::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Tampilkan postingan dengan label Fanfiction siBluuu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fanfiction siBluuu. Tampilkan semua postingan
Kamis, 21 Agustus 2014
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 9]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee), Lee Jin Ki (Onew SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
Tit.. tit..
Ponselnya kembali berdering.
Minho melirik. Masih nomor yang tadi.
“Angkat saja…!” saran Jin Ri sambil sibuk memasukkan pakaiannya ke koper.
Dengan malas Minho menjawab panggilan itu.
“Halo…”
“Minho? Sekarang aku di Itali!”
*****
“APA??”
Jin Ri berbalik ke Minho. Ia memasang ekspresi bertanya.
Minho menangkap maksud Jin Ri. Ia menjauhkan ponselnya dari telinganya dan berbisik ke Jin Ri.
“Sebentar. Ini penting!”
Minho keluar kamar.
Setelah memastikan Jin Ri tak dapat mendengarnya, ia melanjutkan percakapannya.
“Kau bilang apa?”
“Aku di sini, Minho. Di Itali…”
“Yuri… jangan main-main… bagaimana bisa kau ada di sini?”
“Aku memang di sini… aku baru saja landing. Kumohon jemput aku…!” Yuri memelas.
“Aku tidak bisa… lagi pula aku akan kembali ke Korea malam ini.”
“Kenapa? Kau takut ketahuan istrimu?”
“Bukan begitu… lagi pula apa yang kau lakukan di sini?”
“Pokoknya aku tidak mau tahu, aku akan tetap menunggumu di bandara sampai kau datang!”
Tit.
Yuri menutup telepon.
“Halo! Halo! Kwon Yuri!”
Percuma, Yuri sudah memutus sambungannya.
“Aish!!!”
Minho meremas kepalanya. Pusing rasanya memikirkan perkataan Yuri barusan. Tanpa pikir panjang, Minho berlari keluar dari hotel dan menahan taksi.
“Airport, Sir!” perintahnya pada supir taksi.
*****
“Memangnya siapa yang menelepon? Lama sekali,” kata Jin Ri sambil merapikan pakaian di koper.
Setelah menutup kopernya, ia bergegas keluar kamar mencari Minho.
“Minho?”
Tapi ia tak melihat siapa-siapa di luar kamar. Ia lalu menutup pintu kamarnya dan berjalan ke lobi.
Jin Ri celingak-celinguk mencari sosok Minho tapi tak ditemukannya.
“Dia ke mana?” ia bertanya pada dirinya sendiri.
*****
Minho berjalan dengan cepat menuju Arrival Gate. Ia mencari-cari sosok Yuri di tengah keramaian orang-orang di bandara.
Matanya segera tertuju kepada sosok perempuan yang memakai kemeja putih tipis dan rok jeans pendek.
“Kau sudah lama menunggu?” sapanya sambil menghampiri Yuri.
Yuri melepas kacamata hitamnya. Ia tersenyum bahagia.
“Minho?”
Yuri segera memeluk Minho.
“Aku kira kau tak kan datang. Aku takut sekali…”
“Bagaimana kabarmu?” Minho melepas pelukan Yuri.
“Aku baik. Sangat baik. Apalagi setelah bertemu denganmu. Kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.”
“Aku lapar. Ayo cari makan!” Yuri menarik tangan Minho.
Minho hanya tersenyum. Ia pasrah ditarik-tarik oleh Yuri.
*****
“Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak mungkin mengejarku sampai ke sini kan?” tanya Minho setelah menghabiskan makanannya.
“Enak saja! Aku ke sini karena job. Aku akan ada sesi pemotretan di Venice 2 hari lagi. Seharusnya aku terbang ke sini besok, bersama kru dan manajerku. Tapi kupikir akan lebih mengasyikkan jika aku berangkat duluan. Aku ingin jalan-jalan keliling Roma bersamamu.”
Minho tersenyum mendengar penjelasan Yuri.
“Dari mana kau tahu aku sini? Aku kan tidak memberi tahumu kalau akan liburan di sini.”
“Ki Bum. Dia bilang kau sedang berbulan madu di sini,” Yuri tidak bersemangat mengatakan kalimatnya barusan.
“Tapi aku akan pulang malam ini ke Seoul. Kita tidak bisa jalan-jalan seperti yang kau inginkan.”
“Aku tahu. Ki Bum juga bilang padaku. Tapi apa kau tega membiarkanku sendirian di sini? Atau paling tidak tinggallah sampai yang lainnya datang! Aku benar-benar tak kenal siapapun di sini…”
“Yuri… aku benar-benar tidak bisa tinggal. Sungguh! Kakek sudah membookingkan aku dan Jin Ri tiket malam ini…”
“Minho… aku ke sini karena dirimu. Apa kau tahu betapa senangnya aku ketika manajerku mendapatkan pekerjaan ini untukku?”
“Tapi Yuri…”
“Kalau kau tidak mau tinggal, aku juga tidak akan tinggal. Aku akan menghubungi manajerku sekarang juga dan menyuruh dia membatalkan semua kontraknya!” ancam Yuri.
“Yuri… kau tidak bisa seperti ini. Kau harus professional! Kau tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaanmu…”
“Aku tidak peduli!”
Yuri mengambil ponselnya dan menelepon manajernya.
“Siapa yang kau telepon?” selidik Minho.
“Manajerku,” jawab Yuri singkat.
“Ha…” Minho menarik ponsel Yuri dan memutus sambungan telepon.
“Kau kenapa sih?”
“Kau yang kenapa?”
“Kembalikan ponselku!”
Minho berdiri dan meninggikan tangannya.
“Berjanji dulu kalau kau tidak akan membatalkan kontraknya!”
“Aku akan tetap membatalkannya kalau kau tak mau tinggal di sini bersamaku!”
Minho menarik napas dalam-dalam.
“Ck… kau memang keras kepala! Baik, aku akan tinggal di sini bersamamu. Tapi ingat, hanya sampai besok. Okay?”
Sekejap Yuri pun tersenyum mendengar perkataan Minho.
“Tentu saja.”
Yuri memeluk Minho erat-erat.
“Kau tidak akan membatalkan kontraknya kan?” Minho memastikan.
Yuri menggeleng.
“Tidak akan! I swear, Sir!”
Minho tertawa melihat tingkah Yuri. Yuri pun tertawa dan kembali memeluk Minho.
*****
Jin Ri melirik jam tangannya. Sudah pukul 5. Ia cemas.
Ia memeriksa ponselnya. Barangkali ada missed call atau sms dari Minho. Tapi tidak ada.
“Kau ke mana?”
Jin Ri memutuskan untuk menghubungi Minho.
*****
Minho dan Yuri berjalan bergandengan tangan menyusuri pasar tradisional di Roma. Yuri tampak bahagia sekali.
“Minho, kau mau makan kembang gula?” Yuri menunjuk penjual kembang gula.
“Boleh!”
Mereka membeli 2 kembang gula.
Mereka kembali berjalan sambil memakan kembang gula masing-masing.
“Lihat apa yang ada di hidungmu!” Minho tertawa.
Yuri meraba hidungnya. Dirasakan kembang gula menempel di hidungnya. Ia tertawa.
Setelah lama berjalan, Minho melihat kincir angin.
“Mau naik kincir angin?”
Yuri mengangguk senang.
Tit.. tit..
Minho melihat ponselnya. Jin Ri memanggil.
“Yuri, aku angkat telepon dulu ya…”
“Mm… kalau begitu akan kubeli tiketnya.”
Minho mengangguk.
Setelah Yuri pergi, Minho menjawab panggilan Jin Ri.
“Halo! Ada apa, Jin Ri?”
“Kau di mana? Kita harus ke bandara sekarang!”
Minho menepuk dahinya. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan kepulangannya malam ini. Ditambah ia lupa memberi tahu Jin Ri bahwa ia menunda kepulangannya hingga besok.
“Eh… Jin Ri… maafkan aku. Tapi aku ada urusan tambahan di sini. Kalau kau tidak keberatan, kau pulanglah duluan malam ini. Aku akan menyusul besok. Kuharap kau mengerti…”
“Urusan apa?”
“Akan kujelaskan nanti! Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang.”
“Tapi kalau kakek dan yang lainnya bertanya aku harus jawab apa?”
“Serahkan saja itu padaku. Aku akan menelepon kakek.”
“Baiklah…” suara Jin Ri terdengar lemas.
“Kau tak apa?” Minho sedikit khawatir.
“Aku tak apa.”
“Kau yakin?”
“Mm…”
Tit.
Jin Ri menutup meneleponnya.
“Tapi setidaknya kau datang ke sini dan memberi tahuku. Apa kalau aku tidak meneleponmu kau sama sekali tidak akan ingat padaku?”
Air mata Jin Ri jatuh. Ia segera menghapusnya. Ia menarik kopernya dan koper Minho. Ia check out dari hotel dan tidak lupa menitipkan koper Minho di resepsionis.
*****
1 pesan diterima.
Aku menitipkan kopermu di resepsionis hotel. Datanglah mengambilnya.
Minho menghembuskan napasnya yang berat.
“Sudah teleponnya?”
Suara Yuri mengagetkannya.
“Mm…”
“Ini tiketnya. Ayo kita naik sekarang!” Yuri menarik tangan Minho.
Minho hanya tersenyum.
Telepon aku setibanya di Seoul. Sekali lagi aku minta maaf. Aku janji akan menjelaskan semuanya padamu nanti. Semoga perjalananmu menyenangkan :)
*****
Attention, please! …
Terdengar panggilan untuk menaiki pesawat. Jin Ri berdiri dan menarik kopernya. Namun tiba-tiba ia berhenti. Ia memperhatikan tiketnya. Tidak tau apa yang dipikirkannya. Ia merobek tiketnya. Ia menghembuskan napasnya dalam-dalam.
“Aku tau ini gila, tapi aku akan melakukannya. Kakek, Minho, semuanya, maafkan aku!”
Jin Ri lalu berbalik dan berjalan keluar bandara.
Ia baru saja melakukan hal gila. Ia merobek tiketnya dan melewatkan penerbangannya. Terdengar namanya dipanggil beberapa kali karena belum menaiki pesawat. Ia tidak peduli. Ia langsung menaiki taksi.
Ia tidak tahu ke mana harus pergi. Ia tidak tahu jalan.
Tidak tau mengapa, tiba-tiba ia berpikir ingin pergi ke Venice. Ya, Venice.
*****
Setelah mengantar Yuri pulang ke hotel, Minho kembali ke hotel tempatnya menginap dengan Jin Ri. Ia menanyakan kopernya. Ia lalu memesan satu kamar lagi untuk semalam.
Minho berbaring di kasur. Ia kelelahan.
Ia mengecek ponselnya. Sudah lewat tengah malam, Jin Ri seharusnya sudah sampai di Seoul. Tapi mengapa ia tak menelepon. Mungkin lupa, pikir Minho.
Minho mencari kontak Jin Ri dan meneleponnya. Nomor Koreanya tidak bisa dihubungi.
Minho menghubungi ibu Jin Ri.
“Kalian di mana? Sudah sampai di Seoul? Kakek sangat bersemangat menunggu kepulangan kalian,” jawab ibunya bersemangat.
“Kakek bahkan bertanya, apa Jin Ri sudah hamil? Hahahaha…” lanjut Min Ah.
Apa? Jin Ri belum tiba? Bagaimana bisa? Seharusnya ia sudah tiba dari tadi. Apa pesawatnya delay?
“Minho? Kamu kok diam saja?”
“Pesawatnya mungkin delay, Bu.”
“Jadi kalian masih di bandara?”
“E… aku akan menghubungi ibu sebentar lagi!”
“Ah, Min…”
Tit.
Minho bangun. Ia mulai berpikir macam-macam.
Jin Ri ke mana? Kalau pesawatnya delay seharusnya ia menghubungiku. Kalaupun ia sudah sampai di Seoul, ia tentunya menghubungi ibu.
Minho kembali mencari kontak Jin Ri. Kali ini ia menghubungi nomor Italinya.
Tersambung.
“Halo!” terdengar suara Jin Ri.
“Kau di mana?” napas Minho memburu.
“Aku… aku sudah di Seoul.”
“Jangan bohong! Barusan aku menelepon ibu. Dia bilang kau belum sampai. Cepat katakan kau ada di mana!”
“Hah… baiklah… tapi jangan marah… aku membatalkan tiketku. Sekarang aku di Venice. Besok juga aku akan pulang. Aku akan menunggumu di bandara. Jadi orang-orang di rumah tidak akan curiga. Aman kan?”
“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”
Minho mengkhawatirkanku? Deg.
“Aku baik-baik saja. Aku menginap di hotel kemarin. Besok kita akan bertemu di bandara.”
“Sudah. Jangan ke mana-mana! Aku akan menjemputmu sekarang!”
“Bagaimana kau akan menjemputku? Mana ada kapal tengah malam begini? Kita ketemu saja di bandara… tak perlu menyusul ke sini…”
“Kau pikir kalau ada apa-apa denganmu siapa yang bertanggung jawab? AKU! Jadi tunggulah di sana, besok aku akan menyusulmu!”
“Tapi…”
“Jangan membantah! Dan jangan menelepon ibu. Biar aku yang urus semuanya!”
“Ba… baik…”
Tit.
“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”
Deg.
Jin Ri memegang dadanya.
“Ya ampun…”
*****
Keesokan harinya…
Minho sudah selesai memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Ia tinggal ke Venice dan menjemput Jin Ri, lalu kembali ke Roma dan terbang ke Seoul.
Ia turun ke lobi dan check out di resepsionis.
“Minho? Kebetulan sekali…”
“Yuri? Kamu ngapain ke sini?”
“Manajer dan kruku baru saja tiba di Roma. Rencananya kami akan ke Venice pagi ini.”
“Loh, kemarin kamu bilang pemotretannya besok?”
“Iya, tapi manajerku bilang, fotografernya mau ketemu aku hari ini. Jadi, dari bandara kami rencananya langsung ke Venice. Tapi kamu bilang kamu mau kembali ke Seoul pagi ini, jadi aku singgah untuk mengucapkan selamat tinggal.”
“Aku tidak jadi pulang pagi ini. Aku juga akan ke Venice.”
“Really? OMG! Kok kebetulan banget sih? Kamu ada urusan apa di sana?”
“Emm…”
“Ya sudah, nggak penting! Yang penting kamu mau ke Venice dan aku juga mau ke Venice, ya kita barengan saja. Kruku sudah menyewa sebuah kapal. Akan sangat menyenangkan kalau kamu mau ikut dengan kami…”
“Em… tapi… Yuri…”
“Sudah! Nggak ada tapi-tapian!”
Yuri langsung menarik koper Minho. Ia menyuruh krunya untuk memasukkannya ke bagasi mobil.
“Yuk, tunggu apa lagi?” Yuri sudah menunggu dalam mobil.
Dengan pasrah Minho ikut masuk ke dalam mobil.
*****
Aku akan jalan-jalan pagi ini. Tenang saja, aku bisa jaga diri kok. Telepon aku kalau kau sudah tiba di sini…
Kirim.
Jin Ri siap mengelilingi Kota Venice. Ia sudah sedikit tahu jalan di sini berkat tour yang dia lakukan bersama Minho dan turis lainnya.
Jin Ri berjalan-jalan riang sambil jeprat-jepret tempat dan bangunan yang belum sempat difotonya saat tour yang lalu. Sesekali ia meminta tolong pada orang lain agar difotokan.
