

*****

“Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak mungkin mengejarku sampai ke sini kan?” tanya Minho setelah menghabiskan makanannya.

“Enak saja! Aku ke sini karena job. Aku akan ada sesi pemotretan di Venice 2 hari lagi. Seharusnya aku terbang ke sini besok, bersama kru dan manajerku. Tapi kupikir akan lebih mengasyikkan jika aku berangkat duluan. Aku ingin jalan-jalan keliling Roma bersamamu.”

Minho tersenyum mendengar penjelasan Yuri.

“Dari mana kau tahu aku sini? Aku kan tidak memberi tahumu kalau akan liburan di sini.”

“Ki Bum. Dia bilang kau sedang berbulan madu di sini,” Yuri tidak bersemangat mengatakan kalimatnya barusan.

“Tapi aku akan pulang malam ini ke Seoul. Kita tidak bisa jalan-jalan seperti yang kau inginkan.”

“Aku tahu. Ki Bum juga bilang padaku. Tapi apa kau tega membiarkanku sendirian di sini? Atau paling tidak tinggallah sampai yang lainnya datang! Aku benar-benar tak kenal siapapun di sini…”

“Yuri… aku benar-benar tidak bisa tinggal. Sungguh! Kakek sudah membookingkan aku dan Jin Ri tiket malam ini…”

“Minho… aku ke sini karena dirimu. Apa kau tahu betapa senangnya aku ketika manajerku mendapatkan pekerjaan ini untukku?”

“Tapi Yuri…”

“Kalau kau tidak mau tinggal, aku juga tidak akan tinggal. Aku akan menghubungi manajerku sekarang juga dan menyuruh dia membatalkan semua kontraknya!” ancam Yuri.

“Yuri… kau tidak bisa seperti ini. Kau harus professional! Kau tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaanmu…”

“Aku tidak peduli!”

Yuri mengambil ponselnya dan menelepon manajernya.

“Siapa yang kau telepon?” selidik Minho.

“Manajerku,” jawab Yuri singkat.

“Ha…” Minho menarik ponsel Yuri dan memutus sambungan telepon.

“Kau kenapa sih?”

“Kau yang kenapa?”

“Kembalikan ponselku!”

Minho berdiri dan meninggikan tangannya.

“Berjanji dulu kalau kau tidak akan membatalkan kontraknya!”

“Aku akan tetap membatalkannya kalau kau tak mau tinggal di sini bersamaku!”

Minho menarik napas dalam-dalam.

“Ck… kau memang keras kepala! Baik, aku akan tinggal di sini bersamamu. Tapi ingat, hanya sampai besok. Okay?”

Sekejap Yuri pun tersenyum mendengar perkataan Minho.

“Tentu saja.”

Yuri memeluk Minho erat-erat.

“Kau tidak akan membatalkan kontraknya kan?” Minho memastikan.

Yuri menggeleng.

“Tidak akan! I swear, Sir!

Minho tertawa melihat tingkah Yuri. Yuri pun tertawa dan kembali memeluk Minho.

*****

Jin Ri melirik jam tangannya. Sudah pukul 5. Ia cemas.

Ia memeriksa ponselnya. Barangkali ada missed call atau sms dari Minho. Tapi tidak ada.

“Kau ke mana?”

Jin Ri memutuskan untuk menghubungi Minho.

*****

Minho dan Yuri berjalan bergandengan tangan menyusuri pasar tradisional di Roma. Yuri tampak bahagia sekali.

“Minho, kau mau makan kembang gula?” Yuri menunjuk penjual kembang gula.

“Boleh!”

Mereka membeli 2 kembang gula.

Mereka kembali berjalan sambil memakan kembang gula masing-masing.

“Lihat apa yang ada di hidungmu!” Minho tertawa.

Yuri meraba hidungnya. Dirasakan kembang gula menempel di hidungnya. Ia tertawa.

Setelah lama berjalan, Minho melihat kincir angin.

“Mau naik kincir angin?”

Yuri mengangguk senang.

Tit.. tit..

Minho melihat ponselnya. Jin Ri memanggil.

“Yuri, aku angkat telepon dulu ya…”

“Mm… kalau begitu akan kubeli tiketnya.”

Minho mengangguk.

Setelah Yuri pergi, Minho menjawab panggilan Jin Ri.

“Halo! Ada apa, Jin Ri?”

“Kau di mana? Kita harus ke bandara sekarang!”

Minho menepuk dahinya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan kepulangannya malam ini. Ditambah ia lupa memberi tahu Jin Ri bahwa ia menunda kepulangannya hingga besok.

“Eh… Jin Ri… maafkan aku. Tapi aku ada urusan tambahan di sini. Kalau kau tidak keberatan, kau pulanglah duluan malam ini. Aku akan menyusul besok. Kuharap kau mengerti…”

“Urusan apa?”

“Akan kujelaskan nanti! Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang.”

“Tapi kalau kakek dan yang lainnya bertanya aku harus jawab apa?”

“Serahkan saja itu padaku. Aku akan menelepon kakek.”

“Baiklah…” suara Jin Ri terdengar lemas.

“Kau tak apa?” Minho sedikit khawatir.

“Aku tak apa.”

“Kau yakin?”

“Mm…”

Tit.

Jin Ri menutup meneleponnya.

“Tapi setidaknya kau datang ke sini dan memberi tahuku. Apa kalau aku tidak meneleponmu kau sama sekali tidak akan ingat padaku?”

Air mata Jin Ri jatuh. Ia segera menghapusnya. Ia menarik kopernya dan koper Minho. Ia check out dari hotel dan tidak lupa menitipkan koper Minho di resepsionis.

*****

1 pesan diterima.

Aku menitipkan kopermu di resepsionis hotel. Datanglah mengambilnya.

Minho menghembuskan napasnya yang berat.

“Sudah teleponnya?”

Suara Yuri mengagetkannya.

“Mm…”

“Ini tiketnya. Ayo kita naik sekarang!” Yuri menarik tangan Minho.

Minho hanya tersenyum.

Telepon aku setibanya di Seoul. Sekali lagi aku minta maaf. Aku janji akan menjelaskan semuanya padamu nanti. Semoga perjalananmu menyenangkan :)

*****

Attention, please! …

Terdengar panggilan untuk menaiki pesawat. Jin Ri berdiri dan menarik kopernya. Namun tiba-tiba ia berhenti. Ia memperhatikan tiketnya. Tidak tau apa yang dipikirkannya. Ia merobek tiketnya. Ia menghembuskan napasnya dalam-dalam.

“Aku tau ini gila, tapi aku akan melakukannya. Kakek, Minho, semuanya, maafkan aku!”

Jin Ri lalu berbalik dan berjalan keluar bandara.

Ia baru saja melakukan hal gila. Ia merobek tiketnya dan melewatkan penerbangannya. Terdengar namanya dipanggil beberapa kali karena belum menaiki pesawat. Ia tidak peduli. Ia langsung menaiki taksi.

Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu jalan.

Tidak tau mengapa, tiba-tiba ia berpikir ingin pergi ke Venice. Ya, Venice.

*****

Setelah mengantar Yuri pulang ke hotel, Minho kembali ke hotel tempatnya menginap dengan Jin Ri. Ia menanyakan kopernya. Ia lalu memesan satu kamar lagi untuk semalam.

Minho berbaring di kasur. Ia kelelahan.

Ia mengecek ponselnya. Sudah lewat tengah malam, Jin Ri seharusnya sudah sampai di Seoul. Tapi mengapa ia tak menelepon. Mungkin lupa, pikir Minho.

Minho mencari kontak Jin Ri dan meneleponnya. Nomor Koreanya tidak bisa dihubungi.

Minho menghubungi ibu Jin Ri.

“Kalian di mana? Sudah sampai di Seoul? Kakek sangat bersemangat menunggu kepulangan kalian,” jawab ibunya bersemangat.

“Kakek bahkan bertanya, apa Jin Ri sudah hamil? Hahahaha…” lanjut Min Ah.

Apa? Jin Ri belum tiba? Bagaimana bisa? Seharusnya ia sudah tiba dari tadi. Apa pesawatnya delay?

“Minho? Kamu kok diam saja?”

“Pesawatnya mungkin delay, Bu.”

“Jadi kalian masih di bandara?”

“E… aku akan menghubungi ibu sebentar lagi!”

“Ah, Min…”

Tit.

Minho bangun. Ia mulai berpikir macam-macam.

Jin Ri ke mana? Kalau pesawatnya delay seharusnya ia menghubungiku. Kalaupun ia sudah sampai di Seoul, ia tentunya menghubungi ibu.

Minho kembali mencari kontak Jin Ri. Kali ini ia menghubungi nomor Italinya.

Tersambung.

“Halo!” terdengar suara Jin Ri.

