Tampilkan postingan dengan label Pengalaman siBluuu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengalaman siBluuu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Desember 2015

Indonesia – China Youth Exchange Program 2015: We’re not Tourists

Posted by Nur Fadhilah at 5:54:00 PM 4 comments

Kamis, 3 September 2015

Alhamdulillah, sudah beberapa kali kaki ini menginjak Bandara Soekarno-Hatta, namun baru sekali ini mengantri di depan loket penerbangan internasional. Itu pun di antara 78 pemuda-pemudi seantero nusantara, ditambah 22 pendamping dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Kalau penerbangan domestik hanya perlu menunjukkan KTP, kini paspor pun harus ikut ditunjukkan. Subhanallah, inilah gerbang meraih salah satu impian besarku. Luar negeri.


Setelah 4 jam duduk di kursi pesawat, tibalah kami di bandara Hong Kong. Rasanya aneh dilihati orang-orang bermata sipit lantaran kami mengenakan kaus yang sama bertuliskan ‘Indonesia – China Youth Exchange Program 2015’, beserta segala perlengkapan kami. Aku sebagai bagian dari tim logistik, harus bersusah payah menenteng cenderamata dari Kemenpora untuk diberikan pada petinggi Tiongkok nantinya. Tapi perjalanan kami masih 4 jam lagi sebelum menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Tiongkok, Beijing.


Kami seperti burung yang dikurung dalam sangkar berhari-hari lalu dilepaskan. Begitu kami tiba di bandara Beijing, kami berhamburan untuk mengabadikan momen luar biasa ini. Bandara ini luar biasa. Ada kereta dalam bandara. Kami naik saja tanpa tahu ke mana kami nantinya. Ternyata kereta itu mengantarkan kami ke tempat pengambilan bagasi. Luar biasa!


Mana Koperku??

Suasana berubah panik ketika satu delegasi dari Bangka Belitung tidak dapat menemukan kopernya. Youth Leader (orang yang kami percaya sebagai seksi sibuk) dan ketua rombongan dari Kemenpora ikut-ikutan panik mencari koper. Delegasi lainnya tetap berbaris dan harus tenang. Jangan sampai ada yang ikut-ikutan hilang. Setelah menghubungi petugas bandara, koper Kak Fera (delegasi Babel) kemungkinan tertinggal di Hong Kong. Kopernya nanti akan diantarkan ke hotel tempat kami menginap setelah 2 – 3 hari. Karena musibah ini, delegasi cewek saling gotong royong membantu Kak Fera, seperti meminjamkan baju, dan lain-lain. Untung Kak Fera wanita kuat dan tabah, hehehe…


Setelah menunggu beberapa saat, jemputan kami datang juga. Panitia dari All-China Youth Federation (ACYF) segera menghampiri dan berbaur dengan kami. Kaget juga tiba-tiba ada seorang perempuan sipit bertanya padaku, “Are you from Indonesia?” Aku mengangguk. Dia tersenyum dan langsung memperkenalkan dirinya. “Where is the leader?”, “Right there, I’ll call him.” Begitulah. Kami kembali membuat barisan. Delegasi cowok membantu delegasi cewek untuk memasukkan koper di bagasi bus. Malam itu menjadi malam yang sangat indah. Malam pertama kami di negeri tirai bambu.

“I’m finally here. Thanks God!”

Tiga bus lalu berhenti di depan sebuah hotel. Hotel yang besar. Rosedale Hotel. Aku senang mendapat roommate yang sama sewaktu di Indonesia. Widya dari Kalimantan Timur. Sayangnya, kami tidak bisa keluar malam ini. Sedang terjadi demo besar-besaran hari ini. Yah… kami juga capek. Genap 8 jam kami tempuh agar bisa menghirup udara malam Kota Beijing. We’re looking forward for tomorrow!



Jumat, 4 September 2015

Kring..kring..

“Hello….”

“Hello, this is morning call. Are you up?”

“Ow, yes. Thank you…”


Untuk sesaat aku masih berpikir, di mana ini? Oya, aku sedang berbaring di bantal super empuk dan membenamkan diri di bawah selimut yang tebal. Tapi masih saja terasa dingin. Ini bukan di Indonesia, melainkan Beijing. Segera kuterbangun setelah memperhatikan jam. Waktunya shalat subuh. Segera kubangunkan Widya.

Sarapannya terasa aneh. Harus kuakui, aku rindu nasi putih dan ikan goreng sisa makan malam. Aku memilih untuk makan roti bakar dan minum susu.

Kegiatan pertama kami adalah mengikuti kuliah dari Prof. Xu Liping tentang ‘Satu Sabuk, Satu Jalan’ (One Way, One Road). Bisa dibilang, inilah tujuan kami di sini. Program pertukaran kali ini fokus pada kewirausahaan. Tiongkok adalah salah satu negara dengan ekonomi stabil di tengah naiknya kurs dolar terhadap rupiah berkat proyek ‘Satu Sabuk, Satu Jalan’ mereka.



Do You Have Water?

Kejadian ini adalah salah satu kejadian silly yang kami alami sewaktu di Beijing. Saat waktunya makan, kami selalu mencari air putih. That’s Indonesian! Apapun makanannya, minumnya tidak sah kalau bukan air putih. Begitupun aku. Saat sarapan pagi, aku meminta air putih pada pelayan restoran.

“Do you have water?”

“Water?”

“Yes.”


Di sini, para pegawai hotel tidak terlalu paham bahasa Inggris. Terkadang kami harus melebihkan usaha untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Termasuk air putih.

Dia kemudian kembali dengan membawa segelas air putih. Sayangnya itu bukan air putih siap minum, melainkan air panas. Bukan air panas dari dispenser, melainkan air yang baru saja dididihkan. Oh, mungkin aku yang salah karena tidak mengatakan bahwa air kumaksud adalah air biasa.

Pengalaman meminta air putih saat sarapan pagi membuatku lebih hati-hati saat meminta air putih saat makan siang.

“Can I have water? But not too hot and not too cold. The normal water.”

Pelayan itu mengangguk mengerti. Ahh, senang rasanya si pelayan ngerti.

Aku kembali ke meja makan bersama Kak Aumi (delegasi Sulawesi Selatan). Kami kembali menikmati pizza, cheese cake, sushi, dan berbagai kue lainnya. Hanya makanan itu yang menarik minat kami di siang hari itu. Pelayan itu datang lagi membawa 2 gelas air. Oh My! Ini masih air panas. Benar-benar panas dan bukan air hangat. Kukira si pelayan mengerti. Hanya kata ‘xie xie’ yang keluar dari mulut kami berdua.

Setelah berkali-kali makan di restoran, akhirnya aku mengerti. Ketika kita meminta ‘water’, maka yang ada hanyalah air panas dan air dingin. Jangan pernah berharap mendapatkan air galon seperti yang biasa diminum di Indonesia. Restoran tidak menyiapkan air putih yang aku sebut ‘air normal’. Jika mau air normal, maka pilihannya adalah meminum air minum kemasan. Bahkan, terkadang restoran tidak menyediakan air putih sama sekali. Air putih biasa diganti dengan teh, air soda, alkohol, atau jus. Ada juga restoran yang tidak meng-gratis-kan air putih. Air putihnya dijual, sementara coca-cola dan pulpy di-gratis-kan. Aneh.


Sudah sejam lebih kami berada di bus. Kami menuju ke Beijing International Youth Camp untuk melakukan kegiatan outdoor. Sayangnya, langit tidak merestui kami. Hujan kecil namun konsisten pada setiap butir air yang jatuh. Tetap saja selalu ada yang bisa kami lakukan sebagai pengganti kegiatan outdoor kami, walaupun dilakukan secara indoor. Kami tetap senang, ditambah lagi kami mendapatkan cenderamata lucu dari mereka.


Now, heading to New World Beijing Hotel. Dengan memakai baju kebesaran kami, Attire One (A1), kami melenggang penuh percaya diri. Pengunjung hotel sampai terheran-heran melihat 100 orang memakai setelan jas hitam dengan dalaman merah marun, dengan peci hitam yang disematkan pin garuda di sisinya. Tidak ketinggalan, pin garuda juga tersemat di jas kami, dengan papan nama di sisi sebelahnya. Sepatu pantofel kami meninggalkan bunyi gletak-gletuk di lantai marmer hotel. Sebuah ruangan yang besar sudah disiapkan untuk menyambut kami. Backdrop bertuliskan ‘Welcome Banquet for Indonesian Youth Delegation to China’ disertai tulisan Hanzi (mandarin) yang tidak kumengerti, terlihat luar biasa sebagai latar dari panggung.


Setelah pembukaan dan penyerahan cenderamata dari kedua negara, tibalah kami di acara yang paling dinanti-nantikan. It’s time to be proud of our culture. Beragam kesenian Indonesia kami tampilkan. Kami mempersembahkan Silat Randai dari Padang, Tari Zapin Muda-Mudi dari Kepulauan Riau, Tari Kembang Jatoh dari Jakarta, Tari Bapalas Banua dari Kalimantan, Tari Mayiledungga dari Gorontalo, Tari Orlapei dari Maluku, Tari Humbelo dari Papua, dan Tari Kecak dari Bali. Penampilan kami ditutup dengan menyanyikan lagu Tanah Airku.

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mahsyur permai di kata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kumerasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan




Entah mengapa, senyum terus tertinggal di bibirku. Rasanya bulu kudukku merinding menyanyikan lagu ini di negeri orang. Ada semacam rasa bangga ketika semua orang bertepuk tangan untuk kami.


Sabtu, 5 September 2015

Hari ini kami bebas dari segala bentuk kegiatan formal. Walaupun demikian, kami tetap dalam satu misi. Mempelajari budaya dan sejarah Tiongkok. Siapa sangka, sebentar lagi aku akan menjelajah salah satu keajaiban dunia, yaitu Great Wall of China, dan dua tempat lainnya, yaitu Forbidden City dan Chaoyang Theater.

Berkali-kali kuucap subhanallah sewaktu bus kami memasuki daerah pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk Kota Beijing. Kaca jendela bus mulai berembun. Gerimis ditambah udara dingin yang menusuk membuat para delegasi kelimpungan menyembunyikan tangan dari desiran angin yang lumayan kencang. Tak tanggung-tanggung, suhu di Great Wall mencapai 16°C. Luar biasa. Karena mendengar kabar musim panas di Tiongkok sebelum berangkat, aku hanya membawa satu jaket yang tidak terlalu tebal. Jaket anak kekinian yang lebih mengedepankan fashion dibanding fungsi dasar dari jaket itu sendiri. Ditambah lagi saran dari senior pertukaran tahun 2013 dan cerita teman-teman yang sudah pernah ke Tiongkok. Musim panas di Tiongkok sangat mengerikan. Mereka menyarankan untuk membawa baju yang tipis. Tapi apa daya ketika kami tiba ternyata musim penghujan, huhuhu T_T

Panitia ACYF untungnya memberiikan kami mantel hujan for free. Yang delegasi cowok agak risih sih. Soalnya semua mantel berwarna pink, hihihi…


Bismillah. Aku menginjakkan kakiku di anak tangga pertama Great Wall. Great Wall memang seperti ular panjang raksasa bila dilihat dari langit. Lebarnya kurang dari 1 meter. Bisa dibayangkan, ribuan orang datang ke sini dan berlomba-lomba mendaki anak tangganya yang sangat sempit. Tangganya hanya muat untuk dua orang. Itupun jalur naik dan jalur turun. Sungguh sangat melelahkan. Ditambah lagi jarak anak tangga yang satu dengan anak tangga lainnya lumayan jauh. Seperti mengangkat kaki saat jalan di tempat. Jika ingin beristirahat sebentar, maka kita harus menepi dan membiarkan orang di belakang kita lewat. Tak jarang orang yang turun memberi semangat kepada orang yang naik. Peluh bercampur air hujan tak membuat semangat kami surut untuk mencapai puncak.


Banyak teman-teman yang sudah menyerah dan memilih untuk turun saja. Tapi ini adalah pengalaman sekali seumur hidup. Tak tahu apakah aku punya kesempatan ke sini lagi atau tidak. Kuusap keringat dan kumantapkan hati untuk mencapai puncak. Semakin ke atas, jalannnya semakin terjal. Tangganya semakin tinggi dan licin. Aku bahkan takut untuk melihat ke bawah. Tanganku memegang erat pegangan tangga. Napasku tersengal-sengal. Kabut semakin tebal dan tanganku semakin beku. Aku baru sadar bahwa aku sendirian. Ketika berbalik, sudah tidak ada orang lagi di belakangku. Inikah puncak Great Wall?

“Kak Dhilah!”

Kepalaku pusing. Rasanya napas tinggal di leher saja. Tapi aku tetap naik. Ada suara di atas.

“Benny!”