Ia singgah di kerumunan orang. Ada pertunjukan seni. Jin Ri menikmatinya. Ia mengeluarkan dompetnya dan memberiikan uang, lalu kembali berjalan.
Pluk.
Dompet Jin Ri terjatuh tanpa disadarinya.
“Excuse me? Lady!”
Seorang pria memungut dompet itu. Ia membuka dompet tersebut dan membaca tanda pengenal Jin Ri.
“Seoul?”
Pria itu mengejar Jin Ri.
“Hei, you! You!”
Jin Ri terus saja berjalan. Sesungguhnya ia mendengar panggilan itu, tapi ia tidak mengira bahwa orang yang dimaksud adalah dia.
“Hei, Choi Jin Ri!”
Jin Ri langsung mengerem langkahnya. Ia spontan berbalik.
“Apa kau Choi Jin Ri?” tanya laki-laki itu.
“I… iya… kau orang Korea? Emm… maaf, tau namaku dari mana ya?”
Jin Ri menggenggam erat tasnya. Ia takut kalau ini adalah modus pencopetan. Ia kembali teringat kata-kata Minho di telepon.
“Aman apanya? Aku mengkhawatirkanmu… bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu, hah? Kau pergi ke sana sendirian. Bagaimana kalau kau dicopet?”
“Apa kau merasa kehilangan sesuatu?”
“Tidak…” jawab Jin Ri sambil menggeleng.
“Coba periksa tasmu baik-baik!”
Jin Ri semakin yakin kalau ini adalah modus pencopetan.
Jin Ri mundur selangkah sebelum memeriksa tasnya.
“Ah…”
Wajah Jin Ri menyiratkan ekspresi kepanikan. Dompetnya tidak ada.
“Do… dompetku hilang!”
“Nih…” laki-laki itu menyodorkan dompet Jin Ri.
Jin Ri mengambilnya dengan cepat. Ia memeriksa semua isinya. Uang, tanda pengenal, surat-surat penting, ATM, semuanya lengkap tanpa kurang satu pun.
“Tenang saja… tidak akan ada yang hilang. Kau tadi menjatuhkannya setelah menonton pertunjukan di sana,” pria itu menunjuk tempat pertunjukan tadi.
“Oh… begitu rupanya… terima kasih banyak. Padahal aku tadi sempat berpikiran jelek tentangmu. Aku minta maaf dan sekali lagi terima kasih…” ucap Jin Ri tulus.
“Tidak apa-apa…”
“Oh ya, karena aku sudah lancang memanggil namamu, maka aku juga harus memperkenalkan. Aku Jin Ki, Lee Jin Ki.”
“Ah, ternyata benar kau juga orang Korea. Senang bertemu orang yang memakai bahasa yang sama denganku di sini,” Jin Ri menyeringai. “Aku Choi Jin Ri. Salam kenal…”
“Kau sendirian?”
Jin Ri mengangguk.
“Kau?”
“Aku juga. Ini kali pertamanya aku ke sini. Apa kau juga?”
“Tidak. Ini yang kedua kalinya…”
“Oh, kalau begitu aku sangat beruntung! Kalau kau tidak keberatan, apa nggak apa-apa kalau aku ikut kamu jalan-jalan?”
“Boleh. Berdua lebih menyenangkan daripada sendirian.”
“Kalau begitu kita ke mana?”
Jin Ri mengingat-ingat tempat yang pernah dikunjunginya sewaktu tour kemarin.
“Ah, aku tahu! Kita akan mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Venice.”
Jin Ki tersenyum.
Mereka pun berjalan beriringan berdua. Sesekali mereka saling gantian difotokan.
“Mengapa liburan sendirian ke sini? Padahal Venice adalah kota yang sangat indah untuk liburan bersama pasangan,” kata Jin Ri.
“Oh ya? Aku tak tahu itu. Aku ada panggilan kerja di sini, jadi aku ke sini. Kau sendiri juga berlibur sendirian…”
“Oh, aku… aku sebenarnya bersama seseorang. Tapi ia mempunyai urusan lain sehingga aku harus di sini sendirian.”
“Pacarmu?” tanya Jin Ki menggoda.
Jin Ri tersipu malu.
“Bukan…”
“Oh, hahaha… kukira pacarmu…”
“Dia itu…”
Tit.. tit.. tit..
“Tunggu sebentar, aku ada telepon…”
Jin Ri mengangguk.
Jin Ki menjauh sebentar untuk menerima telepon.
“Itu dari manajer model yang akan kufoto…”
“Memangnya kau ini apa?”
“Aku ini apa? Hahaha… aku juga manusia sama seperti dirimu…”
Jin Ri tertawa.
“Bukan… maksudku pekerjaanmu apa?”
“Aku fotografer…”
“Fotografer? Pantas saja hasil potretanmu bagus-bagus. Kau pasti kecewa dengan hasil potretanku…”
“Haha… nggak apa-apa… oh ya, sebentar aku akan bertemu dengan modelku. Kau ikut ya! Siapa tahu bisa memberiikan ide seputar tempat-tempat menarik di sini untuk jadi lokasi pemotretan…”
“Apa nggak apa-apa kalau aku ikut? Nanti merepotkan…”
“Kan aku yang ajak, jadi nggak akan merepotkan. Mau ya?”
“Oke deh!”
Jin Ki mengajak Jin Ri high five.
*****
“Kau akan ke mana setelah ini?” tanya Yuri tiba-tiba.
“Aku akan ke suatu tempat,” jawab Minho.
“Temani aku dulu yuk!” ajak Yuri.
“Tapi aku harus ketemu seseorang…”
“Ayo, Minho… Cuma sebentar…” rajuk Yuri.
“Memang kita mau ke mana?”
“Aku mau bertemu dengan fotograferku besok. Temani aku ya? Ya? Ya?”
“Kan sudah ada manajer dan yang lainnya…”
“Nggak mau! Aku maunya ditemani sama kamu! Kapan lagi kita bisa berduaan di Venice?”
Minho berpikir sejenak. Ia tidak mau mengecewakan Yuri, tapi ia juga ingin segera bertemu dengan Jin Ri.
“Kau mau kan, Minho?” tanya Yuri sekali lagi.
“Tapi setelah ini aku boleh pergi kan?”
Yuri mengangguk.
“Setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku janji!”
“Baiklah kalau begitu. Ayo kita bertemu dengan fotografermu!”
Yuri tersenyum lalu memeluk Minho.
“Makasih… makasih, Minho…”
*****
“Ini namanya Rialto Bridge!” Jin Ri berlagak seperti seorang pemandu wisata.
Jin Ki tertawa.
“Kau sudah seperti guide sungguhan. Dari tadi kau memperkenalkan semua tempat dan berlagak seperti pemandu wisata senior, hahahahaha…”
Jin Ri juga tertawa.
“Pemandangan dari atas sini indah, bukan?” tanya Jin Ri.
Ia kembali mengingat saat-saat ia berdiri berdua dengan Minho. Saat Minho menciumnya.
“Mm… sangat indah…”
Jin Ri berdiri di pinggir jembatan.
Jepret. Jepret.
Jin Ki tersenyum melihat hasil fotonya. Ia berjalan menghampiri Jin Ri.
“Kau tahu?”
“Apa?” tanya Jin Ri.
“Apa kau mau jadi modelku?”
“Maaf?”
Jin Ki tersenyum.
“Coba lihat ini!” Jin Ki memperlihatkan hasil fotonya tadi.
“Kau memotretku?” Jin Ri tak percaya.
“Hasilnya bagus kan?”
“Tentu saja bagus, kau kan seorang fotografer…”
“Seorang fotografer yang hebat juga harus didukung oleh objek yang hebat juga. Menurutku kau cocok menjadi model…”
Jin Ri tersipu malu.
“Tapi aku tidak bisa. Aku akan kembali ke Roma hari ini dan langsung terbang ke Seoul.”
“Kenapa cepat sekali?”
“Aku sudah berhari-hari di Itali dan aku harus kembali…”
“Oh ya, tadi kau bilang kau menunggu seseorang. Siapa dia?”
“Suamiku…”
“Kau sudah menikah? Tapi di tanda pengenalmu…”
Jin Ri menunjukkan cincin pernikahannya.
“Aku belum sempat memperbaharuinya.”
Jin Ki tersenyum.
“Kenapa tersenyum?” Jin Ri heran.
“Aku hanya tidak menyangka kalau kau sudah menikah…”
“Memang kenapa kalau aku sudah menikah?”
“Kurasa aku menyukaimu!”
“Apa?” Jin Ri kaget mendengar pernyataan Jin Ki.
“Tap… tapikan kita baru saja bertemu…”
“Cinta datang begitu saja ketika melihatmu. Di bandara, di kapal, di hotel, hingga akhirnya dompetmu jatuh dan menakdirkan kita untuk bersama-sama seperti ini…”
“Di Bandara? Kapal? Hotel? Maksud kamu apa?”
“Aku melihatmu pertama kali di bandara kemarin malam. Aku baru saja tiba. Kau langsung menaiki taksi yang juga akan kunaiki. Kita duduk berseberangan di kapal. Bahkan kita tetangga kamar di hotel.”
“Kau serius?” Jin Ri seakan tidak percaya.
“Semuanya seperti sudah terencana dengan baik sekali!”
“Maaf, aku sama sekali tidak menyadarinya…”
“Nggak apa-apa…” Jin Ki tersenyum.
Tit.
Jin Ki membaca smsnya.
“Mereka sudah di sini.”
“Siapa? Modelmu?”
“Mm… ayo kita pergi!”
Jin Ri mengangguk.
*****
“Duduklah!” Jin Ki menarik kursi untuk Jin Ri.
“Makasih…”
“Mereka lama sekali… aku paling tidak suka menunggu orang…”
“Mm… mereka itu yang di sana?” tunjuk Jin Ri.
“Maybe… aku juga belum pernah melihatnya langsung. Hanya pernah melihat fotonya.”
Jin Ki mengeluarkan beberapa foto dari tasnya.
“Kau mau lihat? Ini!” Jin Ki memberiikan foto-foto itu kepada Jin Ri.
“Coba aku lihat…”
“Ini kan…” mata Jin Ri membesar.
“Hai, apa kau Lee Jin Ki?” tanya manajer Yuri.
“Benar sekali. Panggil saja Jin Ki!” Jin Ki berdiri lalu bersalaman dengan manajer Yuri.
“Ini dia modelnya, Kwon Yuri!”
“Halo… aku Yuri…” Yuri bersalaman dengan Jin Ki.
“Dan ini…” Jin Ki bermaksud memperkenalkan Jin Ri.
Jin Ri yang sedari tadi menunduk akhirnya mengangkat kepalanya lalu ikut berdiri.
“Jin Ri?” Yuri terbelalak, kaget melihat keberadaan Jin Ri.
“Kenapa kau bisa di sini? Bu… bukannya kau sudah pulang kemarin?” lanjutnya.
“Kalian sudah saling kenal?” Jin Ki bingung.
“Jin Ri?” Minho tiba-tiba muncul dari belakang.
“Minho?” Jin Ri kaget.
“Kenapa kau bisa di sini?” tanya Jin Ri dan Minho hampir bersamaan.
~to be continued~
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Maaf untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.
Ada yang baru di cerita episode 9 ini. Saya memasukkan tokoh baru, yaitu Onew. Mungkin ada pembaca yang sudah mulai bosan karena konfliknya hanya di sekitar situ. Jadi saya mencoba menambahkan masalah baru dalam kehidupan Minho dan Jin Ri. Awalnya sempat bingung sih, bingung memilih tokoh siapa yang ingin saya tambahkan. Saya kan sudah pernah membuat ff tentang Jonghyun dan Taemin. Minho dan Key sudah saya masukkan di ff ini. Kasihan Onew namanya belum saya masukkan. So, fix sudah saya memilih Onew untuk dimasukkan dalam ff ini. Semoga kalian suka yaa…
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Rabu, 21 Mei 2014
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 8]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
Sudah pukul 7.30. Jin Ri meraih ponselnya, hendak menelepon Minho.
Sibuk.
Pukul 8.
Pukul 9.
Jin Ri memutuskan untuk menghangatkan kembali ayam panggangnya.
Jin Ri masih menunggu. Ia akhirnya tertidur di sofa. Ia tak tahu, Minho sedang menikmati makan malam berdua dengan Yuri.
*****
Klek.
Minho masuk.
“Ha?” dia kaget melihat Jin Ri yang tertidur di sofa.
“Hei, bangun!” bisiknya.
“Mmm…” Jin Ri hanya bergumam dalam tidurnya.
“Ck…” Minho mendecakkan lidah.
Ia menyimpan tas dan melepaskan jasnya. Ia lalu menggendong Jin Ri ke kamar.
Baru Minho akan membaringkan Jin Ri di atas tempat tidur, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Ini kan kamarku. Bukankah furniturnya sudah datang tadi pagi?”
Minho tidak jadi membaringkan Jin Ri. Ia keluar kamar dan memasuki kamar di sebelahnya.
“Kerjamu bagus hari ini, Jin Ri,” Minho tersenyum melihat semua furniture di kamar sebelah sudah tertata rapi.
Minho membaringkan Jin Ri di atas tempat tidur.
“Ugh, kau sangat berat!” keluhnya.
Minho keluar kamar dan menutup pintu. Ia melonggarkan dasinya. Ia ke dapur hendak minum. Dilihatnya makan malam siap santap di atas meja makan. Ia langsung menolah ke kamar Jin Ri. Timbul sedikit rasa bersalah di hatinya.
“Fuh…!” Minho menghela napas.
Dibereskannya meja makan. Ayam panggang dimasukkan ke dalam kulkas. Ia mengembalikan piring-piring.
“Apa ini?”
Minho mengambil amplop di atas meja dan membukanya.
“Aku dan Jin Ri ke Itali?”
Minho berpikir sejenak. Ia memasukkan amplop tersebut ke saku bajunya. Ia lalu mengambil kantung sampah. Sebelum Minho mengikatnya, ia mengambil bungkusan besar di dalamnya.
“Apa ini?”
‘Ayam Panggang Lezat’
Minho tertawa kecil.
“Jadi dia mencoba membohongiku? Dasar!”
Ia mengikat kantung sampah tersebut dan membuangnya.
*****
Kesesokan paginya…
Jin Ri merenggangkan badannya berkali-kali. Ia bingung kenapa terbaring di kamar. Apa dia berjalan dalam tidurnya?
Ia tiba-tiba teringat akan jadwal sarapan Minho. Ia menyingkap selimutnya dan berlari keluar kamar. Ia berlari menuju dapur, tapi dilihatnya Minho sudah berada di sana. Minho sedang mengeluarkan ayam panggang semalam dari microwave.
“Oh, kau sudah bangun?” katanya begitu melihat Jin Ri.
“Aku hanya menghangatkan ayam panggang semalam. Sayang kalau dibuang, jadi kumasukkan dalam kulkas,” katanya sambil meletakkan piring di meja.
Jin Ri melirik jam dinding.
“Kau tidak berangkat kerja?”
“Apa aku harus kerja di hari Sabtu?”
“Ah…” Jin Ri tidak ingat kalau hari ini hari Sabtu.
“Sudah siap. Ayo makan!” ajak Minho.
“Aku?” Jin Ri menunjuk dirinya.
“Siapa lagi orang di rumah ini selain kita berdua?”
