Kamis, 3 September 2015
Alhamdulillah, sudah beberapa kali kaki ini menginjak Bandara Soekarno-Hatta, namun baru sekali ini mengantri di depan loket penerbangan internasional. Itu pun di antara 78 pemuda-pemudi seantero nusantara, ditambah 22 pendamping dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Kalau penerbangan domestik hanya perlu menunjukkan KTP, kini paspor pun harus ikut ditunjukkan. Subhanallah, inilah gerbang meraih salah satu impian besarku. Luar negeri.
Setelah 4 jam duduk di kursi pesawat, tibalah kami di bandara Hong Kong. Rasanya aneh dilihati orang-orang bermata sipit lantaran kami mengenakan kaus yang sama bertuliskan ‘Indonesia – China Youth Exchange Program 2015’, beserta segala perlengkapan kami. Aku sebagai bagian dari tim logistik, harus bersusah payah menenteng cenderamata dari Kemenpora untuk diberikan pada petinggi Tiongkok nantinya. Tapi perjalanan kami masih 4 jam lagi sebelum menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Tiongkok, Beijing.
Kami seperti burung yang dikurung dalam sangkar berhari-hari lalu dilepaskan. Begitu kami tiba di bandara Beijing, kami berhamburan untuk mengabadikan momen luar biasa ini. Bandara ini luar biasa. Ada kereta dalam bandara. Kami naik saja tanpa tahu ke mana kami nantinya. Ternyata kereta itu mengantarkan kami ke tempat pengambilan bagasi. Luar biasa!
Mana Koperku??
Suasana berubah panik ketika satu delegasi dari Bangka Belitung tidak dapat menemukan kopernya. Youth Leader (orang yang kami percaya sebagai seksi sibuk) dan ketua rombongan dari Kemenpora ikut-ikutan panik mencari koper. Delegasi lainnya tetap berbaris dan harus tenang. Jangan sampai ada yang ikut-ikutan hilang. Setelah menghubungi petugas bandara, koper Kak Fera (delegasi Babel) kemungkinan tertinggal di Hong Kong. Kopernya nanti akan diantarkan ke hotel tempat kami menginap setelah 2 – 3 hari. Karena musibah ini, delegasi cewek saling gotong royong membantu Kak Fera, seperti meminjamkan baju, dan lain-lain. Untung Kak Fera wanita kuat dan tabah, hehehe…
Setelah menunggu beberapa saat, jemputan kami datang juga. Panitia dari All-China Youth Federation (ACYF) segera menghampiri dan berbaur dengan kami. Kaget juga tiba-tiba ada seorang perempuan sipit bertanya padaku, “Are you from Indonesia?” Aku mengangguk. Dia tersenyum dan langsung memperkenalkan dirinya. “Where is the leader?”, “Right there, I’ll call him.” Begitulah. Kami kembali membuat barisan. Delegasi cowok membantu delegasi cewek untuk memasukkan koper di bagasi bus. Malam itu menjadi malam yang sangat indah. Malam pertama kami di negeri tirai bambu.
“I’m finally here. Thanks God!”
Tiga bus lalu berhenti di depan sebuah hotel. Hotel yang besar. Rosedale Hotel. Aku senang mendapat roommate yang sama sewaktu di Indonesia. Widya dari Kalimantan Timur. Sayangnya, kami tidak bisa keluar malam ini. Sedang terjadi demo besar-besaran hari ini. Yah… kami juga capek. Genap 8 jam kami tempuh agar bisa menghirup udara malam Kota Beijing. We’re looking forward for tomorrow!
Jumat, 4 September 2015
Kring..kring..
“Hello….”
“Hello, this is morning call. Are you up?”
“Ow, yes. Thank you…”
Untuk sesaat aku masih berpikir, di mana ini? Oya, aku sedang berbaring di bantal super empuk dan membenamkan diri di bawah selimut yang tebal. Tapi masih saja terasa dingin. Ini bukan di Indonesia, melainkan Beijing. Segera kuterbangun setelah memperhatikan jam. Waktunya shalat subuh. Segera kubangunkan Widya.
Sarapannya terasa aneh. Harus kuakui, aku rindu nasi putih dan ikan goreng sisa makan malam. Aku memilih untuk makan roti bakar dan minum susu.
Kegiatan pertama kami adalah mengikuti kuliah dari Prof. Xu Liping tentang ‘Satu Sabuk, Satu Jalan’ (One Way, One Road). Bisa dibilang, inilah tujuan kami di sini. Program pertukaran kali ini fokus pada kewirausahaan. Tiongkok adalah salah satu negara dengan ekonomi stabil di tengah naiknya kurs dolar terhadap rupiah berkat proyek ‘Satu Sabuk, Satu Jalan’ mereka.
Do You Have Water?
Kejadian ini adalah salah satu kejadian silly yang kami alami sewaktu di Beijing. Saat waktunya makan, kami selalu mencari air putih. That’s Indonesian! Apapun makanannya, minumnya tidak sah kalau bukan air putih. Begitupun aku. Saat sarapan pagi, aku meminta air putih pada pelayan restoran.
“Do you have water?”
“Water?”
“Yes.”
Di sini, para pegawai hotel tidak terlalu paham bahasa Inggris. Terkadang kami harus melebihkan usaha untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Termasuk air putih.
Dia kemudian kembali dengan membawa segelas air putih. Sayangnya itu bukan air putih siap minum, melainkan air panas. Bukan air panas dari dispenser, melainkan air yang baru saja dididihkan. Oh, mungkin aku yang salah karena tidak mengatakan bahwa air kumaksud adalah air biasa.
Pengalaman meminta air putih saat sarapan pagi membuatku lebih hati-hati saat meminta air putih saat makan siang.
“Can I have water? But not too hot and not too cold. The normal water.”
Pelayan itu mengangguk mengerti. Ahh, senang rasanya si pelayan ngerti.
Aku kembali ke meja makan bersama Kak Aumi (delegasi Sulawesi Selatan). Kami kembali menikmati pizza, cheese cake, sushi, dan berbagai kue lainnya. Hanya makanan itu yang menarik minat kami di siang hari itu. Pelayan itu datang lagi membawa 2 gelas air. Oh My! Ini masih air panas. Benar-benar panas dan bukan air hangat. Kukira si pelayan mengerti. Hanya kata ‘xie xie’ yang keluar dari mulut kami berdua.
Setelah berkali-kali makan di restoran, akhirnya aku mengerti. Ketika kita meminta ‘water’, maka yang ada hanyalah air panas dan air dingin. Jangan pernah berharap mendapatkan air galon seperti yang biasa diminum di Indonesia. Restoran tidak menyiapkan air putih yang aku sebut ‘air normal’. Jika mau air normal, maka pilihannya adalah meminum air minum kemasan. Bahkan, terkadang restoran tidak menyediakan air putih sama sekali. Air putih biasa diganti dengan teh, air soda, alkohol, atau jus. Ada juga restoran yang tidak meng-gratis-kan air putih. Air putihnya dijual, sementara coca-cola dan pulpy di-gratis-kan. Aneh.