Mataku berbinar begitu melihat Benny sedang asik memotret di atas. Aku duduk lalu meminum air. Sejenak aku melupakan rasa lelah ini setelah melihat Benny (delegasi Papua). Kami lalu memandang ke bawah. Dari sini aku bisa melihat seluruh Tiongkok. Subhanallah… Alhamdulillah… Kini aku berdiri di puncak negara yang memiliki populasi sangat padat ini. Sayangnya, pandangan kami terhalang kabut yang semakin tebal. Setelah puas berfoto-foto ria, Benny mengajakku untuk naik lebih jauh lagi. Oh, ternyata ini bukanlah puncak Great Wall. Jalan menuju ke atas masih jauh dan tertutup kabut tebal. Aku ingin, tapi kupertimbangkan kembali setelah merasakan detak jantungku semakin cepat. Jika hal buruk terjadi, aku tidak ingin merepotkan Benny. Akhirnya kutolak ajakannya dan memutuskan untuk turun saja, sementara Benny melenggang bersemangat menjelajah Great Wall lebih jauh lagi.

“Anak Papua satu itu tidak kenal lelah!”

Aku menuruni anak tangga dengan cepat. Benar kata seniorku. Turun itu jauh lebih mudah dibanding saat naik. Begitu pula hidup. Untuk dapat duduk di atas, kita harus melalui banyak sekali rintangan. Rasa capek, lelah, dan ingin menyerah pasti ada. Tapi ketika kita sukses melalui semuanya, pasti rasanya sangat manis, apalagi mengingat semua rintangan yang telah kita lalui. Namun ketika kita tidak di atas lagi, segalanya terjadi dengan begitu cepat. Saat turun, segala sesuatu berjalan sangat mulus. Yang tertinggal hanyalah kenangan dan kesuksesan yang diraih sewaktu masih di atas. Kurasa inilah filosofi Great Wall yang beruntung bisa kuterjemahkan.


Beneran Bisa Melihat Great Wall dari Bulan?

Mitos! Great Wall tidak bisa dilihat dari bulan loh! Padahal sebagai orang awam aku juga percaya.


Need a Help?

Karena naik terlalu jauh, beberapa teman mencariku. Aku dikirain hilang, hehe… Seorang panitia ACYF menyuruhku untuk langsung ke bus. Aku pun melenggang dengan ceria. Bahagia rasanya. Keluar dari gerbang Great Wall, aku melihat seorang cowok sipit sedang selfie. Biasa sih. Tapi dia sepertinya tidak puas dengan fotonya karena tidak menampakkan latar yang diinginkannya.

Spontan aku menghapiri cowok itu dan bertanya:

“Need a help?”

Dia seperti berpikir dulu sebelum menjawab, “Yes, please”.

Dia memberiiku iphone-nya. Klik.

“Once more…” klik.

Kuserahkan kembali iphone-nya.

“Thank you…”

“Welcome.”

Aku pun pergi. Tapi kemudian dia memanggilku kembali.

“Let’s take a picture. Together.”

Ragu-ragu aku menjawab, “o..kay…”.

Aku lalu berdiri di sampingnya. Tapi dia kok deket amat yah? Hahah

“Okay, I have to go. Bye~”

Dia pun melambaikan tangan. Emm… gapapalah, lumayan ganteng, xixixi


Taraaa… Forbidden City. Forbidden City itu sangaaaaaaaattt luas! Saking luasnya, aku dan Widya tersesat dan tak tahu jalan keluar. Bertanya pun sia-sia. Mereka gak ngerti bahasa Inggris. Ketika sudah panik, aku melihat secercah cahaya merah dari kejauhan. Ada untungnya juga kami memakai kaus seragam warna merah. Sontak aku berteriak, “Kak Bery……”. Kak Bery (delegasi Bengkulu) melambaikan tangan. Sebagai cowok yang bertanggung jawab, dia pun membimbing aku dan Widya yang sudah kehilangan arah menuju jalan keluar yang benar.


Forbidden City dulunya merupakan tempat tinggal para kaisar dan keluarnya pada era kepemimpinan Dinasti Ming dan Qing. Istana ini dibangun pada tahun 1406 – 1420. Nama Forbidden City diberikan karena pada zaman dahulu tidak ada orang yang dapat masuk dan meninggalkan kawasan istana ini tanpa seizin para kaisar. Forbidden City sangatlah luas, yaitu 180 hektar. Desain Forbidden City sangatlah unik. Istananya tidak tersebar begitu saja, tetapi dibuat berlapis-lapis. Untuk masuk di istana selanjutnya, kita harus melewati istana yang pertama, kedua, dan seterusnya. Karena sangat luas, berjalan secara berkelompok di Forbidden City sangat dianjurkan. Kalau tidak, bisa saja tersesat dan tidak menemukan jalan keluar kayak aku dan Widya, hehehe…



We Are Indonesian

Mungkin kami lah yang pertama sepanjang sejarah Forbidden City. Dengan menyandang misi memperkenalkan budaya Indonesia, tanpa ragu kami menampilkan Tari Kecak dan Tari Saman di halaman Forbidden City. Awalnya tidak ada yang memperhatikan. Tapi semakin lama, semakin banyak turis yang mengerubungi kami. Ada yang mengambil foto, juga video. Bangga sekali. Yes, We’re Indonesian!

Di lain kesempatan, kami juga menampilkan Tari Saman di bandara saat menunggu boarding pesawat. Tak jarang, ada turis yang bertanya akan apa yang kami lakukan. Ketua rombongan pun menjelaskan dan mereka menyukainya.

Kami juga pernah unjuk kebolehan di bidang tarik suara saat di Huaqiao University. Di tengah universitas terdapat kolam, ada panggung di tengahnya. Kata guide kami, jika berdiri di tengah panggung dan berteriak, maka suaranya akan memantul. Untuk mengetes kebenarannya, kami bernyanyi lagu daerah. Ajaib, suara kami menggema di seantero kampus.


Setelah makan malam, kami berjalan menuju Chaoyang Theater. Dalam 15 menit, kami tiba juga di tujuan. Pertunjukannya akan mulai tepat pukul 19.30 waktu setempat. Rasa penasaran kami akan ‘apakah Chaoyang Theater’ terjawab juga. Perumpaan yang paling mirip adalah pertunjukan di pasar malam. Aku ingat pernah menonton pertunjukan motor dalam sumur sewaktu kecil. Kira-kira seperti itulah. Namun yang ini lebih elit dan elegan. Ruangannya seperti bioskop. Kursinya berbentuk setengan lingkaran dan bertingkat-tingkat. Kami bisa membeli popcorn. Tidak boleh mengambil foto ataupun video selama pertunjukan. Semua lampu mengarah ke panggung. Selama 1 jam, kami disuguhi pertunjukan luar biasa seperti seni akrobatik dan tari-tarian. Pertunjukannya ditutup dengan pertunjukan motor. Tapi bukan di sumur. Ada arena khusus yang menjulang tinggi ke atas. Yang lebih hebatnya lagi, motornya tidak hanya 2 atau 3, tapi 8 motor sukses berputar-putar di arena itu dengan kecepatan tinggi, tidak jatuh, dan tidak bertabrakan satu sama lain. Setiap motor dimasukkan ke dalam arena, semua penonton berteriak ketakutan. Suaraku saja hampir serak dibuatnya. Tentu saja mereka terlatih dan tidak terjadi kecelakaan.



Is This moo, mbee, grok grok, or kukuruyuk???

Selama di Tiongkok, kami hanya punya waktu jalan-jalan di atas pukul 10 malam setelah terbebas dari agenda kegiatan wajib kami. Malam terakhir di Beijing tidak ingin kami sia-siakan. Aku, Widya, dan beberapa teman lainnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Tengah malam. Suasana Kota Beijing lengang. Kami melihat restoran halal yang masih terbuka. Tapi kami tidak cukup lapar untuk masuk ke sana. Kami putuskan untuk terus berjalan sambil sesekali mengambil gambar. Di persimpangan jalan, kami melihat beberapa penjual pinggir jalan. Ada penjual buah-buahan, sosis, dan aneka jajanan jalanan lainnya. Aku, Widya, Kak Ilham (delegasi Riau), dan Mugi (delegasi Jawa Timur) memilih jajanan sosis. Eits, tapi kami perlu hati-hati. Masalahnya, kita gak tahu itu sosis apa. Kalau babi kan jadi berabe!


Si ibu penjual sosis sama sekali buta bahasa Inggris. Yes/no pun dia gak ngerti. Aku punya ide! Kita pake bahasa isyarat aja! Yang lain setuju.

“Is this moo (sapi)?” Si ibu menggeleng.

“Is this mbee (kambing)?” Si ibu menggeleng.

“Is this grok grok (babi)?” Si ibu menggeleng.

Alhamdulillah deh kalau bukan babi. Jangan senang dulu, kita kan belum tahu itu apaan.

“Is this kukuruyuk (ayam)?” Si ibu menggeleng.

Petok petok?” Si ibu masih menggeleng.

Lah, sapi bukan, kambing bukan, babi bukan, ayam bukan. Apa dongg?

Bingung mesti pake bahasa apa lagi, tetiba aku teringat kalau iphone Kak Pasca (delegasi Kalimantan Tengah) bisa akses internet. Aku pinjam iphone-nya. Aku buka google trus cari semua gambar hewan yang aku sebutkan tadi. Setelah lengkap, aku tunjukin ke si ibu.

Sapi bukan.

Kambing bukan.

Babi bukan.

Ayam buk… “ah… cii cii!” tunjuk si ibu kegirangan.

Damn! Ternyata suara ayam di Tiongkok beda dengan suara ayam di Indonesia. Di sini suaranya cii cii, aku bilangnya malah kukuruyuk sama petok petok. Beda negara, beda bunyinya. Hahahahaha…. Kami berempat pun memesan sosis ayam. Sebelumnya aku kembali menunjukkan gambar babi. “No pig!”



Minggu, 6 September 2015

Oh ya, koper Kak Fera alhamdulillah diantarkan oleh pihak bandara ke Rosadale Hotel dengan selamat tanpa kurang dan cacat. Kami berseru girang begitu mendengar berita ini.

Kami tidak memiliki agenda kegiatan hari ini. Hari ini kami akan bertolak ke Provinsi Ningxia, tepatnya di Kota Yin Chuan. Sebelum ke bandara, kami singgah di sebuah hotel untuk mengambil bekal makan siang kami. Setelah menunggu beberapa saat, kami masing-masing diberi satu kotak besar makanan. Ukurannya sama seperti kotak nasi paket lengkap ukuran besar. Kukira isinya nasi dan berbagai lauk-pauk. Ternyataaa…

6 buah sandwich, 1 potong bolu gulung ukuran raksasa, 1 buah pisang raksasa, 1 botol yogurt.

Makan siang yang… emm… mungkin luar biasa dengan porsi yang sebenarnya bisa untuk 3 orang.

Duduklah kami bersila di bandara seperti penumpang korban pesawat delay. Aku memasukkan beberapa potong sandwich ke dalam tas.

Oo… kini aku mengerti mengapa kami diberi makan siang porsi gajah. Itu karena di pesawat kami tidak mendapat makanan. Hanya kacang dan kismis, serta air minum. Terlihat dari jendela, sepertinya Yin Chuan merupakan daerah yang panas. Bagaimana tidak, melihat ke bawah hanya ada hamparan gurun pasir. “Itu Gurun Gobi. Tempat shooting film Kera Sakti.” Waooww… Subhanallah… Meskipun tidak menginjakkan kaki di gurun itu, lewat di atasnya saja sudah bersyukur. Ternyata ini yang namanya gurun pasir. Panas. Kanan, kiri, depan, belakang, yang ada hanya hamparan pasir. Perlahan aku mulai sedikit khawatir. Tempat seperti apakah Yin Chuan itu? Apakah hamparan gurun pasir? Tak ada sinyal, panas, dan susah air? Kalau tidak ada sinyal, bagaimana caranya menelepon ke Indonesia? Aku melihat beberapa pemukiman, tapi hanyalah pemukiman kecil yang terletak di tengah gurun. Jaraknya ke pemukiman lain sangatlah jauh. Sebelum rasa was-was itu menyebar ke seluruh jaringan otakku, aku melihat banyak warna hijau dari kejauhan. Pohon!

Perlahan tapi pasti, aku melihat kota yang besar. Kota itu berbatasan langsung dengan gurun pasir. Aku bisa melihat tatanan kota yang apik serta pegunungan di kejauhan. Alhamdulillah, pesawat semakin merendah. Welcome to Yin Chuan.


Di bandara, kami semua merasa was-was menunggu koper kami. Takut kejadian di bandara Beijing terulang lagi. Yang paling cemas tentunya Kak Fera. Dia sudah pernah kehilangan koper sekali dan tidak ingin kejadian itu terulang lagi padanya. Oh ya, sewaktu di Rosedale Hotel, kami sibuk memotret koper masing-masing. Siap-siap aja kalo kemungkinan terburuk koper kami hilang, tunjukin aja gambarnya ke petugas bandara, hehehe…

Ketika koper merah Kak Fera muncul, dia berteriak kegirangan. “Alhamdulillah… koperku ada!” katanya.