Jin Ri tersenyum kikuk. Ia terlihat bodoh.
“Anggap saja ini sebagai permohonan maafku semalam.”
“Oh ya, memang kau ke mana semalam?” tanya Jin Ri.
“Semalam aku…” tiba-tiba Minho teringat bahwa tidak mungkin ia menceritakan kalau semalam ia makan malam berdua dengan Yuri.
“Aku ada pertemuan mendadak dengan klien,” jawab Minho singkat.
“Kenapa tak mengabariku? Kau kan bisa menelepon atau mengirim sms. Apa susahnya? Kau tahu, aku menunggu sangat sangat lama. Aku bahkan sampai tertidur di sofa. Tapi ketika bangun aku ada di kamar. Aku sempat berpikir kalau aku jalan tidur. Tapi aku belum pernah mengalami ini sebelumnya,” oceh Jin Ri.
“Siapa yang tahu apa yang kau lakukan saat tidur! Sudahlah, cepat makan! Tidak usah protes! Mumpung pagi ini moodku sedang baik. Jangan buat aku marah-marah lagi!”
Jin Ri menghela napas.
“Selamat makan!”
*****
Jin Ri baru selesai mencuci piring. Minho duduk menonton tv.
“Hei!” panggil Minho ketika Jin Ri akan memasuki kamar.
“Jangan panggil ‘hei’, aku punya nama!” protes Jin Ri.
“Jin Ri!” Minho mengulangi.
Jin Ri tersenyum.
“Ada apa?”
“Duduk sini!”
“Ada apa?” Jin Ri kembali bertanya seraya duduk.
“Apa maksudnya? Kita berdua akan ke Itali minggu depan?” tanya Minho sambil menunjukkan amplop yang didapatnya semalam.
“Oh, itu dari kakek. Kemarin dia memanggilku ke rumah. Dia memberiikan itu. Katanya itu tiket bulan madu.”
“APA??” Minho sangat kaget.
“Bu… bulan madu?” ia memperjelas.
Jin Ri mengangguk.
“Tidak mau! Aku tidak akan pergi!”
“Jangan, kita harus pergi! Kakek bisa marah. Kau tidak tahu kalau kakek marah dia bisa lebih mengerikan daripada monster,” Jin Ri ketakutan.
“Memang kau pernah dimarahi monster?”
Jin Ri menunduk, ia menggeleng.
“Itu kan hanya perumpamaan…”
“Pokoknya aku tidak mau!”
“Tapi kenapa? Itu kan Itali… aku sudah lama ingin ke sana! Terutama ke Venesia. Ayo… kita pergi ya…!” bujuk Jin Ri.
“Sekali tidak, tetap tidak, dan selama lama lama lamanya juga jawabanku tetap tidak. Tidak akan berubah sama sekali!” tegas Minho.
“Iya, tapi kenapa?”
“Aku banyak pekerjaan di kantor!” Minho berbohong.
*****
“APA? DIA TIDAK MAU PERGI?” suara Kim Myungsuk meninggi.
“Bukan tidak mau, Kek. Tapi tidak bisa…” protes Jin Ri.
“Apa bedanya? Kalian juga tidak akan ke sana.”
“Kak Minho kan banyak pekerjaan di kantor, Kek…” bela Jin Ri.
“Tidak bisa, tetap tidak bisa. Beraninya dia menomorduakan bulan madu kalian!”
*****
“Iya, Yah. Baik. Aku mengerti.”
Tit.
Minho menutup telepon. Ia menghembuskan napas beratnya.
Tok.. tok..
Ia mengetuk kamar Jin Ri.
Klek.
“Kenapa? Tolong jangan menyuruh atau memarahiku dalam waktu dekat ini… kakek baru saja memarahiku habis-habisan. Padahal kan bukan aku yang salah. Aku malah membelamu. Mengatakan kau memiliki pekerjaan yang sangat penting di kantor dan tidak bisa ditunda dan dialihtugaskan, apalagi ditinggalkan…” jelas Jin Ri.
“Ayo kita pergi!”
“Memang kau mau mengajakku ke mana?”
“Bukan kah kau yang bilang kalau sudah lama ingin pergi ke Itali?”
Mata Jin Ri berbinar-binar.
“Kau berubah pikiran?”
“Tidak usah banyak bertanya!” Minho kembali ke kamarnya.
Jin Ri tersenyum sendiri. Ia menutup pintunya.
“AAAAAAAAAAAA!!!!!! Italy, I’m coming!!!” Jin Ri berteriak sambil melompat-lompat di atas tempat tidur.
*****
FLASHBACK
“APA? DIA TIDAK MAU PERGI?” suara Kim Myungsuk meninggi.
“Bukan tidak mau, Kek. Tapi tidak bisa…” protes Jin Ri.
“Apa bedanya? Kalian juga tidak akan ke sana.”
“Kak Minho kan banyak pekerjaan di kantor, Kek…” bela Jin Ri.
“Tidak bisa, tetap tidak bisa. Beraninya dia menomorduakan bulan madu kalian!”
“Bukan begitu, Kek…”
“Memang apa yang sudah kau lakukan? Kau pasti membuat masalah sehingga Minho marah padamu. Akhirnya dia tidak mau pergi. Apa itu benar?”
“Ti… tidak, Kek… aku tidak membuat masalah kok. Kak Minho memang tidak bisa pergi. Kenapa aku yang disalahkan?”
“Jangan coba-coba menyalahkan orang lain. Sebagai istri, kau harusnya bisa membujuk suamimu!”
“Iya, Kek… aku mengerti…”
“Sudahlah, kau tenang saja! Aku akan mengurus semuanya.”
Tit.
*****
“Halo!”
“Halo, Hyunmoo. Ini aku, Kim Myungsuk.”
“Oh, tumben Anda menelepon. Ada masalah apa?”
“Ini masalah Minho dan Jin Ri.”
“Ada apa dengan mereka?”
Kim Myungsuk menceritakan semuanya.
“Apa? Apa-apaan anak itu! Anda tenang saja! Aku akan segera meneleponnya.”
“Ah, iya. Terima kasih sebelumnya. Maaf merepotkan Anda.”
“Tidak usah sungkan. Ini demi rumah tangga mereka.”
Tit.
*****
Minho sedang berbaring di kamarnya. Ponselnya berbunyi.
“Ya, Ayah!”
“Apa maksudmu tidak bisa pergi ke Itali karena banyak urusan di perusahaan?”
Minho langsung duduk mendengar ucapan ayahnya.
“Da… dari mana ayah tahu?”
“Barusan kakeknya Jin Ri meneleponku. Dia sangat marah pada kalian.”
“Ah, itu… aku benar-benar tidak bisa pergi, Yah. Terlalu banyak pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan. Rapat, meeting de…”
Belum sempat Minho menyelesaikan alasannya, Hyunmoo sudah memotong.
“Jangan membuat alasan yang bukan-bukan. Serahkan semuanya pada Sekertaris Yoon. Kau seharusnya mengambil cuti kerja. Masa kau hanya mengambil cuti di hari pernikahanmu? Itu tidak masuk akal sama sekali. Lagi pula perusahaan masih atas nama ayah. Jadi ayah yang punya otoritas paling tinggi di perusahaan. Ayah berhak menentukan kapan kau boleh bekerja dan kapan tidak. Yang harus kau lakukan sekarang adalah pergi ke Itali bersama Jin Ri. Mengerti?”
“Iya, Yah. Baik. Aku mengerti.”
Tit.
Minho menutup telepon. Ia menghembuskan napas beratnya.
FLASHBACK END
*****
Seminggu kemudian…
Jin Ri menatap schedule keberangkatan di bandara.
“Apa yang kau lakukan?” Minho baru selesai melakukan check in.
“Aku hanya tidak percaya, beberapa menit lagi kita akan terbang menuju Itali,” Jin Ri tersenyum.
“Ish, dasar lebay!”
Minho pergi. Jin Ri mengikutinya menuju waiting room.
*****
Jin Ri duduk di samping jendela. Dia sibuk memperhatikan sepasang kekasih yang duduk bersebelahan dengan penuh kemesraan.
Minho mengamati apa yang dilihat Jin Ri.
“Hei, apa yang kau lihat? Dasar tidak sopan!” kata Minho.
Jin Ri menghentikan aktivitasnya.
Selang beberapa menit penerbangan, Jin Ri kembali memperhatikan pasangan itu. Si perempuan tidur bersandar pada bahu kekasihnya. Minho kembali mengamati apa yang dilihat Jin Ri.
“Ingat ya, jangan coba-coba bersandar di bahuku!”
“Iya… aku juga tahu, kok…”
Beberapa saat kemudian Jin Ri tertidur. Saat itu pesawat dalam keadaan yang kurang baik. Cuaca buruk. Pesawat bergoyang. Kepala Jin Ri pun terantuk ke jendela di sampingnya. Ia memperbaiki posisi tidurnya. Ia hampir jatuh ke depan. Begitu seterusnya.
Tiba-tiba Minho menahan kepala Jin Ri lalu menyandarkannya di bahunya. Saat pesawat mulai bergoyang lagi, Minho menahan kepala Jin Ri.
Saat Jin Ri terbangun, ia kaget mendapati dirinya bersandar di bahu Minho. Ia melirik Minho. Ia juga tertidur. Jin Ri mengelus dadanya, lega. Lega kalau aksinya tidur bersandar di bahu Minho tidak disadari oleh Minho, pikirnya.
*****
Mata Jin Ri membulat. Itali. Keindahan kota Roma di malam hari benar-benar membuatnya kagum. Minho menahan taksi. Ia memperlihatkan supir taksi nama hotel yang sudah dibooking oleh Kim Myungsuk.
Di dalam taksi Jin Ri dan Minho tidak saling berbicara. Sesekali Jin Ri melirik Minho. Tapi Minho tidak berkata apa-apa. Ia benar-benar tidak sadar akan kejadian di pesawat tadi, pikir Jin Ri.
Mereka sampai di hotel yang mereka maksud. Ternyata tidak terlalu jauh dari bandara. Si supir taksi mengatakan sesuatu. Tapi Minho dan Jin Ri tidak mengerti. Mungkin si supir mengatakan kalau mereka sudah sampai. Minho membayar taksi sesuai harga yang tertera di argo taksi. Penunggu pintu hotel membantu membawakan barang.
Jin Ri dan Minho segera check in. Di meja resepsionis ada sebuah pamflet kecil yang bertuliskan ‘Trip to Venice’. Tulisan itu mengundang ketertarikan Jin Ri. Ia pun bertanya pada perempuan yang melayani mereka.
“Excuse me, does this hotel offer a trip to Venice?”
“Yes Madam. There are two seats left. Tonight is the time limit of the registration. We will leave tomorrow morning. Do you want to register?” si resepsionis menatap Jin Ri dan Minho bergantian.
Mereka menjawab bersamaan.
“No, thank you!” jawab Minho dingin.
“Yes!” jawab Jin Ri bersemangat.
Minho dan Jin Ri bertatapan.
“Kau gila? Mereka akan melakukan perjalanannya besok pagi. Apa kau tak capek?” tanya Minho kesal mengetahui jawabannya berbeda dari Jin Ri.
“Dengan atau tanpa dirimu, aku akan ke Venesia besok. Hal ini sudah lama kuimpikan dan sudah menjadi keputusanku. Rugi kalau tidak ke sana,” Jin Ri sangat senang dengan keputusannya.
“I want to register!” ucap Jin Ri pada si resepsionis.
“You can fill this form please!” si resepsionis memberiikan formulirnya.
Minho menarik napas panjang.
“Please give me one, I’ll register!” kata Minho akhirnya.
Jin Ri berhenti menulis. Ia menoleh pada Minho. Ia tersenyum melihat Minho juga mengisi formulir tersebut.
*****
“Kenapa kau mau ikut?” tanya Jin Ri dalam lift.
“Kau pikir apa yang akan terjadi kalau kakek, ayahmu, dan ayahku tahu kalau kau pergi ke Venesia sendirian? Habislah aku. Aku juga pergi semata-mata karena aku peduli akan keselamatan diriku, bukan karena dirimu,” terang Minho.
“Benar juga sih…”
Ting. Pintu lift terbuka.
Mereka menuju kamar 402.
“Kau boleh tidur di sana, aku akan tidur di sofa,” kata Minho sambil menoleh ke tempat tidur.
“Tumben…” Jin Ri belum selesai bicara tapi Minho sudah memotong pembicaraannya.
“Sudah… aku ngantuk. Sebaiknya kau juga cepat tidur kalau besok kau tak mau ditinggal rombongan,” Minho menaruh bantal di sofa.
*****
Ternyata benar, Jin Ri bangun kesiangan. Dia hampir saja ditinggal rombongan. Bahkan Minho sudah tidak ada di kamar. Dia sedang sarapan di restoran hotel.
Jin Ri menggerutu. Dia mengutuki Minho yang tidak membangunkannya. Dia lalu mandi dan berdandan seadanya. Karena telat, Jin Ri bahkan tak sempat sarapan. Semua orang telah menunggu dalam bus wisata.
Jin Ri duduk di samping Minho dengan kesal. Jin Ri mengelus perutnya. Dia lapar. Minho memberiikannya sebuah bungkusan.
“Apa ini?” tanya Jin Ri.
“Ambil saja…”
Jin Ri membuka bungkusan itu. Isinya sandwich dan susu. Wajah Jin Ri berubah sumringah.
“Terima kasih. Tahu aja kalau aku lapar…”
Minho tersenyum tipis. Saking tipisnya, Jin Ri pun tak akan melihat senyumannya.
Setelah makan dengan lahap, Jin Ri mengutak-atik ponselnya. Dia mengetik ‘Venice’ di Google. Dia membuka salah satu situs.
Deg. Dada Jin Ri berdebar. Ia menaruh kedua tangannya di dadanya, sehingga ia bisa merasakan debaran jantungnya yang sahut-menyahut. Ia menoleh pada Minho. Merasa diperhatikan oleh Jin Ri, Minho pun balas menoleh. Jantung Jin Ri serasa berdetak semakin cepat. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke ponselnya lagi. Pura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Dia kenapa?” pikir Minho.
Bus terus melaju. Mereka akhirnya tiba di dermaga. Rombongan harus melanjutkan perjalanan menggunakan kapal.
Venesia terkenal dengan julukan ‘Kota di atas air’. Di kota ini hanya terdapat kapal dan perahu sebagai alat transportasi utama, selebihnya orang-orang lebih senang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.
Setelah beberapa menit, rombongan akhirnya tiba di Venesia. Tempat yang sangat indah. Itulah kesan pertama Jin Ri ketika menginjakkan kaki di kota ini. Sepanjang mata memandang, yang ada hanyalah turis. Turis-turis berdatangan ke kota ini setiap harinya dari berbagai belahan dunia. Betapa tidak? Kota ini menawarkan keindahan dan wisata yang sangat luar biasa dan tidak ada duanya di tempat lain.
Gondola adalah wisata unggulan Venesia. Guide mengajak rombongan berkeliling kota, sampai akhirnya tiba di suatu tempat yang penuh dengan gondola. Setiap gondola hanya bisa dinaiki 6 orang, ditambah si pemilik gondola yang mendayung gondola. Si pendayung memakai seragam bergaris hitam putih.