Sudah sejam lebih kami berada di bus. Kami menuju ke Beijing International Youth Camp untuk melakukan kegiatan outdoor. Sayangnya, langit tidak merestui kami. Hujan kecil namun konsisten pada setiap butir air yang jatuh. Tetap saja selalu ada yang bisa kami lakukan sebagai pengganti kegiatan outdoor kami, walaupun dilakukan secara indoor. Kami tetap senang, ditambah lagi kami mendapatkan cenderamata lucu dari mereka.
Now, heading to New World Beijing Hotel. Dengan memakai baju kebesaran kami, Attire One (A1), kami melenggang penuh percaya diri. Pengunjung hotel sampai terheran-heran melihat 100 orang memakai setelan jas hitam dengan dalaman merah marun, dengan peci hitam yang disematkan pin garuda di sisinya. Tidak ketinggalan, pin garuda juga tersemat di jas kami, dengan papan nama di sisi sebelahnya. Sepatu pantofel kami meninggalkan bunyi gletak-gletuk di lantai marmer hotel. Sebuah ruangan yang besar sudah disiapkan untuk menyambut kami. Backdrop bertuliskan ‘Welcome Banquet for Indonesian Youth Delegation to China’ disertai tulisan Hanzi (mandarin) yang tidak kumengerti, terlihat luar biasa sebagai latar dari panggung.
Setelah pembukaan dan penyerahan cenderamata dari kedua negara, tibalah kami di acara yang paling dinanti-nantikan. It’s time to be proud of our culture. Beragam kesenian Indonesia kami tampilkan. Kami mempersembahkan Silat Randai dari Padang, Tari Zapin Muda-Mudi dari Kepulauan Riau, Tari Kembang Jatoh dari Jakarta, Tari Bapalas Banua dari Kalimantan, Tari Mayiledungga dari Gorontalo, Tari Orlapei dari Maluku, Tari Humbelo dari Papua, dan Tari Kecak dari Bali. Penampilan kami ditutup dengan menyanyikan lagu Tanah Airku.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mahsyur permai di kata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kumerasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Entah mengapa, senyum terus tertinggal di bibirku. Rasanya bulu kudukku merinding menyanyikan lagu ini di negeri orang. Ada semacam rasa bangga ketika semua orang bertepuk tangan untuk kami.
Sabtu, 5 September 2015
Hari ini kami bebas dari segala bentuk kegiatan formal. Walaupun demikian, kami tetap dalam satu misi. Mempelajari budaya dan sejarah Tiongkok. Siapa sangka, sebentar lagi aku akan menjelajah salah satu keajaiban dunia, yaitu Great Wall of China, dan dua tempat lainnya, yaitu Forbidden City dan Chaoyang Theater.
Berkali-kali kuucap subhanallah sewaktu bus kami memasuki daerah pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk Kota Beijing. Kaca jendela bus mulai berembun. Gerimis ditambah udara dingin yang menusuk membuat para delegasi kelimpungan menyembunyikan tangan dari desiran angin yang lumayan kencang. Tak tanggung-tanggung, suhu di Great Wall mencapai 16°C. Luar biasa. Karena mendengar kabar musim panas di Tiongkok sebelum berangkat, aku hanya membawa satu jaket yang tidak terlalu tebal. Jaket anak kekinian yang lebih mengedepankan fashion dibanding fungsi dasar dari jaket itu sendiri. Ditambah lagi saran dari senior pertukaran tahun 2013 dan cerita teman-teman yang sudah pernah ke Tiongkok. Musim panas di Tiongkok sangat mengerikan. Mereka menyarankan untuk membawa baju yang tipis. Tapi apa daya ketika kami tiba ternyata musim penghujan, huhuhu T_T
Panitia ACYF untungnya memberiikan kami mantel hujan for free. Yang delegasi cowok agak risih sih. Soalnya semua mantel berwarna pink, hihihi…
Bismillah. Aku menginjakkan kakiku di anak tangga pertama Great Wall. Great Wall memang seperti ular panjang raksasa bila dilihat dari langit. Lebarnya kurang dari 1 meter. Bisa dibayangkan, ribuan orang datang ke sini dan berlomba-lomba mendaki anak tangganya yang sangat sempit. Tangganya hanya muat untuk dua orang. Itupun jalur naik dan jalur turun. Sungguh sangat melelahkan. Ditambah lagi jarak anak tangga yang satu dengan anak tangga lainnya lumayan jauh. Seperti mengangkat kaki saat jalan di tempat. Jika ingin beristirahat sebentar, maka kita harus menepi dan membiarkan orang di belakang kita lewat. Tak jarang orang yang turun memberi semangat kepada orang yang naik. Peluh bercampur air hujan tak membuat semangat kami surut untuk mencapai puncak.
Banyak teman-teman yang sudah menyerah dan memilih untuk turun saja. Tapi ini adalah pengalaman sekali seumur hidup. Tak tahu apakah aku punya kesempatan ke sini lagi atau tidak. Kuusap keringat dan kumantapkan hati untuk mencapai puncak. Semakin ke atas, jalannnya semakin terjal. Tangganya semakin tinggi dan licin. Aku bahkan takut untuk melihat ke bawah. Tanganku memegang erat pegangan tangga. Napasku tersengal-sengal. Kabut semakin tebal dan tanganku semakin beku. Aku baru sadar bahwa aku sendirian. Ketika berbalik, sudah tidak ada orang lagi di belakangku. Inikah puncak Great Wall?
“Kak Dhilah!”
Kepalaku pusing. Rasanya napas tinggal di leher saja. Tapi aku tetap naik. Ada suara di atas.
“Benny!”
Mataku berbinar begitu melihat Benny sedang asik memotret di atas. Aku duduk lalu meminum air. Sejenak aku melupakan rasa lelah ini setelah melihat Benny (delegasi Papua). Kami lalu memandang ke bawah. Dari sini aku bisa melihat seluruh Tiongkok. Subhanallah… Alhamdulillah… Kini aku berdiri di puncak negara yang memiliki populasi sangat padat ini. Sayangnya, pandangan kami terhalang kabut yang semakin tebal. Setelah puas berfoto-foto ria, Benny mengajakku untuk naik lebih jauh lagi. Oh, ternyata ini bukanlah puncak Great Wall. Jalan menuju ke atas masih jauh dan tertutup kabut tebal. Aku ingin, tapi kupertimbangkan kembali setelah merasakan detak jantungku semakin cepat. Jika hal buruk terjadi, aku tidak ingin merepotkan Benny. Akhirnya kutolak ajakannya dan memutuskan untuk turun saja, sementara Benny melenggang bersemangat menjelajah Great Wall lebih jauh lagi.
“Anak Papua satu itu tidak kenal lelah!”