Koper Kak Fera sudah aman. Gimana dengan koperku? Kok belum muncul-muncul juga? Setiap koper berwarna biru muncul, aku berharap itu koperku, eh ternyata bukan. Setelah penantian panjang, koperku muncul juga. Rasa deg-degan ini juga dialami oleh seluruh delegasi. Trauma koper hilang nih judulnya…

Setelah semua bagasi aman, panitia ACYF langsung menyuruh kami berbaris berdasarkan kelompok. Ada 3 kelompok. Aku kelompok bus 1. Mr. John meneriakkan nama Indonesia dengan semangat. Tak kalah semangat kami menjawab, “Yeah!” Kami pun memasuki bus masing-masing dengan tertib menuju Hao Wang International Hotel.



I Want to Buy Body Lotion!

Setibanya di hotel, aku kelabakan karena gak punya body lotion. Punyaku kutinggal di bandara karena kadarnya lebih dari 100ml. Seharusnya aku masukin ke koperku di bagasi, tapi lupa. Aku pun ngajak Widya buat cari toko. Kami menemukan sebuah toko. Toko itu masih terhubung dengan hotel. Penjualnya pun bisa berbahasa Inggris. Sayangnya dia tidak menjual lotion dengan botol kecil. Dia pun menunjukkan toko lain yang paling dekat.

Setelah berkeliling toko itu, kami tidak menemukan body lotion. Semua produk menggunakan tulisan hanzi. Kami pun memutuskan bertanya ke penjualnya. Malang nasib kami, si penjual gak ngerti bahasa Inggris. Beralih ke bahasa isyarat, si penjual masih gak ngerti. Dia pun mengoceh gak jelas artinya. Tapi kemudian kami paham ketika dia membawa temannya masuk. Ternyata dia mencari bantuan. Aku lalu kembali menjelaskan bahwa aku mencari body lotion. Aku juga memperagakan cara memakai body lotion, bahkan mengambil produk man body lotion dan menanyakan body lotion untuk perempuan. Kukira dia sudah mengerti, ternyata dia malah mengambilkan sabun mandi. Si penjual kembali memanggil temannya yang lain. Nah, teman yang ini jauh lebih cerdas. Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi translate. Dia menyuruhku mengetikkan katanya dalam bahasa Inggris. Seketika itu juga hasil translatenya tertampil. “Ooo kfgnvjkfdhgjkdjkdfeir5!” (menyebutkan body lotion dalam bahasa mandarin).

Akhirnya si penjual berkata bahwa dia tidak menjual body lotion (setidaknya itu yang kami pahami). Belum kami berdua keluar dari tokonya, dia memanggil kami kembali. Dia menunjukkan satu produk. Berikut ini percakapan kami yang kira-kira terjemahannya sebagai berikut.

“Apa ini yang kalian cari?”

“Yaaa this is what I want! How much?”

“3 Yuan/sachet.”

“I take 5 sachets.”

“Ini kembaliannya.”

“Xie xie…”

Si penjual pun melambaikan tangannya. Mereka terlihat sangat senang setelah bermenit-menit bergulat dengan kata ‘body lotion’.


Si Penjaga Pintu


Awalnya sih aku gak ambil pusing melihat patung-patung hewan di setiap pintu masuk hampir semua gedung/tempat. Tapi semakin ke sini kok aku penasaran. Umumnya, patungnya berupa naga, gajah, atau hewan yang disakralkan lainnya. Selalu ada di sisi kanan dan kiri pintu masuk. Entah di hotel, museum, universitas, dan tempat-tempat lainnya. Ternyata… patung-patung itu adalah simbol dari penjaga pintu yang dipercaya dapat menjaga gedung/tempat itu dari hal-hal jahat. Pantasan semua patungnya berwajah menyeramkan. Kalian gak akan menemukan patung yang tersenyum, hihihi


Senin, 7 September 2015

Hari kedua di Yin Chuan, kami diagendakan berkunjung ke Beifang University of Nationalities. Cuacanya lumayan dingin, tetapi tidak sedingin di Beijing. Paling tidak, kami sudah tidak memakai jaket.


Sesuai namanya, terdapat berbagai macam kebangsaan di universitas ini. Didirikan tahun 1984, universitas ini sudah mengumpulkan banyak buku kuno yang membuat universitas ini unggul dibanding universitas lainnya. Gedung utama universitas ini terdiri dari 6 lantai. Selain itu, juga terdapat museum yang mengabadikan berbagai artefak Cina kuno. Setelah mengelilingi universitas ini, kami melihat satu stadion olahraga yang sangat besar. Stadion itu digunakan untuk sepak bola maupun kegiatan outdoor universitas lainnya. Universitas ini bahkan memiliki tempat gedung olahraga yang terdapat kolam renang di dalamnya. Terdapat 6 klub olahraga di universitas ini, di antaranya klub tennis, basket, voli, gym, dan sepak bola.


Believe It or Not, Black Swan exists!


Aku pernah mendengar Black Swan, tapi itu hanyalah nama sebuah penerbit buku. Tak kusangka, angsa hitam memang benar-benar ada. Di tengah Beifang University of Nationalities terdapat danau. Di danau itu berenang beberapa angsa hitam. Sayangnya, aku tidak bisa memotretnya secara langsung. Mereka sedang berkumpul di sisi yang berseberangan dengan kami. Lumayan sulit untuk menemukan mereka karena warnanya yang hitam.


Di sini aku bertemu dengan Lily. Dia adalah mahasiswa volunteer menjadi guide kami selama di universitas. Sebelum berpisah, kami saling bertukar kontak. Nice to meet Lily!


Sorenya, kami berkunjung ke Taman Islamik Tionghoa. Taman ini sangat luas. Di dalamnya ada masjid, museum, taman, restoran, dan bangunan lainnya. Pertama-tama, kami mengunjungi museum. Di museum ini, kami diceritakan bagaimana Islam bisa masuk di Tiongkok. Ningxia, khususnya Yin Chuan merupakan kota dengan 1/3 penduduknya adalah muslim dari total 6,3 juta populasi. Terdapat 5 kota di Ningxia dan 3 kabupaten. Suku Han merupakan suku muslim terbesar di Tiongkok. Sedangkan Suku Hui merupakan suku muslim terbesar di Ningxia. Yin Chuan sendiri telah bekerja sama dengan Arab sejak lama. Maka dari itu pengaruh Arab sangat kental di kota ini. Khususnya nama jalan, semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kerjasama ini juga masih erat kaitannya dengan Jalur Sutra (Satu Sabuk, Satu Jalan). Di museum ini juga kami diperlihatkan bentuk-bentuk peninggalan muslim berupa gambar. Selanjutnya, kami mengarah ke bangunan utama, yaitu masjid. Berhubung sudah memasuki waktu shalat Ashar, delegasi yang beragama Islam sempat menunaikan shalat Ashar berjamaah di masjid ini. Ada satu peraturan unik di masjid ini. Semua yang ingin memasuki masjid harus memakai kerudung, baik muslim maupun non-muslim. Kerudung gratis sudah disediakan di pintu masuk masjid ini. Ornamen masjid ini sungguh menakjubkan. Perpaduan antara Tiongkok dan Arab sangat terasa. Setelah shalat, seorang ustadz yang kemungkinan merupakan imam besar masjid ini mengumpulkan kami. Dia mengatakan bahwa dia sangat senang dengan kedatangan delegasi Indonesia. Dia juga bercerita bahwa Islam diterima dengan baik di Tiongkok, khususnya di kota ini. Katanya, tiap hari ada saja orang yang datang di masjid ini untuk sekadar bertanya tentang Islam, untuk belajar, bahkan untuk menjadi mualaf. Pertemuan itu ditutup dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dia bacakan dengan sangat merdu. Ada satu bangunan yang sangat indah yang terletak di dekat pintu masuk taman ini. Bangunan itu hampir menyerupai Taj Mahal di India, dengan ukuran yang lebih kecil dengan tulisan Hanzi.



Selasa, 8 September 2015

Pagi ini kami kembali mengunjungi satu universitas bernama Ningxia Medical University. Universitas ini adalah universitas terbesar di Yin Chuan. Hal ini bisa terlihat dari kapasitas mahasiswanya yang sangat besar, yaitu 30.000 orang, termasuk mahasiswa internasional yang berasal dari 18 negara. Universitas ini menerima mahasiswa jenjang S1, S2, dan S3. Terdapat 8 jurusan untuk jenjang S2 dan 2 jurusan untuk jenjang S3. Sesuai namanya, universitas ini mengkaji tentang ilmu kesehatan dan merupakan satu-satunya universitas di Tiongkok yang mempelajari dan mengembangkan pengobatan Islam secara tradisional dan modern. Universitas ini juga telah menjalin kerjasama dengan 22 negara lainnya. Ada 2 tokoh Islam yang menjadi panutan di universitas ini, yaitu Ar-Razi dan Ibnu Sina. Pusat riset pengobatan dari universitas ini bertugas melakukan riset tentang pengobatan. Produk obat yang dihasilkan kemudian diekspor ke luar negeri, dengan Arab sebagai pengimpor terbesar. Hal ini sangat didukung oleh pemerintah Tiongkok. Setiap 5 – 10 tahun sekali, universitas ini akan melakukan riset yang baru yang hasilnya diberikan pada pemerintah. Dengan cara ini, pemerintah dapat selalu terlibat dan menyokong proyek dari universitas.


Dari universitas, kami menuju ke China Gouqi Museum. Wolfberry atau gouqi (baca: gochi) merupakan jenis buah beri yang paling banyak tumbuh di Tiongkok, khususnya Ningxia karena merupakan daerah pegunungan. Ada 4 jenis gouqi, yaitu gouqi merah yang paling umum, hitam, kuning, dan merah jambu. Gouqi sendiri dapat diproduksi dalam bentuk fresh gouqi maupun dried gouqi. Fresh gouqi lebih kaya vitamin C dibanding dried gouqi. Selain dimakan sebagai buah-buahan, gouqi juga bermanfaat untuk pengobatan. Ada 14 khasiat utama dari gouqi, yaitu untuk fungsi hemopoietik, fungsi hati, kecantikan dan melembabkan kulit, daya tahan tubuh, kesehatan mata, reproduksi, menurunkan tekanan darah, menurunkan gula darah, mengontrol lemak darah, anti radiasi, mengatasi kelelahan, obat tumor, memperlambat penuaan, dan fungsi imun. Selain itu, daun dan akar pohon gouqi juga bermanfaat untuk kesehatan. Daunnya dapat diseduh menjadi teh yang dapat mengatasi penyakit susah tidur. Teh tersebut juga merupakan teh tradisional masyarakat muslim. Adapun akarnya dapat direbus kemudian diminum sebagai obat batuk. Gouqi dapat dikembangbiakkan melalui penanaman benih dan stek batang. Musim yang tepat untuk menanam gouqi adalah saat musim semi. Pertumbuhan gouqi juga sangat cepat. Sekali berbuah, panen dapat dilakukan hingga 7 kali dalam sebulan. Uniknya, untuk memetik gouqi diperlukan kesabaran ekstra karena masih dikerjakan secara manual dan dipetik satu per satu.




Teh Cina, Sehat sih tapi, ah Sudahlah…

Senang rasanya ketika mengetahui bahwa kami boleh mencicipi rasa teh daun gouqi secara gratis di China Gouqi Museum. Tehnya masih panas, cocok dengan udara dingin di Yin Chuan hari ini. Tapi ketika menghirup aromanya kok perasaanku gak enak yah? Kutanya Mak Fella (delegasi Jambi) yang duduk di sebelahku. “Gimana mak, enak?” “Gak ada rasanya…”

Perlahan kuseruput tehnya. Rasanya… Errr… Bukannya gak enak, tapi tanpa rasa. Air putih galon jauh lebih enak pastinya. Sebagai ucapan terima kasih sudah disajikan teh gratis, maka tehnya harus dihabiskan. Jangan sampai si empunya museum tersinggung kalau tehnya gak diminum. Aku minum saja tehnya sambil menahan napas.


Di lain kesempatan, kami juga disuguhi teh di sebuah restoran. Tekonya yang bening membuatku bisa melihat campuran teh itu. Akar, daun-daun, bunga-bunga, membuatku terpaksa mengatakan, “No, thanks” ketika si pelayang restoran hendak menuangkan teh itu di gelasku. Aku tahu teh itu pasti sehat. Tapi, no compromise, I miss Teh Sari Wangi dengan sesendok penuh gula pasir.

Pengalaman minum teh lagi-lagi aku dapatkan di pesawat menuju Hong Kong dari Kota Xiamen. Si pramugari menawariku teh. Aku iya-in aja. Kuseruput teh itu ternyata gak ada gulanya. Aku minta lah gula 2 bungkus. Aku masukin 2 bungkus kok gak ada rasanya. Aku minta tambah lagi 2 bungkus, masih gak ada rasanya. Malu minta gula lagi, aku minum aja tehnya walau tanpa rasa.