Hampir seluruh rombongan terdiri dari pasangan. Ada pasangan suami-istri dan kekasih. Setiap orang yang menaiki gondola akan diberikan anggur. Setelah mengantri beberapa saat, Jin Ri dan Minho akhirnya naik juga. Mereka berdua duduk di bangku paling belakang. Tepat di belakang mereka, berdiri si pendayung. Setelah semuanya siap, si pendayung mulai mendayung. Ia bernyanyi dalam bahasa Italia yang sama sekali tidak dimengerti oleh Jin Ri dan Minho. Tapi mereka tetap menikmati setiap irama lagunya.
*****
Minho mulai sibuk memotret pemandangan-pemandangan di hadapannya.
Deg. Debaran itu muncul lagi. Jin Ri bisa dengan jelas merasakannya.
“Jembatan itu, Rialto Bridge.” kata Jin Ri melihat jembatan itu dari kejauhan.
“Apa?” Minho menghentikan aktivitasnya.
“Jembatan itu sangat terkenal. Ternyata benar, jembatan itu sangat indah.”
“Jadi itu terkenal?”
“Mm...” gumam Jin Ri.
Minho pun mulai memotret jembatan itu.
“Kenapa bisa terkenal?” tanya Minho.
Deg. Lagi-lagi debaran itu muncul dengan sendirinya.
“Katanya, setiap pasangan yang berciuman tepat di bawah jembatan itu akan selalu bersama selamanya. Cinta mereka akan kokoh seperti jembatan itu,” Jin Ri menjelaskan sambil tersenyum.
Minho memperhatikan setiap perkataan Jin Ri. Ia lalu memperhatikan jembatan itu dengan seksama.
“Aku berani taruhan, kedua pasangan di depan kita pasti akan berciuman tepat di bawah jembatan itu!” ucap Jin Ri bersemangat.
“Kau tak percaya?”
Minho tidak menjawab.
“Kita lihat saja nanti!” sambung Jin Ri.
Ketika jembatan itu sudah semakin dekat, Jin Ri menghitung mundur.
“Perhatikan baik-baik! 10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3… 2… 1! Mmpfhh…”
Tepat hitungan terakhir, Minho mencium Jin Ri. Jin Ri sangat kaget. Ia sama sekali tidak mengira hal itu akan terjadi. Seharusnya Minho memberi tahunya sebelum melakukan hal itu.
Pikiran Jin Ri melayang ke mana-mana. Minho melepaskan ciumannya setelah gondola mereka melewati jembatan itu. Jin Ri bisa merasakan air mukanya yang merah. Ia bahkan tidak mau menoleh pada Minho. Ia sangat malu.
*****
“Jin Ri… Jin Ri…!!!” Minho mengguncang-guncang bahu Jin Ri.
Jin Ri tersadar.
“Kau kenapa sih? Kau melamun? Kita sudah sampai nih. Lihat, semua penumpang bahkan sudah turun. Kita harus kembali ke rombongan. Cepat!” Minho meninggalkan Jin Ri.
Jin Ri menepuk jidatnya.
“Jadi aku dari tadi melamun? Dasar mesum! Dasar bodoh!” Jin Ri mengutuki dirinya sendiri.
“Jin Ri…” Minho memanggilnya lagi.
“Iya… iya… aku ke sana…”
Dompet Jin Ri terjatuh. Terselip di bawah bangkunya.
*****
Rombongan berjalan melewati Rialto Bridge, menyusuri jalan-jalan yang seperti labirin, dan akhirnya tiba di Piazza San Marco.
“Wah…!” Jin Ri takjub melihat sekumpulan burung merpati di tengah jalan.
“Kak Minho, foto aku… foto akuuuu!!”
“Ish, anak ini…” gumam Minho.
Walaupun menggerutu, Minho tetap memenuhi permintaan Jin Ri.
“Excuse us, can you take some pictures of me and my wife?” seorang laki-laki dan perempuan paruh baya menepuk pundak Minho.
“Oh, sure,” jawab Minho.
Laki-laki itu memberiikan kameranya. Mereka berdua berdiri di tengah-tengah kumpulan burung merpati tak jauh dari Jin Ri.
“Thank you!” kata laki-laki itu tersenyum.
“No problem,” Minho balas tersenyum sambil menyerahkan kamera milik laki-laki itu.
“I’ll take pictures of you,” kata laki-laki itu sambil melihat ke arah Minho dan Jin Ri.
Minho dan Jin Ri saling berpandangan.
“It’s okay, I don’t mind,” sambung laki-laki itu.
“Eh, th… thank you,” jawab Minho dan Jin Ri.
Mereka berdua pun berfoto di tempat yang sama dengan laki-laki tadi.
“Closer!” teriak laki-laki itu sambil mengisyaratkan agar Minho dan Jin Ri lebih rapat.
Minho dan Jin Ri berpandangan lagi. Mereka pun bergeser agar lebih dekat.
Jin Ri serasa ingin meledak. Jantungnya berdegup sangat kencang.
*****
Rombongan kembali berjalan. Minho dan Jin Ri berjalan paling belakang. Terdengar suara guide yang memimpin perjalanan mereka menjelaskan berbagai bangunan bersejarah dan terkenal di kiri kanan mereka.
Mereka berhenti tepat di depan toko penjual es krim. Katanya es krim khas Venesia dijual di toko itu. Mereka semua masuk ke toko itu.
“Aku mau beli es krim. Kau mau juga?” tanya Jin Ri pada Minho.
Minho menggeleng.
Jin Ri memilih es krim yang dia suka. Ketika akan membayar, ia merogoh tasnya mencari dompet.
Wajah Jin Ri pucat. Ia tak bisa menemukan dompetnya. Ia menoleh pada Minho.
“Apa?” tanya Minho.
“Dompetku nggak ada,” jawab Jin Ri panik.
Minho pun membayarkan es krim yang sudah terlanjur diminta Jin Ri.
“Sudah kau periksa baik-baik?” tanya Minho.
“Sudah…” jawab Jin Ri sambil mengorek isi tasnya.
“Apa mungkin kau lupa membawanya?”
“Tidak mungkin. Aku tidak pernah mengeluarkan isi tasku semenjak kita tiba kemarin. Aku ingat sekali dompetku ada di sini.”
“Kapan terakhir kali kau melihatnya?”
“Aku masih melihatnya sewaktu menaiki gondola tadi. Aku mengambil ikat rambut di tas. Jelas-jelas aku melihat dompetku…” Jin Ri rasanya akan menangis.
“Apa mungkin kau kecopetan?”
“Ah… betul juga. Bisa jadi begitu! Apa yang harus aku lakukan??”
“Tunggu di sini. Aku akan bicara dengan guide kita.”
Minho pergi bertanya pada guide mereka. Ia menjelaskan duduk perkaranya. Guide sangat menyesal tidak bisa membantu mencari karena memandu rombongan. Minho berjanji akan kembali ke rombongan sejam lagi. Mereka sepakat bertemu pusat kerajinan kaca tak jauh dari tempat itu.
“Ayo!” Minho menarik tangan Jin Ri.
“Ke mana?”
“Mencari dompetmu yang hilang entah di mana.”
“Maksudku ke mana kita akan mencarinya?”
“Kita harus menemukan gondola yang kita naiki tadi. Kemungkinan besar dompetmu jatuh di situ.”
Setiba di sana, mereka mulai mencari gondola yang mereka naiki. Setelah mencari beberapa saat, mereka tidak menemukan gondola yang mereka cari. Mereka lalu menuju tempat pemberhentian gondola. Beruntung, gondola yang mereka cari baru saja merapat.
Setelah semua penumpangnya turun, Minho bertanya pada tukang gondola.
“Excuse me, I’m looking for my wife’s wallet. She thinks maybe she forgot hers in your gondola.”
Tukang gondola itu lalu berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Minho dan Jin Ri. Tukang gondola itu menggelengkan kepalanya.
Minho mengerti. Rupanya tukang gondola itu tidak bisa berbahasa Inggris. Minho menjelaskan pelan-pelan.
“She (Minho menunjuk Jin Ri) forgot her wallet (Minho menunjukkan dompetnya) in your gondola (Minho menunjuk gondolanya).”
Setelah mengulangnya beberapa kali dengan bahasa isyarat, akhirnya tukang gondola itu mengerti. Ia mempersilakan Minho dan Jin Ri mencari dompet tersebut di gondola.
Jin Ri dan Minho mencarinya. Jin Ri tidak menemukannya. Minho melongok ke bawah tempat duduk yang tadi mereka duduki. Ketemu.
“Apa ini dompetmu?”
“Ah… benar! Itu dompetku. Di mana kau menemukannya?” Jin Ri kegirangan.
“Di bawah situ. Coba kau periksa isinya! Apa ada yang kurang atau hilang?”
Jin Ri memeriksa isi dompetnya. Lengkap dan tidak kurang suatu apapun.
“Isinya masih lengkap,” Jin Ri tersenyum.
“Syukurlah! Ayo kita kembali.”
“Thank you,” Minho memberiikan sedikit tip pada tukang gondola itu.
“Thank you,” Jin Ri juga mengucapkan terima kasih.
Tukang gondola itu berbicara dalam bahasanya. Satu-satunya kata yang dimengerti Minho dan Jin Ri adalah ketika tukang gondola itu mengucapkan, “Sayonara!”, sambil melambaikan tangan. Mereka berdua membalas lambaian tersebut sambil tersenyum.
“Terima kasih sudah membantu menemukannya,” ucap Jin Ri tulus.
“Aku tidak membantu, tapi memang aku yang menemukannya. Kau tidak melakukan apa-apa,” balas Minho dingin.
“Iya… iya… aku tahu. Terima kasih sudah menemukan dompetku. Terima kasih juga sudah membayarkan es krimku tadi, meski aku tak sempat memakannya karena panik dompetku hilang.”
Mereka terus berjalan.
“Ah, bisa berhenti sebentar. Aku lelah,” pinta Jin Ri.
Mereka berhenti di Rialto Bridge.
“Bukankah ini jembatan yang kita lewati tadi?” tanya Minho.
“Mm… indah, bukan?”
“Ya. Pemandangannya berbeda dengan saat kita melihatnya dari bawah.”
Minho memotret sekelilingnya.
“Aku memutuskan tidak akan membeli dompet baru,” kata Jin Ri.
“Kenapa?” tanya Minho sambil terus memotret.
“Aku punya 2 alasan. Pertama, karena dompet ini pernah hilang di Venesia, kota yang paling ingin kukunjungi dalam hidupku. Kedua, karena Kak Minho yang telah menemukannya.”
Minho berhenti memotret. Ia menoleh pada Jin Ri yang tersenyum padanya.
Minho menarik napas panjang.
“Lihat itu! Ada yang berciuman di bawah jembatan!” seru Minho tiba-tiba.
“Mana?” Jin Ri penasaran.
Cup~
Jepret.
Minho mencium pipi Jin Ri. Ia juga memotret dirinya tengah mencium Jin Ri.
Jin Ri kaget. Ia mematung sejenak. Kali ini tak hanya jantungnya yang berdegup sangat kencang. Tangannya dingin dan wajahnya juga memerah.
“Aku tak akan menghapus foto ini,” kata Minho.
“Kenapa?” Jin Ri penasaran.
“Karena…. di foto ini…. kau terlihat sangat…. jelek!” Minho tertawa.
“Dasar! Berikan kameramu biar kuhapus foto itu!”
“Ambil saja kalau bisa!” Minho mengangkat kameranya tinggi-tinggi.
Jin Ri berusaha mengambilnya, tapi tentu saja tidak bisa. Minho sangat tinggi.
“Kau boleh menghapusnya setelah berhasil mendapatkannya,” kata Minho sambil berlari.
“Aish!” Jin Ri mengejar Minho.
“Tunggu saja, akan kuhapus foto ituuuuuuuuuuu!!!!!!”
*****
“Ke mana kita hari ini?” tanya Minho pada Jin Ri.
“Ayo pergi makan pizza dan pasta!” jawab Jin Ri bersemangat.
“Hei, apa kita tidak bisa makan makanan lain? Jauh-jauh ke sini masa hanya makan pizza dan pasta.”
“Ini hari terakhir kita di sini. Lagi pula rasanya pasti akan berbeda dengan dengan yang biasa kumakan di Korea.”
“Terserah kau sajalah!”
Jin Ri tersenyum bahagia.
Mereka berdua berjalan menelusuri jalan-jalan yang ramai dengan para pejalan kaki. Mereka mampir di sebuah kafe.
Seorang pelayan menghampiri mereka berdua. Pelayan itu menunjukkan tempat duduk untuk mereka.
Pelayan itu tidak bisa berbahasa Inggris. Dia menunjukkan menu kafe itu.
Jin Ri segera mencari menu pizza dan pasta.
“1 pizza, 2 pasta, and 2 cappucino,” pesan Minho menggunakan bahasa isyarat.
Pelayan itu mengerti dan mencatat pesanan mereka, lalu pergi.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Jin Ri sibuk dengan ponselnya sedangkan Minho sibuk dengan kameranya.
“Aku baru ingat kalau aku belum membelikan ibu, ayah, kakek, Kak Kibum, dan Jisun apapun,” kata Jin Ri mengingat-ingat.
“Nanti kita beli…” timpal Minho tetap fokus pada kameranya.
Jin Ri menopang dagunya memperhatikan Minho.
Merasa diperhatikan, Minho mengangkat wajahnya.
“Apa?”
Jin Ri tidak merespon. Ia terus memperhatikan Minho.
Minho memperhatikan bajunya, mungkin ada yang salah. Menurutnya ia baik-baik saja.
“Hei!”
“Ah?” Jin Ri tersadar.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa…”
Beberapa detik kemudian Jin Ri kembali memperhatikan Minho.
“Ada apa sih?” Minho penasaran.
Jin Ri memutar matanya dan melontarkan jawaban yang sama.
“Tidak ada apa-apa…”
Pelayan tadi datang membawa minuman mereka. Tidak lama kemudian disusul pasta dan pizza pesanan mereka.
Jin Ri makan dengan tenang. Ia terlihat menikmati pastanya. Ia menghabiskannya dengan cepat.
Minho lalu mengambil tisu dan melap mulut Jin Ri yang belepotan karena saus pasta.
Deg.. deg..
Jantung Jin Ri berdetak semakin kencang. Ia berdeham dan menyingkirkan tangan Minho.
“Aku bisa melakukannya sendiri,” katanya tersenyum.
Jin Ri lalu mengambil tisu dan melap mulutnya sendiri. Ia melanjutkan aktivitasnya untuk memakan pizza.
Jin Ri merasa suasananya menjadi sedikit berbeda.
“Eh… kau juga punya sesuatu di sini…” kata Jin Ri menunjuk sudut bibirnya.
“Eh…” Minho melap mulutnya sendiri.
Jin Ri tersenyum lalu menghabiskan pizza bagiannya.
“Kita ke mana setelah ini?” tanya Minho.
“Jalan-jalan!”
“Ke mana?”
“Ke mana saja…”
*****
Jin Ri terdiam melihat pemandangan di depannya. Ia tersenyum melihat puluhan burung merpati berkumpul di tengah-tengah kota. Banyak turis yang berdiri di tengah kawanan burung itu untuk memberi makan.
Jin Ri celingak-celinguk mencari penjual makanan burung. Ia melihat beberapa penjual berjejer tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berlari ke sana.
“Kau mau ke mana?” teriak Minho.
Ia mengejar Jin Ri.
“Kau mau apa?”
“Foto aku yah!” suruh Jin Ri.
