1. According to Henry Van Dyke, literature consists of those writings which interpret the meaning of nature and life, in words of charm and power, touched with the personality of the author, in artistic forms of permanent interest.
2.According to Imam Ja’far al-Sadiq (Muslim scholar and philosopher), literature is the garment which one puts on what he says or writes so that it may appear more attractive.
3. According to Roman Jacobson (Russian formalist), literature is organized violence committed on ordinary speech.
4. According to Ezra Pound, great literature is simply language charged with meaning to the utmost possible degree.
5. According to Peter Lamarque, part of what is involved in appreciating a work of art as a work of art is to appreciate it as an artifact designed for a purpose.
6. According to McRae (1991), a literary text as any imaginative material that stimulates a response in the reader, including songs, cartoons, idioms and proverbs.
7. According to Halliday (1985), the text as an expression of experience can be the closest definition of literature, and if readers can identify with events or characters and project themselves into them imaginatively, then a certain truth to experience can be created.
8. Maley (2001) believes that in the post-modern, deconstructionist age, the definition of literature took on a new shape to include texts such as advertising copy, graffiti and public notices which use literary devices like parallelism, rhyme, rhythm and metaphor.
9. Williams (1976) believes that literature is a difficult word, in part because its conventional contemporary meaning appears, at first sight, so simple.
10. Miller (2002) believes that literature is associated with the gradual rise of almost universal literacy in the West.
::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Kamis, 14 Februari 2013
Senin, 04 Februari 2013
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 5]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Baca PART 4 dulu ne...
Previous part:
Tok.. tok.. tok..
Jin Ri berusaha bangkit dan membuka pintu.
Dilihatnya seorang lelaki berdiri di depan pintu. Ia tak dapat mengenali wajahnya. Semua terlihat berputar dan samar.
“Kau… baik-baik saja?” tanya orang itu khawatir melihat keadaan Jin Ri.
Pandangan Jin Ri tiba-tiba berubah menjadi gelap.
BRUK!
Jin Ri ambruk.
*****
“Hei, ka… kau baik-baik saja? Hei!”
Laki-laki itu jongkok di samping Jin Ri yang sudah jatuh pingsan.
“Apa kau benar-benar pingsan?”
Tak ada jawaban.
Wajah laki-laki itu pucat.
“Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu apa-apa. Nanti kalau aku dituduh macam-macam bagaimana?” pikirnya.
“Permisi! Apa ada orang di rumah? Bibi! Ki Bum! Jin Ri pingsan…”
Juga tak ada jawaban.
“Apa dia sendirian di rumah?”
Tanpa pikir panjang lagi, dia segera menggendong tubuh Jin Ri yang terkulai lemas tak berdaya, lalu membaringkannya di atas sofa di ruang tamu.
“Ah… kau berat sekali…” keluhnya.
“Hei, bangun…!” laki-laki itu menepuk-nepuk pipi Jin Ri, namun masih tak sadarkan diri.
Laki-laki itu segera berlari ke dapur untuk mengambil segelas air hangat. Ia lalu kembali dan menepuk-nepuk pipi Jin Ri lagi.
“Ayo, bangun…!”
Perlahan Jin Ri membuka matanya. Samar-samar ia melihat sesosok laki-laki di depan wajahnya.
“K… Kak Kibum? Bagaimana keadaan kakek?” suara Jin Ri parau.
“Ki Bum? Aku bukan Ki Bum…”
Perlahan, pandangan Jin Ri semakin jelas. Benar, laki-laki itu bukan Ki Bum.
“AAAAAAAA!!!” Jin Ri bangun seketika.
“Aw!” Minho memegang jidatnya.
Kepala mereka berdua tertumbuk sewaktu Jin Ri bangun tadi.
“KAU SIAPA? Me… mengapa kau di sini?” Jin Ri ketakutan sambil menutupi dadanya.
“He, hei… jangan berburuk sangka! Aku tidak melakukan apa-apa. Tiba-tiba, kau pingsan begitu saja sewaktu melihatku. Aku Minho, teman Ki Bum. Kau masih ingat aku kan?”
Jin Ri mencoba mengingat-ingat. Ia memegangi kepalanya.
“Kau…”
“Kembalikan dompetku!”
“Apa?”
“Jangan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa ya! Kembalikan dompetku sekarang!”
“Hei, apa yang kau bicarakan? Dompet apa yang harus kukembalikan?”