“Kau di mana?” napas Minho memburu.

“Aku… aku sudah di Seoul.”

“Jangan bohong! Barusan aku menelepon ibu. Dia bilang kau belum sampai. Cepat katakan kau ada di mana!”

“Hah… baiklah… tapi jangan marah… aku membatalkan tiketku. Sekarang aku di Venice. Besok juga aku akan pulang. Aku akan menunggumu di bandara. Jadi orang-orang di rumah tidak akan curiga. Aman kan?”

“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”

Minho mengkhawatirkanku? Deg.

“Aku baik-baik saja. Aku menginap di hotel kemarin. Besok kita akan bertemu di bandara.”

“Sudah. Jangan ke mana-mana! Aku akan menjemputmu sekarang!”

“Bagaimana kau akan menjemputku? Mana ada kapal tengah malam begini? Kita ketemu saja di bandara… tak perlu menyusul ke sini…”

“Kau pikir kalau ada apa-apa denganmu siapa yang bertanggung jawab? AKU! Jadi tunggulah di sana, besok aku akan menyusulmu!”

“Tapi…”

“Jangan membantah! Dan jangan menelepon ibu. Biar aku yang urus semuanya!”

“Ba… baik…”

Tit.

“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”

Deg.

Jin Ri memegang dadanya.

“Ya ampun…”

*****

Keesokan harinya…

Minho sudah selesai memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Ia tinggal ke Venice dan menjemput Jin Ri, lalu kembali ke Roma dan terbang ke Seoul.

Ia turun ke lobi dan check out di resepsionis.

“Minho? Kebetulan sekali…”

“Yuri? Kamu ngapain ke sini?”

“Manajer dan kruku baru saja tiba di Roma. Rencananya kami akan ke Venice pagi ini.”

“Loh, kemarin kamu bilang pemotretannya besok?”

“Iya, tapi manajerku bilang, fotografernya mau ketemu aku hari ini. Jadi, dari bandara kami rencananya langsung ke Venice. Tapi kamu bilang kamu mau kembali ke Seoul pagi ini, jadi aku singgah untuk mengucapkan selamat tinggal.”

“Aku tidak jadi pulang pagi ini. Aku juga akan ke Venice.”

Really? OMG! Kok kebetulan banget sih? Kamu ada urusan apa di sana?”

“Emm…”

“Ya sudah, nggak penting! Yang penting kamu mau ke Venice dan aku juga mau ke Venice, ya kita barengan saja. Kruku sudah menyewa sebuah kapal. Akan sangat menyenangkan kalau kamu mau ikut dengan kami…”

“Em… tapi… Yuri…”

“Sudah! Nggak ada tapi-tapian!”

Yuri langsung menarik koper Minho. Ia menyuruh krunya untuk memasukkannya ke bagasi mobil.

“Yuk, tunggu apa lagi?” Yuri sudah menunggu dalam mobil.

Dengan pasrah Minho ikut masuk ke dalam mobil.

*****

Aku akan jalan-jalan pagi ini. Tenang saja, aku bisa jaga diri kok. Telepon aku kalau kau sudah tiba di sini…

Kirim.

Jin Ri siap mengelilingi Kota Venice. Ia sudah sedikit tahu jalan di sini berkat tour yang dia lakukan bersama Minho dan turis lainnya.

Jin Ri berjalan-jalan riang sambil jeprat-jepret tempat dan bangunan yang belum sempat difotonya saat tour yang lalu. Sesekali ia meminta tolong pada orang lain agar difotokan.

Ia singgah di kerumunan orang. Ada pertunjukan seni. Jin Ri menikmatinya. Ia mengeluarkan dompetnya dan memberiikan uang, lalu kembali berjalan.

Pluk.

Dompet Jin Ri terjatuh tanpa disadarinya.

“Excuse me? Lady!”

Seorang pria memungut dompet itu. Ia membuka dompet tersebut dan membaca tanda pengenal Jin Ri.

“Seoul?”

Pria itu mengejar Jin Ri.

“Hei, you! You!”

Jin Ri terus saja berjalan. Sesungguhnya ia mendengar panggilan itu, tapi ia tidak mengira bahwa orang yang dimaksud adalah dia.

“Hei, Choi Jin Ri!”

Jin Ri langsung mengerem langkahnya. Ia spontan berbalik.

“Apa kau Choi Jin Ri?” tanya laki-laki itu.

“I… iya… kau orang Korea? Emm… maaf, tau namaku dari mana ya?”

Jin Ri menggenggam erat tasnya. Ia takut kalau ini adalah modus pencopetan. Ia kembali teringat kata-kata Minho di telepon.

“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”


“Apa kau merasa kehilangan sesuatu?”

“Tidak…” jawab Jin Ri sambil menggeleng.

“Coba periksa tasmu baik-baik!”

Jin Ri semakin yakin kalau ini adalah modus pencopetan.

Jin Ri mundur selangkah sebelum memeriksa tasnya.

“Ah…”

Wajah Jin Ri menyiratkan ekspresi kepanikan. Dompetnya tidak ada.

“Do… dompetku hilang!”

“Nih…” laki-laki itu menyodorkan dompet Jin Ri.

Jin Ri mengambilnya dengan cepat. Ia memeriksa semua isinya. Uang, tanda pengenal, surat-surat penting, ATM, semuanya lengkap tanpa kurang satu pun.

“Tenang saja… tidak akan ada yang hilang. Kau tadi menjatuhkannya setelah menonton pertunjukan di sana,” pria itu menunjuk tempat pertunjukan tadi.

“Oh… begitu rupanya… terima kasih banyak. Padahal aku tadi sempat berpikiran jelek tentangmu. Aku minta maaf dan sekali lagi terima kasih…” ucap Jin Ri tulus.

“Tidak apa-apa…”

“Oh ya, karena aku sudah lancang memanggil namamu, maka aku juga harus memperkenalkan. Aku Jin Ki, Lee Jin Ki.”

“Ah, ternyata benar kau juga orang Korea. Senang bertemu orang yang memakai bahasa yang sama denganku di sini,” Jin Ri menyeringai. “Aku Choi Jin Ri. Salam kenal…”

“Kau sendirian?”

Jin Ri mengangguk.

“Kau?”

“Aku juga. Ini kali pertamanya aku ke sini. Apa kau juga?”

“Tidak. Ini yang kedua kalinya…”

“Oh, kalau begitu aku sangat beruntung! Kalau kau tidak keberatan, apa nggak apa-apa kalau aku ikut kamu jalan-jalan?”

“Boleh. Berdua lebih menyenangkan daripada sendirian.”

“Kalau begitu kita ke mana?”

Jin Ri mengingat-ingat tempat yang pernah dikunjunginya sewaktu tour kemarin.

“Ah, aku tahu! Kita akan mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Venice.”

Jin Ki tersenyum.

Mereka pun berjalan beriringan berdua. Sesekali mereka saling gantian difotokan.

“Mengapa liburan sendirian ke sini? Padahal Venice adalah kota yang sangat indah untuk liburan bersama pasangan,” kata Jin Ri.

“Oh ya? Aku tak tahu itu. Aku ada panggilan kerja di sini, jadi aku ke sini. Kau sendiri juga berlibur sendirian…”

“Oh, aku… aku sebenarnya bersama seseorang. Tapi ia mempunyai urusan lain sehingga aku harus di sini sendirian.”

“Pacarmu?” tanya Jin Ki menggoda.

Jin Ri tersipu malu.

“Bukan…”

“Oh, hahaha… kukira pacarmu…”

“Dia itu…”

Tit.. tit.. tit..

“Tunggu sebentar, aku ada telepon…”

Jin Ri mengangguk.

Jin Ki menjauh sebentar untuk menerima telepon.

“Itu dari manajer model yang akan kufoto…”

“Memangnya kau ini apa?”

“Aku ini apa? Hahaha… aku juga manusia sama seperti dirimu…”

Jin Ri tertawa.

“Bukan… maksudku pekerjaanmu apa?”

“Aku fotografer…”

“Fotografer? Pantas saja hasil potretanmu bagus-bagus. Kau pasti kecewa dengan hasil potretanku…”

“Haha… nggak apa-apa… oh ya, sebentar aku akan bertemu dengan modelku. Kau ikut ya! Siapa tahu bisa memberiikan ide seputar tempat-tempat menarik di sini untuk jadi lokasi pemotretan…”

“Apa nggak apa-apa kalau aku ikut? Nanti merepotkan…”

“Kan aku yang ajak, jadi nggak akan merepotkan. Mau ya?”

“Oke deh!”

Jin Ki mengajak Jin Ri high five.

*****

“Kau akan ke mana setelah ini?” tanya Yuri tiba-tiba.

“Aku akan ke suatu tempat,” jawab Minho.

“Temani aku dulu yuk!” ajak Yuri.