Jin Ri lalu berlari ke tengah-tengah kumpulan burung tersebut. Burung-burung mulai mengerumuninya.
“Ayooo… foto akuuu!!!” teriak Jin Ri.
Minho mengambil beberapa foto, walaupun masih merasa bingung.
“Sudah?”
Minho mengangguk.
“Ayo kita pergi!” ajak Jin Ri setelah memberi makan burung-burung itu.
“Ada ide kita mau ke mana?” sambungnya.
“Bagaimana kalau kita ke…”
Mereka pun sibuk merencanakan tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi.
*****
Esok paginya, Jin Ri dan Minho sibuk menge-pack barang-barang mereka.
Jin Ri sibuk menghitung-hitung.
“Kau sedang apa?” tanya Minho.
“Memastikan bahwa tidak ada oleh-oleh yang terlupa!” seringai Jin Ri.
Tit.. tit..
Ponsel Minho berdering. Nomor tak dikenal.
Minho malas menjawap panggilan itu.
Tit.. tit..
Ponselnya kembali berdering.
Minho melirik. Masih nomor yang tadi.
“Angkat saja…!” saran Jin Ri sambil sibuk memasukkan pakaiannya ke koper.
Dengan malas Minho menjawab panggilan itu.
“Halo…”
“Minho? Sekarang aku di Itali!”
To be continued
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Maaf untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Minggu, 03 November 2013
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 7]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
“Maaf, Anda siapa?” Minho masih berusaha bersikap sopan.
Dia tidak menjawab. Ia membalikkan kursi putar Minho.
“Apa secepat itu kau melupakanku?”
“Yuri?”
*****
“Ap… apa yang kau lakukan di sini?” Minho tergagap.
Yuri berdiri lalu berjalan mendekati Minho. Dia mencium pipi kanan Minho.
“Aku ingin kembali padamu…” bisik Yuri.
Minho kaget dan berbalik pada Yuri.
“Apa maksudmu?”
“Aku minta maaf karena meninggalkanmu. Kau tahu kan bagaimana shocknya aku ketika mendengar kau akan menikah? Aku minta maaf karena sudah memutuskan hubungan kita, tapi aku tidak bisa berpikir dengan jernih saat itu. Kau masih mau menerimaku kan, sayang? Kau pernah bilang asal aku mau menunggu kau akan kembali padaku. Aku sudah memikirkannya baik-baik,” Yuri berhenti sejenak.
“Aku akan menunggumu, kapan pun itu.”
Minho menelan ludahnya. Ia mulai tergoda.
“Kau serius?”
“Ya ampun, Minho… kalau aku main-main, untuk apa aku datang ke sini sepagi ini kalau hanya untuk menemuimu? Aku hanya tidak bisa menahan perasaanku yang ingin segera bertemu denganmu. Makanya aku datang ke sini sampai-sampai aku mengabaikan peraturan tamu yang berkunjung di perusahaanmu,” jelas Yuri.
Minho diam.
“Kenapa diam? Katakan sesuatu! Apa kau tidak senang?”
Minho masih terdiam.
“Aku akan menikah minggu depan,” katanya beberapa saat kemudian.
“Tidak masalah… kau tak ingin mengundangku?”
“Kau tak apa jika datang?”
“Aku tidak akan apa-apa karena aku tahu akhir cerita ini…”
“Akhir cerita?” Minho tak mengerti.
“Kau masih mencintaiku kan?” balas Yuri bertanya.
Minho menoleh ke arah lain, mengangguk, lalu menunduk.
“Kalau begitu aku tahu akhir ceritanya. Kita akan bersama,” ucap Yuri ditutup dengan senyuman.
*****
“Nona, tolong tegapkan badanmu!”
“Perlu setegap apa lagi? Ini sudah tegap…” keluh Jin Ri pada pegawai yang membantunya memakai gaun pra-wedding.
“Tapi Anda harus lebih tegap lagi agar gaunnya muat…”
Jin Ri pun berusaha lebih menegapkan badannya.
“Ah… akhirnya selesai juga…”
Jin Ri mematut dirinya di depan cermin. Dia berputar. Lekuk tubuhnya terlihat sempurna. Gaun putih selutut dipadukan dengan warna merah jambu terlihat sangat cocok dengan kulit beningnya. Rambutnya dibiarkan terurai. Dia pun keluar dari kamar pas untuk memperlihatkannya pada semua orang.
“Gimana, Bu? Bi? Terlihat cocok?” tanya Jin Ri polos.
“Cantik sekali!” puji Min Ah dan Tae Jinah.
“Nona, apa kau sudah selesai bersiap? Semua sudah menunggu untuk sesi pemotretan,” panggil seorang asisten fotografer pra-wedding Jin Ri dan Minho.
“Iya… aku akan segera keluar…”
“Ayo!”
Jin Ri keluar bersama Min Ah dan Tae Jinah.
Minho sedang memakai jasnya yang berwarna hitam kombinasi merah jambu saat Jin Ri memasuki ruang pemotretan. Mata Minho mengikuti langkah Jin Ri hingga ia berdiri di depannya.
“Gimana, Kak?” Jin Ri iseng bertanya.
Minho lalu mengalihkan pandangannya.
“Meskipun aku berkata jelek, apa kau akan menggantinya?”
Jin Ri menunduk dan menggeleng.
“Lalu untuk apa kau meminta pendapatku? Pendapatku tidak akan mempengaruhi apapun,” terang Minho dingin.
“Maaf, Nona… tolong pakai sepatu ini!”
“Ahh… haknya tinggi sekali… apa tidak ada yang lebih pendek? Aku belum pernah memakai hak setinggi itu…”
“Pakai saja! Kan hanya untuk keperluan pemotretan,” kata Minho.
Jin Ri berpikir sejenak.
“Baiklah…”
Jin Ri pun memakai sepatu itu.
“Mari kita mulai!” kata fotografernya.
Si fotografer pun mengarahkan pose-pose yang harus dilakukan oleh Jin Ri dan Minho.
“Pose kalian bagus. Tapi aku merasa ada yang kurang,” keluh si fotografer setelah mengambil beberapa foto.
“Apanya?” tanya Minho.
“Sepertinya kurang bisa mengekspresikan perasaan kalian berdua. Kalian memang tersenyum dan tertawa, tapi bukan karena cinta, melainkan karena instruksi dariku. Apa kalian paham?”
Minho dan Jin Ri mengangguk.
“Bagus. Mari kita coba sekali lagi! Sekarang Jin Ri berdiri di samping Minho!”
Jin Ri pun berjalan dengan sangat hati-hati. Dia takut jatuh. Namun walau berjalan sehati-hati apapun, insiden itu tetap terjadi. Kaki kanannya terlipat sehingga ia jatuh ke depan. Minho yang kaget tidak sempat menahannya. Jin Ri malah menindih badan Minho.
Semua orang kaget melihat insiden itu. Tapi si fotografer tidak tinggal diam. Dia mengabadikan kejadian langka itu.
“Ah… bagus sekali! Perfect!” puji si fotografer.
Jin Ri dan Minho baru sadar dari kejadian tersebut. Jin Ri cepat bangun dan memperbaiki rambutnya, disusul oleh Minho.
“Coba kalian lihat ini! Ini adalah foto yang sangat bagus!”
“Apa?” Minho dan Jin Ri heran dengan perkataan si fotografer barusan.
“Ini akan menjadi foto pra-wedding yang sangat bagus. Kalian akan melihat hasilnya nanti di hari pernikahan kalian.”
Minho dan Jin Ri saling pandang. Muka Jin Ri memerah.
*****
“Ki Bum, suruh Jin Ri turun! Kita sarapan bersama,” perintah Kim Myungsuk.
“Iya, Kek.”
Ki Bum menaiki tangga menuju lantai dua. Ia mengetuk kamar Jin Ri.
“Masuk!” suara Jin Ri dari dalam kamar.
Ki Bum membuka pintu.
“Ayo makan, anak malas! Semua sudah menunggumu di bawah,” kata Ki Bum melihat Jin Ri yang masih berbaring malas di tempat tidurnya.
“Sarapan duluan saja… aku masih ngantuk!” keluh Jin Ri sambil menutupi wajahnya dengan selimut.
“Dasar malas! Ayo bangun!” Ki Bum menarik selimut Jin Ri.
“Ahh… kakak…” omel Jin Ri manja.
“Bangun…!”
Jin Ri pun bangun dengan malas.
“Tungguin! Aku cuci muka dulu!”
“Cepetan!”
“Iya, tunggu! Bawel amat!”
Setelah cuci muka, Jin Ri turun bersama Ki Bum.
“Pagi, Kek… Ayah… Ibu…!” sapa Jin Ri sambil mencium pipi kakek, ayah, dan ibunya.
“Karena Jin Ri sudah datang, ayo kita sarapan!” kata Kim Myungsuk.
Jin Ri mengambil dua potong roti tawar dan mengolesinya dengan selai kacang.
“Tidak terasa, sarapan kita pagi ini adalah sarapan terakhir kita bersama Jin Ri,” kata Kim San.
“Maksud ayah?” Jin Ri tak mengerti.
“Dasar bodoh!” Ki Bum yang duduk di samping Jin Ri menjitak kepalanya.
“Aduh… kenapa sih?” Jin Ri mengusap-usap kepalanya.
“Kau ini bodoh atau apa? Setelah menikah, kau tentu tidak akan tinggal bersama kami lagi…”
“Masa? Memang benar, Yah?” tanya Jin Ri tak percaya.
“Benar… setelah menikah, kau akan tinggal berdua dengan Minho. Ayah Minho dan aku telah menyiapkan sebuah rumah untuk kalian berdua sebagai hadiah pernikahan dari kedua pihak keluarga.”
“Dan aku juga sudah menyiapkan hadiah spesial untuk kalian berdua…” timpal Kim Myungsuk.
“Kakek juga?” Jin Ri semakin tak percaya.
“Ibu juga punya. Tapi ibu akan memberikannya nanti,” kata Min Ah.
Jin Ri tersenyum. Ia lalu menoleh pada Ki Bum.
“Kau tidak mau memberikanku hadiah?” kata Jin Ri dengan nada menggoda.
“Hah! Aku? Memberimu hadiah?”
Jin Ri mengangguk penuh harapan.
“Jangan mimpi!”
Jin Ri manyun mendengar jawaban Ki Bum. Kim Myungsuk, Kim San, dan Min Ah tertawa.
“Sudah, ayo kita lanjutkan makannya!”
*****
Hari pernikahan…
Tamu sudah berdatangan. Seluruh keluarga menyambut kedatangan mereka. Minho turut berpartisipasi.
Foto pra-wedding Minho dan Jin Ri dipajang di pintu masuk ruangan pernikahan. Setiap tamu yang berdatangan pasti memuji keindahan foto itu.
Tidak lama kemudian, Kim Myungsuk memerintahkan Minho untuk bersiap-siap di altar menyambut kedatangan Jin Ri. Ia lalu mengenakan sarung tangannya. Kim San disuruh bersiap-siap di luar ruangan bersama Jin Ri. Acara pernikahan Minho dan Jin Ri dimulai.
“Wah… Jin Ri cantik sekali…” ungkap Jisun kagum.
Jin Ri tersenyum malu-malu.
“Tidak usah banyak bicara! Jalankan saja tugasmu sebaik-baiknya!”
“Iya, Nyonya Choi…” goda Jisun.
Kim San tertawa.
“Hus! Jangan sembarang ngomong!” bantah Jin Ri.
“Memang nyatanya sebentar lagi seperti itu. Kau akan resmi menjadi istri Kak Minho. Itu berarti kau adalah Nyonya Choi.”
“Ishh… kau ini!”
Musik pertanda masuknya pengantin wanita ke dalam ruangan berbunyi.
“Sayang, ini saatnya!”
Kim San menggandeng tangan Jin Ri. Pintu terbuka. Jin Ri menegakkan badannya. Ia berjalan didampingi ayahnya. Terlihat seulas senyuman ketika matanya menangkap pandangan Min Ah dan Ki Bum. Jisun berjalan di belakang Jin Ri. Dia menjadi pengiring pengantin wanita. Ini merupakan permintaan khusus Jin Ri.
Jin Ri lalu memfokuskan pandangannya ke depan. Ia menangkap pandangan lain yang sedari tadi terus memandanginya. Minho memandangi Jin Ri. Tidak ada yang bisa memungkiri penampilan Jin Ri yang sangat cantik. Gaun panjang seputih salju dan selembut
sutra. Jin Ri tersenyum. Minho membalasnya.
Kini ia sampai di depan altar. Kim San memberikan tangan Jin Ri pada Minho. Minho menerimanya. Jin Ri naik ke altar. Mereka berdua lalu mengumandangkan janji pernikahan mereka.
Minho lalu menyematkan cincin di jari manis Jin Ri, begitu pun Jin Ri.
“Pengantin pria disilakan mencium pengantin wanita!”
Minho membuka penutup kepala Jin Ri. Ia mengangkat wajah Jin Ri yang tertunduk. Minho mulai mendekatkan wajahnya. Jin Ri menelan ludah. Ia tak sanggup melihat wajah Minho yang semakin dekat. Ia menutup matanya.
Cup~
Jin Ri membuka matanya. Minho tidak menciumnya di bibir, melainkan di bawah bibirnya. Dilihatnya Minho tersenyum nakal padanya. Wajah Jin Ri memerah. Kedua keluarga besar tersenyum menyaksikan mereka berdua.
Setelah melakukan sesi berfoto bersama, kedua keluarga sibuk menjamu tamu yang datang. Jin Ri dan Minho juga sibuk menjamu kerabat-kerabat mereka yang sempat datang.
“Ehm…”
Minho yang sedang berbincang dengan seorang temannya tiba-tiba berbalik. Ia sedikit kaget.
“Yuri? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Bukankah kau yang mengundangku?”
Minho celingak-celinguk. Ia takut kalau keluarganya melihat kehadiran Yuri. Ia menarik tangan Yuri ke pojok ruangan.
“Seharusnya kau memberi tahuku lagi kalau kau akan datang!”
“Aku kan sudah memberi tahu kamu hari itu. Aku kan sudah bilang bahwa aku tahu akhir cerita ini…” Yuri mengelus kerah kemeja Minho.
Minho pucat.
“Kau kenapa? Apa kau takut hubungan kita diketahui istrimu?”
Minho menelan ludah.
“Kita tak perlu membicarakan itu sekarang!”
*****
“Jin Ri, lihat itu! Kak Minho sedang bersama siapa?” tanya Jisun yang tidak sengaja melihat Minho dan Yuri di pojok ruangan.
“Mana?”
“Itu… yang di pojok sana!”
Jin Ri memperhatikan mereka berdua.
“Sepertinya aku kenal perempuan itu…”
Jin Ri memicingkan matanya.
“Ya ampun! Dia kan kekasih Kak Minho.”
“Hei, apa yang kau lihat?” suara Ki Bum mengagetkan Jin Ri.
“Ah… tidak, bukan apa-apa…” Jin Ri berbohong.
Tapi terlambat. Ki Bum bisa melihat apa yang sedang dilihat Jin Ri.
“Aish… kenapa perempuan itu bisa datang ke sini?” umpat Ki Bum.
“Ayo kita ke sana?” Ki Bum menarik tangan Jin Ri.
“Ke mana?”
Ki Bum tidak menjawab. Tapi Jin Ri tahu ke mana Ki Bum akan membawanya.