“Tentu saja dompetku. Cepat kembalikan!”
“Kau ini kenapa sih? Aku tidak pernah mengambil dompetmu…”
“Ah… aku ingat…” jawab Jin Ri malu-malu.
“Waktu itu aku juga pernah datang ke sini. Apa kau sepelupa itu?”
Jin Ri tersenyum keki.
“Maaf waktu itu aku belum sempat minta maaf... Aku sungguh menyesal… Maafkan aku…” Jin Ri lalu berdiri dan membungkuk tanda permintaan maafnya.
“Ah, tidak usah meminta maaf! Aku saja sudah melupakannya.”
Jin Ri tersenyum kecil.
“Oh, ya. Aku ke sini ingin bertemu Ki Bum. Kuhubungi ponselnya tapi tidak aktif. Jadi aku datang saja ke sini. Tapi kelihatannya cuma kau sendiri di rumah. Ki Bum ke mana?” Minho membuka pembicaraan baru.
“Kak Ki Bum pergi ke…” Jin Ri kembali mengingat masalah kakeknya.
“Kakek… ya ampun, kakek…”
Jin Ri menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Matanya berair. Ia lalu berlari mengambil ponselnya lalu menghubungi Ki Bum.
“Dia kenapa sih? Tadi senyum-senyum, sekarang menangis. Aneh…” batin Minho.
‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jaringan. Silakan coba beberapa saat lagi!’
Jin Ri mencoba menghubungi ayahnya.
Sama. Tidak aktif.
Jin Ri lalu menhubungi nomor ibunya.
Tit.. tit.. tit..
“Yah, ibu malah tidak membawa ponselnya…” ucap Jin Ri kecewa melihat ponsel ibunya yang berdering di atas meja.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak bisa tinggal diam di rumah. Gara-gara aku kakek jadi seperti ini. Aku harus tahu bagaimana keadaan kakek sekarang. Ya, aku harus ke rumah sakit!” pikir Jin Ri.
Jin Ri lalu mencari kunci mobil Ki Bum.
“Lah, tadi kan kakak membawa mobilnya. Yang ada cuma mobil ayah. Aku tidak berani memakainya tanpa seizin ayah…”
“Maaf, tadi kau belum menjawab pertanyaanku. Ki Bum pergi ke mana? Apa perginya lama?” Minho bertanya lagi karena merasa Jin Ri tak menanggapinya.
“Kau bawa mobil?” Jin Ri balik bertanya.
Minho bingung. Namun tetap mengangguk.
“Boleh aku minta tolong diantarkan ke rumah sakit?”
“Siapa yang sakit?”
“Nanti akan kujelaskan di perjalanan. Kumohon, kita harus cepat!”
“Ba… baiklah…” Minho pasrah.
*****
Ambulance tiba di rumah sakit. Perawat yang sudah menanti kedatangannya dengan sigap memindahkan Kim Myungsuk dari mobil ke tempat tidur rumah sakit. Ia lalu dibawa ke ruang gawat darurat.
Kim San, Min Ah, dan Ki Bum menunggu dengan gelisah. Berkali-kali Kim San berjalan bolak-balik di depan pintu ruang gawat darurat. Setelah menunggu sekian lama, dokter yang memeriksa Kim Myungsuk keluar dengan tersenyum.
“Anda tenang saja. Untung cepat dibawa ke rumah sakit, jadi masih bisa ditangani. Beliau hanya perlu banyak istirahat dan tidak boleh memikirkan hal-hal berat untuk sementara waktu ini,” jelas sang dokter.
“Baik, terima kasih, Dok.”
Tidak lama setelah itu, Kim Myungsuk yang masih belum sadarkan diri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kim San, Min Ah, dan Ki Bum masih setia menunggui Kim Myungsuk hingga siuman.
*****
“Jadi kau akan dijodohkan?” tanya Minho setelah mendengar cerita Jin Ri.
“Mm… Tapi aku tidak menyangka kalau penolakanku akan berdampak buruk bagi kakek…” ucap Jin Ri lirih.
“Mungkin kakekmu berharap banyak padamu. Makanya dia sangat kaget ketika kau menolak permintaannya…”
“Bagaimana menurut kakak? Apa sebaiknya kuterima saja perjodohan itu demi kesehatan kakek?”
“Ha? Kau jangan bertanya padaku… itu sih terserah padamu saja…” jawab Minho yang sibuk menyetir.
