Sabtu, 27 Oktober 2012

LOVEY DOVEY COOKEY [PART2]

Posted by Nur Fadhilah at 2:10:00 PM 1 comments

Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PART 1 dulu ne..


Previous part:

“Tumben menelepon. Ada apa?” tanya Ki Bum tanpa basa-basi.

“Jadi selama ini, Jin Ri yang selalu kau ceritakan padaku itu… perempuan?”

“Jadi selama ini kau pikir dia apa?”

“Kupikir…”


*****

“Laki-laki? Hahaha…” Ki Bum sontak tertawa keras.

“Hei… kenapa kau tertawa? Foto terakhir yang kau perlihatkan padaku sewaktu kalian berdua masih kecil. Saat itu rambut Jin Ri masih sangat pendek. Jadi kukira dia laki-laki…” ungkap Minho malu-malu.

Ki Bum masih saja tertawa. Perutnya sampai sakit karenanya.

“Sudah. Kututup saja kalau begitu,” Minho ngambek.

“Hei, hei, kau jangan marah. Baik, baik, aku akan berhenti tertawa,” Ki Bum mengatur napasnya.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” sambungnya.

“Aku lupa. Nanti lagi kutelepon kalau ingat.”

“Hah… kau ini…”

Minho menutup telepon.

Beberapa saat kemudian, kepala Minho terasa sangat berat. Pasti akibat minum alkohol yang berlebihan. Benar kata Ki Bum. Ia tak kuat minum alkohol. Matanya serasa ingin terpejam.

.
.
.

Triit.. triit..

“Arghhh!!!”

Minho menggeram jengkel. Dia hampir saja terbawa ke alam mimpi, kalau saja ponselnya tidak berdering.

“Halo,” ucap Minho ketus.

“Kau di mana?”

“Ayah?” Minho lalu memperbaiki posisi duduknya dan mengucek matanya.

“Ada apa?” tanyanya.

“Kau di mana?” tanya ayah Minho sekali lagi.

“Aku di rumah.”

“Ke perusahaan sekarang!”

“Apa tidak bisa nanti saja, Yah?” rengek Minho.

“Sekarang!”

Tit. Choi Hyunmoo menutup telepon.

“Arghh!!” Minho menggeram lagi karena waktu tidurnya telah direnggut.

Minho lalu berganti pakaian resmi. Ia mengambil kunci mobilnya.

*****

“Hah… selesai juga…” ucap Jin Ri sambil menutup notebooknya.

“Kau haus?” tanyanya pada Jisun.

“Mm…” Jisun mengangguk pelan.

“Aku ingin makan es krim…” sambungnya.

“Es krim? Sepertinya segar juga. Baiklah, aku akan mentraktirmu makan es krim. Setelah itu, temani aku ke supermarket ya?”

“OK! Kau ingin beli apa di sana?”

“Ibu menyuruhku belanja. Minggu depan kakek akan datang. Kata ibu, aku harus bisa memasak makanan kesukaan kakek. Dengan begitu, kakek akan menyukaiku,” ungkap Jin Ri senang.

“Wah, benarkah? Aku jadi penasaran, kira-kira kakekmu itu seperti apa ya?”

“Jangankan kamu, aku juga sangat penasaran. Tapi dari foto-fotonya, kulihat wajahnya sangar.”

“Yah, mudah-mudahan saja wajahnya tidak sesangar hatinya, hihi…”

“Hihihi…”

Mereka berdua kompak tertawa. Jin Ri lalu mengajak Jisun menaiki mobil kakaknya.

*****

“Hah.. hah..” Minho menyemburkan napasnya ke tangan untuk mencium aroma mulutnya.

Minho terbatuk.

“Kalau ayah mencium napasku, dia pasti tahu kalau aku habis minum. Sebaiknya aku makan sesuatu.”

Minho lalu memelankan laju mobilnya untuk mencari toko.

“Oh, di sana!”

*****

“Berhenti di sini saja!” perintah Jisun.

“Di mana?” tanya Jin Ri.

“Di toko itu!”

“OK…”

Jin Ri lalu menepikan mobil.

Mereka berdua lalu bergandengan memasuki toko.

“Ouch!”

Minho menabrak pundak kanan Jin Ri.

“Maaf…” Minho lalu pergi dan menaiki mobilnya.

“Aduh… apa badannya terbuat dari besi? Sakit sekali…” rintih Jin Ri.

“Jin Ri! Apa kau kehilangan sesuatu?” tanya Jisun khawatir.