Aku menuruni anak tangga dengan cepat. Benar kata seniorku. Turun itu jauh lebih mudah dibanding saat naik. Begitu pula hidup. Untuk dapat duduk di atas, kita harus melalui banyak sekali rintangan. Rasa capek, lelah, dan ingin menyerah pasti ada. Tapi ketika kita sukses melalui semuanya, pasti rasanya sangat manis, apalagi mengingat semua rintangan yang telah kita lalui. Namun ketika kita tidak di atas lagi, segalanya terjadi dengan begitu cepat. Saat turun, segala sesuatu berjalan sangat mulus. Yang tertinggal hanyalah kenangan dan kesuksesan yang diraih sewaktu masih di atas. Kurasa inilah filosofi Great Wall yang beruntung bisa kuterjemahkan.
Beneran Bisa Melihat Great Wall dari Bulan?
Mitos! Great Wall tidak bisa dilihat dari bulan loh! Padahal sebagai orang awam aku juga percaya.
Need a Help?
Karena naik terlalu jauh, beberapa teman mencariku. Aku dikirain hilang, hehe… Seorang panitia ACYF menyuruhku untuk langsung ke bus. Aku pun melenggang dengan ceria. Bahagia rasanya. Keluar dari gerbang Great Wall, aku melihat seorang cowok sipit sedang selfie. Biasa sih. Tapi dia sepertinya tidak puas dengan fotonya karena tidak menampakkan latar yang diinginkannya.
Spontan aku menghapiri cowok itu dan bertanya:
“Need a help?”
Dia seperti berpikir dulu sebelum menjawab, “Yes, please”.
Dia memberiiku iphone-nya. Klik.
“Once more…” klik.
Kuserahkan kembali iphone-nya.
“Thank you…”
“Welcome.”
Aku pun pergi. Tapi kemudian dia memanggilku kembali.
“Let’s take a picture. Together.”
Ragu-ragu aku menjawab, “o..kay…”.
Aku lalu berdiri di sampingnya. Tapi dia kok deket amat yah? Hahah
“Okay, I have to go. Bye~”
Dia pun melambaikan tangan. Emm… gapapalah, lumayan ganteng, xixixi
Taraaa… Forbidden City. Forbidden City itu sangaaaaaaaattt luas! Saking luasnya, aku dan Widya tersesat dan tak tahu jalan keluar. Bertanya pun sia-sia. Mereka gak ngerti bahasa Inggris. Ketika sudah panik, aku melihat secercah cahaya merah dari kejauhan. Ada untungnya juga kami memakai kaus seragam warna merah. Sontak aku berteriak, “Kak Bery……”. Kak Bery (delegasi Bengkulu) melambaikan tangan. Sebagai cowok yang bertanggung jawab, dia pun membimbing aku dan Widya yang sudah kehilangan arah menuju jalan keluar yang benar.
Forbidden City dulunya merupakan tempat tinggal para kaisar dan keluarnya pada era kepemimpinan Dinasti Ming dan Qing. Istana ini dibangun pada tahun 1406 – 1420. Nama Forbidden City diberikan karena pada zaman dahulu tidak ada orang yang dapat masuk dan meninggalkan kawasan istana ini tanpa seizin para kaisar. Forbidden City sangatlah luas, yaitu 180 hektar. Desain Forbidden City sangatlah unik. Istananya tidak tersebar begitu saja, tetapi dibuat berlapis-lapis. Untuk masuk di istana selanjutnya, kita harus melewati istana yang pertama, kedua, dan seterusnya. Karena sangat luas, berjalan secara berkelompok di Forbidden City sangat dianjurkan. Kalau tidak, bisa saja tersesat dan tidak menemukan jalan keluar kayak aku dan Widya, hehehe…
We Are Indonesian
Mungkin kami lah yang pertama sepanjang sejarah Forbidden City. Dengan menyandang misi memperkenalkan budaya Indonesia, tanpa ragu kami menampilkan Tari Kecak dan Tari Saman di halaman Forbidden City. Awalnya tidak ada yang memperhatikan. Tapi semakin lama, semakin banyak turis yang mengerubungi kami. Ada yang mengambil foto, juga video. Bangga sekali. Yes, We’re Indonesian!
Di lain kesempatan, kami juga menampilkan Tari Saman di bandara saat menunggu boarding pesawat. Tak jarang, ada turis yang bertanya akan apa yang kami lakukan. Ketua rombongan pun menjelaskan dan mereka menyukainya.
Kami juga pernah unjuk kebolehan di bidang tarik suara saat di Huaqiao University. Di tengah universitas terdapat kolam, ada panggung di tengahnya. Kata guide kami, jika berdiri di tengah panggung dan berteriak, maka suaranya akan memantul. Untuk mengetes kebenarannya, kami bernyanyi lagu daerah. Ajaib, suara kami menggema di seantero kampus.
Setelah makan malam, kami berjalan menuju Chaoyang Theater. Dalam 15 menit, kami tiba juga di tujuan. Pertunjukannya akan mulai tepat pukul 19.30 waktu setempat. Rasa penasaran kami akan ‘apakah Chaoyang Theater’ terjawab juga. Perumpaan yang paling mirip adalah pertunjukan di pasar malam. Aku ingat pernah menonton pertunjukan motor dalam sumur sewaktu kecil. Kira-kira seperti itulah. Namun yang ini lebih elit dan elegan. Ruangannya seperti bioskop. Kursinya berbentuk setengan lingkaran dan bertingkat-tingkat. Kami bisa membeli popcorn. Tidak boleh mengambil foto ataupun video selama pertunjukan. Semua lampu mengarah ke panggung. Selama 1 jam, kami disuguhi pertunjukan luar biasa seperti seni akrobatik dan tari-tarian. Pertunjukannya ditutup dengan pertunjukan motor. Tapi bukan di sumur. Ada arena khusus yang menjulang tinggi ke atas. Yang lebih hebatnya lagi, motornya tidak hanya 2 atau 3, tapi 8 motor sukses berputar-putar di arena itu dengan kecepatan tinggi, tidak jatuh, dan tidak bertabrakan satu sama lain. Setiap motor dimasukkan ke dalam arena, semua penonton berteriak ketakutan. Suaraku saja hampir serak dibuatnya. Tentu saja mereka terlatih dan tidak terjadi kecelakaan.
Is This moo, mbee, grok grok, or kukuruyuk???
Selama di Tiongkok, kami hanya punya waktu jalan-jalan di atas pukul 10 malam setelah terbebas dari agenda kegiatan wajib kami. Malam terakhir di Beijing tidak ingin kami sia-siakan. Aku, Widya, dan beberapa teman lainnya memutuskan untuk berjalan-jalan. Tengah malam. Suasana Kota Beijing lengang. Kami melihat restoran halal yang masih terbuka. Tapi kami tidak cukup lapar untuk masuk ke sana. Kami putuskan untuk terus berjalan sambil sesekali mengambil gambar. Di persimpangan jalan, kami melihat beberapa penjual pinggir jalan. Ada penjual buah-buahan, sosis, dan aneka jajanan jalanan lainnya. Aku, Widya, Kak Ilham (delegasi Riau), dan Mugi (delegasi Jawa Timur) memilih jajanan sosis. Eits, tapi kami perlu hati-hati. Masalahnya, kita gak tahu itu sosis apa. Kalau babi kan jadi berabe!