Jin Ri menghela napas.
“Kakak tidak mungkin mengerti bagaimana rasanya dijodohkan. Bagaimana rasanya ketika harus menikah dengan orang yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Menikah dengan orang yang tidak kita cintai…”
Minho memandang Jin Ri.
“Siapa bilang aku tidak mengerti?”
“Memangnya kakak juga dijodohkan?” Jin Ri balik bertanya.
Minho terdiam.
“Bukan urusanmu!” jawabnya dingin.
Jin Ri memanyunkan bibirnya.
Mobil Minho kini sudah memasuki pelataran rumah sakit.
“Kalau bukan karena janji kakek dengan almarhum temannya 13 tahun yang lalu, pasti semua ini tidak perlu terjadi…”
“APA?” Minho menghentikan mobilnya mendadak.
“Apa?” Jin Ri tak mengerti apa yang ditanyakan Minho.
“Apa kau bilang tadi?”
“Kalau bukan karena janji kakek dengan almarhum temannya 13 tahun yang lalu, pasti semua ini tidak perlu terjadi,” Jin Ri mengulang pernyataannya tadi.
“Apa kau tahu siapa nama teman kakekmu itu?” Minho semakin penasaran.
“Choi… Soo... Ah, aku tidak begitu mengingatnya…”
“Choi Soo Hyun?”
“Ah, benar. Kakak kok tahu?”
Minho diam. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Terserahlah. Aku turun dulu. Terima kasih atas tumpangannya…”
Jin Ri membungkukkan sedikit kepalanya, lalu turun dari mobil. Ia berlari memasuki rumah sakit.
“Jadi… Jin Ri…”
Minho masih belum bisa percaya.
*****
Tok.. tok.. tok..
Jin Ri membuka pintu.
“Jin Ri?”
Kim San, Min Ah, dan Ki Bum kaget melihat kedatangan Jin Ri.
“Mengapa kau kemari? Bukankah ibu menyuruhmu tetap di rumah?” tanya Min Ah lembut.
“Maaf, Bu, Yah… aku tidak bisa tinggal di rumah dengan tenang sementara kalian berada di sini menunggui kakek. Seharusnya aku yang berada di sini. Karena gara-gara aku kakek menjadi seperti ini. Aku adalah orang yang patut disalahkan…”
Min Ah lalu memeluk Jin Ri.
“Sudahlah… jangan membahas yang telah lalu… sekarang kita sebaiknya berdoa demi kesembuhan kakek…”
“Dokter juga tadi mengatakan kalau ayah baik-baik saja. Dia hanya sedikit kaget…” Kim San menambahkan sambil tersenyum.
Ki Bum tiba-tiba berdiri. Ia lalu menarik tangan Jin Ri keluar dari rumah sakit. Jin Ri yang bingung pasrah saja tangannya ditarik-tarik. Ki Bum membawanya ke halaman rumah sakit. Mereka berdua duduk di bangku yang ada di situ.
“Terima saja!” Ki Bum memulai pembicaraan.
“Maksud kakak?” Jin Ri belum mengerti.
“Aku sudah tahu duduk permasalahannya dari ayah dan ibu. Jadi kuminta agar kau menerimanya saja.”
“Oh…” Jin Ri berpikir sejenak.
“Tapi itu tidak semudah yang kak…”
“Kakek adalah tipe orang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi. Kakek tidak pernah memohon kepada orang lain. Apalagi sampai sakit seperti ini. Terakhir kali kakek masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh ketika nenek meninggal,” Ki Bum memotong perkataan Jin Ri.
Jin Ri memperhatikan Ki Bum.
“Itulah mengapa kakek menjadi pribadi yang sangat keras. Namun kali ini kakek bersedia mengorbankan harga dirinya demi memohon agar kau bersedia dijodohkan denga cucu temannya. Aku tahu ini berat, tapi aku tidak tega melihat kakek seperti ini. Kau mungkin tidak mengerti, tapi dia kakekku…”
Jin Ri kembali menjatuhkan air matanya.
“Aku mungkin tidak mengenal siapa kakek kandungku. Tapi aku senang memiliki kakek seperti kakek. Meskipun dia kelihatannya tak suka denganku, tapi aku tahu dia menyayangiku. Maafkan aku kalau aku sudah membuat kakak marah. Tapi kini dia juga kakekku. Dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Terima kasih atas nasihatnya. Aku akan kembali.”