“Hei… kalian berdua mau ke mana? Aku kok ditinggal sendiri?” Jisun malah kebingungan sendiri.
*****
“Yuri? Kau juga datang rupanya! Kenapa tak menemuiku? Lama tak berjumpa denganmu!” Ki Bum sengaja memecah suasana.
Minho dan Yuri menoleh ke arah Ki Bum.
“E… rencananya aku baru akan menemuimu setelah menemui Minho. tapi, tiba-tiba kau malah menghampiriku di sini. Sungguh kebetulan, hahaha…” Yuri tertawa garing.
Mata Minho dan Ki Bum bertatapan. Ki Bum memberi tanda agar Minho memperkenalkan Jin Ri pada Yuri.
“Oh ya, per… perkenalkan! Ini is… istriku. Jin Ri, ini Yuri. Yuri, ini Jin Ri,” Minho terlihat gugup.
“Kurasa kita sudah pernah bertemu sebelumnya. Kau ingat kan?” tanya Yuri.
Jin Ri mengangguk.
“Bagus! Jadi kurasa perkenalan ini tidak perlu,” Yuri tersenyum.
“Jadi kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Ki Bum.
“Iya. Saat itu Kak Minho datang ke rumah bersama Kak Yuri untuk menyampaikan surat dari Kak Amber. Tapi kakak sedang tidak ada di rumah,” jelas Jin Ri.
“Oh, waktu itu…” Ki Bum mengingat-ingat.
“Em… karena kita sudah bertemu, sebaiknya aku pulang!” kata Yuri.
“Kenapa terburu-buru?” tahan Jin Ri.
“Aku hanya tidak mau berlama-lama di sini,” Yuri mengatakannya sambil menatap tajam mata Minho, lalu tersenyum pada Jin Ri dan Ki Bum.
“Semoga kalian bahagia!”
Sekali lagi, Yuri melempar tatapan penuh arti pada Minho. Ki Bum dapat mengerti arti tatapan itu. Ia tahu, telah terjadi sesuatu antara Minho dan Yuri. Tapi tidak demikian dengan Jin Ri.
*****
“Jin Ri, Minho, kalian akan pulang dengan mobil ini! Aku sudah memberi tahu supirnya alamat rumah kalian,” kata Kim San.
“Pu… pulang ke mana, Yah?” tanya Jin Ri polos.
“Tentu saja pulang ke rumah kalian!”
Kim San tersenyum geli. Jin Ri dan Minho saling berpandangan.
“Ibu juga sudah menaruh hadiah yang pernah ibu janjikan di sana!” kata Min Ah.
“Err… ibu juga sudah menyiapkan hadiah untuk Jin Ri…” Tae Jinah tidak mau kalah.
“Ibu?” Minho tak percaya ibunya juga ada di balik semua ini.
“Sudahlah, sekarang kalian harus pulang! Istirahat yang cukup! Beberapa pakaian kalian sudah tersedia di sana,” perintah Kim Myungsuk.
Jin Ri dan Minho berpamitan pada kedua keluarga mereka. Ragu-ragu mereka menaiki mobil.
“Apa kakak tahu mengenai rumah itu?” tanya Jin Ri ketika mobil mereka sudah jauh meninggalkan gereja tempat mereka melangsungkan pesta pernikahan.
“Tidak,” Minho menggeleng.
“Aish… kalau begini kan gawat!”
“Bukannya itu bagus?”
“Bagus? Bagus apanya? Kita akan tinggal berdua!!”
Minho menoleh ke arah Jin Ri.
“Kau punya otak tidak sih? Kalau kita tinggal berdua, itu berarti tidak ada yang mengawasi kita. Dengan kata lain, kita BEBAS!”
“Bebas? Bebas melakukan apa?” Jin Ri mulai ketakutan dengan perkataan Minho barusan. Ia menutup dadanya.
Minho tertawa melihat sikap refleks Jin Ri. Ia lalu menatap Jin Ri dan mendekatkan wajahnya. Semakin dekat. Jin Ri menutup mata sambil menyilangkan tangannya di depan wajah Minho.
“Dasar gadis berpikiran jorok!” bisik Minho.
Jin Ri membuka matanya. Ia baru sadar kalau Minho mengerjainya.
Si supir melihat aksi sepasang pengantin baru itu dari kaca depan mobil. Ia tertawa kecil.
Selama sisa perjalanan, tak ada percakapan. Mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
*****
“Terima kasih…”
Jin Ri dan Minho membungkuk yang dibalas anggukan kepala sang supir. Mobil itu pun melaju pergi.
Mereka berdua berbalik menatap rumah yang cukup besar di hadapan mereka.
“Haruskah kita memperkerjakan satu dua orang pembantu di rumah ini? Aku rasanya tak sanggup untuk mengurusnya sendirian,” keluh Jin Ri.
“Tidak!” jawab Minho tegas.
“Kenapa?” Jin Ri penasaran.
“Aku tidak mau ada orang lain yang tinggal di rumah ini, selain kita berdua.”
“Lho, memangnya kenapa?” Jin Ri semakin penasaran.
Minho menoleh kepada Jin Ri dengan tatapan yang tajam. Hal itu membuat Jin Ri diam dan tidak berani lagi mengajukan pertanyaan.
“Aku capek, mau mandi,” kata Minho seraya meninggalkan Jin Ri.
“Mandi? Hah!” Jin Ri membulatkan matanya. Ia cepat menggeleng menghilangkan berbagai pikiran negatif di kepalanya.
*****
Jin Ri mengikuti Minho memasuki sebuah kamar tidur.
“Haaa??!!!” Jin Ri menahan napas melihat Minho.
Minho berbalik. Ia juga kaget.
“Ap… apa yang kau pegang itu?!!” Jin Ri menunjuk lingerie yang dipegang Minho.
Minho refleks membuangnya ke atas tempat tidur.
“Aku… aku tidak tahu! Itu begitu saja ada di situ! Bukan aku yang membawanya…” Minho sedikit ketakutan.
Jin Ri memicingkan matanya curiga.
Tidak sengaja Minho melihat sebuah note yang ditempelkan pada lingerie itu.
Happy wedding, honey… :)
Ibu
“Ha! Ini dari ibu,” kata Minho yang dengan cepat mengenali tulisan tangan ibunya.
“Lalu… kenapa kau mengikutiku ke sini?”
“Aku kan juga ingin istirahat…”
“Ini kamarku! Pergi ke kamar sebelah!” perintah Minho.
Jin Ri menghela napas. Ia pun menuju kamar sebelah.
Klek.
Jin Ri menatap datar kamar itu.
“Kosong?”
Ia lalu kembali ke kamar Minho.
“Kak, kamar di sebelah kos… AAAAAAAAAAAAAA!!!” jerit Jin Ri.
Minho yang sedang melepas bajunya kaget melihat kedatangan Jin Ri. Dengan cepat ia mengenakan kemeja putihnya kembali.
“Apa kau tidak bisa ketuk pintu sebelum masuk?” bentak Minho.
“Ma… maaf…” Jin Ri menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Aku hanya mau bilang, aku tidak bisa tidur di sebelah. Ruangannya kosong.”
“Kalau begitu, tidur saja di sofa!”
“APA?!!” Jin Ri seakan tak percaya mendengar perkataan Minho.
“Aku yang duluan mendapatkan kamar ini, jadi ini kamarku. Siapa suruh jalanmu lambat sekali,” ucap Minho santai.
Jin Ri menggigit bibirnya. Ia kesal sekali. Sambil mengumpat marah, ia mengambil beberapa potong baju dari lemari, bantal, dan selimut. Ia keluar dari kamar.
“Eh, tunggu dulu!” panggil Minho tiba-tiba.
Jin Ri tersenyum.
“Apa dia berubah pikiran ya?” pikir Jin Ri.
“Ada apa?” Jin Ri berbalik, sengaja memasang wajah masam.
“Ambil itu! Aku tidak mau menyentuhnya lagi!” suruh Minho sambil menunjuk lingerie yang ada di atas tempat tidur.
Jin Ri kesal mendengar jawaban Minho. Ia lalu mengambil lingerie itu dan keluar kamar.
“Dasar laki-laki tidak berperikemanusiaan!!!”
*****
Jin Ri sedang mempersiapkan sofa yang akan ditidurinya saat Minho keluar dari kamar. Ia hanya mengambil segelas air minum lalu kembali memasuki kamar.
Jin Ri menatapnya kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengumpat saja.
“Akan kubalas kau nanti!”
Jin Ri menarik selimutnya dan bersiap untuk tidur.
Klek. Minho membukan pintu kamar.
“Hei, kau!”
Jin Ri tak menjawab.
“Kau sudah tidur?”
Jin Ri tetap tak menjawab.
“Ya sudah. Tadinya aku berubah pikiran mau menyuruhmu tidur di kamar, tapi karena kau sudah tidur duluan, apa boleh buat. Selamat malam!”
“Tunggu!!”
Jin Ri bangun. Dengan cepat ia berlari memasuki kamar.
“Terima kasih,” ia tersenyum nakal lalu menutup pintu dan menguncinya.
Minho terdiam sesaat.
“Dasar perempuan aneh!”
Minho tersenyum. Ia pun tidur di sofa tempat Jin Ri berbaring tadi.
*****
“Hoaaaammmm!!”
Jin Ri meregangkan badannya. Untuk sejenak ia berpikir di mana dirinya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya.
Jin Ri tersenyum. Dilihatnya jam. Sudah pukul 8.35.
Ia beranjak dari tempat tidur. Dibukanya jendela. Ia keluar kamar. Ia menuju dapur untuk meminum segelas air.
“Kak Minho?” panggilnya setelah sadar tak ada siapa pun di rumah.
Jin Ri memeriksa ponselnya. Dua pesan belum dibaca.
Pesan pertama dari Ki Bum:
Datanglah ke rumah hari ini! Kakek ingin memberimu sesuatu.
Pesan kedua dari Minho:
Aku berangkat kerja.
“Apa aku bangun begitu telat?” katanya sambil melirik jam dinding.
Jin Ri bersiap-siap mandi.
*****
“Bagaimana malam pertamamu?” tanya Min Ah.
“Ah… ibu… itu kan masih terlalu cepat…” muka Jin Ri memerah.
Min Ah dan Kim Myungsuk tertawa.
“Kau masak apa pagi ini?”
“Tidak ada.”
“Bagaimana bisa tidak ada? Kau tidak memasak untuk suamimu?”
“Bukannya tidak mau, Bu. Tapi ketika aku terbangun, Kak Minho sudah berangkat ke kantor.”
“Kau pasti bangun kesiangan lagi!”
Jin Ri tersenyum malu-malu.
“Ya sudah. Kau tak perlu memarahinya…” lerai Kim Myungsuk.
“Ambil itu!” katanya sambil menaruh sebuah amplop di atas meja.
“Ini apa, Kek?” tanya Jin Ri seraya mengambil amplop itu.
“Buka saja! Itu hadiah pernikahan dari kakek.”
Penasaran, Jin Ri membuka amplop tersebut.
“Ha?!!” serunya kaget.
“Kalian akan bulan madu ke Italia. Bagaimana? Kau suka?” tanya Kim Myungsuk.
“Bulan madu?”
*****
Klek.
“Aku pulang!”
Begitu mendengar suara Minho, Jin Ri lalu menyambutnya di depan pintu.
“Selamat datang!”
Minho kaget. Ia melihat jam dinding. Sudah pukul 11 malam.
“Kau belum tidur?”
Jin Ri menggeleng.
“Kau menungguku?”
“Ponsel Kak Minho tidak aktif. Kau juga tidak memberiku kabar jam berapa akan pulang. Kau sudah makan?”
Minho menatap Jin Ri aneh.
“Kau kenapa? Kenapa jadi sangat perhatian padaku?”
“Apa?”
Minho berjalan ke dapur untuk minum. Jin Ri mengikutinya.
“Maaf karena tadi pagi aku bangun kesiangan. Mulai besok aku akan memasak. Kau ingin aku masak apa besok?”
Minho menatap Jin Ri.
“Apa aku tidak salah dengar? Kau yakin?”
Jin Ri mengangguk.
“Besok pagi aku mau makan pancake dengan madu. Kau tidak perlu repot-repot memasak untuk makan siang, aku akan makan di luar. Malamnya masakkan aku ayam panggang. Bisa?”
Jin Ri berpikir sejenak.
“Bisa!”
“Bagus. Besok pagi makanan sudah harus siap sebelum pukul 8. Mengerti?”
Jin Ri mengangguk.
“Oh ya, sebelum pulang aku singgah di toko furnitur. Aku sudah membeli beberapa furnitur untuk kamar sebelah. Mungkin besok pagi mereka akan mengantarnya. Setelah itu, pindahlah dari kamarku!” kata Minho sambil berjalan meninggalkan dapur.
*****
Keesokan paginya…
Jin Ri sudah menaruh beberapa bahan untuk membuat pancake di hadapannya.
“Seingatku Kak Ki Bum pernah mengajariku cara membuat pancake. Tapi itu sudah lama sekali. Apa benar semua ini bahannya?” Jin Ri berpikir keras.
Jin Ri mendapat ide.
“Ah, benar juga!”
Ia mengeluarkan ponselnya. Ia menuliskan CARA MEMBUAT PANCAKE MADU di kotak pencarian YouTube. Ia memilih salah satu video. Jin Ri pun mengikuti langkah-langkah memasak pancake madu seperti di video. Hasilnya…
“Apa ini?”
“Pancake dengan madu…” Jin Ri menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Minho tertawa.
“Ini kau sebut pancake?” tanya Minho sambil memandang pancake setengah jadi di hadapannya.
“Maaf…”
“Sudahlah. Kau makan saja itu sendiri. Aku tak mau memakannya!”
Minho beranjak meninggalkan dapur.
“Aku akan memasak ayam panggang malam ini! Kau ingat kan?”
“Ya. Kuharap ayam panggang masakanmu enak. Aku pergi!”
Jin Ri memanyunkan bibir.
*****
Jin Ri sedang mendorong troli belanjanya.
Tit.. tit.. ponsel Jin Ri berbunyi.
“Hei, kau di mana?” bentak Jin Ri.
“Aku sudah di supermarket! Kau di bagian mana?” terdengar suara Jisun.
“Aku di bagian penjualan ayam.”
“O, aku ke situ!”
Tit.
Jin Ri mulai memilih-milih ayam.
“Maaf, aku telat…” ucap Jisun tersenyum tanpa penyesalan.
“Dasar!”
“Jadi malam ini kau akan memasak ayam panggang?”
Jin Ri mengangguk.
“Memang kau pernah masak ayam panggang sebelumnya?”
Jin Ri menggeleng.
“Lalu bagaimana kau akan memasaknya?”
“Kan ada internet…”
“Kau terlalu menganggap remeh! Bagaimana jika tidak enak?”
“Pasti enak!”
“Minta bantuan Kak Ki Bum saja!”
“Tidak usah!”
“Kenapa?”
“Aku dan Kak Minho sudah berjanji, kami tidak akan melibatkan keluarga masing-masing dalam urusan rumah tangga.”
“Tapi kan kau hanya bertanya bagaimana cara memasak ayam panggang…”
“Kubilang tidak usah! Kau cerewet sekali sih!”
“Huu… dasar keras kepala!” Jin Ri jengkel.
“Daripada kau mengomeliku terus, lebih baik bantu aku mencari bahan-bahan di list ini! Oke?”