Siangnya, kami kembali ke hotel untuk mengikuti kuliah dari Mr. Fan Jianmin, masih tentang ‘Satu Sabuk, Satu Jalur’. Sialnya, tidak seperti kuliah pertama di Beijing, di mana Prof. Xu Liping fasih berbahasa Indonesia, Mr. Fan Jianmin tidak bisa berbahasa Indonesia maupun Inggris. Terpaksa kami mengikuti kuliah dengan menggunakan bahasa mandarin, diselingi penerjemahan dalam bahasa Indonesia yang orang Indonesia pun bingung mendengarnya, hehehe…



Rabu, 9 September 2015

Ini hari terakhir kami di Yin Chuan. Sebelum bertolak ke kota selanjutnya, yaitu Fuzhou di Provinsi Fujian, kami terlebih dahulu mengunjungi Ningxia Museum. Museum ini memamerkan berbagai jenis artefak Ningxia. Secara umum, yang dipamerkan adalah artefak kuno dari dinasti yang pernah memimpin di Ningxia, seperti Dinasti Xicia, Tang, dan Ching. Ningxia juga dikenal sebagai Museum of Great Wall karena banyak terdapat sisa-sisa Great Wall di masa lalu, atau dikenal juga sebagai Lake City behind the Wall karena di provinsi ini mengalir Yellow River (Mother River).


Kembalikan atau Bayar 18 Yuan!

Here it is! Another silly story of IChYEP 2015 :D

Walaupun pegawai hotelnya tidak fasih berbahasa Inggris, keunggulan dari Hao Wang International Hotel adalah fasilitas kamarnya, walaupun jaringan wi-fi-nya jelek (hanya bisa diakses di lobi hotel, itupun jaringannya tidak mumpuni). Kami terkagum-kagum ketika memasuki kamar masing-masing. Kamar yang sangat luas (bahkan lebih luas dari kamarku di rumah T_T), dua tempat tidur yang besar, baju mandi yang juga bisa berfungsi sebagai piyama, kamar mandi yang bagus, dan yang paling luar biasa adalah sendal hotelnya. Bukan hanya aku, teman-teman lain yang sudah sering nginap di hotel malah berkata, ini adalah sendal hotel terbagus yang pernah mereka lihat. Masuk mall pun pantas kok pake sendal itu. Kami pun berencana sendalnya dibawa pulang ke Indonesia sebagai oleh-oleh. Bahkan Widya mau membawa pulang sendal itu untuk bapaknya. Sungguh cita-cita yang mulia!

Pada saat packing barang, Widya sudah memasukkan sendal ke dalam koper. Kuurungkan niatku untuk membawa pulang sendal itu. Gak tau kenapa koperku kok udah gak muat ya. Mungkin kebanyakan belanja di Yin Chuan.

Ternyata bukan hanya Widya yang membawa sendal itu, hampir semua teman-teman melakukan hal yang sama. Lamaaa sekali kami menunggu bus berangkat. Reno (delegasi Riau) sang travel arranger (orang yang kami percaya untuk ngatur-ngatur waktu kami sehingga kami disiplin) tiba-tiba naik ke bus dan menyebutkan beberapa nomor kamar, tapi tidak menyebut nomor kamar aku dan Widya. Katanya, sendal hotelnya hilang dan mohon dikembalikan. Aku langsung melirik Widya yang duduk di belakang. Widya seakan tahu maksud lirikanku. Dia hanya senyum-senyum. Teman-teman yang disebutkan nomor kamarnya langsung membongkar bagasi dan mengembalikan sendal. Tidak lama kemudian, Reno kembali menyebutkan beberapa nomor kamar. Wajah kami tegang. Pada akhirnya, Reno memberi pilihan agar mengembalikan barang-barang yang kami ambil dari kamar hotel atau membayar 18 Yuan. Teman-teman yang malas membongkar bagasinya memilih untuk membayar saja. Widya memilih untuk mengembalikan sendalnya. Hiks, hotelnya pelit ah! Ngambil sendal aja gak boleh!


Kami lalu menuju bandara. Sebelumnya, kami singgah ke sebuah restoran untuk makan siang. Kota selanjutnya adalah Fuzhou. Kami sempat transit di Xi’an beberapa menit. Setelah itu kami kembali menaiki pesawat yang sama. Kukira Fuzhou itu dekat, ternyata perlu 4 jam lebih untuk sampai di sana.


Makan..makan..makan..

Setelah beberapa jam di pesawat, perutku mulai keroncongan minta makan. Tak mampu kutahan lagi, aku pun curhat ke teman sebelah. Ternyata dia juga kelaparan. Cek ricek, kami semua kelaparan! Oo… mungkin ini pesawat yang sama dengan L*** di Indonesia yang tega gak ngasih penumpangnya makanan, hiks hiks… Setelah mengeluh panjang lebar, tiba-tiba semua pramugari dan pramugara berjalan ke ekor pesawat. Tidak lama kemudian, mereka keluar dengan mendorong kereta makanan. Sontak kami mengucap hamdalah berjamaah, “Alhamdulillah…”. Mata kami berbinar-binar begitu melihat chicken burger yang masih hangat. Daging ayam yang panas tidak kami hiraukan. Semuanya diembat saking laparnya. Ini dia burger terbesar dan terenak yang pernah kumakan!


Never Eat Noodle!

Kami tiba di Fuzhou Lakeside Hotel pukul 10 malam waktu setempat. Begitu kami tiba, pihak hotel menyiapkan makan malam khusus. Mie kuah. Oh ya, Fuzhou Lakeside Hotel adalah hotel bintang 5. Kami bebas berbahasa Inggris ria di sini. Semua pegawai hotelnya mengerti bahasa Inggris.


Aku duduk berdua dengan Widya, berhadapan. Di hadapan kami tersedia mie kuah porsi besar. Kalian tahu mangkuk nasi yang biasa digunakan di Indonesia? Kira-kira begitulah ukuran porsi mie kuah kami. Mie kuahnya terlihat sangat menggoyang lidah. Mie pipih dengan kuah merah, telur orak-orik, dan taburan tomat. Lapaaaaarr…


Ekspektasi tidak selamanya selaras dengan kenyataan. Suapan pertama tidak berjalan dengan lancar. Rasanya seperti Indomie rasa kaldu disiram air panas tanpa diberi bumbu, tapi diberi saus tomat. Kebayang gak rasanya? Widya dan aku mengernyitkan dahi.

“Do you have salt?”

Pelayan restoran pun membawakan semangkuk kecil garam. Garamnya aku bagi 2 dengan Widya. God! Selapar-laparnya diriku, tapi aku tetap gak mau makan mie rasa tomat ini. Aku hanya makan sedikit. Widya lalu punya ide mencampurkan mie dengan abon. Syukurlah… mie ini rasanya jauh lebih wajar.

Tapi ketika perjalanan dari Xiamen ke Hong Kong, aku lebih memilih makan mie daripada nasi. Alasannya karena mie tampaknya jauh lebih enak daripada nasi. Lagi-lagi tertipu. Mienya tidak kuhabiskan.

Oh, kalau diberi kesempatan ke Tiongkok lagi, never eat noodle!


Kamis, 10 September 2015

Keesokan harinya, kami diberi kesempatan berbelanja di Three Lanes and Seven Valleys. Menurut penduduk setempat, tempat ini wajib dikunjungi jika datang ke Fuzhou. Gerbang masuk tempat ini sangat terkenal. Hal itu dibuktikan dari gambar kartu pos yang aku beli di Fuzhou, salah satunya menampilkan gambar gerbang Three Lanes and Seven Alleys. Yang membuatnya unik adalah desainnya. Tempat ini didesain layaknya China Town di Indonesia. Terdapat banyak lampion, patung, desain toko yang mirip bangunan Cina kuno, dan lain-lain.

Setelah itu kami ke Lin Zexu Memorial. Museum ini berbentuk rumah, dibangun oleh salah satu keturunan Lin Zexu untuk mengenang jasa-jasanya. Lin Zexu adalah seorang pejabat di Guangdong pada masa pemerintahan Dinasti Ching, yang memiliki peran yang sangat penting di Tiongkok. Pada tahun 1813, Lin Zexu membuat gerakan opium. Dia memperkenalkan opium pada tentara Tiongkok untuk meningkatkan stamina sehingga kuat berperang. Selain itu, dia juga berhasil melindungi Ningxia dari banjir berkat proyek pembuatan kanal yang dipimpinnya di Hwang River. Lin Zexu dikenal sebagai sosok yang pintar dan hebat. Dia wafat pada tahun 1850.


Kami pun kembali ke hotel untuk menge-pack barang kami. Belanjaan di Three Lanes and Seven Valleys cukup banyak. Setelah makan siang di hotel, kami bertolak ke kota terakhir, Quanzhou yang masih terletak di Provinsi Fujian, menggunakan bus. Ketika senja tiba, kami tiba di Xiamen Quanzhou Hotel.


Jenn!

Setelah makan mie kuah pada sebelumnya, aku dan Widya memutuskan untuk tidak langsung tidur. Kami ke kamar untuk menyimpan koper dan kembali ke lobi untuk jalan-jalan. Kita sudah janjian dengan Mandala (delegasi Bali), tapi Mandala tiba-tiba merasa kurang sehat. Tinggal lah kami berdua. Jujur, kita gak berani jalan berdua di negeri orang, apalagi tengah malam. Kalau kita diculik, dirampok, atau gak tahu arah pulang gimana?

Sesaat kemudian, Chite (delegasi Maluku) muncul lengkap dengan totte bag-nya. Dia juga mau jalan-jalan ternyata. Yah, kita nebeng aja. Daripada kecewa kan yah! Kami pun menunggu Ozhi (delegasi Maluku), Motty (delegasi Papua), Kak Zul, Jana (delegasi Kalimantan Barat), Syifa, dan beberapa teman lainnya. Namun setelah lengkap, kami belum berangkat juga. Tunggu siapa lagi sih? “Jenn”.

Siapa sih Jenn? Dia bukan artis kok. Cuma penduduk lokal yang kebetulan bertemu dengan Ozhi dan Motty di toilet hotel. Setelah berkenalan, dia menawarkan diri menemani mereka jalan-jalan malam di Kota Fuzhou. Jenn tidak tinggal di hotel. Rumahnya tidak jauh dari hotel. Tapi setiap minggu dia pasti dinner di hotel ini. Pas banget sama dengan jadwal kedatangan kami!

Tidak lama kemudian, Jenn pun muncul. Dia berkata akan membawa kami ke tempat yang must visit kalau ke Fuzhou, yaitu Three Lanes and Seven Valleys! Yup, jadi sebelum rombongan delegasi ke tempat itu keesokan harinya, kami sudah mengunjungi tempat itu terlebih dahulu. Suasana malam jauh lebih menyenangkan.


“We go by bus, Jenn?”

“No, we can walk.”

“How far is it?”

“Near. Only 15 minutes!”


Okelah kalau cuma 15 menit.

……

Kami sudah jalan lebih dari 15 menit dan belum sampai-sampai juga. Langkah Jenn besar-besar. Mereka terbiasa berjalan cepat, sementara kami jalannya lambat. Sesekali Jenn berhenti dan berkata, “C’mon guys, hurry up!” Yaelah Jenn… capek…

Akhirnya tiba juga di Three Lanes and Seven Valleys. Setelah puas berkeliling, kami singgah di McD. Di sini, Jenn membantu kami memesan makanan. Soalnya si pelayan gak bisa bahasa Inggris. Gak terasa, jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari ketika kami tiba di hotel. Jenn pun pamit. Sebelumnya kami memberikan cinderamata padanya. Jarang-jarang loh ada orang asing sebaik Jenn. Dia gak kenal kami, kami pun gak kenal dia. Bisa aja dia menipu kami. Tapi tak dilakukannya. Miss you, Jenn!



Jumat, 11 September 2015

Pagi ini kami kembali mengunjungi universitas, yaitu Huaqiao University. Jumlah mahasiswa di universitas ini adalah ±28.000 orang, termasuk 5.000 mahasiswa asing dari 43 negara. Huaqiao University terdapat di 2 tempat, yaitu di Quanzhou dan Xiamen. Yang terbesar berada di Xiamen dengan luas mencapai 6 hektar, sedangkan universitas di Quanzhou hanya setengahnya. Terdapat 30 fakultas umum di universitas ini, kecuali militer. Jenjang pendidikan D3 hingga S3 ada di sini. Di Quanzhou, terdapat 2 universitas yang berada langsung di bawah pemerintah pusat, salah satunya adalah Huaqiao University. Tempatnya yang potensial, di bagian tenggara Tiongkok, dekat Asia Tenggara, membuat banyak mahasiswa dari luar negeri tertarik masuk ke universitas ini. Lin Dan yang merupakan atlet terkenal Tiongkok juga merupakan alumni universitas ini. Mengantisipasi banyaknya mahasiswa asing, universitas ini menyediakan kelas khusus berbahasa Inggris. Terdapat kurang dari 30 mahasiswa Indonesia yang berkuliah di sini. Kami diberi kesempatan untuk berdialog dengan mereka lewat forum tanya jawab yang sengaja diadakan untuk menyambut kedatangan 100 delegasi Indonesia.