Si ibu penjual sosis sama sekali buta bahasa Inggris. Yes/no pun dia gak ngerti. Aku punya ide! Kita pake bahasa isyarat aja! Yang lain setuju.
“Is this moo (sapi)?” Si ibu menggeleng.
“Is this mbee (kambing)?” Si ibu menggeleng.
“Is this grok grok (babi)?” Si ibu menggeleng.
Alhamdulillah deh kalau bukan babi. Jangan senang dulu, kita kan belum tahu itu apaan.
“Is this kukuruyuk (ayam)?” Si ibu menggeleng.
“Petok petok?” Si ibu masih menggeleng.
Lah, sapi bukan, kambing bukan, babi bukan, ayam bukan. Apa dongg?
Bingung mesti pake bahasa apa lagi, tetiba aku teringat kalau iphone Kak Pasca (delegasi Kalimantan Tengah) bisa akses internet. Aku pinjam iphone-nya. Aku buka google trus cari semua gambar hewan yang aku sebutkan tadi. Setelah lengkap, aku tunjukin ke si ibu.
Sapi bukan.
Kambing bukan.
Babi bukan.
Ayam buk… “ah… cii cii!” tunjuk si ibu kegirangan.
Damn! Ternyata suara ayam di Tiongkok beda dengan suara ayam di Indonesia. Di sini suaranya cii cii, aku bilangnya malah kukuruyuk sama petok petok. Beda negara, beda bunyinya. Hahahahaha…. Kami berempat pun memesan sosis ayam. Sebelumnya aku kembali menunjukkan gambar babi. “No pig!”
Minggu, 6 September 2015
Oh ya, koper Kak Fera alhamdulillah diantarkan oleh pihak bandara ke Rosadale Hotel dengan selamat tanpa kurang dan cacat. Kami berseru girang begitu mendengar berita ini.
Kami tidak memiliki agenda kegiatan hari ini. Hari ini kami akan bertolak ke Provinsi Ningxia, tepatnya di Kota Yin Chuan. Sebelum ke bandara, kami singgah di sebuah hotel untuk mengambil bekal makan siang kami. Setelah menunggu beberapa saat, kami masing-masing diberi satu kotak besar makanan. Ukurannya sama seperti kotak nasi paket lengkap ukuran besar. Kukira isinya nasi dan berbagai lauk-pauk. Ternyataaa…
6 buah sandwich, 1 potong bolu gulung ukuran raksasa, 1 buah pisang raksasa, 1 botol yogurt.
Makan siang yang… emm… mungkin luar biasa dengan porsi yang sebenarnya bisa untuk 3 orang.
Duduklah kami bersila di bandara seperti penumpang korban pesawat delay. Aku memasukkan beberapa potong sandwich ke dalam tas.
Oo… kini aku mengerti mengapa kami diberi makan siang porsi gajah. Itu karena di pesawat kami tidak mendapat makanan. Hanya kacang dan kismis, serta air minum. Terlihat dari jendela, sepertinya Yin Chuan merupakan daerah yang panas. Bagaimana tidak, melihat ke bawah hanya ada hamparan gurun pasir. “Itu Gurun Gobi. Tempat shooting film Kera Sakti.” Waooww… Subhanallah… Meskipun tidak menginjakkan kaki di gurun itu, lewat di atasnya saja sudah bersyukur. Ternyata ini yang namanya gurun pasir. Panas. Kanan, kiri, depan, belakang, yang ada hanya hamparan pasir. Perlahan aku mulai sedikit khawatir. Tempat seperti apakah Yin Chuan itu? Apakah hamparan gurun pasir? Tak ada sinyal, panas, dan susah air? Kalau tidak ada sinyal, bagaimana caranya menelepon ke Indonesia? Aku melihat beberapa pemukiman, tapi hanyalah pemukiman kecil yang terletak di tengah gurun. Jaraknya ke pemukiman lain sangatlah jauh. Sebelum rasa was-was itu menyebar ke seluruh jaringan otakku, aku melihat banyak warna hijau dari kejauhan. Pohon!
Perlahan tapi pasti, aku melihat kota yang besar. Kota itu berbatasan langsung dengan gurun pasir. Aku bisa melihat tatanan kota yang apik serta pegunungan di kejauhan. Alhamdulillah, pesawat semakin merendah. Welcome to Yin Chuan.
Di bandara, kami semua merasa was-was menunggu koper kami. Takut kejadian di bandara Beijing terulang lagi. Yang paling cemas tentunya Kak Fera. Dia sudah pernah kehilangan koper sekali dan tidak ingin kejadian itu terulang lagi padanya. Oh ya, sewaktu di Rosedale Hotel, kami sibuk memotret koper masing-masing. Siap-siap aja kalo kemungkinan terburuk koper kami hilang, tunjukin aja gambarnya ke petugas bandara, hehehe…
Ketika koper merah Kak Fera muncul, dia berteriak kegirangan. “Alhamdulillah… koperku ada!” katanya.
Koper Kak Fera sudah aman. Gimana dengan koperku? Kok belum muncul-muncul juga? Setiap koper berwarna biru muncul, aku berharap itu koperku, eh ternyata bukan. Setelah penantian panjang, koperku muncul juga. Rasa deg-degan ini juga dialami oleh seluruh delegasi. Trauma koper hilang nih judulnya…
Setelah semua bagasi aman, panitia ACYF langsung menyuruh kami berbaris berdasarkan kelompok. Ada 3 kelompok. Aku kelompok bus 1. Mr. John meneriakkan nama Indonesia dengan semangat. Tak kalah semangat kami menjawab, “Yeah!” Kami pun memasuki bus masing-masing dengan tertib menuju Hao Wang International Hotel.
I Want to Buy Body Lotion!
Setibanya di hotel, aku kelabakan karena gak punya body lotion. Punyaku kutinggal di bandara karena kadarnya lebih dari 100ml. Seharusnya aku masukin ke koperku di bagasi, tapi lupa. Aku pun ngajak Widya buat cari toko. Kami menemukan sebuah toko. Toko itu masih terhubung dengan hotel. Penjualnya pun bisa berbahasa Inggris. Sayangnya dia tidak menjual lotion dengan botol kecil. Dia pun menunjukkan toko lain yang paling dekat.
Setelah berkeliling toko itu, kami tidak menemukan body lotion. Semua produk menggunakan tulisan hanzi. Kami pun memutuskan bertanya ke penjualnya. Malang nasib kami, si penjual gak ngerti bahasa Inggris. Beralih ke bahasa isyarat, si penjual masih gak ngerti. Dia pun mengoceh gak jelas artinya. Tapi kemudian kami paham ketika dia membawa temannya masuk. Ternyata dia mencari bantuan. Aku lalu kembali menjelaskan bahwa aku mencari body lotion. Aku juga memperagakan cara memakai body lotion, bahkan mengambil produk man body lotion dan menanyakan body lotion untuk perempuan. Kukira dia sudah mengerti, ternyata dia malah mengambilkan sabun mandi. Si penjual kembali memanggil temannya yang lain. Nah, teman yang ini jauh lebih cerdas. Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi translate. Dia menyuruhku mengetikkan katanya dalam bahasa Inggris. Seketika itu juga hasil translatenya tertampil. “Ooo kfgnvjkfdhgjkdjkdfeir5!” (menyebutkan body lotion dalam bahasa mandarin).