Jin Ri berdiri. Ki Bum memandangi kepergian Jin Ri.
*****
Klek.
Jin Ri membuka pintu.
Min Ah tersenyum, lalu menyuruh Jin Ri masuk. Kim Myungsuk sudah sadar rupanya.
Min Ah menarik Kim San keluar dari kamar.
“Biarkan mereka berdua bicara…” bisik Min Ah.
Kim San sempat menepuk Jin Ri sebelum keluar.
“Untuk apa kau ke sini?” tanya Kim Myungsuk dingin setelah Kim San dan Min Ah keluar kamar.
“Aku… aku ingin melihat keadaan kakek…” jawab Jin Ri dengan perasaan takut.
“Aku sudah tak ingin melihatmu.”
“Kakek, kumohon maafkan aku…” pinta Jin Ri.
“JANGAN PANGGIL AKU KAKEK. AKU BUKAN KAKEKMU!!”
Kim Myungsuk merintih memegang dadanya yang masih sakit.
“Kakek…” Jin Ri ingin menyentuh kakeknya tapi ditepisnya.
“Jangan sentuh aku. Aku sudah tak sudi lagi berurusan denganmu. Pergi!”
“Aku tidak akan pergi,” Jin Ri bertahan.
“Kalau begitu biar aku yang pergi. Aku akan kembali ke Jerman segera setelah aku keluar dari sini.”
Air mata Jin Ri mengalir. Ia duduk di sisi kakeknya. Ia mengambil napas dalam-dalam.
“Aku sudah memikirkannya. Kalau memang hanya perjodohan ini yang membuat kakek memaafkanku, maka aku akan menerimanya. Kakek tidak perlu khawatir mengenai ibuku. Aku yang akan memberitahunya. Aku pastikan dia akan menyetujui perjodohan ini…”
Jin Ri mengambil tangan kakeknya, lalu menciumnya. Masih denga air mata yang mengalir.
*****
Ki Bum duduk termenung sendirian di taman. Setelah beberapa saat, ia berdiri dan memutuskan untuk kembali ke kamar rawat kakeknya. Ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Siang itu rumah sakit lumayan sepi. Kini ia hampir sampai di kamar kakeknya.
“Ki Bum?”
Ki Bum mengangkat wajahnya.
“Minho? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kaget melihat kehadiran Minho sambil berjalan mendekatinya.
“Aku yang mengantar Jin Ri ke sini. Apa dia tak cerita padamu?”
“Mengantar Jin Ri? Bagaimana bisa? Dia tidak bercerita soal kedatangannya ke sini denganmu…”
“Oh… aku tadi ke rumahmu. Tapi kau tak ada. Dia meminta tolong padaku agar mengantarnya ke sini. Katanya kau juga ada di sini. Aku sekalian ingin menjenguk kakekmu,” katanya sambil menunjukkan karangan bunga yang baru dibelinya.
Ki Bum menyeringai.
“Perhatian sekali kau pada kakekku!”
“Toh dia juga nanti akan menjadi kakekku…”
“Maksudmu?”
“Jadi kau belum tahu?”
“Tahu apa?”
“Kukira hanya Jin Ri yang tidak tahu. Ternyata kau juga belum tahu…”
“Tunggu, masalah apa yang kau bicarakan?” tanya Ki Bum yang sepertinya mulai tahu maksud perkataan Minho.
“Mengenai perjodohanku dan Jin Ri…”
“Apa? Jadi kau orangnya?”
*****
“Kau benar akan melakukannya?” tanya Kim Myungsuk masih dengan suara paraunya.
Jin Ri mengangguk.
Kim Myungsuk lalu merangkul leher Jin Ri dan memeluknya.
“Terima kasih… terima kasih…”
Jin Ri bisa merasakan air mata kakeknya yang mengalir membasahi sedikit rambutnya. Jin Ri juga menangis. Walaupun hatinya terasa berat, tapi ia melakukan semua ini demi kakeknya.
Jin menepuk-nepuk lengan kakeknya, lalu melepaskan pelukannya.
“Kakek sebaiknya istirahat dulu. Kondisi kakek masih lemah. Aku tak mau melihat kakek sedih lagi, apalagi menangis seperti ini. Kakek jadi terlihat sangat-sangat lemah. Kukira kakek adalah orang yang kuat, tegas, dan pantang menyerah?” hibur Jin Ri sambil mengusap air matanya.