“Tapi aku harus ketemu seseorang…”

“Ayo, Minho… Cuma sebentar…” rajuk Yuri.

“Memang kita mau ke mana?”

“Aku mau bertemu dengan fotograferku besok. Temani aku ya? Ya? Ya?”

“Kan sudah ada manajer dan yang lainnya…”

“Nggak mau! Aku maunya ditemani sama kamu! Kapan lagi kita bisa berduaan di Venice?”

Minho berpikir sejenak. Ia tidak mau mengecewakan Yuri, tapi ia juga ingin segera bertemu dengan Jin Ri.

“Kau mau kan, Minho?” tanya Yuri sekali lagi.

“Tapi setelah ini aku boleh pergi kan?”

Yuri mengangguk.

“Setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku janji!”

“Baiklah kalau begitu. Ayo kita bertemu dengan fotografermu!”

Yuri tersenyum lalu memeluk Minho.

“Makasih… makasih, Minho…”

*****

“Ini namanya Rialto Bridge!” Jin Ri berlagak seperti seorang pemandu wisata.

Jin Ki tertawa.

“Kau sudah seperti guide sungguhan. Dari tadi kau memperkenalkan semua tempat dan berlagak seperti pemandu wisata senior, hahahahaha…”

Jin Ri juga tertawa.

“Pemandangan dari atas sini indah, bukan?” tanya Jin Ri.

Ia kembali mengingat saat-saat ia berdiri berdua dengan Minho. Saat Minho menciumnya.

“Mm… sangat indah…”

Jin Ri berdiri di pinggir jembatan.

Jepret. Jepret.

Jin Ki tersenyum melihat hasil fotonya. Ia berjalan menghampiri Jin Ri.

“Kau tahu?”

“Apa?” tanya Jin Ri.

“Apa kau mau jadi modelku?”

“Maaf?”

Jin Ki tersenyum.

“Coba lihat ini!” Jin Ki memperlihatkan hasil fotonya tadi.

“Kau memotretku?” Jin Ri tak percaya.

“Hasilnya bagus kan?”

“Tentu saja bagus, kau kan seorang fotografer…”

“Seorang fotografer yang hebat juga harus didukung oleh objek yang hebat juga. Menurutku kau cocok menjadi model…”

Jin Ri tersipu malu.

“Tapi aku tidak bisa. Aku akan kembali ke Roma hari ini dan langsung terbang ke Seoul.”

“Kenapa cepat sekali?”

“Aku sudah berhari-hari di Itali dan aku harus kembali…”

“Oh ya, tadi kau bilang kau menunggu seseorang. Siapa dia?”

“Suamiku…”

“Kau sudah menikah? Tapi di tanda pengenalmu…”

Jin Ri menunjukkan cincin pernikahannya.

“Aku belum sempat memperbaharuinya.”

Jin Ki tersenyum.

“Kenapa tersenyum?” Jin Ri heran.

“Aku hanya tidak menyangka kalau kau sudah menikah…”

“Memang kenapa kalau aku sudah menikah?”

“Kurasa aku menyukaimu!”

“Apa?” Jin Ri kaget mendengar pernyataan Jin Ki.

“Tap… tapikan kita baru saja bertemu…”

“Cinta datang begitu saja ketika melihatmu. Di bandara, di kapal, di hotel, hingga akhirnya dompetmu jatuh dan menakdirkan kita untuk bersama-sama seperti ini…”

“Di Bandara? Kapal? Hotel? Maksud kamu apa?”

“Aku melihatmu pertama kali di bandara kemarin malam. Aku baru saja tiba. Kau langsung menaiki taksi yang juga akan kunaiki. Kita duduk berseberangan di kapal. Bahkan kita tetangga kamar di hotel.”

“Kau serius?” Jin Ri seakan tidak percaya.

“Semuanya seperti sudah terencana dengan baik sekali!”

“Maaf, aku sama sekali tidak menyadarinya…”

“Nggak apa-apa…” Jin Ki tersenyum.

Tit.

Jin Ki membaca smsnya.

“Mereka sudah di sini.”

“Siapa? Modelmu?”

“Mm… ayo kita pergi!”

Jin Ri mengangguk.

*****

“Duduklah!” Jin Ki menarik kursi untuk Jin Ri.

“Makasih…”

“Mereka lama sekali… aku paling tidak suka menunggu orang…”

“Mm… mereka itu yang di sana?” tunjuk Jin Ri.

Maybe… aku juga belum pernah melihatnya langsung. Hanya pernah melihat fotonya.”

Jin Ki mengeluarkan beberapa foto dari tasnya.

“Kau mau lihat? Ini!” Jin Ki memberiikan foto-foto itu kepada Jin Ri.

“Coba aku lihat…”

“Ini kan…” mata Jin Ri membesar.

“Hai, apa kau Lee Jin Ki?” tanya manajer Yuri.

“Benar sekali. Panggil saja Jin Ki!” Jin Ki berdiri lalu bersalaman dengan manajer Yuri.

“Ini dia modelnya, Kwon Yuri!”

“Halo… aku Yuri…” Yuri bersalaman dengan Jin Ki.

“Dan ini…” Jin Ki bermaksud memperkenalkan Jin Ri.

Jin Ri yang sedari tadi menunduk akhirnya mengangkat kepalanya lalu ikut berdiri.

“Jin Ri?” Yuri terbelalak, kaget melihat keberadaan Jin Ri.

“Kenapa kau bisa di sini? Bu… bukannya kau sudah pulang kemarin?” lanjutnya.

“Kalian sudah saling kenal?” Jin Ki bingung.

“Jin Ri?” Minho tiba-tiba muncul dari belakang.

“Minho?” Jin Ri kaget.

“Kenapa kau bisa di sini?” tanya Jin Ri dan Minho hampir bersamaan.

~to be continued~


AUTHOR’S Note:

Hai hai! Maaf untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.

Ada yang baru di cerita episode 9 ini. Saya memasukkan tokoh baru, yaitu Onew. Mungkin ada pembaca yang sudah mulai bosan karena konfliknya hanya di sekitar situ. Jadi saya mencoba menambahkan masalah baru dalam kehidupan Minho dan Jin Ri. Awalnya sempat bingung sih, bingung memilih tokoh siapa yang ingin saya tambahkan. Saya kan sudah pernah membuat ff tentang Jonghyun dan Taemin. Minho dan Key sudah saya masukkan di ff ini. Kasihan Onew namanya belum saya masukkan. So, fix sudah saya memilih Onew untuk dimasukkan dalam ff ini. Semoga kalian suka yaa…

Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

Selasa, 19 Agustus 2014

ANALYSIS with KOJAK

Posted by Nur Fadhilah at 3:13:00 PM 0 comments
Actually this is a very late article or you can say this is expired haha :D

This is about ANALYSIS (Anak Loyal Solid Olimpiade Sains) charity work. We collaborated with KOJAK (Komunitas Anak Jalanan/Street Children Community) this year. KOJAK is a community where the street children are gathered. KOJAK’s members teach them the lesson in school. So it’s like a non formal school for them. There were kindergarten, elementary, and high school. The class is on every Sundays afternoon. I want you to know that this kind of organization exists in Kendari, Southeast Sulawesi.

I don’t know exactly since when the street children arose in Kendari. Kendari isn’t a big city like Jakarta, Makassar, or others. It's still developing. But the street children are almost in every edge of the city. I myself hate to see them in the stoplight. It was the reason why ANALYSIS chose KOJAK as our partner.

Sunday, July 13, 2014. We were looking forward for this day. This is THE DAY. We already packed 40 packages the day before. A package is for each child. They got school uniforms, stationeries, bags, books (novels and comics) and money. Some of them also got toys and clothes.

The agenda began at 2 pm, delayed an hour from the schedule. Because ANALYSIS was new in KOJAK, we introduced ourselves first. I couldn’t stand for those kids, they are so cute and adorable. Most of them are beggars. KOJAK always try to stop them, but their parents don’t. It’s miserable, isn’t it?

Kak Nia, from KOJAK, gave a speech about Palestine and asked the children to pray for Palestine. The chief of KOJAK gave speech to the parents. He explained about their children’s progress and improvement during study in KOJAK. He also gave a report card to each parent.

Afterwards, we gave them the packages. They were very excited and so were we.


At 4 pm, everything had finished, but problem always come. One of the parents couldn’t receive the result of the report card. He said his son always came on Sunday. But in fact he never came. He whatsoever didn’t trust us and blamed us. Yaahh… whatever… there are so many kids out there want to study in KOJAK.


We’re from ANALYSIS was very happy of this nice moment and looking forward of what happen next year, insya Allah :)

Minggu, 01 Juni 2014

PCMI SELECTION 2014

Posted by Nur Fadhilah at 6:41:00 PM 0 comments
Ehm… what could I say (read: type)?