Akhirnya si penjual berkata bahwa dia tidak menjual body lotion (setidaknya itu yang kami pahami). Belum kami berdua keluar dari tokonya, dia memanggil kami kembali. Dia menunjukkan satu produk. Berikut ini percakapan kami yang kira-kira terjemahannya sebagai berikut.
“Apa ini yang kalian cari?”
“Yaaa this is what I want! How much?”
“3 Yuan/sachet.”
“I take 5 sachets.”
“Ini kembaliannya.”
“Xie xie…”
Si penjual pun melambaikan tangannya. Mereka terlihat sangat senang setelah bermenit-menit bergulat dengan kata ‘body lotion’.
Si Penjaga Pintu
Awalnya sih aku gak ambil pusing melihat patung-patung hewan di setiap pintu masuk hampir semua gedung/tempat. Tapi semakin ke sini kok aku penasaran. Umumnya, patungnya berupa naga, gajah, atau hewan yang disakralkan lainnya. Selalu ada di sisi kanan dan kiri pintu masuk. Entah di hotel, museum, universitas, dan tempat-tempat lainnya. Ternyata… patung-patung itu adalah simbol dari penjaga pintu yang dipercaya dapat menjaga gedung/tempat itu dari hal-hal jahat. Pantasan semua patungnya berwajah menyeramkan. Kalian gak akan menemukan patung yang tersenyum, hihihi
Senin, 7 September 2015
Hari kedua di Yin Chuan, kami diagendakan berkunjung ke Beifang University of Nationalities. Cuacanya lumayan dingin, tetapi tidak sedingin di Beijing. Paling tidak, kami sudah tidak memakai jaket.
Sesuai namanya, terdapat berbagai macam kebangsaan di universitas ini. Didirikan tahun 1984, universitas ini sudah mengumpulkan banyak buku kuno yang membuat universitas ini unggul dibanding universitas lainnya. Gedung utama universitas ini terdiri dari 6 lantai. Selain itu, juga terdapat museum yang mengabadikan berbagai artefak Cina kuno. Setelah mengelilingi universitas ini, kami melihat satu stadion olahraga yang sangat besar. Stadion itu digunakan untuk sepak bola maupun kegiatan outdoor universitas lainnya. Universitas ini bahkan memiliki tempat gedung olahraga yang terdapat kolam renang di dalamnya. Terdapat 6 klub olahraga di universitas ini, di antaranya klub tennis, basket, voli, gym, dan sepak bola.
Believe It or Not, Black Swan exists!
Aku pernah mendengar Black Swan, tapi itu hanyalah nama sebuah penerbit buku. Tak kusangka, angsa hitam memang benar-benar ada. Di tengah Beifang University of Nationalities terdapat danau. Di danau itu berenang beberapa angsa hitam. Sayangnya, aku tidak bisa memotretnya secara langsung. Mereka sedang berkumpul di sisi yang berseberangan dengan kami. Lumayan sulit untuk menemukan mereka karena warnanya yang hitam.
Di sini aku bertemu dengan Lily. Dia adalah mahasiswa volunteer menjadi guide kami selama di universitas. Sebelum berpisah, kami saling bertukar kontak. Nice to meet Lily!
Sorenya, kami berkunjung ke Taman Islamik Tionghoa. Taman ini sangat luas. Di dalamnya ada masjid, museum, taman, restoran, dan bangunan lainnya. Pertama-tama, kami mengunjungi museum. Di museum ini, kami diceritakan bagaimana Islam bisa masuk di Tiongkok. Ningxia, khususnya Yin Chuan merupakan kota dengan 1/3 penduduknya adalah muslim dari total 6,3 juta populasi. Terdapat 5 kota di Ningxia dan 3 kabupaten. Suku Han merupakan suku muslim terbesar di Tiongkok. Sedangkan Suku Hui merupakan suku muslim terbesar di Ningxia. Yin Chuan sendiri telah bekerja sama dengan Arab sejak lama. Maka dari itu pengaruh Arab sangat kental di kota ini. Khususnya nama jalan, semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kerjasama ini juga masih erat kaitannya dengan Jalur Sutra (Satu Sabuk, Satu Jalan). Di museum ini juga kami diperlihatkan bentuk-bentuk peninggalan muslim berupa gambar. Selanjutnya, kami mengarah ke bangunan utama, yaitu masjid. Berhubung sudah memasuki waktu shalat Ashar, delegasi yang beragama Islam sempat menunaikan shalat Ashar berjamaah di masjid ini. Ada satu peraturan unik di masjid ini. Semua yang ingin memasuki masjid harus memakai kerudung, baik muslim maupun non-muslim. Kerudung gratis sudah disediakan di pintu masuk masjid ini. Ornamen masjid ini sungguh menakjubkan. Perpaduan antara Tiongkok dan Arab sangat terasa. Setelah shalat, seorang ustadz yang kemungkinan merupakan imam besar masjid ini mengumpulkan kami. Dia mengatakan bahwa dia sangat senang dengan kedatangan delegasi Indonesia. Dia juga bercerita bahwa Islam diterima dengan baik di Tiongkok, khususnya di kota ini. Katanya, tiap hari ada saja orang yang datang di masjid ini untuk sekadar bertanya tentang Islam, untuk belajar, bahkan untuk menjadi mualaf. Pertemuan itu ditutup dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dia bacakan dengan sangat merdu. Ada satu bangunan yang sangat indah yang terletak di dekat pintu masuk taman ini. Bangunan itu hampir menyerupai Taj Mahal di India, dengan ukuran yang lebih kecil dengan tulisan Hanzi.
Selasa, 8 September 2015
Pagi ini kami kembali mengunjungi satu universitas bernama Ningxia Medical University. Universitas ini adalah universitas terbesar di Yin Chuan. Hal ini bisa terlihat dari kapasitas mahasiswanya yang sangat besar, yaitu 30.000 orang, termasuk mahasiswa internasional yang berasal dari 18 negara. Universitas ini menerima mahasiswa jenjang S1, S2, dan S3. Terdapat 8 jurusan untuk jenjang S2 dan 2 jurusan untuk jenjang S3. Sesuai namanya, universitas ini mengkaji tentang ilmu kesehatan dan merupakan satu-satunya universitas di Tiongkok yang mempelajari dan mengembangkan pengobatan Islam secara tradisional dan modern. Universitas ini juga telah menjalin kerjasama dengan 22 negara lainnya. Ada 2 tokoh Islam yang menjadi panutan di universitas ini, yaitu Ar-Razi dan Ibnu Sina. Pusat riset pengobatan dari universitas ini bertugas melakukan riset tentang pengobatan. Produk obat yang dihasilkan kemudian diekspor ke luar negeri, dengan Arab sebagai pengimpor terbesar. Hal ini sangat didukung oleh pemerintah Tiongkok. Setiap 5 – 10 tahun sekali, universitas ini akan melakukan riset yang baru yang hasilnya diberikan pada pemerintah. Dengan cara ini, pemerintah dapat selalu terlibat dan menyokong proyek dari universitas.