Kim Myungsuk tersenyum.
“Memang benar kata Min Ah dan Kim San. Kau memang anak yang baik dan selalu menciptakan keceriaan di mana pun kau berada…” pujinya.
“Kalau begitu, kakek berhutang 1 keceriaan padaku. Kakek harus membayarnya dengan cara cepat sembuh,” ucap Jin Ri tersenyum.
“Sekarang kakek harus istirahat!” perintah Jin Ri sambil menurunkan sandaran tempat tidur dan menaikkan selimut kakeknya hingga menutupi dadanya.
Kim Myungsuk menurut. Ia lalu memejamkan matanya.
Tit.. tit.. tit..
Ponsel Jin Ri berdering. Dari Jisun.
Jin Ri hendak mengangakat teleponnya di luar ruangan agar tidak mengganggu ketenangan kakeknya. Ia lalu membuka pintu. Tapi ditutupnya lagi ketika melihat kedatangan Minho.
“Halo, Jisun, kalau tak penting aku akan meneleponmu kembali sebentar,” bisiknya singkat.
“Ki Bum?”
Jin Ri membuka sedikit pintu agar bisa melihat apa yang terjadi.
“Minho? Apa yang kau lakukan di sini?” itu kakaknya.
“Aku yang mengantar Jin Ri ke sini. Apa dia tak cerita padamu?”
“Mengantar Jin Ri? Bagaimana bisa? Dia tidak bercerita soal kedatangannya ke sini denganmu…”
“Oh… aku tadi ke rumahmu. Tapi kau tak ada. Dia meminta tolong padaku agar mengantarnya ke sini. Katanya kau juga ada di sini. Aku sekalian ingin menjenguk kakekmu.”
“Perhatian sekali kau pada kakekku!”
“Toh dia juga nanti akan menjadi kakekku…”
“Maksudmu?”
“Jadi kau belum tahu?”
“Tahu apa?”
“Kukira hanya Jin Ri yang tidak tahu. Ternyata kau juga belum tahu…”
Mendengar namanya disangkut-pautkan oleh Minho, Jin Ri ikut merasa penasaran.
“Tunggu, masalah apa yang kau bicarakan?”
“Mengenai perjodohanku dan Jin Ri…”
“Apa? Jadi kau orangnya?”
Jin Ri tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Kau tahu kalau dia dijodohkan, tapi tak tahu dengan siapa?”
“Aku hanya tahu kalau dia dijodohkan dengan almarhum teman kakek.”
“Awalnya aku juga begitu. Aku hanya tahu kalau aku akan dijodohkan dengan cucu teman kakek. Jika bukan karena Jin Ri yang menyinggung masalah perjanjian kakekmu dan kakekku, aku juga tak akan tahu secepat ini…”
“Jadi kau setuju? Lalu bagaimana dengan Yuri? Dia sudah tahu?”
“Sudah…”
“Apa katanya?”
“Itulah yang ingin kubicarakan denganmu. Makanya aku datang mencarimu di rumah tadi…”
“Tidak baik bicara di sini. Ayo kita ke tempat lain!”
Jin Ri lemas. Ia lalu membuka pintu. Dilihatnya Minho dan Ki Bum pergi. Ia dijodohkan dengan Minho. Dengan cepat dicarinya kontak Jisun.
Tersambung.
“Halo. Kau kenapa tadi? Seenaknya saja memutuskan pembicaraan…” omel Jisun.
“Jisun, aku tak percaya ini. Sungguh tak percaya…”
To be continued
Author’s NOTE:
Hai hai.. sudah PART 5 nih. Makin seru aja nggak nih?? Pastinya dong!!! *author pede abisss…
Sebenarnya untuk part ini saya masih mau panjangin sedikit lagi, tapi keburu waktu. Berhubung besok saya sudah mulai kuliah untuk semester 2, takutnya sudah tidak ada waktu buat lanjut ngetik lagi. Nanti malah bersarang laba-laba di lappyku seperti part-part sebelumnya. Lumayan kan, selama liburan bisa publish 3 part. Yah nanti dilihat deh, kalau kuliah masih belum sibuk, Insya Allah lanjutannya bakalan cepat kok. Palingan sebulan atau 2 bulan.. *yah, itu mah kelamaan, hehe…
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Langganan:
Postingan (Atom)