Firstly, I wanna say, from now on, I’ll post English texts. Although my English isn’t good enough, but lemme try :D

#latepost

Did you remember my article about PCMI selection 2013? Did you forget it? The one that I told you about Sail Komodo 2013! Aha… do you remember?

I joined PCMI selection this year. Southeast Sulawesi got 5 quotas, 3 quotas for men (Malaysia, Australia, and ASEAN-Japan) and 2 quotas for women (Canada and South Korea). What happened this year? Did I pass or be a reserve like last year? Let’s see…

Saturday, March 29, 2013. That day was the first day of the series of PCMI selection. Based on our agreement at technical meeting, at 6 a.m. all the participants should gather in Lakidende Field, Kendari. Rubber time (I’ve just found this term hahaha)! The agenda was begun at 7 a.m. Same with the previous selection, the very first test was physical test. We had to run around the field. 1 round = 400 meters. WOW! But it’s okay, “I can do it!” I hypnotized myself by saying it again and again.

After warming up, the committee divided us into some groups. “Okay, this is my turn.” I took my position.

Ready…

Set…

GO!!!

I ran slowly at first. I imagined that I was jogging in Taman Kota, hahaha… I finished my first round well. At my second round, I started feeling tired. But I didn’t wanna give up. At least I had to finish 3 rounds, so I’ll have a good point. I kept running. Finally, I was in my third round. I was exhausted. I couldn’t control my breath well. My throat was dry like in I was running in desert. Last minute, I’d been running for 300 meters. 100 meters left, I’d finish my third round.

10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, priiiiiiiiiiiiiitttttttt!!

It’s finished! God, I passed my third round. I ran for 425 meters in 10 minutes. As an ordinary girl, I was proud of myself :D

After took a rest, we’d face the next phase. We’re divided into 20 groups. I went to the group 10. But we had to pair with group 11 as our rival.

There are 10 games. First was relay race. This one was unique. We didn’t use sticks, but balloons. So, we had to squeeze the balloon between our knees and then we gave it to our friends. Interesting, wasn’t it? We won it. Second was ‘I didn’t know the name’. We had to work together to bring a glass of water on a napkin. The napkin couldn’t be wet. The fastest group and had much water was the winner. We lost. Third was arranging puzzled words. We arranged 10 words, but group 11 arranged 11 words, so we lost. Fourth is sarong game. We had to pass it through our body without touched it. It’s difficult but we won. Fifth was tug of war. We lost. The members of group 11 had bigger body than us, hehe… Sixth was rearranging the map of Indonesia. We won. Seventh was whispering secret message. We won. Eighth was making a good sentence. We won. Ninth was pretending something to be what. We’re given a plastic bottle. We had to pretend it to be another thing, for example microscope, pillow, camera, etc. We won. The last game was demonstrating a term without saying it. WE WON!!! Horray… *plok plok

The next phase was interview. We’re asked many questions. They asked me general questions. Why I joined the program? What’s my goal? Which one I wanna choose, Canada or South Korea? Why? And blah blah blah.

The first test was closed by performing each group’s yelling.

They said that they would announce the participants who passed the first test in Facebook that night. I waited until late. Just about 80 participants passed the first test. And tadaaaaa….. I was the one of them :)v

Sunday, March 30, 2014. That day was the second day of the test. We’re really waiting for this time. The agendas were group dynamic and culture performance. I’d taken practice for my culture performance. I was going to perform a traditional dance from Tolakinese, one of the tribes in Southeast Sulawesi.

Based on our yesterday’s groups, we discussed about community development. We made a plan called My Darling Community (Komunitas Masyarakat Sadar Lingkungan). My friends chose me to represent our group’s project. I didn’t wanna do it at first, but they encouraged me. I did it. They said that I was good.

After group dynamic, the committee asked us to prepare ourselves for culture performance. Every participant got dressed and practiced. I change my custom. My friends said I was cute *ulalaa :D Titi (my friend) and I helped K’ Syari (also my friend) to practice our performance. K’ Syari didn’t know what she should perform. Titi and I suggested her to perform ‘musikalisasi puisi’. We’d be her backing vocal.

It’s time…

Among us, I got the first turn. I was very nervous. Although this was my second time to join this selection, but I was still shaky. K’ Syari said, “Nervous is natural, but it’s not me!” is it nice, isn’t it?

I went forward, introduced myself, and told a lil’ bit about my dance. The music sounds. I dance…….

*sigh

I did it. I was very happy, although I couldn’t finish it, because the time’s over. The next turn went to Titi, and K’ Syari was the last among us. Our ‘musikalisasi puisi’ sounds good. Everybody likes it :)

Yeah, that’s the second test. We closed that day by getting picture together.

I waited the announcement at night. I didn’t expect much. I didn’t know. I felt other participants were good. I couldn’t predict who’d pass the second test. Hey, this was the result. I couldn’t see my name. Why I felt my heart was broken up? Was I disappointed to myself?

But, wait! These were men’s name. Oh, hahahahaha :D the names of men and women were separated. Now, I found my name among women’s name :D

Monday, March 31, 2014. It was the day off. This was the last day of the test. We had to deliver a speech and get interviewed. There were 6 themes, such as education, economy, politic, tourism, health, and gender. We must take a lottery to see what theme we’re going to deliver as a speech in front of juries and other participants. I got tourism. I was very happy, not because it was easy. I thanked because it wasn’t economy, politic, or gender. If I got one of them, I was going to die. I didn’t know what to say. At least, I knew what to say when I got tourism. I just had 5 minutes to deliver my speech. It wasn’t satisfying. But it’s better than economy, politic, or gender, hehehe…

After that, we’re going to be interviewed (again). This was a kind of very deep interviewing. There were 4 aspects. I got the last turn. There’re 35 participants and I had to wait all of them :/

As I said before, there were 4 aspects. Current issue: they asked me about general election. General knowledge: they asked me about Pancasila. Motivation: they asked me about my motivation and private things. Moral and value: they asked about ‘oh… sorry, I forgot!’ I answered all of the questions well and clear. Good job :)b

We closed the last test by delivering our advices and impressions for the program, also taking picture together.

A few days later, there was a message from the committee. Beyond my prediction, they still need one more selection process. They wanna interview best 11, 6 men and 5 women. One of the women was me. I was very happy. I didn’t give much expectation at first, but now I have 100% confidence that I would pass the selection.

At the day, I prepared myself very well. Even, I predicted some questions that they possibly asked me.

Hufft… I didn’t feel nervous because I believe myself and I didn’t wanna disappoint all of the people who supported me. I felt like I wanna cry. I remembered my struggle to get my parents’ blessing. They forbade me to join the selection this year at first, but I really wanted to. It’s very difficult to convince them.

A week later, the announcement came out. Were you curious about the result? Me too.

I read the announcement carefully and slowly, very slowly. I just felt afraid that I couldn’t find my name.

Yeah, I couldn’t believe it. Mine was included. But not as the person who’ll go to Canada or South Korea. Again, I was a reserve and this time for South Korea.

Since then I learned one thing. Never trust yourselves 100%. Because you never know, may be other people trust their self 101%, 1% more than your trust. It’ll just hurt you.

But I don’t mind it. I’ll join the selection next year. This time I don’t wanna say that I’ll pass next year’s selection for sure. But I say, “I WILL PASS THE SELECTION FOR SURE. I DON’T CARE WHEN IT IS. BUT ONE DAY I WILL PASS IT AND GO ABROAD. I WILL!!”

Congratulation for you who are going to Malaysia, Australia, ASEAN-Japan, especially Canada and South Korea :) This time they’re yours, but next time they’re mine!!!

Rabu, 21 Mei 2014

LOVEY DOVEY COOKEY [PART 8]

Posted by Nur Fadhilah at 4:04:00 PM 0 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Previous part:

Sudah pukul 7.30. Jin Ri meraih ponselnya, hendak menelepon Minho.

Sibuk.

Pukul 8.

Pukul 9.

Jin Ri memutuskan untuk menghangatkan kembali ayam panggangnya.

Jin Ri masih menunggu. Ia akhirnya tertidur di sofa. Ia tak tahu, Minho sedang menikmati makan malam berdua dengan Yuri.


*****

Klek.

Minho masuk.

“Ha?” dia kaget melihat Jin Ri yang tertidur di sofa.

“Hei, bangun!” bisiknya.

“Mmm…” Jin Ri hanya bergumam dalam tidurnya.

“Ck…” Minho mendecakkan lidah.

Ia menyimpan tas dan melepaskan jasnya. Ia lalu menggendong Jin Ri ke kamar.

Baru Minho akan membaringkan Jin Ri di atas tempat tidur, tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Ini kan kamarku. Bukankah furniturnya sudah datang tadi pagi?”