Sore harinya, kami yang terbagi menjadi 3 kelompok mengunjungi 3 tempat yang berbeda. Kelompokku mengunjungi Youth Center, kelompok 2 mengunjungi Sekolah Latihan Anak Hujan Matahari, sedangkan kelompok yang ketiga mengunjungi Base Bisnis Elektronik Mahasiswa.

Youth Center merupakan tempat pelatihan dan berkarya untuk anak-anak maupun pemuda. Tempat ini membantu melestarikan budaya tradisional Tiongkok, seperti membuat kaligrafi dan lukisan hanzi. Selain itu juga terdapat sekolah gratis untuk anak-anak, di mana mereka belajar untuk mengembangkan bakat mereka, seperti bermain alat musik tradisional, tarian tradisional, dan public speaking.



Pukul 5.30 kami menuju City Hotel untuk menghadiri jamuan perpisahan. Kali ini kami datang dengan memakai baju adat masing-masing. Sebagai delegasi Sulawesi Tenggara, aku dan Kak Amran mengenakan baju adat tolaki. Aku dan Widya saling membantu mengenakan segala aksesoris baju adat dan make-up. Bulu mata yang jauh-jauh aku bawa dari Kendari tak kupakai karena tak tahu cara memakainya, hihihi…


Begitu memasuki hotel, semua mata seakan-akan tertuju pada kami. Alien cantik dan ganteng dari Indonesia. Ini dia acara terakhir kami di Tiongkok: Farewell Banquet for Indonesian Youth Delegation to China. Di sini, kami kembali menampilkan kesenian Indonesia, seperti Silat Randai dari Padang, Tari Bapalas Banua dari Kalimantan, Tari Mayiledungga dari Gorontalo, Tari Humbelo dari Papua, Tari Saman dari Aceh, dan persembahan lagu Tian Mi Mi dari kelompok paduan suara kami.




Sabtu, 12 September 2015

Tidak terasa, sudah 10 hari kami menjelajah tanah Tiongkok. Suka, duka, sudah kami lalui bersama. Pukul 8 pagi kami meninggalkan Quanzhou. Tak sedikit dari panitia ACYF yang menangis akan perpisahan ini. Aku memberi selendang tenun khas Muna kepada Ms. Pan (ketua ACYF). Kami bertolak menuju Xiamen dengan bus. Kami lalu transit di Hong Kong lagi sebelum akhirnya tiba di tanah air.



Subhanallah, 10 hari berkesan once in life. Tiada kata lagi yang dapat kutuliskan. Terima kasih Indonesia atas hadiah ini. Sebelumnya aku hanyalah anak biasa yang hanya bisa bermimpi ke luar negeri. Tapi Indonesia mewujudkannya untukku. Terima kasih. Terima kasih Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) dan Dispora Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai gantinya, setiap delegasi memiliki post program activity yang tentunya akan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.


Terima kasih sudah membaca perjalanan panjangku :)



~Everyone can be a tourist, but to be a national delegation, that is another story~
IChYEP 2015



P.S.
Program ini adalah Pertukaran Pemuda Indonesia – Tiongkok (PPIT) yang diadakan 2 tahun sekali oleh Kemenpora Republik Indonesia yang bekerja sama dengan ACYF. Selain PPIT, terdapat program pertukaran lainnya, seperti Pertukaran Pemuda Indonesia – Malaysia, Indonesia – India, Indonesia – Australia, Indonesia – Korea Selatan, dan ASEAN – Japan. Untuk Pertukaran Pemuda Indonesia – Kanada, belum tahu pasti apakah masih akan diadakan lagi atau tidak. Seleksinya diadakan setiap tahun oleh Dispora masing-masing provinsi yang bekerja sama dengan PCMI provinsi. Untuk mengikuti seleksinya, silakan mencari tahu di Dispora masing-masing mengenai waktu seleksinya. Jangan mudah menyerah ya! Dibutuhkan konsistensi yang tinggi dalam mengikuti seleksinya. Dibutuhkan 3 tahun sebelum aku akhirnya dinyatakan lulus. Be ready because you are the next delegation!

Selasa, 19 Agustus 2014

ANALYSIS with KOJAK

Posted by Nur Fadhilah at 3:13:00 PM 0 comments
Actually this is a very late article or you can say this is expired haha :D

This is about ANALYSIS (Anak Loyal Solid Olimpiade Sains) charity work. We collaborated with KOJAK (Komunitas Anak Jalanan/Street Children Community) this year. KOJAK is a community where the street children are gathered. KOJAK’s members teach them the lesson in school. So it’s like a non formal school for them. There were kindergarten, elementary, and high school. The class is on every Sundays afternoon. I want you to know that this kind of organization exists in Kendari, Southeast Sulawesi.

I don’t know exactly since when the street children arose in Kendari. Kendari isn’t a big city like Jakarta, Makassar, or others. It's still developing. But the street children are almost in every edge of the city. I myself hate to see them in the stoplight. It was the reason why ANALYSIS chose KOJAK as our partner.

Sunday, July 13, 2014. We were looking forward for this day. This is THE DAY. We already packed 40 packages the day before. A package is for each child. They got school uniforms, stationeries, bags, books (novels and comics) and money. Some of them also got toys and clothes.

The agenda began at 2 pm, delayed an hour from the schedule. Because ANALYSIS was new in KOJAK, we introduced ourselves first. I couldn’t stand for those kids, they are so cute and adorable. Most of them are beggars. KOJAK always try to stop them, but their parents don’t. It’s miserable, isn’t it?

Kak Nia, from KOJAK, gave a speech about Palestine and asked the children to pray for Palestine. The chief of KOJAK gave speech to the parents. He explained about their children’s progress and improvement during study in KOJAK. He also gave a report card to each parent.

Afterwards, we gave them the packages. They were very excited and so were we.


At 4 pm, everything had finished, but problem always come. One of the parents couldn’t receive the result of the report card. He said his son always came on Sunday. But in fact he never came. He whatsoever didn’t trust us and blamed us. Yaahh… whatever… there are so many kids out there want to study in KOJAK.


We’re from ANALYSIS was very happy of this nice moment and looking forward of what happen next year, insya Allah :)

Minggu, 01 Juni 2014

PCMI SELECTION 2014

Posted by Nur Fadhilah at 6:41:00 PM 0 comments
Ehm… what could I say (read: type)?

Firstly, I wanna say, from now on, I’ll post English texts. Although my English isn’t good enough, but lemme try :D

#latepost

Did you remember my article about PCMI selection 2013? Did you forget it? The one that I told you about Sail Komodo 2013! Aha… do you remember?

I joined PCMI selection this year. Southeast Sulawesi got 5 quotas, 3 quotas for men (Malaysia, Australia, and ASEAN-Japan) and 2 quotas for women (Canada and South Korea). What happened this year? Did I pass or be a reserve like last year? Let’s see…

Saturday, March 29, 2013. That day was the first day of the series of PCMI selection. Based on our agreement at technical meeting, at 6 a.m. all the participants should gather in Lakidende Field, Kendari. Rubber time (I’ve just found this term hahaha)! The agenda was begun at 7 a.m. Same with the previous selection, the very first test was physical test. We had to run around the field. 1 round = 400 meters. WOW! But it’s okay, “I can do it!” I hypnotized myself by saying it again and again.

After warming up, the committee divided us into some groups. “Okay, this is my turn.” I took my position.

Ready…

Set…

GO!!!

I ran slowly at first. I imagined that I was jogging in Taman Kota, hahaha… I finished my first round well. At my second round, I started feeling tired. But I didn’t wanna give up. At least I had to finish 3 rounds, so I’ll have a good point. I kept running. Finally, I was in my third round. I was exhausted. I couldn’t control my breath well. My throat was dry like in I was running in desert. Last minute, I’d been running for 300 meters. 100 meters left, I’d finish my third round.

10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, priiiiiiiiiiiiiitttttttt!!

It’s finished! God, I passed my third round. I ran for 425 meters in 10 minutes. As an ordinary girl, I was proud of myself :D

After took a rest, we’d face the next phase. We’re divided into 20 groups. I went to the group 10. But we had to pair with group 11 as our rival.

There are 10 games. First was relay race. This one was unique. We didn’t use sticks, but balloons. So, we had to squeeze the balloon between our knees and then we gave it to our friends. Interesting, wasn’t it? We won it. Second was ‘I didn’t know the name’. We had to work together to bring a glass of water on a napkin. The napkin couldn’t be wet. The fastest group and had much water was the winner. We lost. Third was arranging puzzled words. We arranged 10 words, but group 11 arranged 11 words, so we lost. Fourth is sarong game. We had to pass it through our body without touched it. It’s difficult but we won. Fifth was tug of war. We lost. The members of group 11 had bigger body than us, hehe… Sixth was rearranging the map of Indonesia. We won. Seventh was whispering secret message. We won. Eighth was making a good sentence. We won. Ninth was pretending something to be what. We’re given a plastic bottle. We had to pretend it to be another thing, for example microscope, pillow, camera, etc. We won. The last game was demonstrating a term without saying it. WE WON!!! Horray… *plok plok

The next phase was interview. We’re asked many questions. They asked me general questions. Why I joined the program? What’s my goal? Which one I wanna choose, Canada or South Korea? Why? And blah blah blah.

The first test was closed by performing each group’s yelling.

They said that they would announce the participants who passed the first test in Facebook that night. I waited until late. Just about 80 participants passed the first test. And tadaaaaa….. I was the one of them :)v

Sunday, March 30, 2014. That day was the second day of the test. We’re really waiting for this time. The agendas were group dynamic and culture performance. I’d taken practice for my culture performance. I was going to perform a traditional dance from Tolakinese, one of the tribes in Southeast Sulawesi.

Based on our yesterday’s groups, we discussed about community development. We made a plan called My Darling Community (Komunitas Masyarakat Sadar Lingkungan). My friends chose me to represent our group’s project. I didn’t wanna do it at first, but they encouraged me. I did it. They said that I was good.

After group dynamic, the committee asked us to prepare ourselves for culture performance. Every participant got dressed and practiced. I change my custom. My friends said I was cute *ulalaa :D Titi (my friend) and I helped K’ Syari (also my friend) to practice our performance. K’ Syari didn’t know what she should perform. Titi and I suggested her to perform ‘musikalisasi puisi’. We’d be her backing vocal.

It’s time…

Among us, I got the first turn. I was very nervous. Although this was my second time to join this selection, but I was still shaky. K’ Syari said, “Nervous is natural, but it’s not me!” is it nice, isn’t it?

I went forward, introduced myself, and told a lil’ bit about my dance. The music sounds. I dance…….

*sigh

I did it. I was very happy, although I couldn’t finish it, because the time’s over. The next turn went to Titi, and K’ Syari was the last among us. Our ‘musikalisasi puisi’ sounds good. Everybody likes it :)

Yeah, that’s the second test. We closed that day by getting picture together.

I waited the announcement at night. I didn’t expect much. I didn’t know. I felt other participants were good. I couldn’t predict who’d pass the second test. Hey, this was the result. I couldn’t see my name. Why I felt my heart was broken up? Was I disappointed to myself?

But, wait! These were men’s name. Oh, hahahahaha :D the names of men and women were separated. Now, I found my name among women’s name :D

Monday, March 31, 2014. It was the day off. This was the last day of the test. We had to deliver a speech and get interviewed. There were 6 themes, such as education, economy, politic, tourism, health, and gender. We must take a lottery to see what theme we’re going to deliver as a speech in front of juries and other participants. I got tourism. I was very happy, not because it was easy. I thanked because it wasn’t economy, politic, or gender. If I got one of them, I was going to die. I didn’t know what to say. At least, I knew what to say when I got tourism. I just had 5 minutes to deliver my speech. It wasn’t satisfying. But it’s better than economy, politic, or gender, hehehe…

After that, we’re going to be interviewed (again). This was a kind of very deep interviewing. There were 4 aspects. I got the last turn. There’re 35 participants and I had to wait all of them :/

As I said before, there were 4 aspects. Current issue: they asked me about general election. General knowledge: they asked me about Pancasila. Motivation: they asked me about my motivation and private things. Moral and value: they asked about ‘oh… sorry, I forgot!’ I answered all of the questions well and clear. Good job :)b

We closed the last test by delivering our advices and impressions for the program, also taking picture together.

A few days later, there was a message from the committee. Beyond my prediction, they still need one more selection process. They wanna interview best 11, 6 men and 5 women. One of the women was me. I was very happy. I didn’t give much expectation at first, but now I have 100% confidence that I would pass the selection.