“Kau ini… bukannya menanyakan keadaanku, malah menanyakan ada yang hilang atau tidak…”

“Bukan begitu… apa kau tak nonton berita? Akhir-akhir ini, sedang marak pencuri berdasi…”

“Maksudmu?” Jin Ri tak mengerti.

“Ahh… ternyata benar kau tak pernah nonton berita. Memang pencurinya terlihat seperti orang yang punya jabatan, dia berdasi. Tapi, jangan kira, modus seperti menabrak target seperti tadi dijadikan kesempatan untuk mencuri…” jelas Jisun.

“Benarkah?”

“Sekarang cepat periksa tasmu! Kau kehilangan sesuatu atau tidak?”

Jin Ri dengan cepat memeriksa isi tas kecilnya.

“Jisun, dompetku tak ada…”

Jisun melongo.

“Berarti yang tadi itu…” kompak mereka berdua.

Jin Ri dan Jisun berlari memasuki mobil. Mereka lalu mengejar mobil Minho.

*****

“Ke mana mobil itu?” tanya Jin Ri gelisah.

Mata Jisun seperti memperhatikan satu-persatu mobil di depannya. Matanya lalu tertuju pada satu mobil.

“Itu dia!” serunya.

“Wah, dia cepat sekali.”

“Mungkin dia tahu kalau kita mengejarnya.”

“Mungkin juga. Ayo, tetap awasi mobil itu! Jangan sampai dia menghilang.”

Beberapa saat kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah perusahaan.

“Kenapa dia berhenti di Choi Moo Group? Apa dia bekerja untuk mereka?” tanya Jin Ri.

“Memangnya ada apa dengan Choi Moo Group? Ini kan perusahaan besar…”

“Hubungan Choi Moo Group dan perusahaan ayahku kurang baik…”

“Jadi kau tak mau masuk?”

Jin Ri menggeleng.

“Hei, kau tak mau dompetmu kembali?”

“Oh iya, dompetku! Aku lupa tujuan utama kita mengejar pria itu. Ayo cepat!”

Jin Ri dan Jisun secepat kilat turun dari mobil dan berlari mengejar Minho.

Minho lalu memasuki lift. Tapi tiba-tiba Jin Ri datang menghalangi pintu lift yang hampir tertutup dengan kedua tangannya. Ia memandang sinis ke arah Minho.

“Hei, kalau kau ingin masuk, cepatlah! Aku buru-buru…” kata Minho dingin.

“Kembalikan dompetku!”

“Apa?” Minho terlihat heran.

“Jangan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa ya! Kembalikan dompetku sekarang!”

Minho terlihat semakin bingung.

“Hei, apa yang kau bicarakan? Dompet apa yang harus kukembalikan?”

“Tentu saja dompetku. Cepat kembalikan!”

“Kau ini kenapa sih? Aku tidak pernah mengambil dompetmu…”

“Aku tidak akan tertipu dengan penampilanmu. Kalau kau masih mengelak, akan kupanggil satpam untuk menggeledahmu,” ancam Jin Ri.

“Silakan! Panggil saja! Aku tak takut.”

“Satpam! Satpam!”

Triit.. triit..

Ponsel Jisun berbunyi. Jisun mengambil jarak dari Jin Ri dan Minho.

“Halo…” Jisun menjawab telepon dengan berbisik.

“Halo… Jisun?” tanya Min Ah.

“Iya, Bi. Ada apa?”

“Apa saat ini kau bersama Jin Ri?”

“Jin Ri? Iya, dia bersamaku.”

“Mengapa ponselnya tak bisa dihubungi?”

“Ponselnya lowbat, Bi.”

“Hah.. anak itu kebisaaan membiarkan ponselnya lowbat. Oh ya, tolong beritahu Jin Ri, dompetnya ketinggalan di rumah. Tadi kusuruh dia singgah di supermarket. Mungkin terburu-buru, dia lupa membawa dompetnya.”

“A, apa? Jin Ri lupa membawa dompet?”

“Kenapa memangnya? Kau terdengar sangat kaget…”

“Ah… tidak, Bi. Aku akan menyampaikannya pada Jin Ri.”

“Baiklah. Terima kasih, Jisun…”

“Sama-sama, Bi…”

Tit.

Jisun lalu menoleh pada Jin Ri. Terlihat Jin Ri sedang bercakap-cakap dengan seorang satpam mengenai kronologi kejadian sehingga dompetnya bisa hilang. Jisun keringat dingin.

Perlahan, Jisun berjalan mendekati Jin Ri. Jisun merasa sangat takut. Ia lalu menarik-narik tangan Jin Ri.