Minho tidak jadi membaringkan Jin Ri. Ia keluar kamar dan memasuki kamar di sebelahnya.

“Kerjamu bagus hari ini, Jin Ri,” Minho tersenyum melihat semua furniture di kamar sebelah sudah tertata rapi.

Minho membaringkan Jin Ri di atas tempat tidur.

“Ugh, kau sangat berat!” keluhnya.

Minho keluar kamar dan menutup pintu. Ia melonggarkan dasinya. Ia ke dapur hendak minum. Dilihatnya makan malam siap santap di atas meja makan. Ia langsung menolah ke kamar Jin Ri. Timbul sedikit rasa bersalah di hatinya.

“Fuh…!” Minho menghela napas.

Dibereskannya meja makan. Ayam panggang dimasukkan ke dalam kulkas. Ia mengembalikan piring-piring.

“Apa ini?”

Minho mengambil amplop di atas meja dan membukanya.

“Aku dan Jin Ri ke Itali?”

Minho berpikir sejenak. Ia memasukkan amplop tersebut ke saku bajunya. Ia lalu mengambil kantung sampah. Sebelum Minho mengikatnya, ia mengambil bungkusan besar di dalamnya.

“Apa ini?”

‘Ayam Panggang Lezat’

Minho tertawa kecil.

“Jadi dia mencoba membohongiku? Dasar!”

Ia mengikat kantung sampah tersebut dan membuangnya.

*****

Kesesokan paginya…

Jin Ri merenggangkan badannya berkali-kali. Ia bingung kenapa terbaring di kamar. Apa dia berjalan dalam tidurnya?

Ia tiba-tiba teringat akan jadwal sarapan Minho. Ia menyingkap selimutnya dan berlari keluar kamar. Ia berlari menuju dapur, tapi dilihatnya Minho sudah berada di sana. Minho sedang mengeluarkan ayam panggang semalam dari microwave.

“Oh, kau sudah bangun?” katanya begitu melihat Jin Ri.

“Aku hanya menghangatkan ayam panggang semalam. Sayang kalau dibuang, jadi kumasukkan dalam kulkas,” katanya sambil meletakkan piring di meja.

Jin Ri melirik jam dinding.

“Kau tidak berangkat kerja?”

“Apa aku harus kerja di hari Sabtu?”

“Ah…” Jin Ri tidak ingat kalau hari ini hari Sabtu.

“Sudah siap. Ayo makan!” ajak Minho.

“Aku?” Jin Ri menunjuk dirinya.

“Siapa lagi orang di rumah ini selain kita berdua?”

Jin Ri tersenyum kikuk. Ia terlihat bodoh.

“Anggap saja ini sebagai permohonan maafku semalam.”

“Oh ya, memang kau ke mana semalam?” tanya Jin Ri.

“Semalam aku…” tiba-tiba Minho teringat bahwa tidak mungkin ia menceritakan kalau semalam ia makan malam berdua dengan Yuri.

“Aku ada pertemuan mendadak dengan klien,” jawab Minho singkat.

“Kenapa tak mengabariku? Kau kan bisa menelepon atau mengirim sms. Apa susahnya? Kau tahu, aku menunggu sangat sangat lama. Aku bahkan sampai tertidur di sofa. Tapi ketika bangun aku ada di kamar. Aku sempat berpikir kalau aku jalan tidur. Tapi aku belum pernah mengalami ini sebelumnya,” oceh Jin Ri.

“Siapa yang tahu apa yang kau lakukan saat tidur! Sudahlah, cepat makan! Tidak usah protes! Mumpung pagi ini moodku sedang baik. Jangan buat aku marah-marah lagi!”

Jin Ri menghela napas.

“Selamat makan!”

*****

Jin Ri baru selesai mencuci piring. Minho duduk menonton tv.

“Hei!” panggil Minho ketika Jin Ri akan memasuki kamar.

“Jangan panggil ‘hei’, aku punya nama!” protes Jin Ri.

“Jin Ri!” Minho mengulangi.

Jin Ri tersenyum.

“Ada apa?”

“Duduk sini!”

“Ada apa?” Jin Ri kembali bertanya seraya duduk.

“Apa maksudnya? Kita berdua akan ke Itali minggu depan?” tanya Minho sambil menunjukkan amplop yang didapatnya semalam.

“Oh, itu dari kakek. Kemarin dia memanggilku ke rumah. Dia memberiikan itu. Katanya itu tiket bulan madu.”

“APA??” Minho sangat kaget.

“Bu… bulan madu?” ia memperjelas.

Jin Ri mengangguk.

“Tidak mau! Aku tidak akan pergi!”

“Jangan, kita harus pergi! Kakek bisa marah. Kau tidak tahu kalau kakek marah dia bisa lebih mengerikan daripada monster,” Jin Ri ketakutan.

“Memang kau pernah dimarahi monster?”

Jin Ri menunduk, ia menggeleng.

“Itu kan hanya perumpamaan…”

“Pokoknya aku tidak mau!”

“Tapi kenapa? Itu kan Itali… aku sudah lama ingin ke sana! Terutama ke Venesia. Ayo… kita pergi ya…!” bujuk Jin Ri.

“Sekali tidak, tetap tidak, dan selama lama lama lamanya juga jawabanku tetap tidak. Tidak akan berubah sama sekali!” tegas Minho.

“Iya, tapi kenapa?”

“Aku banyak pekerjaan di kantor!” Minho berbohong.

*****

“APA? DIA TIDAK MAU PERGI?” suara Kim Myungsuk meninggi.

“Bukan tidak mau, Kek. Tapi tidak bisa…” protes Jin Ri.

“Apa bedanya? Kalian juga tidak akan ke sana.”

“Kak Minho kan banyak pekerjaan di kantor, Kek…” bela Jin Ri.

“Tidak bisa, tetap tidak bisa. Beraninya dia menomorduakan bulan madu kalian!”

*****

“Iya, Yah. Baik. Aku mengerti.”

Tit.

Minho menutup telepon. Ia menghembuskan napas beratnya.

Tok.. tok..

Ia mengetuk kamar Jin Ri.

Klek.

“Kenapa? Tolong jangan menyuruh atau memarahiku dalam waktu dekat ini… kakek baru saja memarahiku habis-habisan. Padahal kan bukan aku yang salah. Aku malah membelamu. Mengatakan kau memiliki pekerjaan yang sangat penting di kantor dan tidak bisa ditunda dan dialihtugaskan, apalagi ditinggalkan…” jelas Jin Ri.

“Ayo kita pergi!”

“Memang kau mau mengajakku ke mana?”

“Bukan kah kau yang bilang kalau sudah lama ingin pergi ke Itali?”

Mata Jin Ri berbinar-binar.

“Kau berubah pikiran?”

“Tidak usah banyak bertanya!” Minho kembali ke kamarnya.

Jin Ri tersenyum sendiri. Ia menutup pintunya.

“AAAAAAAAAAAA!!!!!! Italy, I’m coming!!!” Jin Ri berteriak sambil melompat-lompat di atas tempat tidur.

*****

FLASHBACK

“APA? DIA TIDAK MAU PERGI?” suara Kim Myungsuk meninggi.

“Bukan tidak mau, Kek. Tapi tidak bisa…” protes Jin Ri.

“Apa bedanya? Kalian juga tidak akan ke sana.”

“Kak Minho kan banyak pekerjaan di kantor, Kek…” bela Jin Ri.

“Tidak bisa, tetap tidak bisa. Beraninya dia menomorduakan bulan madu kalian!”

“Bukan begitu, Kek…”

“Memang apa yang sudah kau lakukan? Kau pasti membuat masalah sehingga Minho marah padamu. Akhirnya dia tidak mau pergi. Apa itu benar?”

“Ti… tidak, Kek… aku tidak membuat masalah kok. Kak Minho memang tidak bisa pergi. Kenapa aku yang disalahkan?”

“Jangan coba-coba menyalahkan orang lain. Sebagai istri, kau harusnya bisa membujuk suamimu!”

“Iya, Kek… aku mengerti…”

“Sudahlah, kau tenang saja! Aku akan mengurus semuanya.”

Tit.

*****

“Halo!”

“Halo, Hyunmoo. Ini aku, Kim Myungsuk.”

“Oh, tumben Anda menelepon. Ada masalah apa?”

“Ini masalah Minho dan Jin Ri.”

“Ada apa dengan mereka?”

Kim Myungsuk menceritakan semuanya.

“Apa? Apa-apaan anak itu! Anda tenang saja! Aku akan segera meneleponnya.”

“Ah, iya. Terima kasih sebelumnya. Maaf merepotkan Anda.”

“Tidak usah sungkan. Ini demi rumah tangga mereka.”

Tit.

*****

Minho sedang berbaring di kamarnya. Ponselnya berbunyi.