At the day, I prepared myself very well. Even, I predicted some questions that they possibly asked me.

Hufft… I didn’t feel nervous because I believe myself and I didn’t wanna disappoint all of the people who supported me. I felt like I wanna cry. I remembered my struggle to get my parents’ blessing. They forbade me to join the selection this year at first, but I really wanted to. It’s very difficult to convince them.

A week later, the announcement came out. Were you curious about the result? Me too.

I read the announcement carefully and slowly, very slowly. I just felt afraid that I couldn’t find my name.

Yeah, I couldn’t believe it. Mine was included. But not as the person who’ll go to Canada or South Korea. Again, I was a reserve and this time for South Korea.

Since then I learned one thing. Never trust yourselves 100%. Because you never know, may be other people trust their self 101%, 1% more than your trust. It’ll just hurt you.

But I don’t mind it. I’ll join the selection next year. This time I don’t wanna say that I’ll pass next year’s selection for sure. But I say, “I WILL PASS THE SELECTION FOR SURE. I DON’T CARE WHEN IT IS. BUT ONE DAY I WILL PASS IT AND GO ABROAD. I WILL!!”

Congratulation for you who are going to Malaysia, Australia, ASEAN-Japan, especially Canada and South Korea :) This time they’re yours, but next time they’re mine!!!

Minggu, 27 Oktober 2013

SAIL KOMODO 2013 (PART 2)

Posted by Nur Fadhilah at 7:29:00 PM 3 comments
Rabu, 4 September 2013. Sore itu kami tiba di Labuan Bajo. Kami tidak akan berlama-lama di salah satu kota kecil di Nusa Tenggara Timur ini. Pesiar diizinkan hingga maghrib nanti. Kami pun secara berombongan keluar dari kapal. Layaknya manusia yang haus akan daratan. Saya memilih untuk pesiar bersama kelompokku. Oh ya, saya sampai lupa memperkenalkan kelompok terhebat dalam Sail Komodo 2013 ini. Loh, mengapa hebat? Itu akan saya ceritakan nanti!!

Sudah saya sebutkan sebelumnya bahwa seluruh peserta LNRPB/KPN dibagi menjadi 15 kelompok kecil. Masing-masing kelompok dinamai dengan nama pulau/kabupaten yang ada di Indonesia. Nagekeo harus berbangga terpilih menjadi nama kelompok kami #eh, gak terbalik tuh? :3 Sekedar informasi, Nagekeo adalah nama salah satu kabupaten di Labuan Bajo. Kelompok kami terdiri dari 19 orang. Ada Kak Nawir (ketua), Kak Lutfi, Kak Afnan, Kak Rury, Kak Seto, Kak Saha, Kak Ichsan, Kak Wahyu, Kak Dio, Kak Charlie, Jean, Efrem, Enmo, Kak Lily, Kak Etna, Kak Yulis, Kak Dijah, Kak Irfa, dan saya tentunya.


Kami memutuskan untuk pesiar bersama-sama. Sayangnya, kami dilarang untuk pesiar ke luar daerah pelabuhan. Jadilah kami hanya berkeliling-keliling pelabuhan. Pertama-tama, kami membeli kebutuhan pokok di salah dua kios yang ada di pintu masuk pelabuhan. Wah… Alhamdulillah yah, ada rezeki nomplok di sore hari. Bisa ngebayangin gak, dua kios ukuran sedang diserbu ratusan penumpang KRI Makassar 590. Hebat kan??

Air mineral? Sudah. Biskuit? Sudah. Roti? Sudah. Wafer? Sudah. Susu? Sudah. Wah… belanjaanku kok makanan semua ya? Hahaha…. Teman-teman yang lain belanjaannya sabun mandi, deterjen, pulsa, sikat gigi, saya makanan semua. Hehe… maklum, di kapal dengan suhu AC di atas rata-rata, membuat perut cepat keroncongan. Apalagi kondisi kapal yang tidak stabil, kadang miring ke kiri, kanan, depan, belakang, makan adalah satu-satunya cara untuk mencegah mabuk laut!!

Setelah belanja, dalam perjalanan kembali ke kapal, kami terpukau melihat mas penjual bakso. Bukan karena dia ganteng, melainkan karena sebuah gerobak bakso yang ada di sampingnya *ya iyyalaaahhh (tepuk jidat masing-masing!). Seketika, keinginan makan bakso membuncah di hati kami. Sudah berapa lama ya gak pernah makan bakso? Lebay deh, baru seminggu lebih perjalanan juga…

Setelah berunding sejenak, sang ketua, Kak Nawir, akhirnya mengetuk palu bahwa kami Kelompok Nagekeo akan makan bakso dahulu sebelum kembali ke kapal. Tidak lama kemudian, bakso-bakso yang kami harapkan pun datang. Setelah diseruput kuahnya, dikunyah baksonya, diresapi mienya, oh…. gini toh rasa bakso. Enak yah? Hahaha… Sumpah, setelah beberapa tahun berlalu, ini pertama kalinya lagi saya makan bakso gerobak di pinggir jalan. Selama ini kan selalu makan bakso di kawasan elit, hehe… tapi rasanya enak kok (y)

Pelan tapi pasti, satu per satu mangkuk bakso ludes isinya. Wah, gak ada air minum nih. Kami pun melirik mas penjual es teler yang nongkrong di samping mas tukang bakso. Slurp… enak juga tuh! Berapa lama ya nggak pernah makan es teler? *lebay lagi deh! Kami pun memesan bergelas-gelas es teler. Alhamdulillah…. Nikmatnya semangkuk bakso ditemani segelas es teler gak ketulungan dah!!!

Setelah kenyang plus segar, kami pun berencana kembali ke kapal. Tapi tiba-tiba beberapa teman-teman kelompok yang sudah jalan duluan memanggil kami.

“Ada apa? Ada apa?”

“Bapaknya Efrem datang!”

Wah… senangnya dijenguk orang tua. Efrem memang beruntung. Dia berasal dari Labuan Bajo. Tidak heran ketika kapal merapat di pelabuhan, orang tuanya langsung datang berkunjung. Kami sangat senang. Kedatangan sang bapak sudah kami anggap mewakili orang tua kami. Ah… jadi rindu dengan orang tua di Kendari. Tak lupa kami melakukan sesi foto bersama. Setelah bapak Efrem pulang, kami pun masih sibuk wara-wiri jeprat-jepret di sekitar kapal hingga kami dipanggil naik kembali ke kapal untuk melaksanakan ibadah Shalat Maghrib.


Malamnya, kapal pun bertolak menuju Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Perjalanannya memakan waktu 2 hari. Hah… halo ombak *mual, huekkk.

Jumat, 6 September 2013. Tadaa… Kupang… setelah berputar-putar di laut selama berjam-jam, akhirnya KRI Makassar 590 sandari di Lantamal AL Kupang. Waktu menunjukkan pukul setengah dua waktu setempat, tapi matahari rasanya tepat pukul 12 siang. Panaaasss!!! Kata teman-teman NTT, inilah alasan mengapa kulit mereka coklat. Pantasan, suhu NTT sedemikian panasnya. Topi dan kacamata riben menjadi persenjataan wajib kami. Di sini, kacamata bukan lagi ajang untuk bergaya, melainkan suatu kebutuhan primer, hehe…


Setelah melalui serangkaian upacara ucapan selamat datang, berupa pengalungan selendang khas NTT dan topi ti’ilangga kepada komandan KRI Makassar 590, komandan satuan tugas, wakil komandan satuan tugas, dan beberapa perwakilan peserta, kami pun bergegas menuju bus kelurahan masing-masing. Oh ya, sebelumnya kami telah dibagi menjadi 3 kelompok besar. Karena kami hendak melaksanakan kegiatan home stay di Kupang, kami pun dibagi menjadi 3 kelurahan yang dengan repot-repot bersedia menampung kami selama 2 hari 3 malam (seharusnya 3 hari 3 malam, tapi karena keterlambatan kapal sandar di dermaga, maka waktunya dipotong, hiks). Kelompok-kelompoknya adalah kelompok Kelurahan Air Nona, Manutapen, dan Bakunasen. Kelompok 1 – 5 masuk dalam kelompok pertama, 6 – 10 masuk dalam kelompok kedua, dan 11 – 15 masuk dalam kelompok ketiga. Perasaan hal ini sudah kujelaskan di part pertama deh *mikir lemot*

Pertama-tama, bus yang diiringi penjagaan ketat polisi mengantarkan kami ke kantor gubernur Kupang. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan menuju pusat kota, di sebelah kiri kami hanya melihat laut biru yang membentang luas dan di sebelah kanan tanah kering, batu karang, dan pepohonan tanpa daun. Selain Kota Kasih, Kupang juga terkenal dengan nama Kota Karang. Itulah mengapa batu-batu karang sangat mendominasi pemandangan di Kupang, di mana pun kita berada. Waktu hampir menunjukkan pukul 3 lewat, tetapi teriknya matahari layaknya pukul 1 siang. Benar-benar menyengat, ditambah lagi penumpang yang berdesak-desakan di bus (berhubung bus yang disediakan tidak sebanyak bus di Bali).

Hampir pukul setengah 4, kami tiba di kantor gubernur Kupang. Setelah melalui upacara penyambutan dari gubernur Kupang, kami lalu menari Tari Ja’I dan Gemu Fa Mi Re secara massal. Dua tarian itu adalah tarian khas NTT yang sukses kami pelajari selama perjalanan dari Bali ke Kupang di bawah bimbingan langsung para delegasi dari NTT. Tariannya sangat mudah dan sederhana. Sekali melihat pasti langsung bisa. Yang paling menarik adalah musiknya. Entah kenapa, setiap mendengar musik tari-tarian ini, badan rasanya sudah terhipnotis dan spontan bergerak mengikuti irama, hehe…


Maghrib. Kali ini kami akhirnya menuju kelurahan masing-masing. 3 bus mengantar kami Kelurahan Air Nona. Kasihan mereka di sana. Mereka sudah menunggu kami sejak pukul 4 sore tadi, tapi kami baru tiba 2 jam kemudian. Ketika iring-iringan bus sudah memasuki kawasan kantor kelurahan, terlihat sebuah tenda biru besar didirikan untuk menyambut kedatangan kami (bukan tenda kawinan loh!), lengkap dengan berbagai kue-kue ringan buah tangan ibu-ibu setempat. Mereka menyambut kami yang baru turun dari bus dengan kulit lengket, bau, dan wajah berminyak + capeknya minta ampun, dengan sorakan meriah. Mereka ternyata merindukan anak-anak antah-berantah ini untuk dijadikan anak angkat :D

Kami pun disilakan duduk dan menikmati hidangan. Ada pisang rebus dan ubi goreng (kalau gak salah). Setelah itu, nama-nama orang tua angkat beserta para peserta yang akan menjadi anak angkat mereka pun dibacakan. Deg-degan juga menunggu namaku tak kunjung dibacakan. Atau jangan-jangan tak ada yang bersedia menjadi orang tua angkatku??? Huaaa jangan… beta juga butuh mama di sini!!! Tapi akhirnya, namaku muncul juga. Walaupun sempat ada sedikit masalah sebelumnya terkait jenis kelamin yang salah tulis, saya pun bertukar posisi dengan peserta lain. Resmilah diriku menjadi anak angkat dari Mama Naura, sang ibu ketua RT 012 Kelurahan Air Nona, bersama 2 orang lainnya, Kak Ni Loeh (Bali) dan Aulia (Kalimantan Timur).

Kami pulang ke rumah mama diantar anak mama menggunakan motor satu per satu. Sesampainya di rumah, kami memperkenalkan diri masing-masing. Setelah bercakap-cakap, kami pun tahu, bahwa suami mama sudah lama meninggal. Mama dulu pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan matanya menjadi rabun. Mama memiliki anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Salah satunya Mama Dina. Kami juga memanggilnya mama, karena kami tinggal bersama dia. Mama tinggal di rumah sebelah bersama Kakak Aten dan dan Kakak Andre, anak laki-lakinya. Keluarga mama sangat hangat dan baik. Serasa keluarga sendiri.

Sayangnya, di sela-sela perbincangan kami dalam rangka saling mengenal lebih jauh, tiba-tiba… aduh, perutku kok mendadak sakit ya? Tadi makan apa sih? Cuma kue doang. Sekarang malah lagi makan biskuit dan minum teh. Apa yang salah? Rasanya tuh sakiiiitttt banget! Saya pun mohon undur diri ke belakang. Tapi… ini bukan sakit perut biasa deh. Saya sudah 2 kali keluar masuk kamar mandi sebelum akhirnya dipanggil makan malam oleh mama. Jujur, makanan gak bisa masuk. Saya hanya makan 3 suap saja. Setelah itu kembali masuk kamar mandi. Saat itulah mama tahu kalau saya kurang enak badan. Asumsi kami, mungkin saya masuk angin. Maka mama membantu mengoleskan minyak kayu putih di perut. Mama menyuruh saya untuk tidur lebih awal.