Dari universitas, kami menuju ke China Gouqi Museum. Wolfberry atau gouqi (baca: gochi) merupakan jenis buah beri yang paling banyak tumbuh di Tiongkok, khususnya Ningxia karena merupakan daerah pegunungan. Ada 4 jenis gouqi, yaitu gouqi merah yang paling umum, hitam, kuning, dan merah jambu. Gouqi sendiri dapat diproduksi dalam bentuk fresh gouqi maupun dried gouqi. Fresh gouqi lebih kaya vitamin C dibanding dried gouqi. Selain dimakan sebagai buah-buahan, gouqi juga bermanfaat untuk pengobatan. Ada 14 khasiat utama dari gouqi, yaitu untuk fungsi hemopoietik, fungsi hati, kecantikan dan melembabkan kulit, daya tahan tubuh, kesehatan mata, reproduksi, menurunkan tekanan darah, menurunkan gula darah, mengontrol lemak darah, anti radiasi, mengatasi kelelahan, obat tumor, memperlambat penuaan, dan fungsi imun. Selain itu, daun dan akar pohon gouqi juga bermanfaat untuk kesehatan. Daunnya dapat diseduh menjadi teh yang dapat mengatasi penyakit susah tidur. Teh tersebut juga merupakan teh tradisional masyarakat muslim. Adapun akarnya dapat direbus kemudian diminum sebagai obat batuk. Gouqi dapat dikembangbiakkan melalui penanaman benih dan stek batang. Musim yang tepat untuk menanam gouqi adalah saat musim semi. Pertumbuhan gouqi juga sangat cepat. Sekali berbuah, panen dapat dilakukan hingga 7 kali dalam sebulan. Uniknya, untuk memetik gouqi diperlukan kesabaran ekstra karena masih dikerjakan secara manual dan dipetik satu per satu.
Teh Cina, Sehat sih tapi, ah Sudahlah…
Senang rasanya ketika mengetahui bahwa kami boleh mencicipi rasa teh daun gouqi secara gratis di China Gouqi Museum. Tehnya masih panas, cocok dengan udara dingin di Yin Chuan hari ini. Tapi ketika menghirup aromanya kok perasaanku gak enak yah? Kutanya Mak Fella (delegasi Jambi) yang duduk di sebelahku. “Gimana mak, enak?” “Gak ada rasanya…”
Perlahan kuseruput tehnya. Rasanya… Errr… Bukannya gak enak, tapi tanpa rasa. Air putih galon jauh lebih enak pastinya. Sebagai ucapan terima kasih sudah disajikan teh gratis, maka tehnya harus dihabiskan. Jangan sampai si empunya museum tersinggung kalau tehnya gak diminum. Aku minum saja tehnya sambil menahan napas.
Di lain kesempatan, kami juga disuguhi teh di sebuah restoran. Tekonya yang bening membuatku bisa melihat campuran teh itu. Akar, daun-daun, bunga-bunga, membuatku terpaksa mengatakan, “No, thanks” ketika si pelayang restoran hendak menuangkan teh itu di gelasku. Aku tahu teh itu pasti sehat. Tapi, no compromise, I miss Teh Sari Wangi dengan sesendok penuh gula pasir.
Pengalaman minum teh lagi-lagi aku dapatkan di pesawat menuju Hong Kong dari Kota Xiamen. Si pramugari menawariku teh. Aku iya-in aja. Kuseruput teh itu ternyata gak ada gulanya. Aku minta lah gula 2 bungkus. Aku masukin 2 bungkus kok gak ada rasanya. Aku minta tambah lagi 2 bungkus, masih gak ada rasanya. Malu minta gula lagi, aku minum aja tehnya walau tanpa rasa.
Siangnya, kami kembali ke hotel untuk mengikuti kuliah dari Mr. Fan Jianmin, masih tentang ‘Satu Sabuk, Satu Jalur’. Sialnya, tidak seperti kuliah pertama di Beijing, di mana Prof. Xu Liping fasih berbahasa Indonesia, Mr. Fan Jianmin tidak bisa berbahasa Indonesia maupun Inggris. Terpaksa kami mengikuti kuliah dengan menggunakan bahasa mandarin, diselingi penerjemahan dalam bahasa Indonesia yang orang Indonesia pun bingung mendengarnya, hehehe…
Rabu, 9 September 2015
Ini hari terakhir kami di Yin Chuan. Sebelum bertolak ke kota selanjutnya, yaitu Fuzhou di Provinsi Fujian, kami terlebih dahulu mengunjungi Ningxia Museum. Museum ini memamerkan berbagai jenis artefak Ningxia. Secara umum, yang dipamerkan adalah artefak kuno dari dinasti yang pernah memimpin di Ningxia, seperti Dinasti Xicia, Tang, dan Ching. Ningxia juga dikenal sebagai Museum of Great Wall karena banyak terdapat sisa-sisa Great Wall di masa lalu, atau dikenal juga sebagai Lake City behind the Wall karena di provinsi ini mengalir Yellow River (Mother River).
Kembalikan atau Bayar 18 Yuan!
Here it is! Another silly story of IChYEP 2015 :D
Walaupun pegawai hotelnya tidak fasih berbahasa Inggris, keunggulan dari Hao Wang International Hotel adalah fasilitas kamarnya, walaupun jaringan wi-fi-nya jelek (hanya bisa diakses di lobi hotel, itupun jaringannya tidak mumpuni). Kami terkagum-kagum ketika memasuki kamar masing-masing. Kamar yang sangat luas (bahkan lebih luas dari kamarku di rumah T_T), dua tempat tidur yang besar, baju mandi yang juga bisa berfungsi sebagai piyama, kamar mandi yang bagus, dan yang paling luar biasa adalah sendal hotelnya. Bukan hanya aku, teman-teman lain yang sudah sering nginap di hotel malah berkata, ini adalah sendal hotel terbagus yang pernah mereka lihat. Masuk mall pun pantas kok pake sendal itu. Kami pun berencana sendalnya dibawa pulang ke Indonesia sebagai oleh-oleh. Bahkan Widya mau membawa pulang sendal itu untuk bapaknya. Sungguh cita-cita yang mulia!
Pada saat packing barang, Widya sudah memasukkan sendal ke dalam koper. Kuurungkan niatku untuk membawa pulang sendal itu. Gak tau kenapa koperku kok udah gak muat ya. Mungkin kebanyakan belanja di Yin Chuan.