“Terserah kau saja…”
*****
Jin Ri memasuki rumahnya dengan membawa 2 kantung besar belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Ia menaruhnya di meja dapur. Ia lalu mengeluarkan barang-barang belanjaannya satu per satu.
“Nah, mari kita mulai!”
Jin Ri mengeluarkan ponselnya. Ia membuka sebuah web yang sudah disimpannya.
“Ini dia… cara membuat ayam panggang lezat…”
Jin Ri memulai aksinya dengan mencuci ayam terlebih dahulu. Ia tersenyum malu.
“Jin Ri… masakanmu malam ini enak sekali. Tolong besok masakkan aku lagi ya!” ujar Jin Ri sambil menirukan suara berat Minho.
“Hahahaha…. Dia pasti akan mengatakan hal itu dan meminta maaf karena marah-marah padaku tadi pagi, hahaha…” kata Jin Ri membayangkan.
Jin Ri mengikuti resep dengan baik. Ia melakukannya sesuai dengan langkah-langkah memasak yang tertera di resep.
“Baik… sekarang tinggal dipanggang. Pangganglah selama ± 30 menit,” baca Jin Ri.
Jin Ri lalu memasukkan ayam yang telah dibumbui kedalam oven dan mengatur waktunya. 30 menit.
“Kali ini aku pastikan tidak akan terjadi kesalahan seperti tadi pagi,” ucap Jin Ri yakin.
Sudah pukul setengah 6 sore.
“Kak Minho pulang pukul 7. Nanti aku tinggal menghangatkan ayamnya saja!” katanya pada dirinya sendiri.
Sambil menunggu ayamnya matang, ia membersihkan peralatan memasaknya dan mencuci piring.
30 menit kemudian…
Ting..
“Ah… akhirnya masak juga…” ucap Jin Ri bersemangat.
Ia mengeluarkan ayam panggangnya dengan hati-hati.
“Wah… terlihat mirip dengan gambarnya!” katanya sambil membandingkan ayam panggang buatannya dengan foto ayam panggang yang ada di resep.
“Sempurna!”
Jin Ri mengambil sedikit sayuran dan menyicipinya. Ia mengecap-ngecap. Wajahnya terlihat aneh. Ia memotong sedikit bagian ayam dan menyicipinya lagi. Wajahnya pucat.
“Oh Tuhan, jangan bilang aku lupa menambahkan garam!”
Jin Ri kembali menyicipi ayamnya. Rasanya masih sama. Baik ayam maupun sayurannya, keduanya terasa tawar. Jin Ri terduduk. Sudah pukul 6.
“Mati aku!”
Ia melihat jam.
“Waktunya sudah tidak cukup untuk berbelanja dan membuatnya ulang. Aku harus bagaimana?” tanya Jin Ri bingung.
Ia meremas kepalanya. Berpikir.
Seulas senyuman terlintas di bibirnya.
“Aku punya ide!”
Ia meraih ponselnya. Mencoba mencari kontak.
“Halo, Restoran Ayam!”
“Halo, tolong pesan ayam panggang jumbo!”
“Alamat Anda?”
Jin Ri menyebutkan alamatnya.
“Silakan ditunggu dan terima kasih…”
Jin Ri menyeringai puas.
“Masalah selesai!”
*****
Minho membereskan pekerjaannya. Menyusun kembali dokumen yang berhamburan di meja kerjanya dan menutup laptopnya. Ia keluar dari ruangannya.
“Hari ini kau tidak perlu lembur. Aku pulang cepat,” kata Minho pada sekertarisnya.
“Iya, Pak. Harap berhati-berhati!”
Minho memasuki lift, menuju lantai bawah.
Ting.. pintu lift terbuka.
“Kau sudah mau pulang?”
Minho kaget.
“Yuri?”
Ia melangkah keluar dari lift.
“Apa yang lakukan di sini?” tanya Minho bingung.
“Aku baru mau mengajakmu makan malam!”
Minho melihat jam tangannya.
“Kenapa? Kau ada janji dengan klien?”
“Ah, tidak…”
“Lalu?”
Minho berpikir mencari alasan.
“Ah, kau mau pulang cepat? Merindukan istrimu?” tebak Yuri.
Minho menatap Yuri. Tak menyangka mendengar perkataan Yuri.
“Ah… tentu saja tidak.”
“Baik. Mari kita makan malam berdua!” Yuri menarik tangan Minho.
*****
Sementara di rumah, Jin Ri mempersiapkan ayam panggang yang baru diantar dan membuang ayam panggang buatannya. Ia mengatur meja makan. Piring, gelas, serbet, pisau, dan garpu sudah tertata rapi. Ia juga menaruh amplop yang diberikan kakeknya kemarin. Ia rencana akan memberi tahu Minho perihal bulan madu mereka setelah makan.
Sudah pukul 7.
Sambil menunggu Minho, Jin Ri menonton tv.
Sudah pukul 7.30. Jin Ri meraih ponselnya, hendak menelepon Minho.
Sibuk.
Pukul 8.
Pukul 9.
Jin Ri memutuskan untuk menghangatkan kembali ayam panggangnya.
Jin Ri masih menunggu. Ia akhirnya tertidur di sofa. Ia tak tahu, Minho sedang menikmati makan malam berdua dengan Yuri.
*****
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Readers, saya tidak bisa berbicara (baca: menulis) banyak. Kuharap deep bow-ku dapat menjelaskan semuanya. Mianhae untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Jumat, 28 Juni 2013
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 6]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
Jin Ri lemas. Ia lalu membuka pintu. Dilihatnya Minho dan Ki Bum pergi. Ia dijodohkan dengan Minho. Dengan cepat dicarinya kontak Jisun.
Tersambung.
“Halo. Kau kenapa tadi? Seenaknya saja memutuskan pembicaraan…” omel Jisun.
“Jisun, aku tak percaya ini. Sungguh tak percaya…”
*****
“Ah, tunggu sebentar! Ada baiknya aku pamit pada Jin Ri. Seharusnya aku yang menjaga kakek. Biar kubilang padanya untuk menggantikanku sebentar,” kata Ki Bum.
“Mm…” Minho mengangguk.
Ki Bum berjalan kembali ke ruang rawat kakeknya. Dibukanya pintu.
“Kau kenapa?” tanya Ki Bum yang kaget melihat Jin Ri menangis sambil berbicara di telepon.
Mata Jin Ri yang merah menatap kakaknya. Ia lalu berlari keluar dan menabrak bahu kanan Ki Bum.
Minho yang sedang menunggu Ki Bum tak jauh dari ruang rawat Kim Myungsuk. Ia melihat Jin Ri berlari di depannya sambil mengusap air mata. Ki Bum mengejarnya keluar.
“Jin Ri? Dia kenapa? Kau baru masuk beberapa detik yang lalu dan secepat itu kau membuatnya menangis?” tanya Minho pada Ki Bum.
“Enak saja! Bukan aku. Kejar dia!”
“Kenapa aku?” Minho heran.
“Kalau aku yang mengejar, siapa yang jaga kakek? Kamu?”
Minho berpikir sejenak.
“Kau saja…” Minho lalu berlari menyusul Jin Ri.
Jin Ri berlari menuju halaman rumah sakit. Suasana di sana tidak begitu ramai karena bukan merupakan jam besuk.
Minho berhasil menyusul Jin Ri. Dia berdiri di sampingnya.
“Aku tahu perjodohan ini berat untukmu.”
“Kalau berat kenapa kakak terima?” tanya Jin Ri tanpa menoleh ke arah Minho.
“Karena ini permintaan terakhir kakekku dan aku sudah berjanji di depannya.”
Jin Ri diam.
“Namun seberat apapun bebanmu, bebanku lebih berat,” sambung Minho.
“Kenapa bisa?” kali ini Jin Ri menoleh ke Minho.
“Harus ada yang berkorban dan sakit hati karena perjodohan ini…”
“Apa maksud kakak, perempuan yang pernah datang ke rumah kami waktu itu?”
Minho mengangguk pelan.
“Jadi kau jangan merasa menjadi orang yang sangat terpuruk di dunia ini. Masih ada yang lebih darimu.”
Minho menepuk bahu Jin Ri sekali dan pergi.
Jin Ri menoleh mengikuti bayang Minho yang pergi.
“Kakak benar. Aku seharusnya bisa lebih kuat dari kakak. Lagipula pernikahan nanti belum tentu akan berjalan lama…”
*****
Dua hari kemudian…
“Ah… senang rasanya kembali ke rumah…” ucap Kim Myungsuk senang ketika memasuki rumah keluarga Kim.
“Kakek tetap harus banyak istirahat! Itu kata dokter…” timpal Ki Bum.
“Iya, iya… kakek akan banyak istirahat. Kalau kakek sudah pulih betul, barulah kita melangsungkan acara pernikahan Jin Ri dan Minho.”
“APA??!” Jin Ri yang sedari tadi diam, kaget mendengar pernyataan kakeknya.
Semua mata tertuju pada Jin Ri. Jin Ri menelan ludah.
“Mak… maksudku… apa tidak sebaiknya kita tunangan dulu, Kek?”
“Ah… tidak perlu. Yang penting kan kalian cocok. Aku juga sudah tidak sabar ingin punya cicit, hahaha…”
“Apa? Cicit? Anak dari aku dong maksudnya. Ah… tidak mungkin, tidak mungkin!!!”
Min Ah yang melihat raut wajah Jin Ri langsung mengalihkan pembicaraan.
“Yah, jangan membahas hal itu dulu. Sekarang ayah harus beristirahat.”
“Ah… iya, iya… aku harus beristirahat,” Kim Myungsuk berkata sambil berlalu.
*****
“Arrgghhhh!! Kakek sudah gila apa? Masa dia menginginkan aku dan Kak Minho langsung menikah? Kita kan belum saling mengenal baik…” keluh Jin Ri pada Jisun.
Jisun diam saja.
“Kenapa kau diam saja? Kasih solusi kek… nasihat kek… motivasi kek… atau apalah…”
“Hei, bagaimana bisa aku memberimu solusi, nasihat, atau motivasi? Aku kan belum pernah menikah. Jangankan menikah, dijodohkan pun belum pernah.”
“Lalu aku harus bagaimana??”
“Daripada mengeluh, lebih baik kau berusaha untuk mengenal dia lebih jauh sebelum kalian menikah!”
“Dia? Maksudmu Kak Minho?”
“Memang siapa lagi?”
Jin Ri berpikir sejenak.
“Ah, nggak ah… ide gila tuh…”
“Ya sudah. Terserah kamu saja. Itu kan cuma saran…”
Jin Ri kembali berpikir.
*****
Minho mematut diri di depan cermin. Ia mengencangkan dasinya. Diliriknya jam tangannya sebentar. Sudah hampir pukul 8.
Tiit… tiit…
Jam makan siang sebentar, kakak ada acara lain? Kalau tidak, aku ingin menemuimu di kafe seberang jalan. Ada yang ingin kubicarakan.
Jin Ri
Minho mengerutkan kening. Ia memasukkan ponselnya ke saku celananya dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
*****
“Adikmu gila.”
“Ha? Maksudmu?” Ki Bum tidak mengerti.
“Dia mengajakku makan siang bersama. Apa itu idemu?”
“Enak saja kau menuduhku. Tapi benarkah? Aku harus memberikan selamat padanya. Ia sudah berani mengajakmu kencan.”
“Kau sebut ini kencan?”
“Ya. Lagipula kalian kan akan menikah.”
“Maafkan aku. Tapi seharusnya aku tidak menikahinya. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan apapun padanya.”
“Aku mengerti. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau melakukannya demi kakekmu?”
“Iya sih… eh, sudah dulu ya! Aku sudah sampai nih…”
“Ok.”
Tit.
Minho mencabut earphone dari telinganya, memarkir mobil, dan berjalan memasuki perusahaan.
“Selamat pagi, Pak!”
“Pagi!”
*****
Jin Ri memandangi jam tangan mungilnya. Pukul 12. Tangannya memegang gagang pintu mobil. Bimbang. Turun atau tidak. Dilihatnya Minho sudah menunggu di dalam kafe.
Jin Ri berpikir keras. Ia pun menyambar tas tangannya dan turun dari mobil. Setengah berlari ia memasuki kafe. Dipandangnya Minho yang duduk membelakangi dirinya. Dia menelan ludah.
“Se… selamat siang!”
Minho berbalik. Ia lalu berdiri.
“Kau terlambat!”
“Maafkan aku…”
“Duduklah…” kata Minho yang juga kembali duduk. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Aku tahu waktu kakak tidak banyak. Jadi aku langsung ke intinya saja. Begini….”
“Selamat siang! Maaf, Anda ingin pesan apa?” seorang pelayan memotong pembicaraan Jin Ri. Ia memberikan menu pada Minho dan Jin Ri.
“Teh hangat, jangan terlalu manis!” pesan Minho. “Kau ingin pesan apa? Aku tidak ingin makan. Kalau kau mau pesan makanan, silakan!”
“Tidak usah. Orange juice saja…” jawab Jin Ri.
“Dia pesan orange juice,” kata Minho pada pelayan.
“Baik, saya ulangi pesanan Anda, teh hangat dan orange juice. Apa masih ada tambahan lain?”
“Tidak ada. Tehnya jangan terlalu manis ya…”
Pelayan itu mengangguk dan pergi.
“Lanjutkan!” kata Minho.
“Apa kita benar akan menikah?” tanya Jin Ri polos.
“Hah?” Minho terlihat aneh mendengar pertanyaan itu.
“Kalau itu benar, maka menurutku kita harus mengenal lebih jauh. Ada baiknya sebelum menikah kita saling mengenal satu sama lain. Kita harus bisa…”
“Tunggu! Tunggu dulu!” sergah Minho. “Apa kau sangat mengharapkan pernikahan ini?”
“Siapa? Aku?” Jin Ri menunjuk dirinya.
“Iya, kamu…”
Jin Ri diam.
“Aku… aku… walaupun kita menikah nantinya, kuharap itu tidak akan lama…” Jin Ri memelankan suaranya.
“Maksudmu?”
“Kita kan sama-sama tidak mengharapkan pernikahan ini. Jadi kukira lebih baik kalau kita menjalaninya saja dulu. Kalau sudah beberapa bulan, barulah kita bicarakan pada keluarga kita kalau kita tidak merasa cocok, atau apalah itu…”
“Permisi… ini pesanan Anda… satu teh hangat tidak terlalu manis dan satu orange juice,” kata pelayan tadi sambil menaruh pesanan Minho dan Jin Ri di atas meja.
“Selamat menikmati…”
“Terima kasih…” ucap Minho dan Jin Ri bersamaan sambil menganggukkan kepala.
Minho menyeruput tehnya.
“Aku setuju!” kata Minho sambil menaruh cangkirnya kembali.
Jin Ri tersenyum lega mendengar persetujuan Minho.
“Kuharap kita bisa lebih saling mengenal lagi setelah ini.”
Minho menjawab dengan anggukan kepala.
*****
Dua minggu kemudian…
“Jin Ri… kemari sebentar!” panggil Min Ah.
“Ada apa, Bu?”
“Mau ke mana?”
“Mau jalan sama teman-teman. Kenapa, Bu?” tanya Jin Ri sambil berjalan menuju ibunya.
“Lihat ini! Ini adalah contoh beberapa undangan pernikahan. Lalu ibu juga sudah buat janji dengan ibu Minho untuk mengukur gaun pengantinmu nanti dengan desainer kenalan ibu Minho. Kapan kamu ada waktu?”