Tengah malam. Saya tidak tahu pasti saat itu jam berapa. Perutku rasanya mual. Dengan cepat saya berlari ke kamar mandi. Hueekk!! Keluar semua lah beban di perut. Setelah muntah 2 kali, badan rasanya mulai enakan. Keesokan harinya, setelah berkonsultasi dengan dokter, barulah saya tahu kalau saya terkena diare. Parahnya, bukan hanya saya yang terkena penyakit ini. Banyak peserta lain yang juga mengeluhkan hal serupa. Hah… diare ini merusak malam pertamaku di rumah mama :(

Sabtu, 7 September 2013. Hari kedua kami di Kupang. Bangun pagi, roti tawar dan 3 gelas teh panas sudah tersedia di meja. Wah… di kapal mana ada ginian? Namun, berhubung perutku masih rada-rada nggak enak, setelah meminum teh, saya izin berbaring sebentar di kamar. Pukul 8 kami sudah berkumpul di depan kantor lurah Kelurahan Air Nona untuk melaksanakan kegiatan bakti sosial. Dalam satu kelompok, kami mendapat tugas yang berbeda-beda. Saya dan beberapa teman kebagian memberisihkan lingkungan sekitar kantor lurah, termasuk Kolam Air Nona. Sementara teman-teman yang lainnya kebagian mengajar di sekolah dasar yang berada tidak jauh dari kantor lurah.

Oh ya, saya belum bercerita mengenai mengapa diberi nama Kelurahan Air Nona, ya? Ternyata ada hal mistis di balik nama Air Nona. Penasaran? Nih ceritanya…


Jadi, kelurahan ini terkenal dengan kolam yang lumayan besar tepat di depan kantor lurah. Sebagian kecil kolam ini ditutupi dengan bunga teratai. Air di kolam ini sangat dingin dan sejuk. Tak heran, banyak anak-anak yang sering mandi di kolam ini. Kolam ini bersumber dari mata air yang terletak di dasar kolam. Menurut mitos yang beredar, kolam ini telah ada sebelum penduduk tinggal di daerah itu. Katanya, dulu banyak bidadari yang suka mandi di kolam itu. Lalu tak sengaja seorang lelaki terpikat dengan salah seorang bidadari dan menyembunyikan selendangnya. Dialah Jaka Tarub! *eits, ngarang euy! Pemirsa, maaf yee… bagian Jaka Tarub itu bohongan, hehe… Tapi ada satu hal yang sangat menarik perhatianku. Di salah satu sisi kolam tersebut, tumbuh pohon yang sangat besar. Terdapat lubang besar di tengah pohon tersebut. Tebak ada apa di dalamnya! Ada sebuah patung yang lumayan besar. Hiiiii…


Untungnya kegiatan cepat berakhir. Sorenya, saya, Kak Ni Loeh, dan Aulia diajak jalan-jalan keliling Kota Kupang oleh keluarga mama. Pertama, kami menuju pantai. Rencananya mau melihat sunset. Tapi telat. Ketika sampai di pantai, mataharinya sudah keburu terbenam… hiks…

Tapi nggak apa-apa. Kami tetap menikmati suasana pantai. Langit senja yang kemerah-merahan, penjual jagung bakar, muda-mudi yang berpacaran, pohon lontar yang berjejeran, dan babi yang berlarian. WHAT??! Babi yang berlarian? Hei hei… slow bebs… di Kupang, mengembalakan babi di pantai itu hal biasa. Huft! Kaget aja tiba-tiba ngelihat babi besar berlarian di depan mata. Seumur hidup, barusan ngelihat babi secara langsung, eksklusif dengan jarak sedekat itu lagi! Wow!


Setelah itu, kami diajak keliling kota lagi. Salah satunya ke Universitas Nusa Cendana. Universitas ini adalah universitas terbesar di Kupang. Cocok deh dikatain besar, secara kawasannya aja luas banget! Keren deh pokoknya. Walaupun sudah malam, kami bebas mengelilingi universitas ini. Soalnya si supir, Kak Aten, adalah salah satu staf di universitas ini. Jadi urusan nego dengan satpam, itu urusan kecil mah…

Kemudian kami diajak melihat-lihat Bandara El Tari. Sebelum pulang, kami singgah di salah satu pusat oleh-oleh Kupang. Sukiran Santoso namanya. Di sana, kami membeli beberapa makanan khas Kupang. Karena mama memberi tahu di pemilik toko bahwa kami adalah peserta Sail Komodo, maka si pemilik dengan senang hati memberikan kami perlakuan khusus. Wah… senangnya…

Minggu, 8 September 2013. Hari ini jadwal kami padat sekali. Pukul 7.30 kami sudah harus berkumpul di depan kantor lurah. Kami akan berkunjung ke Pantai Lasiana. Pukul 5, kami berkumpul lagi. Kali ini kami harus ke Gong Perdamaian untuk menghadiri acara perpisahan kami dengan masyarakat Kupang. Acaranya berupa pentas seni, baik dari kami maupun perwakilan masyarakat Kupang. Acaranya ditutup dengan sesi berfoto bersama dan menari Ja’i serta Gemu Fa Mi Re massal bersama seluruh penonton.



Sebenarnya hari ini adalah hari ulang tahun salah seorang kakak angkatku, Kak Aten. Karena kami sangat sibuk, kami tidak bisa merayakan ulang tahunnya bersama-sama. Padahal kami sudah berjanji untuk membakar ayam bersama-sama. Nyatanya, kami baru tiba di rumah pukul 11 malam lewat. Yang ada, kami hanya mengucapkan selamat ulang tahun ala kadarnya kepada Kak Aten. Kabar baiknya, mama sudah menyimpankan kami sepotong ayam bakar besar. Sluurpp, sedaaapp (y)

Senin, 9 September 2013. Pagi yang menyesakkan. Meskipun semalam begadang hingga pukul 2 pagi demi menebus ketidakhadiran kami pada sesi acara bakar-bakar ayam, pagi ini sepertinya masih belum cukup. Sedih menghadapi kenyataan harus kembali lagi ke kapal dan meninggalkan keluarga mama. Walau hanya sebentar, tapi semua rasa rindu kami pada keluarga masing-masing seakan terobati dengan kehadiran keluarga mama. Kapan lagi ya saya bisa mengunjungi keluarga mama. Mama Naura mengantar kami hingga ke kantor lurah. Beliau bahkan menangis melepas kepergian kami bertiga. Tak lupa kami memakai syal tenunan khas NTT pemberian mama semalam. Miss you Ma… *hug and kiss :*


Sebelum kembali ke kapal, kami diajak pesiar kota dulu oleh panitia. Pertama, kami diajak mengunjungi museum Kupang. Setelah itu, kami mengunjungi pasar. Kurang tahu juga sih namanya pasar apa, yang pasti tempat yang sangat cocok untuk belanja oleh-oleh khas Kupang. Siang menjelang sore, kami baru kembali ke kapal dan siap menuju Pulau Komodo!!!!


Rabu, 11 September 2013. Here we are… jeng jeng jeng… Komodo National Park, Komodo Island *lalala yeyeye* huft, deg-degan juga sih mau bertemu dengan saudara tua, hehe… so, inilah tujuan utama kami. Sepanjang perjalanan ke pulau ini, satu hal yang selalu terpikirkan olehku. Komodo itu bentuknya gimana ya? Yaa… kalau lihat fotonya sih sudah pernah. Tapi wujud aslinya itu loh, kira-kira gimana? Yang pastinya komodo pasti nyeremin. Soalnya dia tuh salah satu reptil berdarah dingin plus karnivora. Yang namanya karnivora itu kan apa aja dimakan, hiii… komodo, diriku ini hanya tulang-belulang yang penuh dosa, jangan dimakan yaaa!!!

Sebelum melihat komodo, kami harus mendengar wejangan dari pengurus Taman Nasional Komodo. Katanya, kita harus berhati-hati dan mengikuti perkataan rangers. Bukan Power Rangers loh, rangers itu tour guide para pengunjung selama berada di kawasan taman nasional ini. Terkhusus perempuan yang sedang datang bulan, sebenarnya mereka tidak diperkenankan untuk melihat komodo. Secara, penciuman komodo tuh kan tajam banget. Bau darah akan tercium dengan mudahnya. Namun, ada kebijaksanaan khusus. Mereka boleh melihat komodo tapi dari jarak yang cukup jauh, serta selalu berada dalam pengawasan rangers. Pernah kejadian loh pemirsa. Saking penasarannya dengan wujud komodo, seorang turis wanita yang sedang berhalangan terpaksa berbohong. Ia tidak mengakui dirinya yang sedang berhalangan. Akibatnya, dia dikejar komodo, hihihi… Alhamdulillah, insiden itu tidak sampai menelan korban.

Lagi-lagi kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok ditemani seorang ranger. Layaknya seorang guide, si ranger banyak bercerita tentang Pulau Komodo dan si komodonya. Pulau Komodo hanya dihuni oleh komodo. No human! Hanya beberapa penjaga taman nasional saja yang selalu berjaga-jaga tiap malam untuk menghindari terjadinya hunting komodo. Pulau ini luasnya ±30.000 are. Luas banget kan?? Populasi komodonya sekitar 100 ekor. Setiap tahunnya, jumlah komodo tidak menunjukkan peningkatan yang tajam. Pasalnya, karena mereka karnivora, mereka juga memakan sesama mereka. Jangankan sesamanya, anak sendiri pun terkadang di makan. Makanya, setiap selesai musim kawin, telur-telur para komodo disimpan di atas pohon. Mereka akan menetas dan berkembang biak di atas pohon selama ±4 tahun hingga tubuh mereka cukup besar untuk menghadapi komodo-komodo lain.

Setelah berjalan cukup jauh, tibalah kami di sebuh kawasan yang kebetulan ada beberapa komodo nongkrong di situ. Kelompok-kelompok lain juga sedang berkumpul di tempat itu. Semakin mendekat… semakin mendekat… oalah… ini toh yang namanya komodo? Wuiiihh… ckckckck… ngeri juga ya. Badan mereka besar dan panjang. Ini nih namanya kadal versi gede. Bedanya, kulit komodo lebih kasar. Mereka bergerak lambat (sewaktu-waktu bisa sangat cepat) dan selalu menjulurkan lidahnya seperti ular. Bentuk lidahnya juga sama dengan ular, bercabang dua di ujungnya. Mau tahu gak gimana suara komodo? ‘Mmmmmmm…….’ Gitu, cius deh gak boong! Kalau denger langsung bisa merinding seluruh badan. Jarak kami dengan mereka cukup dekat. Rangers selalu mengawasi kami apabila jarak kami terlalu dekat dengan komodo. Kami juga dilarang terlalu banyak gerak dan bergerak dengan tiba-tiba. Komodo adalah hewan yang sangat sensitif. Sedikit saja ada hal yang mengganggunya, mereka akan menyerang.


Sedikit kecewa sih, pasalnya kami hanya melihat 4 ekor komodo. Katanya yang lainnya tersebar di seluruh pulau. Bisa jadi mereka melihat kita, tapi kita tidak melihat mereka. Kebanyakan bersembunyi di hutan. Kabar baiknya, kedatangan kami bertepatan dengan musim kawin. Dari 4 komodo tadi, ada sepasang komodo yang sedang melakukan pedekate, ah… gak usah diceritain deh, hahahaha… oh ya, readers tahu nggak perbedaan komodo jantan dan betina? Kepala komodo betina relatif lebih kecil dibanding komodo jantan. Mudah kan?

Puas melihat komodo, kami akhirnya kembali ke kapal. Kini, kapal bersiap kembali ke Labuan Bajo untuk persiapan puncak acara Sail Komodo 2013 bersama bapak presiden. Waktu tempuh Pulau Komodo ke Labuan Bajo hanya sekitar 4 jam. Tapi kami tidak bisa merapat ke dermaga. Pelabuhan harus disterilkan sebagai persiapan kedatangan bapak presiden. KRI Makassar 590 beserta kapal-kapal perang lainnya hanya menambatkan jangkarnya di tenghn laut, tak jauh dari dermaga. Kalau mau ke darat, kami harus menaiki kapal kecil terlebih dahulu.

Hingga tanggal 13 September 2013, kebanyakan aktivitas kami lakukan di kapal. Kami menerima banyak sekali kunjungan dari para menteri. Hari Kamis malam kami mendapat kunjungan dari Bapak Roy Suryo beserta ibu diikuti 9 menteri lainnya beserta rombongannya masing-masing. Sedangkan keesokan malamnya, kami menerima kunjungan dari menteri pertahanan beserta rombongan. Bangga juga sih akhirnya bisa bertemu dengan para petinggi negara.