Ternyata bukan hanya Widya yang membawa sendal itu, hampir semua teman-teman melakukan hal yang sama. Lamaaa sekali kami menunggu bus berangkat. Reno (delegasi Riau) sang travel arranger (orang yang kami percaya untuk ngatur-ngatur waktu kami sehingga kami disiplin) tiba-tiba naik ke bus dan menyebutkan beberapa nomor kamar, tapi tidak menyebut nomor kamar aku dan Widya. Katanya, sendal hotelnya hilang dan mohon dikembalikan. Aku langsung melirik Widya yang duduk di belakang. Widya seakan tahu maksud lirikanku. Dia hanya senyum-senyum. Teman-teman yang disebutkan nomor kamarnya langsung membongkar bagasi dan mengembalikan sendal. Tidak lama kemudian, Reno kembali menyebutkan beberapa nomor kamar. Wajah kami tegang. Pada akhirnya, Reno memberi pilihan agar mengembalikan barang-barang yang kami ambil dari kamar hotel atau membayar 18 Yuan. Teman-teman yang malas membongkar bagasinya memilih untuk membayar saja. Widya memilih untuk mengembalikan sendalnya. Hiks, hotelnya pelit ah! Ngambil sendal aja gak boleh!
Kami lalu menuju bandara. Sebelumnya, kami singgah ke sebuah restoran untuk makan siang. Kota selanjutnya adalah Fuzhou. Kami sempat transit di Xi’an beberapa menit. Setelah itu kami kembali menaiki pesawat yang sama. Kukira Fuzhou itu dekat, ternyata perlu 4 jam lebih untuk sampai di sana.
Makan..makan..makan..
Setelah beberapa jam di pesawat, perutku mulai keroncongan minta makan. Tak mampu kutahan lagi, aku pun curhat ke teman sebelah. Ternyata dia juga kelaparan. Cek ricek, kami semua kelaparan! Oo… mungkin ini pesawat yang sama dengan L*** di Indonesia yang tega gak ngasih penumpangnya makanan, hiks hiks… Setelah mengeluh panjang lebar, tiba-tiba semua pramugari dan pramugara berjalan ke ekor pesawat. Tidak lama kemudian, mereka keluar dengan mendorong kereta makanan. Sontak kami mengucap hamdalah berjamaah, “Alhamdulillah…”. Mata kami berbinar-binar begitu melihat chicken burger yang masih hangat. Daging ayam yang panas tidak kami hiraukan. Semuanya diembat saking laparnya. Ini dia burger terbesar dan terenak yang pernah kumakan!
Never Eat Noodle!
Kami tiba di Fuzhou Lakeside Hotel pukul 10 malam waktu setempat. Begitu kami tiba, pihak hotel menyiapkan makan malam khusus. Mie kuah. Oh ya, Fuzhou Lakeside Hotel adalah hotel bintang 5. Kami bebas berbahasa Inggris ria di sini. Semua pegawai hotelnya mengerti bahasa Inggris.
Aku duduk berdua dengan Widya, berhadapan. Di hadapan kami tersedia mie kuah porsi besar. Kalian tahu mangkuk nasi yang biasa digunakan di Indonesia? Kira-kira begitulah ukuran porsi mie kuah kami. Mie kuahnya terlihat sangat menggoyang lidah. Mie pipih dengan kuah merah, telur orak-orik, dan taburan tomat. Lapaaaaarr…
Ekspektasi tidak selamanya selaras dengan kenyataan. Suapan pertama tidak berjalan dengan lancar. Rasanya seperti Indomie rasa kaldu disiram air panas tanpa diberi bumbu, tapi diberi saus tomat. Kebayang gak rasanya? Widya dan aku mengernyitkan dahi.
“Do you have salt?”
Pelayan restoran pun membawakan semangkuk kecil garam. Garamnya aku bagi 2 dengan Widya. God! Selapar-laparnya diriku, tapi aku tetap gak mau makan mie rasa tomat ini. Aku hanya makan sedikit. Widya lalu punya ide mencampurkan mie dengan abon. Syukurlah… mie ini rasanya jauh lebih wajar.
Tapi ketika perjalanan dari Xiamen ke Hong Kong, aku lebih memilih makan mie daripada nasi. Alasannya karena mie tampaknya jauh lebih enak daripada nasi. Lagi-lagi tertipu. Mienya tidak kuhabiskan.
Oh, kalau diberi kesempatan ke Tiongkok lagi, never eat noodle!
Kamis, 10 September 2015
Keesokan harinya, kami diberi kesempatan berbelanja di Three Lanes and Seven Valleys. Menurut penduduk setempat, tempat ini wajib dikunjungi jika datang ke Fuzhou. Gerbang masuk tempat ini sangat terkenal. Hal itu dibuktikan dari gambar kartu pos yang aku beli di Fuzhou, salah satunya menampilkan gambar gerbang Three Lanes and Seven Alleys. Yang membuatnya unik adalah desainnya. Tempat ini didesain layaknya China Town di Indonesia. Terdapat banyak lampion, patung, desain toko yang mirip bangunan Cina kuno, dan lain-lain.
Setelah itu kami ke Lin Zexu Memorial. Museum ini berbentuk rumah, dibangun oleh salah satu keturunan Lin Zexu untuk mengenang jasa-jasanya. Lin Zexu adalah seorang pejabat di Guangdong pada masa pemerintahan Dinasti Ching, yang memiliki peran yang sangat penting di Tiongkok. Pada tahun 1813, Lin Zexu membuat gerakan opium. Dia memperkenalkan opium pada tentara Tiongkok untuk meningkatkan stamina sehingga kuat berperang. Selain itu, dia juga berhasil melindungi Ningxia dari banjir berkat proyek pembuatan kanal yang dipimpinnya di Hwang River. Lin Zexu dikenal sebagai sosok yang pintar dan hebat. Dia wafat pada tahun 1850.
Kami pun kembali ke hotel untuk menge-pack barang kami. Belanjaan di Three Lanes and Seven Valleys cukup banyak. Setelah makan siang di hotel, kami bertolak ke kota terakhir, Quanzhou yang masih terletak di Provinsi Fujian, menggunakan bus. Ketika senja tiba, kami tiba di Xiamen Quanzhou Hotel.
Jenn!
Setelah makan mie kuah pada sebelumnya, aku dan Widya memutuskan untuk tidak langsung tidur. Kami ke kamar untuk menyimpan koper dan kembali ke lobi untuk jalan-jalan. Kita sudah janjian dengan Mandala (delegasi Bali), tapi Mandala tiba-tiba merasa kurang sehat. Tinggal lah kami berdua. Jujur, kita gak berani jalan berdua di negeri orang, apalagi tengah malam. Kalau kita diculik, dirampok, atau gak tahu arah pulang gimana?
Sesaat kemudian, Chite (delegasi Maluku) muncul lengkap dengan totte bag-nya. Dia juga mau jalan-jalan ternyata. Yah, kita nebeng aja. Daripada kecewa kan yah! Kami pun menunggu Ozhi (delegasi Maluku), Motty (delegasi Papua), Kak Zul, Jana (delegasi Kalimantan Barat), Syifa, dan beberapa teman lainnya. Namun setelah lengkap, kami belum berangkat juga. Tunggu siapa lagi sih? “Jenn”.
Siapa sih Jenn? Dia bukan artis kok. Cuma penduduk lokal yang kebetulan bertemu dengan Ozhi dan Motty di toilet hotel. Setelah berkenalan, dia menawarkan diri menemani mereka jalan-jalan malam di Kota Fuzhou. Jenn tidak tinggal di hotel. Rumahnya tidak jauh dari hotel. Tapi setiap minggu dia pasti dinner di hotel ini. Pas banget sama dengan jadwal kedatangan kami!