“Ibu kok jadi bersemangat seperti ini?” Jin Ri heran.
“Kakek sudah mempercayakan hal ini pada ibu. Ibu hanya tidak mau mengecewakan kakek… kamu tolong mengerti keadaan kakek ya?”
Jin Ri mengangguk sambil tersenyum.
“Oh ya, bagaimana keadaan ibumu?”
“Ibu keadaanya baik,” jawab Jin Ri.
“Tapi dia sudah setuju kan? Kapan katanya mau kembali ke Korea?”
“Iya, Bu… Ibu sudah setuju kok. Tapi dia belum memberi tahu kapan akan kembali ke sini.”
“Oh… tapi kapan kamu ada waktu untuk mengukur gaun pengantin?”
“Lusa mungkin bisa, Bu.”
“Baik. Sekarang ibu akan menghubungi Tae Jinah…”
“Kalau begitu aku pergi dulu ya, Bu. Dah ibu…” Jin Ri mengecup kedua pipi ibunya.
*****
“Bagaimana Jin Ri, apa kau suka desain gaunnya?” tanya Tae Jinah setelah Jin Ri selesai mengukur gaun.
“Iya, Bi. Desainnya terlihat sederhana namun tetap elegan.”
“Begitu ya? Bagaimana menurut ibunya Jin Ri?” tanyanya pada Min Ah.
“Aku suka dengan desainnya. Kuharap bisa cocok di badan Jin Ri.”
Tae Jinah tersenyum.
“Syukurlah…”
Tae Jinah lalu mengambil ponselnya. Ia mengecek daftar panggilan terakhir.
“Halo, Bu,” terdengar suara di telepon.
“Kau di mana?”
“Sudah dekat kok, Bu. Ibu sudah mau pulang?”
“Iya. Ibu tunggu ya…”
Tit.
“Siapa?” tanya Min Ah.
“Ah, Minho. Sebelum ke sini aku memintanya untuk menjemputku.”
“Loh, kita kan juga naik mobil. Untuk apa meminta Minho datang menjemput?”
“Biar saya dan ibunya Jin Ri saja yang naik mobil saya. Jin Ri akan pulang bersama Minho.”
“Lah, kok gitu, Bi?” Jin Ri setengah tak terima.
“Biarlah… biar kalian bisa saling mengenal karakter satu sama lain. Pernikahan kalian kan sudah dekat. Sebulan lagi…” goda Tae Jinah.
Tin… tin…
“Nah, itu Minho sudah datang…” kata Tae Jinah.
Minho turun dari mobil.
“Jin Ri… baik-baik dengan Minho ya! Minho, antar Jin Ri pulang! Tapi jangan langsung pulang dulu, ajak dia ke suatu tempat!” perintah Tae Jinah.
“Maksud ibu?” Minho terlihat bingung.
“Biar aku dan ibunya Jin Ri pulang naik mobil ibu,” jawabnya sambil menunjuk mobilnya.
“Ibu bawa mobil? Jadi untuk apa ibu menyuruhku menjemput ibu?”
“Untuk mengantar Jin Ri pulang.”
“Bu…” bujuk Minho tak terima.
“Dah…” lambai Tae Jinah.
“Sampai bertemu di rumah…” ucap Min Ah pada Jin Ri.
Tae Jinah dan Min Ah menaiki mobil. Minho dan Jin Ri saling berpandangan.
“Hah…” desah mereka berdua sambil memalingkan wajah masing-masing.
“Naiklah!” perintah Minho tanpa menoleh ke arah Jin Ri.
Ia menaiki mobil. Jin Ri juga.
“Mau ke mana?” tanya Minho.
“Aku tidak punya rencana apa pun hari ini,” jawab Jin Ri pelan.
“Aku akan pergi menemui beberapa temanku. Kau mau ikut?”
Jin Ri mengangguk pelan.
*****
“Hai… apa kabar?” sapa teman-teman Minho sesampainya di sebuah bar.
“Aku baik. Kalian?” balas Minho sambil memeluk satu-persatu teman-temannya.
“Seperti yang kau lihat…” jawab mereka disambut tawa masing-masing orang.
“Siapa dia?” bisik salah seorang temannya.
“Calon istriku,” bisik Minho juga.
Jin Ri merasa tak enak melihat Minho dan teman-temannya saling berbisik-bisik. Ditambah lagi beberapa temannya memandanginya dengan pandangan aneh.
“Calon istri? Memang kapan kau akan menikah?”
“Bulan depan… datang ya!”
“Dia cantik. Kalau suatu saat kau sudah bosan dengannya, untukku saja ya!”
Minho meninju bahu temannya.
“Hei, memangnya aku tipe pria seperti itu?”
“Bagaimana dengan Yuri? Kapan kalian putus?”
“Err… maaf. Bukannya aku lancang, tapi apa sebaiknya kita berbicara secara terang-terangan?” sergah Jin Ri.
“Oh, silakan duduk!” kata teman-teman Minho bersamaan.
Jin Ri duduk di sebelah Minho.
“Siapa namamu?” tanya salah seorang teman Minho.
“Namaku Jin Ri. Kim Jin Ri.”
“Jadi, kalian bertemu di mana?”
“Bukannya kau dan Yuri hampir bertunangan?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi? Kapan kalian putus?”
“Kalian ini kenapa sih? Aku tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu! Lagipula tujuan kita berkumpul di sini bukan untuk membicarakan hal itu…” ucap Minho kesal.
“Baiklah… kalian mau pesan apa?” tanya salah seorang teman.
“Aku mau minum bersama kalian. Bagaimana denganmu?” Minho bertanya pada Jin Ri.
“Apa kau mau minum bersama kami, Jin Ri-ssi?”
“Maaf, aku tidak minum. Aku pesan orange juice saja…” jawab Jin Ri tersenyum simpul.
“Pelayan!” panggil teman Minho.
“Kami pesan satu minuman lagi yang sama dengan ini dan orange juice satu!”
“Kenapa kau tak memberi tahu kami kalau kau akan menikah?”
“Tadi kan sudah kuberitahu…” bela Minho.
“Tapi kalau kau tak bertemu dengan kami di sini, kau berniat tak akan memberi tahu kami kan?”
“Kalian kan teman-temanku… jadi aku pasti memberi tahu kalian lah…”
Tidak lama kemudian, pelayan tadi datang membawakan minuman yang dipesan tadi.
“Ayo kita minum!”
*****
“Ah… terima kasih…” Jin Ri membungkukkan badannya pada teman-teman Minho.
“Apa kau yakin mau mengantarnya pulang?”
“Iya. Aku bisa menyetir kok. Sekali lagi terima kasih…”
“Ya sudah, hati-hati ya…!” pesan teman-teman Minho sambil berlalu.
Jin Ri kini duduk di kursi kemudi. Ia menoleh pada Minho. Minho yang setengah tertidur tertawa sendiri. Ia mabuk.
“Kak… ayo bangun! Bangun!” Jin Ri menggoyang-goyangkan tubuh Minho.
Minho melerai tangan Jin Ri.
“Siapa sih? Jangan ganggu aku!” katanya dengan mata yang masih dipejamkan.
“Aku Jin Ri… ayo bangun…!”
“Oh, Jin Ri…”
“Kakak sih minumnya terlalu banyak. Begini deh jadinya…”
Minho membuka matanya sedikit. Ia memperhatikan Jin Ri.
“Hei, kau! Gara-gara kau, Yuri memutuskan hubungan denganku. Karena aku harus menikahimu. Awalnya aku tidak mau. Aku hanya kasihan pada kakek…” Minho terbatuk.
“Iya, kak… aku sudah tahu… maafkan aku… ini kan juga bukan kemauanku. Sekarang kita pulang ya? Aku akan mengantar kakak pulang.”
“Dengar! Aku sudah mulai suka padamu! Aku suka padamu! Hahaha…” Minho memegangi kepalanya yang sakit, lalu kembali tertidur.
“Apa… yang barusan dikatakannya?”
Jin Ri terdiam membisu memandangi Minho yang kembali tertidur. Ia berbalik ke kemudi dan menginjak gas.
*****
Jin Ri berhenti di sebuah danau. Tempat favoritnya ketika ia sedang ingin sendirian. Danau itu tidak terlalu besar. Airnya hijau dan dipenuhi bunga teratai. Ada warna merah jambu dan putih.
Ia berbalik sebentar pada Minho. Diperhatikan wajahnya yang tertidur pulas. Jin Ri menurunkan sandaran kursi Minho agar ia bisa berbaring dengan nyaman. Tak lupa ia menurunkan kaca mobil.
Jin Ri turun dari mobil. Ia berjalan menuju tepi danau dan bersandar di sebuah pohon. Sudah pukul 4 dan Minho belum bangun. Ia berubah pikiran. Tak mungkin ia membawa Minho pulang dalam keadaan seperti itu. Ia memutuskan untuk menunggu sampai Minho terbangun.
Suara katak dan jangkrik yang saling bergantian membuat mata Jin Ri mulai terpejam. Kepala disandarkan dengan nyaman ke batang pohon besar di belakangnya. Ia tertidur.
*****
“Arrghhh!”
Minho memegangi kepalanya. Rasanya masih cukup berat. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengingat-ingat di mana ia berada sekarang. Di mobilnya. Tiba-tiba ia teringat kalau tadi ia minum bersama teman-temannya. Seharusnya ia tidak kebanyakan minum. Dipukulnya jidatnya mengingat kebodohannya.
Ia menoleh ke samping. Dilihatnya sebuah tas tangan tergeletak di kursi kemudi. Ia mengambilnya.
“Milik siapa ini? Ya ampun, ini milik…”
“JIN RI!” Minho terduduk.
Dicari-carinya perempuan itu. Dengan cepat ia turun dari mobil. Jalannya masih sempoyongan. Belum sempat ia berteriak memanggil nama Jin Ri, dilihatnya sesosok perempuan yang duduk bersandar di sebuah pohon di tepi danau. Ia mengenali perempuan itu. Minho mengernyitkan kening dan berjalan menuju tempat Jin Ri.
“Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya sambil duduk di samping Jin Ri.
Tak ada jawaban.
“Hei, kenapa tak menjawab?” Minho menyikut lengan Jin Ri sambil berbalik ke arahnya.
Kepala Jin Ri tiba-tiba jatuh ke pundak Minho. Ia bergerak sedikit lalu melanjutkan tidurnya.
Minho kaget. Dengan hati-hati, ia menaruh jari telunjuknya di bawah hidung Jin Ri.
“Hah… kukira kau sudah mati…” ucap Minho lega.
Ia memperhatikan wajah Jin Ri. Ada seulas senyum di wajahnya.
Minho mengangkat kepalanya. Dilihatnya matahari sudah mulai terbenam. Bulan sudah nampak, juga bintang-bintang yang menemani. Ia membiarkan Jin Ri tertidur di pundaknya.
*****
Jin Ri membuka kelopak matanya. Dilihatnya langit sudah gelap. Kepalanya terasa berat seperti ada yang menindis. Maka ditariknya kepalanya.
“Awww…” Jin Ri merintih kesakitan.
Minho terbangun. Ia juga tertidur dan bersandar pada kepala Jin Ri.
“Kau sudah bangun? Ada apa?”
“Telingaku… sepertinya anting-antingku terkait di bajumu…” jawab Jin Ri masih merintih.
“Masa? Coba kulihat!”
Minho memeriksa pundaknya. Ternyata benar, anting-anting Jin Ri terkait di baju Minho. Minho mencoba membantu melepasnya, namun sulit.
“Tidak bisa terlepas…”
“Aduh, gimana dong? Ini kan kado ulang tahun dari ibuku…” Jin Ri panik.
“Tunggu sebentar!”
Minho lalu membuka bajunya. Dimulai dari mengeluarkan tangan kirinya, kepalanya, dan tangan kanannya. Ia pun dengan mudah melepas anting-anting Jin Ri dari bajunya.
Jin Ri mengusap-usap telinganya yang sakit.
“Terima kasih…” kata Jin Ri sambil menoleh pada Minho. “Ahhhh!! Apa yang kau lakukan?”
Dengan cepat Jin Ri berbalik.
“Aku melepas bajuku agar lebih mudah melepas anting-antingmu,” jelas Minho.
“Pakai bajumu, cepat!” perintah Jin Ri.
“Hei, aku juga akan memakainya. Siapa yang tahan tidak pakai baju malam-malam begini?”
Tiba-tiba Jin Ri terbayang kakaknya, Ki Bum, yang sering melepas bajunya di malam hari dalam kamar.
“Ada kok… hihi…”
“Ya sudah, kalau tidak tahan, cepat dipakai!”
Minho memakai bajunya kembali.
“Sudah…”
Jin Ri berbalik dan berdiri.
“Sudah malam. Tolong antar aku pulang!”
Jin Ri berjalan dengan sangat cepat dan menaiki mobil. Minho berjalan lambat di belakangnya. Kebingungan.
*****
Klek.
Jin Ri menutup pintu kamarnya. Ia bersandar di belakangnya. Tangannya meraba dadanya, tepat di jantungnya.
Deg.. deg..
Jantungnya berdegup cepat.
“Dengar! Aku sudah mulai suka padamu! Aku suka padamu! Hahaha…”
Ia terduduk lemas.
Deg.. deg..
“Tidak boleh… tidak boleh…!” Jin Ri menggelengkan kepalanya. ”Pernikahan itu hanya akan sementara.”
*****
“Selamat pagi, Pak!” sapa sekretaris Minho.
“Pagi!” balas Minho tersenyum sambil berjalan menuju ruangannya.
“Maaf, Pak! Ada seseorang yang menunggu bapak di dalam.”
“Kenapa dipersilakan masuk? Kau kan tahu, kalau aku belum datang, tidak boleh ada tamu yang menunggu di ruanganku. Semua harus menunggu di ruang tunggu!” Minho sedikit marah.
“Maafkan saya, Pak. Tapi dia memaksa. Lagipula dia adalah orang yang bapak kenal.”
“Siapa?”
Si sekretaris tidak menjawab. Ia menunduk. Minho tidak peduli. Ia segera memasuki ruangannya.
Tidak ada siapa-siapa duduk di sofa. Namun seseorang duduk di kursi kerjanya. Minho geram.
“Maaf, Anda siapa?” Minho masih berusaha bersikap sopan.
Dia tidak menjawab. Ia membalikkan kursi putar Minho.
“Apa secepat itu kau melupakanku?”
“Yuri?”
*****
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Long time no see :)
Ampuuunnn! Aku hilang seperti ditelan bumi yak? Hiks, maaf… :’(
Terlalu banyak alasan yang akan kuungkapkan jika ingin kujelaskan satu-persatu. Malas ngetik, ah. Pokoknya, intinya author minta maaf dari lubuk hati yang paling dalam. Mulai hari ini, Insya Allah fanfic LOVEY DOVEY COOKEY sudah tidak akan putus-putus lagi. Palingan berselang seminggu atau dua minggu, pasti aku publish part selanjutnya.
Part 6… butuh waktu sangaaaaaattt lama untuk mengetiknya. Jujur, aku mati ide readers. Idenya baru muncul lagi nih. Sudah tergambar pula gambaran cerita selanjutnya. Pasti seru deh part selanjutnya. Makanya tetap tunggu part selanjutnya ya… aku sudah gregetan banget nih pingin lanjut ngetik, hehe…
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Langganan:
Postingan (Atom)