“Hei… ayo kita pulang… lupakan saja masalah ini…”

“Kau gila? Dompetku bagaimana?”

“Sebenarnya… ada yang ingin kukatakan. Makanya, ayo kita pergi dari sini…”

“Bicaranya di sini saja…”

“Tidak bisa…”

“Hei, kalian ini kenapa? Aku buru-buru…” tegur Minho yang sedari tadi diam saja.

“Jangan gunakan alasan buru-buru agar kau bisa lari, ya!” ancam Jin Ri.

Jisun menarik-narik tangan Jin Ri lagi.

“Apa sih?” Jin Ri mulai merasa risih karena Jisun terus mengganggu aktivitas marah-marahnya.

“Barusan ibumu menelepon, katanya dompetmu tertinggal di rumah…” ucap Jisun jengkel karena dibentak oleh Jin Ri.

“Apa?” Jin Ri kaget.

Jin Ri lalu melirik ke arah kedua satpam dan Minho dengan takut-takut. Tampak Minho yang tertawa cekikikan.

“Apa aku tak salah dengar, Nona? Dompetmu tertinggal di rumah?” sindir Minho.

“Pak, kira-kira hukuman apa yang cocok untuk kedua nona cantik ini? Pencemaran nama baik? Hukuman penjara 2 tahun? Denda 100 juta won?” lanjut Minho.

Jin Ri tertunduk. Mukanya memerah karena malu. Mana bisa ia menuduh seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan.

“Ya ampun… apa yang harus kulakukan? Apa aku lari saja?” batin Jin Ri.

Minho menundukkan kepalanya untuk melihat wajah Jin Ri.

“Kau kenapa? Kau pernah lihat udang rebus? Sekarang wajahmu mirip udang rebus. Hahaha…”

Tanpa ancang-ancang lagi, Jin Ri langsung berlari keluar dari Choi Moo Group. Ia kini memang malu sekali.

“Jin Ri, tunggu! Jangan tinggalkan aku…!” panggil Jisun sambil berlari.

Minho yang tadinya sudah berbalik ingin masuk kembali ke dalam lift, langsung menoleh.

“Jin Ri? Apa mungkin… ah, terserah…” batin Minho lalu memasuki lift.

*****

“Hahahahaha…” Ki Bum tertawa terbahak-bahak.

“Ah, kakak…” Jin Ri cemberut.

“Makanya, kau jangan sembarang menuduh…”

“Habis, Jisun terus mengomporiku.”

“Yah, aku kan juga tidak tahu. Kau jangan menyudutkanku!” Jisun membela dirinya.

“Tidak peduli siapa yang salah. Pokoknya, kalau kalian berdua bertemu dengan laki-laki itu lagi, kalian harus minta maaf! Terutama kau, Jin Ri!” camkan Min Ah.

“Iya, Bi… aku mengerti…” kata Jisun.

“Bagaimana, Jin Ri?” tanya Min Ah.

“Iya… iya… akan kulakukan…”

“Akan kulakukan nanti kalau penguin sudah bisa terbang. Hahaha…” pikir Jin Ri licik.

*****

“Aku pulang!” kata Jin Ri sambil memasuki dapur.

“Cepat sekali belanjanya. Mana Ki Bum?”

“Di belakang. Sengaja kutinggal.”

“Inilah alasan mengapa aku sangat malas jika disuruh menemani Jin Ri belanja. Dia tidak mau mengangkat belanjaannya,” keluh Ki Bum yang menyusul Jin Ri sambil membawa 2 kantung penuh bahan makanan.

“Kakak kan laki-laki. Mana mungkin aku yang membawa belanjaan?”

“Tapi setidaknya kau membantuku membawa sebagian. Ini berat tahu…” Ki Bum menaruh belanjaan di atas meja.

“Huh… dasar lemah! Pantas saja Kak Amber memutuskan kakak…”

Deg. Wajah Ki Bum tiba-tiba berubah masam. Sepertinya dia tidak senang dengan perkataan Jin Ri barusan.

“Ups…” Jin Ri menutup mulut. Ia sadar kalau ucapannya barusan menyakiti hati Ki Bum.

Min Ah yang menyadari terjadi ketegangan antara Jin Ri dan Ki Bum mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Jin Ri… mengapa urusan belanjaan disangkutpautkan dengan hal itu? Sudah. Sekarang pakai celemek dan cuci tanganmu. Kau harus kursus kilat hari ini. Tiga hari lagi kakek pulang.”