“Ya, Ayah!”

“Apa maksudmu tidak bisa pergi ke Itali karena banyak urusan di perusahaan?”

Minho langsung duduk mendengar ucapan ayahnya.

“Da… dari mana ayah tahu?”

“Barusan kakeknya Jin Ri meneleponku. Dia sangat marah pada kalian.”

“Ah, itu… aku benar-benar tidak bisa pergi, Yah. Terlalu banyak pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan. Rapat, meeting de…”
Belum sempat Minho menyelesaikan alasannya, Hyunmoo sudah memotong.

“Jangan membuat alasan yang bukan-bukan. Serahkan semuanya pada Sekertaris Yoon. Kau seharusnya mengambil cuti kerja. Masa kau hanya mengambil cuti di hari pernikahanmu? Itu tidak masuk akal sama sekali. Lagi pula perusahaan masih atas nama ayah. Jadi ayah yang punya otoritas paling tinggi di perusahaan. Ayah berhak menentukan kapan kau boleh bekerja dan kapan tidak. Yang harus kau lakukan sekarang adalah pergi ke Itali bersama Jin Ri. Mengerti?”

“Iya, Yah. Baik. Aku mengerti.”

Tit.

Minho menutup telepon. Ia menghembuskan napas beratnya.

FLASHBACK END


*****

Seminggu kemudian…

Jin Ri menatap schedule keberangkatan di bandara.

“Apa yang kau lakukan?” Minho baru selesai melakukan check in.

“Aku hanya tidak percaya, beberapa menit lagi kita akan terbang menuju Itali,” Jin Ri tersenyum.

“Ish, dasar lebay!”

Minho pergi. Jin Ri mengikutinya menuju waiting room.

*****

Jin Ri duduk di samping jendela. Dia sibuk memperhatikan sepasang kekasih yang duduk bersebelahan dengan penuh kemesraan.
Minho mengamati apa yang dilihat Jin Ri.

“Hei, apa yang kau lihat? Dasar tidak sopan!” kata Minho.

Jin Ri menghentikan aktivitasnya.

Selang beberapa menit penerbangan, Jin Ri kembali memperhatikan pasangan itu. Si perempuan tidur bersandar pada bahu kekasihnya. Minho kembali mengamati apa yang dilihat Jin Ri.

“Ingat ya, jangan coba-coba bersandar di bahuku!”

“Iya… aku juga tahu, kok…”

Beberapa saat kemudian Jin Ri tertidur. Saat itu pesawat dalam keadaan yang kurang baik. Cuaca buruk. Pesawat bergoyang. Kepala Jin Ri pun terantuk ke jendela di sampingnya. Ia memperbaiki posisi tidurnya. Ia hampir jatuh ke depan. Begitu seterusnya.

Tiba-tiba Minho menahan kepala Jin Ri lalu menyandarkannya di bahunya. Saat pesawat mulai bergoyang lagi, Minho menahan kepala Jin Ri.

Saat Jin Ri terbangun, ia kaget mendapati dirinya bersandar di bahu Minho. Ia melirik Minho. Ia juga tertidur. Jin Ri mengelus dadanya, lega. Lega kalau aksinya tidur bersandar di bahu Minho tidak disadari oleh Minho, pikirnya.

*****

Mata Jin Ri membulat. Itali. Keindahan kota Roma di malam hari benar-benar membuatnya kagum. Minho menahan taksi. Ia memperlihatkan supir taksi nama hotel yang sudah dibooking oleh Kim Myungsuk.

Di dalam taksi Jin Ri dan Minho tidak saling berbicara. Sesekali Jin Ri melirik Minho. Tapi Minho tidak berkata apa-apa. Ia benar-benar tidak sadar akan kejadian di pesawat tadi, pikir Jin Ri.

Mereka sampai di hotel yang mereka maksud. Ternyata tidak terlalu jauh dari bandara. Si supir taksi mengatakan sesuatu. Tapi Minho dan Jin Ri tidak mengerti. Mungkin si supir mengatakan kalau mereka sudah sampai. Minho membayar taksi sesuai harga yang tertera di argo taksi. Penunggu pintu hotel membantu membawakan barang.

Jin Ri dan Minho segera check in. Di meja resepsionis ada sebuah pamflet kecil yang bertuliskan ‘Trip to Venice’. Tulisan itu mengundang ketertarikan Jin Ri. Ia pun bertanya pada perempuan yang melayani mereka.

“Excuse me, does this hotel offer a trip to Venice?”

“Yes Madam. There are two seats left. Tonight is the time limit of the registration. We will leave tomorrow morning. Do you want to register?”
si resepsionis menatap Jin Ri dan Minho bergantian.

Mereka menjawab bersamaan.

“No, thank you!” jawab Minho dingin.

“Yes!” jawab Jin Ri bersemangat.

Minho dan Jin Ri bertatapan.

“Kau gila? Mereka akan melakukan perjalanannya besok pagi. Apa kau tak capek?” tanya Minho kesal mengetahui jawabannya berbeda dari Jin Ri.

“Dengan atau tanpa dirimu, aku akan ke Venesia besok. Hal ini sudah lama kuimpikan dan sudah menjadi keputusanku. Rugi kalau tidak ke sana,” Jin Ri sangat senang dengan keputusannya.

“I want to register!” ucap Jin Ri pada si resepsionis.

“You can fill this form please!” si resepsionis memberiikan formulirnya.

Minho menarik napas panjang.

“Please give me one, I’ll register!” kata Minho akhirnya.

Jin Ri berhenti menulis. Ia menoleh pada Minho. Ia tersenyum melihat Minho juga mengisi formulir tersebut.

*****

“Kenapa kau mau ikut?” tanya Jin Ri dalam lift.

“Kau pikir apa yang akan terjadi kalau kakek, ayahmu, dan ayahku tahu kalau kau pergi ke Venesia sendirian? Habislah aku. Aku juga pergi semata-mata karena aku peduli akan keselamatan diriku, bukan karena dirimu,” terang Minho.

“Benar juga sih…”

Ting. Pintu lift terbuka.

Mereka menuju kamar 402.

“Kau boleh tidur di sana, aku akan tidur di sofa,” kata Minho sambil menoleh ke tempat tidur.

“Tumben…” Jin Ri belum selesai bicara tapi Minho sudah memotong pembicaraannya.

“Sudah… aku ngantuk. Sebaiknya kau juga cepat tidur kalau besok kau tak mau ditinggal rombongan,” Minho menaruh bantal di sofa.

*****

Ternyata benar, Jin Ri bangun kesiangan. Dia hampir saja ditinggal rombongan. Bahkan Minho sudah tidak ada di kamar. Dia sedang sarapan di restoran hotel.

Jin Ri menggerutu. Dia mengutuki Minho yang tidak membangunkannya. Dia lalu mandi dan berdandan seadanya. Karena telat, Jin Ri bahkan tak sempat sarapan. Semua orang telah menunggu dalam bus wisata.

Jin Ri duduk di samping Minho dengan kesal. Jin Ri mengelus perutnya. Dia lapar. Minho memberiikannya sebuah bungkusan.

“Apa ini?” tanya Jin Ri.

“Ambil saja…”

Jin Ri membuka bungkusan itu. Isinya sandwich dan susu. Wajah Jin Ri berubah sumringah.

“Terima kasih. Tahu aja kalau aku lapar…”

Minho tersenyum tipis. Saking tipisnya, Jin Ri pun tak akan melihat senyumannya.

Setelah makan dengan lahap, Jin Ri mengutak-atik ponselnya. Dia mengetik ‘Venice’ di Google. Dia membuka salah satu situs.
Deg. Dada Jin Ri berdebar. Ia menaruh kedua tangannya di dadanya, sehingga ia bisa merasakan debaran jantungnya yang sahut-menyahut. Ia menoleh pada Minho. Merasa diperhatikan oleh Jin Ri, Minho pun balas menoleh. Jantung Jin Ri serasa berdetak semakin cepat. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke ponselnya lagi. Pura-pura tidak terjadi apa-apa.

“Dia kenapa?” pikir Minho.

Bus terus melaju. Mereka akhirnya tiba di dermaga. Rombongan harus melanjutkan perjalanan menggunakan kapal.

Venesia terkenal dengan julukan ‘Kota di atas air’. Di kota ini hanya terdapat kapal dan perahu sebagai alat transportasi utama, selebihnya orang-orang lebih senang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.

Setelah beberapa menit, rombongan akhirnya tiba di Venesia. Tempat yang sangat indah. Itulah kesan pertama Jin Ri ketika menginjakkan kaki di kota ini. Sepanjang mata memandang, yang ada hanyalah turis. Turis-turis berdatangan ke kota ini setiap harinya dari berbagai belahan dunia. Betapa tidak? Kota ini menawarkan keindahan dan wisata yang sangat luar biasa dan tidak ada duanya di tempat lain.