Tidak lama kemudian, Jenn pun muncul. Dia berkata akan membawa kami ke tempat yang must visit kalau ke Fuzhou, yaitu Three Lanes and Seven Valleys! Yup, jadi sebelum rombongan delegasi ke tempat itu keesokan harinya, kami sudah mengunjungi tempat itu terlebih dahulu. Suasana malam jauh lebih menyenangkan.
“We go by bus, Jenn?”
“No, we can walk.”
“How far is it?”
“Near. Only 15 minutes!”
Okelah kalau cuma 15 menit.
……
Kami sudah jalan lebih dari 15 menit dan belum sampai-sampai juga. Langkah Jenn besar-besar. Mereka terbiasa berjalan cepat, sementara kami jalannya lambat. Sesekali Jenn berhenti dan berkata, “C’mon guys, hurry up!” Yaelah Jenn… capek…
Akhirnya tiba juga di Three Lanes and Seven Valleys. Setelah puas berkeliling, kami singgah di McD. Di sini, Jenn membantu kami memesan makanan. Soalnya si pelayan gak bisa bahasa Inggris. Gak terasa, jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari ketika kami tiba di hotel. Jenn pun pamit. Sebelumnya kami memberikan cinderamata padanya. Jarang-jarang loh ada orang asing sebaik Jenn. Dia gak kenal kami, kami pun gak kenal dia. Bisa aja dia menipu kami. Tapi tak dilakukannya. Miss you, Jenn!
Jumat, 11 September 2015
Pagi ini kami kembali mengunjungi universitas, yaitu Huaqiao University. Jumlah mahasiswa di universitas ini adalah ±28.000 orang, termasuk 5.000 mahasiswa asing dari 43 negara. Huaqiao University terdapat di 2 tempat, yaitu di Quanzhou dan Xiamen. Yang terbesar berada di Xiamen dengan luas mencapai 6 hektar, sedangkan universitas di Quanzhou hanya setengahnya. Terdapat 30 fakultas umum di universitas ini, kecuali militer. Jenjang pendidikan D3 hingga S3 ada di sini. Di Quanzhou, terdapat 2 universitas yang berada langsung di bawah pemerintah pusat, salah satunya adalah Huaqiao University. Tempatnya yang potensial, di bagian tenggara Tiongkok, dekat Asia Tenggara, membuat banyak mahasiswa dari luar negeri tertarik masuk ke universitas ini. Lin Dan yang merupakan atlet terkenal Tiongkok juga merupakan alumni universitas ini. Mengantisipasi banyaknya mahasiswa asing, universitas ini menyediakan kelas khusus berbahasa Inggris. Terdapat kurang dari 30 mahasiswa Indonesia yang berkuliah di sini. Kami diberi kesempatan untuk berdialog dengan mereka lewat forum tanya jawab yang sengaja diadakan untuk menyambut kedatangan 100 delegasi Indonesia.
Sore harinya, kami yang terbagi menjadi 3 kelompok mengunjungi 3 tempat yang berbeda. Kelompokku mengunjungi Youth Center, kelompok 2 mengunjungi Sekolah Latihan Anak Hujan Matahari, sedangkan kelompok yang ketiga mengunjungi Base Bisnis Elektronik Mahasiswa.
Youth Center merupakan tempat pelatihan dan berkarya untuk anak-anak maupun pemuda. Tempat ini membantu melestarikan budaya tradisional Tiongkok, seperti membuat kaligrafi dan lukisan hanzi. Selain itu juga terdapat sekolah gratis untuk anak-anak, di mana mereka belajar untuk mengembangkan bakat mereka, seperti bermain alat musik tradisional, tarian tradisional, dan public speaking.
Pukul 5.30 kami menuju City Hotel untuk menghadiri jamuan perpisahan. Kali ini kami datang dengan memakai baju adat masing-masing. Sebagai delegasi Sulawesi Tenggara, aku dan Kak Amran mengenakan baju adat tolaki. Aku dan Widya saling membantu mengenakan segala aksesoris baju adat dan make-up. Bulu mata yang jauh-jauh aku bawa dari Kendari tak kupakai karena tak tahu cara memakainya, hihihi…
Begitu memasuki hotel, semua mata seakan-akan tertuju pada kami. Alien cantik dan ganteng dari Indonesia. Ini dia acara terakhir kami di Tiongkok: Farewell Banquet for Indonesian Youth Delegation to China. Di sini, kami kembali menampilkan kesenian Indonesia, seperti Silat Randai dari Padang, Tari Bapalas Banua dari Kalimantan, Tari Mayiledungga dari Gorontalo, Tari Humbelo dari Papua, Tari Saman dari Aceh, dan persembahan lagu Tian Mi Mi dari kelompok paduan suara kami.
Sabtu, 12 September 2015
Tidak terasa, sudah 10 hari kami menjelajah tanah Tiongkok. Suka, duka, sudah kami lalui bersama. Pukul 8 pagi kami meninggalkan Quanzhou. Tak sedikit dari panitia ACYF yang menangis akan perpisahan ini. Aku memberi selendang tenun khas Muna kepada Ms. Pan (ketua ACYF). Kami bertolak menuju Xiamen dengan bus. Kami lalu transit di Hong Kong lagi sebelum akhirnya tiba di tanah air.
Subhanallah, 10 hari berkesan once in life. Tiada kata lagi yang dapat kutuliskan. Terima kasih Indonesia atas hadiah ini. Sebelumnya aku hanyalah anak biasa yang hanya bisa bermimpi ke luar negeri. Tapi Indonesia mewujudkannya untukku. Terima kasih. Terima kasih Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) dan Dispora Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai gantinya, setiap delegasi memiliki post program activity yang tentunya akan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.
Terima kasih sudah membaca perjalanan panjangku :)
~Everyone can be a tourist, but to be a national delegation, that is another story~
IChYEP 2015
P.S.
Program ini adalah Pertukaran Pemuda Indonesia – Tiongkok (PPIT) yang diadakan 2 tahun sekali oleh Kemenpora Republik Indonesia yang bekerja sama dengan ACYF. Selain PPIT, terdapat program pertukaran lainnya, seperti Pertukaran Pemuda Indonesia – Malaysia, Indonesia – India, Indonesia – Australia, Indonesia – Korea Selatan, dan ASEAN – Japan. Untuk Pertukaran Pemuda Indonesia – Kanada, belum tahu pasti apakah masih akan diadakan lagi atau tidak. Seleksinya diadakan setiap tahun oleh Dispora masing-masing provinsi yang bekerja sama dengan PCMI provinsi. Untuk mengikuti seleksinya, silakan mencari tahu di Dispora masing-masing mengenai waktu seleksinya. Jangan mudah menyerah ya! Dibutuhkan konsistensi yang tinggi dalam mengikuti seleksinya. Dibutuhkan 3 tahun sebelum aku akhirnya dinyatakan lulus. Be ready because you are the next delegation!