Jin Ri mengangguk. Ia memakai celemek dan mencuci tangannya. Ki Bum keluar dari dapur sambil membanting pintu keras-keras, hingga Min Ah dan Jin Ri kaget dibuatnya.

“Mengapa bicara begitu? Kau tahu kan bagaimana hubungan kakakmu dan Amber. Ibu tidak mau tahu, sebelum makan malam, kau sudah harus minta maaf pada kakakmu. Kalau tidak, ibu tidak akan mau mengajarimu masak lagi. Mengerti?”

Jin Ri menunduk, bersalah.

“Iya, Bu…”

*****

Tok.. tok.. tok..

“Kak…” panggil Jin Ri.

Tak ada jawaban.

“Kak… aku masuk ya…”

Jin Ri membuka pintu. Dilihatnya Ki Bum sedang berbaring sambil mengenakan headphone. Ki Bum lalu membalikkan badan memunggungi Jin Ri begitu melihat kedatangannya.

“Pantas saja kakak tidak menjawabku.”

Jin Ri duduk di atas tempat tidur Ki Bum.

“Kak, ponselmu bergetar.”

Tak ada respon dari Ki Bum.

“Wah, dari Kak Amber!”

Ki Bum menoleh sedikit. Tapi ia tahu kalau Jin Ri berbohong. Mana mungkin Amber meneleponnya.

“Kakak tidak mau mengangkatnya?”

Masih tidak ada respon.

“Aku angkat ya…”

Jin Ri lalu mengangkat telepon tersebut.

“Halo, aku Jin Ri.”

“…”

“Ah, aku baik-baik saja.”

“…”

“Kak Ki Bum? Ada. Tapi dia sedang marah padaku karena aku mengungkit hubungan kakak dengannya…”

“Hei, apa yang kau bicarakan?” Ki Bum lalu bangkit dan merebut ponselnya dari tangan Jin Ri.

“Halo…”

Tit.. tit.. tit..

“Hehe… bukan Kak Amber yang menelepon, tapi aku sendiri. Aku menelepon kakak. Lihat ini!” Jin Ri memperlihatkan layar ponselnya.

“Hah… kau ini…!”

Ki Bum membuang ponselnya, mengenakan headphone, lalu berbaring kembali.

“Maaf…”

Ki Bum melirik Jin Ri.

“Aku pasti sangat keterlaluan. Kumohon kakak memaafkanku. Aku berjanji tak akan mengungkit-ungkit hubungan kakak dan Kak Amber lagi. Maafkan aku ya, ya, ya!” Jin Ri sedikit memaksa.

“Janji?” tanya Ki Bum memperjelas pernyataan Jin Ri.

“Janji!”

Ki Bum tersenyum.

“Sekarang, ayo kita makan! Ayah dan ibu sudah menunggu. Hari ini aku yang masak loh…”

“Mana mungkin kau yang masak? Aku tidak percaya.”

“Ya, memang bukan sih. Aku hanya bantu cuci beras dan memotong-motong sayuran. Hehe… ini buktinya!”

Jin Ri memperlihatkan dua jarinya yang diplester akibat teriris pisau sewaktu memotong sayuran.

“Huu… baru begitu saja sudah luka. Kalau ibu itu kakek, dia akan menyuruh merendam jarimu di air garam.”

“Mana mungkin kakek sekejam itu?” Jin Ri ketakutan membayangkan ia harus merendam jarinya dalam air garam.

“Rasanya pasti sangat sakit,” lanjutnya.

“Ah, sudahlah. Ayo kita turun! Aku juga sudah sangat lapar,” ajak Ki Bum sambil merangkul Jin Ri.

“Apa kakek pernah melakukan itu pada kakak?” Jin Ri masih membayangkan betapa sakitnya jarinya kalau direndam dalam air garam.

“Lupakanlah! Tak usah membahas hal itu!”

“Beritahu aku! Apa kakek pernah melakukannya padamu?”

Pletak. Ki Bum menjitak kepala Jin Ri agar dia berhenti bertanya.

“Sakit…” Jin Ri meraba kepalanya.

“Baik, aku akan berhenti bertanya…” sambungnya.

*****

Triit.. triit.. triit.. triit.. triit.. triit..

Tit.. tit.. tit..

“Ayo, Minho… angkat teleponnya…!”

Triit.. triit..

“Halo.”

“Akhirnya kau angkat juga teleponku. Aku sangat khawatir padamu.”

“Ada apa?”

“Kenapa kau dingin sekali padaku? Apa karena aku tak segera meneleponmu setelah kejadian beberapa hari yang lalu? Ayolah… lupakan saja hal itu…”

“Mana mungkin aku bisa melupakan hari itu? Hari di mana kau menolak lamaranku.”