Gondola adalah wisata unggulan Venesia. Guide mengajak rombongan berkeliling kota, sampai akhirnya tiba di suatu tempat yang penuh dengan gondola. Setiap gondola hanya bisa dinaiki 6 orang, ditambah si pemilik gondola yang mendayung gondola. Si pendayung memakai seragam bergaris hitam putih.

Hampir seluruh rombongan terdiri dari pasangan. Ada pasangan suami-istri dan kekasih. Setiap orang yang menaiki gondola akan diberikan anggur. Setelah mengantri beberapa saat, Jin Ri dan Minho akhirnya naik juga. Mereka berdua duduk di bangku paling belakang. Tepat di belakang mereka, berdiri si pendayung. Setelah semuanya siap, si pendayung mulai mendayung. Ia bernyanyi dalam bahasa Italia yang sama sekali tidak dimengerti oleh Jin Ri dan Minho. Tapi mereka tetap menikmati setiap irama lagunya.

*****

Minho mulai sibuk memotret pemandangan-pemandangan di hadapannya.

Deg. Debaran itu muncul lagi. Jin Ri bisa dengan jelas merasakannya.

“Jembatan itu, Rialto Bridge.” kata Jin Ri melihat jembatan itu dari kejauhan.

“Apa?” Minho menghentikan aktivitasnya.

“Jembatan itu sangat terkenal. Ternyata benar, jembatan itu sangat indah.”

“Jadi itu terkenal?”

“Mm...” gumam Jin Ri.

Minho pun mulai memotret jembatan itu.

“Kenapa bisa terkenal?” tanya Minho.

Deg. Lagi-lagi debaran itu muncul dengan sendirinya.

“Katanya, setiap pasangan yang berciuman tepat di bawah jembatan itu akan selalu bersama selamanya. Cinta mereka akan kokoh seperti jembatan itu,” Jin Ri menjelaskan sambil tersenyum.

Minho memperhatikan setiap perkataan Jin Ri. Ia lalu memperhatikan jembatan itu dengan seksama.

“Aku berani taruhan, kedua pasangan di depan kita pasti akan berciuman tepat di bawah jembatan itu!” ucap Jin Ri bersemangat.

“Kau tak percaya?”

Minho tidak menjawab.

“Kita lihat saja nanti!” sambung Jin Ri.

Ketika jembatan itu sudah semakin dekat, Jin Ri menghitung mundur.

“Perhatikan baik-baik! 10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3… 2… 1! Mmpfhh…”

Tepat hitungan terakhir, Minho mencium Jin Ri. Jin Ri sangat kaget. Ia sama sekali tidak mengira hal itu akan terjadi. Seharusnya Minho memberi tahunya sebelum melakukan hal itu.

Pikiran Jin Ri melayang ke mana-mana. Minho melepaskan ciumannya setelah gondola mereka melewati jembatan itu. Jin Ri bisa merasakan air mukanya yang merah. Ia bahkan tidak mau menoleh pada Minho. Ia sangat malu.

*****

“Jin Ri… Jin Ri…!!!” Minho mengguncang-guncang bahu Jin Ri.

Jin Ri tersadar.

“Kau kenapa sih? Kau melamun? Kita sudah sampai nih. Lihat, semua penumpang bahkan sudah turun. Kita harus kembali ke rombongan. Cepat!” Minho meninggalkan Jin Ri.

Jin Ri menepuk jidatnya.

“Jadi aku dari tadi melamun? Dasar mesum! Dasar bodoh!” Jin Ri mengutuki dirinya sendiri.

“Jin Ri…” Minho memanggilnya lagi.

“Iya… iya… aku ke sana…”

Dompet Jin Ri terjatuh. Terselip di bawah bangkunya.

*****

Rombongan berjalan melewati Rialto Bridge, menyusuri jalan-jalan yang seperti labirin, dan akhirnya tiba di Piazza San Marco.

“Wah…!” Jin Ri takjub melihat sekumpulan burung merpati di tengah jalan.

“Kak Minho, foto aku… foto akuuuu!!”

“Ish, anak ini…” gumam Minho.

Walaupun menggerutu, Minho tetap memenuhi permintaan Jin Ri.

“Excuse us, can you take some pictures of me and my wife?” seorang laki-laki dan perempuan paruh baya menepuk pundak Minho.

“Oh, sure,” jawab Minho.

Laki-laki itu memberiikan kameranya. Mereka berdua berdiri di tengah-tengah kumpulan burung merpati tak jauh dari Jin Ri.

“Thank you!” kata laki-laki itu tersenyum.

“No problem,” Minho balas tersenyum sambil menyerahkan kamera milik laki-laki itu.

“I’ll take pictures of you,” kata laki-laki itu sambil melihat ke arah Minho dan Jin Ri.

Minho dan Jin Ri saling berpandangan.

“It’s okay, I don’t mind,” sambung laki-laki itu.

“Eh, th… thank you,” jawab Minho dan Jin Ri.

Mereka berdua pun berfoto di tempat yang sama dengan laki-laki tadi.

“Closer!” teriak laki-laki itu sambil mengisyaratkan agar Minho dan Jin Ri lebih rapat.

Minho dan Jin Ri berpandangan lagi. Mereka pun bergeser agar lebih dekat.

Jin Ri serasa ingin meledak. Jantungnya berdegup sangat kencang.

*****

Rombongan kembali berjalan. Minho dan Jin Ri berjalan paling belakang. Terdengar suara guide yang memimpin perjalanan mereka menjelaskan berbagai bangunan bersejarah dan terkenal di kiri kanan mereka.

Mereka berhenti tepat di depan toko penjual es krim. Katanya es krim khas Venesia dijual di toko itu. Mereka semua masuk ke toko itu.

“Aku mau beli es krim. Kau mau juga?” tanya Jin Ri pada Minho.

Minho menggeleng.

Jin Ri memilih es krim yang dia suka. Ketika akan membayar, ia merogoh tasnya mencari dompet.

Wajah Jin Ri pucat. Ia tak bisa menemukan dompetnya. Ia menoleh pada Minho.

“Apa?” tanya Minho.

“Dompetku nggak ada,” jawab Jin Ri panik.

Minho pun membayarkan es krim yang sudah terlanjur diminta Jin Ri.

“Sudah kau periksa baik-baik?” tanya Minho.

“Sudah…” jawab Jin Ri sambil mengorek isi tasnya.

“Apa mungkin kau lupa membawanya?”

“Tidak mungkin. Aku tidak pernah mengeluarkan isi tasku semenjak kita tiba kemarin. Aku ingat sekali dompetku ada di sini.”

“Kapan terakhir kali kau melihatnya?”

“Aku masih melihatnya sewaktu menaiki gondola tadi. Aku mengambil ikat rambut di tas. Jelas-jelas aku melihat dompetku…” Jin Ri rasanya akan menangis.

“Apa mungkin kau kecopetan?”

“Ah… betul juga. Bisa jadi begitu! Apa yang harus aku lakukan??”

“Tunggu di sini. Aku akan bicara dengan guide kita.”

Minho pergi bertanya pada guide mereka. Ia menjelaskan duduk perkaranya. Guide sangat menyesal tidak bisa membantu mencari karena memandu rombongan. Minho berjanji akan kembali ke rombongan sejam lagi. Mereka sepakat bertemu pusat kerajinan kaca tak jauh dari tempat itu.

“Ayo!” Minho menarik tangan Jin Ri.

“Ke mana?”

“Mencari dompetmu yang hilang entah di mana.”

“Maksudku ke mana kita akan mencarinya?”

“Kita harus menemukan gondola yang kita naiki tadi. Kemungkinan besar dompetmu jatuh di situ.”

Setiba di sana, mereka mulai mencari gondola yang mereka naiki. Setelah mencari beberapa saat, mereka tidak menemukan gondola yang mereka cari. Mereka lalu menuju tempat pemberhentian gondola. Beruntung, gondola yang mereka cari baru saja merapat.

Setelah semua penumpangnya turun, Minho bertanya pada tukang gondola.

“Excuse me, I’m looking for my wife’s wallet. She thinks maybe she forgot hers in your gondola.”

Tukang gondola itu lalu berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Minho dan Jin Ri. Tukang gondola itu menggelengkan kepalanya.

Minho mengerti. Rupanya tukang gondola itu tidak bisa berbahasa Inggris. Minho menjelaskan pelan-pelan.

“She (Minho menunjuk Jin Ri) forgot her wallet (Minho menunjukkan dompetnya) in your gondola (Minho menunjuk gondolanya).”

Setelah mengulangnya beberapa kali dengan bahasa isyarat, akhirnya tukang gondola itu mengerti. Ia mempersilakan Minho dan Jin Ri mencari dompet tersebut di gondola.