Dalam rangka puncak acara tanggal 14 September nanti, akan dipilih 50 pasangan dari berbagai daerah untuk menyambut presiden menggunakan pakaian adat masing-masing daerah. Sulawesi Tenggara akan diwakili Kak Sinta dan Iha. Namun tiba-tiba…

“Dek, kamu saja ya yang pakai baju adat?” pinta Kak Sinta.

WHAT??? Memang Kak Sinta kenapa?”

“Malas saja. Pakaiannya ribet!”

Huaaa… serasa mau nangis. Saya kan tidak ada persiapa apa-apa. Harus diakui, pakaian adat Buton memang sangat ribet. Akhirnya, mau tidak mau, tanggal 14 nanti, pakaian aneh itu harus aku kenakan!

Sabtu, 14 September 2013. Demi bapak presiden, diriku rela mandi pagi pukul setengah 3 dini hari. Bayangkan, setengah 3! Rekor mandi tercepatku seumur hidup. Pukul 6 pagi kami sudah harus bergerak menuju dermaga. Untung ada air hangat. Nggak kebayang kalau harus mandi sepagi itu menggunakan air dingin. Brrrrr!! Setelah itu harus ngantri di-make up-in sama Kak Etna. OMG! Banyak sekali insiden pagi itu demi menyambut bapak presiden. Akhirnya hingga saat ini, setiap melihat Pak SBY di TV atau fotonya di koran, pasti teringat tanggal 14 September 2013. Weleh weleh…

Ini dia momen yang paling ditunggu-tunggu. Berdiri di sepanjang sisi karpet merah untuk menyambut bapak presiden dan rombongan. Yang namanya karpet merah yang akan dilewati presiden itu: 1) tidak boleh diinjak, dalam arti hanya bapak presiden beserta rombongan yang boleh menginjaknya; 2) kalau terpaksa harus diinjak harus melepas sepatu/sandal terlebih dahulu; 3) karena terdapat banyak daun-daun pohon yang berguguran, juga debu yang beterbangan, makan tukang sapu akan selalu siap sedia untuk menyapu si karpet merah; 4) karpet merah akan selalu disapu paling tidak tiap 5 menit sekali. WOW kann??

Karena tidak boleh diinjak, kami harus mengambil jalan memutar sehingga bisa menyeberangi karpet merah dengan lebar ± semeter. Di bawah teriknya matahari di Pantai Pede, Labuan Bajo, 50 pasangan putra-putri daerah berbaris rapi di sisi kiri dan kanan karpet. Panasnya yang menyengat, walaupun mampu melunturkan make-up jam jam 3 pagi kami, itu semua terbayarkan ketika Pak SBY, Ibu Ani, dan para rombongan menteri lewat dan menyapa kami. Mereka melambaikan tangan dan bertanya, “Apa kabar?”. Kami tersenyum seraya melambai-lambaikan bendera merah putih di tangan kami. Akhirnya diriku bisa melihat pak presiden secara langsung dengan jarak kurang dari 1 meter.


Senin, 16 September 2013. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, kami kembali berlabuh di Bali. Selain untuk mengisi bahan bakar dan logistik, tentunya juga untuk memuaskan hasrat belanja kami. Hehe… mumpung udah mau nyampe Jakarta nih, uang juga masih lumayan banyak, kenapa tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya? :D

Jadwal hari ini adalah kegiatan snorkeling dan diving. Tapi kami boleh memilih kok, mau pilih snorkeling dan diving atau shopping. Karena nggak bisa berenang, saya pun memilih untuk shopping. Bersama Muti, teman dari Bandung, kami berjalan-jalan di Pantai Sanur (lagi). Sementara teman-teman yang memilih snorkeling dan diving berkumpul di Pantai Kuta. Ada juga teman-teman yang nekat naik bus dan taksi ke Pasar Sukowati. Sebelum pulang, saya dan Muti membeli sate ikan di pinggiran pantai untuk dibawa pulang ke kapal. Kan bosan juga tuh sama menu kapal sehari-hari, hehe… tapi jangan tersinggung loh! Menu KRI Makassar 590 paling wenak tenan (y)

Keesokan paginya, kami boleh pesiar kota lagi. Kali ini kami diantar ke pusat oleh-oleh Bali, Krisna, menggunakan bus. Setelah itu, kami dibebaskan mau pesiar ke mana, asal harus kembali ke kapal paling lambat pukul 13.00. Saya dan beberapa teman lain sepakat untuk menyewa mobil angkutan. Kami memilih untuk pesiar ke Pantai Kuta saja. Rasanya lucu aja, sudah pernah ke Bali tapi belum pernah ke Pantai Kuta. Hahaha…

Yaaa… kalian pasti taulah pemandangan menarik apa yang ada di sana. Bule dengan pakaian renang ala-ala mereka, hehe… gak usah dijelasin deh!! Tak ketinggalan juga bule yang asyik main surfing. Bisa dibilang lumayan keren lah… gak keren-keren amat kok!! Tapi yang paling indah di Pantai Kuta itu adalah ombaknya. Deburan ombak yang sahut-menyahut terus terngiang-ngiang di telinga. Bahkan menulis cerita ini pun masih bisa terbayang pemandangan saat itu *gak lebay loh yaa.



Sorenya, kapal siap untuk angkat jangkar dan kembali mengarungi lautan yang ganas menuju Jakarta. Tak terasa, Sail Komodo 2013 akan berakhir!

Kamis, 19 September 2013. Hari ini akan menjadi salah satu hari paling tak terlupakan dalam hari-hariku di Sail Komodo 2013. Kalian tahu MOS? Ospek? Itulah yang kami alami hari ini. Tidak beda-beda jauh alias MIRIP!!! Bedanya, kalau di sekolah dan universitas, kegiatan ini dilakukan sebelum kegiatan belajar mengajar resmi dimulai. Nah, kalau di KRI Makassar 590, kegiatan ini dilakukan sehari sebelum kepulangan kami ke daerah masing-masing.

Pada awalnya kami memang sudah tahu akan adanya kegiatan ini. Pada kegiatan sail sebelumnya, kegiatan ini dikenal dengan sebutan Mandi Khatulistiwa, karena pada saat itu, kapal yang digunakan melewati garis Khatulistiwa saat akan kembali ke Jakarta. Tapi tahun ini beda. Namanya berganti menjadi Mandi Nusantara, karena tak melewati garis Khatulistiwa. Kami memang sudah curiga bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan hari ini. Soalnya hari ini kami kebanyakan free, gak ada aktivitas berat sejak tanggal 18 September. Tepat setelah pentas seni kelompok selesai pukul 10 malam, tidak seperti biasanya, panitia menyuruh kami untuk langsung tidur dan tidak boleh keluar kamar. Memang setiap malamnya selalu ada peringatan seperti itu, tapi peringatan malam ini terdengar ganjil di telinga kami.

Beberapa menit setelah memasuki kamar, sedang asyik-asyiknya berganti pakaian sambil menggosip bareng teman-teman sekamar, tiba-tiba lampu padam. Lah, kan sebelumnya lampu di kapal nggak pernah padam, kok tiba-tiba gini? Lalu, terdengar suara orang tertawa dari radio. Karena posisi tempat tidurku yang sangat dekat dengan radio, otomatis saya takut dong. Dengan suaranya yang berat dan menakutkan, orang itu tertawa dan berkata bahwa ia adalah Dewa Neptunus. Katanya, saat ini kami berlayar di Laut Jawa. Dia pun menjadi sangat marah. Katanya dia akan menghukum kami semua. Kami disuruh mengenakan pakaian terjelek dan terbau yang kami punya. Lampu pun menyala kembali.

Sebenarnya sih lucu, tapi karena efek-efek petir dan suaranya yang seperti suara hantu di film-film horror, hal itu membuat kami sedikit bergidik. Maka dengan cepat kami berganti pakaian dan tidur bersama-sama di lantai. Tak ada yang berani tidur di tempat tidur. Kami bahkan tidak sempat ke kamar mandi sebelum tidur. Wajah bekas make-up juga tidak dibersihkan. Kami juga sepakat untuk tidak tidur semalaman untuk berjaga-jaga. Pintu kami kunci dari dalam. Untuk menghilangkan rasa ngantuk dan tegang, kami memilih untuk ngemil. Tak lupa kami menyiapkan alat perang. Karena mendengar isu bahwa nantinya kami akan dimandikan oli, jadi kami mengoleskan sampo di rambut kami agar tidak melengket. Untuk yang berkerudung, sebelum memakai kerudung, terlebih dahulu kami memakai kantung plastik sebagai topi. Kini kami siap kapan pun itu!!

Jam demi jam berlalu. Dari 32 orang penghuni kamar, sisa 3 orang yang terjaga, yaitu saya, Kak Susan, dan Bu Citra. Kami sepakat, kalau kegiatannya belum dimulai hingga pukul 3, maka kami akan tidur. Dan ternyata benar saja, kami ketiduran. Saya pun berbaring di lantai.

.
.
.

Tidak tahu hal apa yang membuatku terjaga. Pokoknya tepat ketika saya membuka mata, lampu sudah kembali padam. Seketika itu juga saya membangunkan teman-teman yang lain. Akhirnya dimulai juga. Tiba-tiba pintu yang sudah kami kunci dari dalam terbuka dengan sendirinya. Orang-orang di luar kamar berteriak menyuruh kami untuk keluar kamar. Kami pun dengan sigap bergandengan tangan. Pokoknya tak ada yang boleh lepas. Keadaan di luar sangat gelap. Para awak kapal menyuruh kami berjalan lebih cepat. Mereka hanya menerangi kami dengan senter di tangan mereka. Suara Dewa Neptunus kembali terdengar, menambah panik keadaan. Kami dituntun menuju Heli Deck. Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan pocong dan hantu-hantu mengerikan lainnya. Tentu saja mereka palsu. Kami tahu itu! Tapi tetap saja ada yang menangis karena melihat tampang mengerikan hantu-hantu itu. Hahaha…

Ternyata benar dugaan kami! Wajah kami diolesi oli oleh para pengawal Dewa Neptunus. Kami lalu disuruh berbaris untuk bersalaman dengan sang dewa beserta ratu. Kemudian kami disuruh meminum air. Tentu saja bukan sembarang air. Kalau disuruh memilih, mending saya disuruh minum obat tablet yang dicairkan atau jamu pahit, disbanding meminum air itu. Rasanya tidak karuan. Tapi harus dihabiskan. Kalau tidak, maka akan disuruh meminum dua gelas. Lalu kami disuruh memasuki kolam. Itulah kolam oli. Teksturnya yang pekat, lengket, dan licin, membuat kami jijik. Tapi mau di apa. Terima saja lah…

Terakhir kami disiram dengan air laut. Asal readers tahu saja, waktu itu belum subuh, dan kami sudah basah-basahan seperti ini. Terbayang nggak dinginnya gimana? Saya hanya duduk berjongkok. Badan gemetar hebat dan gemeretak gigi yang tak mampu kusembunyikan. Benar-benar dingin! Setelah beberapa saat kemudian, akhirnya upacara ini berakhir juga. Kami dipersilakan untuk membersihkan diri.


Karena begadang, setelah Shalat Subuh saya tertidur. Ketika bangun, kami pun bersih-bersih kapal. Bekas oli masih terlihat di dinding dan di lantai. Setelah semua bersih, kami pun mulai mem-packing barang-barang kami. Besok pagi kita akan tiba di Jakarta. Nikmatilah malam ini. Ini adalah malam kami terakhir di KRI Makassar 590. Malam ramah tamah peserta LNRPB/KPN Sail Komodo 2013.


Jumat, 20 September 2013. Finally, it’s over. We are here, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Saat melaksanakan upacara perpisahan. Ya, begini lah kami berpisah. Pembagian sertifikat, lencana, foto bersama, peluk-pelukan, namun kali ini tanpa air mata, melainkan dengan senyum gembira. Nangisnya sudah semalam, ketika malam ramah tamah berakhir.


Baru 3 minggu meninggalkan Kendari, namun rasanya sudah sangat lama. Kali ini Sail Komodo 2013 benar-benar berakhir, sudah berakhir. Senang bertemu kalian, wahai teman-temanku se-Nusantara. Mari kita berjumpa di lain waktu.


Oh ya, hampir lupa. Di awal saya sempat bilang kalau kelompok Nagekeo adalah kelompok terhebat. Pertengahan Januari 2014 nanti Insya Allah kami akan melaksanakan kegiatan amal di Pulau Nasi, Aceh. Kegiatan ini bukan sembarang kegiatan. Kegiatan ini sudah disetujui. Kami akan mendirikan rumah baca, membantu masyarakat di sana, dan memberiikan bantuan beasiswa kepada anak-anak berprestasi. Mohon doanya agar kegiatan kami nantinya berjalan sesuai harapan.

Jangan lupa, visit Southeast Sulawesi! (numpang promosi :D)

SALAM SAIL KOMODO 2013, see you in Sail Raja Ampat 2014!! ;)

 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review