“Bisakah kita tidak membicarakan hal itu?”

“Lalu kau ingin membicarakan hal apa?”

“Aku merindukanmu. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

“Yuri… apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau ingin kembali padaku, tapi kau tak ingin menikah denganku.”

“Kau kan sudah tahu alasanku. Aku mau menikah denganmu, tapi waktunya belum tepat…”

“Lalu kapan?”

“Aku tidak tahu. Maka dari itu, kita harus memulai lagi dari awal. Agar kita tahu, kapan waktu yang tepat.”

“Baiklah. Kuberi kau satu kesempatan lagi. Kujemput kau jam 7 malam ini.”

Yuri tersenyum.

“I love you…”

*****

“Kau suka tempatnya?” tanya Minho.

Yuri melihat sekelilingnya.

“Aku suka. Di sini semuanya terlihat begitu mewah.”

Minho dan Yuri sejenak terdiam. Mereka menyuapkan sepotong beef steak ke dalam mulut masing-masing.

“Aku senang kita kembali seperti ini,” Yuri tersenyum pada Minho.

“Aku akan lebih senang jika kita lebih dari sekedar kekasih.”

“Minho, kumohon jangan mulai lagi…”

“Baiklah…” ucap Minho lirih.

“Beri aku waktu!”

“Aku akan menunggu…”

*****

Dua hari kemudian…

“Kau sudah selesai? Akan kujemput kau sekarang!” ucap Minho melalui telepon.

“Ya, sebentar lagi. Datanglah ke sini! Akan kuperkenalkan kau dengan partner modelku yang baru,” kata Yuri.

“Benarkah? Baiklah, 10 menit lagi aku di sana.”

Minho lalu menaiki mobilnya.

10 menit kemudian

Minho turun dari mobilnya. Terlihat Yuri sudah menunggunya bersama dua temannya.

“Ah, kau datang juga…” ucap Yuri senang melihat kedatangan Minho.

“Aku ingin memperkenalkan kalian dengan pacarku,” lanjutnya.

“Hai, aku Minho. Choi Minho.”

“Senang berkenalan denganmu. Aku Jin Woon.”

“Dan aku Shin Dong.”

“OK… aku harus pergi sekarang. Sampai bertemu besok!” Yuri pamit pada kedua temannya, lalu bercipika-cipiki dengan mereka.

Minho memicingkan matanya.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Yuri setelah mereka memasuki mobil Minho.

“Tidak… kau hanya terlihat mesra dengan kedua temanmu tadi.”

“Oh, ayolah… Kau cemburu dengan mereka? Mereka hanya partner kerjaku. Berciuman seperti itu sudah biasa dalam dunia hiburan.”

“Tapi bisakah kau tak melakukan hal itu di depanku? Karena aku juga tak pernah melakukan hal itu di depanmu.”

“OK, OK! Jangan bicarakan hal ini lagi, ya? Aku bosan dengan perdebatan kita. Sekarang aku mau pulang.”

“Baiklah. Kita deal!”

“Sebelum aku mengantarmu pulang, kau tak keberatan jika mampir di rumah sahabatku? Ada sesuatu yang ingin kuberikan padanya.”

“Terserah kau saja…”

Minho pun melajukan mobilnya menuju rumah Ki Bum.

Ning nong.. ning nong..

Minho menekan bel rumah keluarga Kim.

Jin Ri berlari menuju pintu utama.

“Iya, tunggu sebentar…”

Klek. Jin Ri membuka pintu. Kedua bola matanya membulat. Mulutnya tak bisa mengeluarkan suara.

“Semoga ini mimpi. Untuk apa dia datang kemari?” batin Jin Ri.

To be continued

Author’s NOTE:

Hai, hai!! Lama tak jumpa. Nih ff sudah bersarang laba-laba di laptopku. Sudah jadi setengah, tapi gak ada kesempatan buat ngelanjutin ceritanya. Padahal nih, banyak teman-teman yang sms, bilang kalau ceritanya bagus dan nunggu kelanjutan ceritanya. Wah, jujur… saya jadi merasa sangat bersalah dengan readers. Mianhae!!!
Mudah-mudahan cerita di part ini menarik. Saya tadi agak bingung mau dikasih bersambung di bagian mana. Ya sudah, saya panjangin saja ceritanya (bikin cerita baru) tentang Minho dan Yuri. Soalnya mereka belum ada kabarnya sih sejak awal cerita di part ini. Hehehe…
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review