Jin Ri dan Minho mencarinya. Jin Ri tidak menemukannya. Minho melongok ke bawah tempat duduk yang tadi mereka duduki. Ketemu.

“Apa ini dompetmu?”

“Ah… benar! Itu dompetku. Di mana kau menemukannya?” Jin Ri kegirangan.

“Di bawah situ. Coba kau periksa isinya! Apa ada yang kurang atau hilang?”

Jin Ri memeriksa isi dompetnya. Lengkap dan tidak kurang suatu apapun.

“Isinya masih lengkap,” Jin Ri tersenyum.

“Syukurlah! Ayo kita kembali.”

“Thank you,” Minho memberiikan sedikit tip pada tukang gondola itu.

“Thank you,” Jin Ri juga mengucapkan terima kasih.

Tukang gondola itu berbicara dalam bahasanya. Satu-satunya kata yang dimengerti Minho dan Jin Ri adalah ketika tukang gondola itu mengucapkan, “Sayonara!”, sambil melambaikan tangan. Mereka berdua membalas lambaian tersebut sambil tersenyum.

“Terima kasih sudah membantu menemukannya,” ucap Jin Ri tulus.

“Aku tidak membantu, tapi memang aku yang menemukannya. Kau tidak melakukan apa-apa,” balas Minho dingin.

“Iya… iya… aku tahu. Terima kasih sudah menemukan dompetku. Terima kasih juga sudah membayarkan es krimku tadi, meski aku tak sempat memakannya karena panik dompetku hilang.”

Mereka terus berjalan.

“Ah, bisa berhenti sebentar. Aku lelah,” pinta Jin Ri.

Mereka berhenti di Rialto Bridge.

“Bukankah ini jembatan yang kita lewati tadi?” tanya Minho.

“Mm… indah, bukan?”

“Ya. Pemandangannya berbeda dengan saat kita melihatnya dari bawah.”

Minho memotret sekelilingnya.

“Aku memutuskan tidak akan membeli dompet baru,” kata Jin Ri.

“Kenapa?” tanya Minho sambil terus memotret.

“Aku punya 2 alasan. Pertama, karena dompet ini pernah hilang di Venesia, kota yang paling ingin kukunjungi dalam hidupku. Kedua, karena Kak Minho yang telah menemukannya.”

Minho berhenti memotret. Ia menoleh pada Jin Ri yang tersenyum padanya.

Minho menarik napas panjang.

“Lihat itu! Ada yang berciuman di bawah jembatan!” seru Minho tiba-tiba.

“Mana?” Jin Ri penasaran.

Cup~

Jepret.

Minho mencium pipi Jin Ri. Ia juga memotret dirinya tengah mencium Jin Ri.

Jin Ri kaget. Ia mematung sejenak. Kali ini tak hanya jantungnya yang berdegup sangat kencang. Tangannya dingin dan wajahnya juga memerah.

“Aku tak akan menghapus foto ini,” kata Minho.

“Kenapa?” Jin Ri penasaran.

“Karena…. di foto ini…. kau terlihat sangat…. jelek!” Minho tertawa.

“Dasar! Berikan kameramu biar kuhapus foto itu!”

“Ambil saja kalau bisa!” Minho mengangkat kameranya tinggi-tinggi.

Jin Ri berusaha mengambilnya, tapi tentu saja tidak bisa. Minho sangat tinggi.

“Kau boleh menghapusnya setelah berhasil mendapatkannya,” kata Minho sambil berlari.

“Aish!” Jin Ri mengejar Minho.

“Tunggu saja, akan kuhapus foto ituuuuuuuuuuu!!!!!!”

*****

“Ke mana kita hari ini?” tanya Minho pada Jin Ri.

“Ayo pergi makan pizza dan pasta!” jawab Jin Ri bersemangat.

“Hei, apa kita tidak bisa makan makanan lain? Jauh-jauh ke sini masa hanya makan pizza dan pasta.”

“Ini hari terakhir kita di sini. Lagi pula rasanya pasti akan berbeda dengan dengan yang biasa kumakan di Korea.”

“Terserah kau sajalah!”

Jin Ri tersenyum bahagia.

Mereka berdua berjalan menelusuri jalan-jalan yang ramai dengan para pejalan kaki. Mereka mampir di sebuah kafe.

Seorang pelayan menghampiri mereka berdua. Pelayan itu menunjukkan tempat duduk untuk mereka.

Pelayan itu tidak bisa berbahasa Inggris. Dia menunjukkan menu kafe itu.

Jin Ri segera mencari menu pizza dan pasta.

“1 pizza, 2 pasta, and 2 cappucino,” pesan Minho menggunakan bahasa isyarat.

Pelayan itu mengerti dan mencatat pesanan mereka, lalu pergi.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Jin Ri sibuk dengan ponselnya sedangkan Minho sibuk dengan kameranya.

“Aku baru ingat kalau aku belum membelikan ibu, ayah, kakek, Kak Kibum, dan Jisun apapun,” kata Jin Ri mengingat-ingat.

“Nanti kita beli…” timpal Minho tetap fokus pada kameranya.

Jin Ri menopang dagunya memperhatikan Minho.

Merasa diperhatikan, Minho mengangkat wajahnya.

“Apa?”

Jin Ri tidak merespon. Ia terus memperhatikan Minho.

Minho memperhatikan bajunya, mungkin ada yang salah. Menurutnya ia baik-baik saja.

“Hei!”

“Ah?” Jin Ri tersadar.

“Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa…”

Beberapa detik kemudian Jin Ri kembali memperhatikan Minho.

“Ada apa sih?” Minho penasaran.

Jin Ri memutar matanya dan melontarkan jawaban yang sama.

“Tidak ada apa-apa…”

Pelayan tadi datang membawa minuman mereka. Tidak lama kemudian disusul pasta dan pizza pesanan mereka.

Jin Ri makan dengan tenang. Ia terlihat menikmati pastanya. Ia menghabiskannya dengan cepat.

Minho lalu mengambil tisu dan melap mulut Jin Ri yang belepotan karena saus pasta.

Deg.. deg..

Jantung Jin Ri berdetak semakin kencang. Ia berdeham dan menyingkirkan tangan Minho.

“Aku bisa melakukannya sendiri,” katanya tersenyum.

Jin Ri lalu mengambil tisu dan melap mulutnya sendiri. Ia melanjutkan aktivitasnya untuk memakan pizza.

Jin Ri merasa suasananya menjadi sedikit berbeda.

“Eh… kau juga punya sesuatu di sini…” kata Jin Ri menunjuk sudut bibirnya.

“Eh…” Minho melap mulutnya sendiri.

Jin Ri tersenyum lalu menghabiskan pizza bagiannya.

“Kita ke mana setelah ini?” tanya Minho.

“Jalan-jalan!”

“Ke mana?”

“Ke mana saja…”

*****

Jin Ri terdiam melihat pemandangan di depannya. Ia tersenyum melihat puluhan burung merpati berkumpul di tengah-tengah kota. Banyak turis yang berdiri di tengah kawanan burung itu untuk memberi makan.

Jin Ri celingak-celinguk mencari penjual makanan burung. Ia melihat beberapa penjual berjejer tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berlari ke sana.

“Kau mau ke mana?” teriak Minho.

Ia mengejar Jin Ri.

“Kau mau apa?”

“Foto aku yah!” suruh Jin Ri.

Jin Ri lalu berlari ke tengah-tengah kumpulan burung tersebut. Burung-burung mulai mengerumuninya.

“Ayooo… foto akuuu!!!” teriak Jin Ri.

Minho mengambil beberapa foto, walaupun masih merasa bingung.

“Sudah?”

Minho mengangguk.

“Ayo kita pergi!” ajak Jin Ri setelah memberi makan burung-burung itu.

“Ada ide kita mau ke mana?” sambungnya.

“Bagaimana kalau kita ke…”

Mereka pun sibuk merencanakan tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi.

*****

Esok paginya, Jin Ri dan Minho sibuk menge-pack barang-barang mereka.

Jin Ri sibuk menghitung-hitung.

“Kau sedang apa?” tanya Minho.

“Memastikan bahwa tidak ada oleh-oleh yang terlupa!” seringai Jin Ri.

Tit.. tit..

Ponsel Minho berdering. Nomor tak dikenal.

Minho malas menjawap panggilan itu.

Tit.. tit..

Ponselnya kembali berdering.

Minho melirik. Masih nomor yang tadi.

“Angkat saja…!” saran Jin Ri sambil sibuk memasukkan pakaiannya ke koper.

Dengan malas Minho menjawab panggilan itu.

“Halo…”

“Minho? Sekarang aku di Itali!”

To be continued


AUTHOR’S Note:

Hai hai! Maaf untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.

Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review