::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Rabu, 21 Mei 2014
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 8]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
Sudah pukul 7.30. Jin Ri meraih ponselnya, hendak menelepon Minho.
Sibuk.
Pukul 8.
Pukul 9.
Jin Ri memutuskan untuk menghangatkan kembali ayam panggangnya.
Jin Ri masih menunggu. Ia akhirnya tertidur di sofa. Ia tak tahu, Minho sedang menikmati makan malam berdua dengan Yuri.
*****
Klek.
Minho masuk.
“Ha?” dia kaget melihat Jin Ri yang tertidur di sofa.
“Hei, bangun!” bisiknya.
“Mmm…” Jin Ri hanya bergumam dalam tidurnya.
“Ck…” Minho mendecakkan lidah.
Ia menyimpan tas dan melepaskan jasnya. Ia lalu menggendong Jin Ri ke kamar.
Baru Minho akan membaringkan Jin Ri di atas tempat tidur, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Ini kan kamarku. Bukankah furniturnya sudah datang tadi pagi?”
Minho tidak jadi membaringkan Jin Ri. Ia keluar kamar dan memasuki kamar di sebelahnya.
“Kerjamu bagus hari ini, Jin Ri,” Minho tersenyum melihat semua furniture di kamar sebelah sudah tertata rapi.
Minho membaringkan Jin Ri di atas tempat tidur.
“Ugh, kau sangat berat!” keluhnya.
Minho keluar kamar dan menutup pintu. Ia melonggarkan dasinya. Ia ke dapur hendak minum. Dilihatnya makan malam siap santap di atas meja makan. Ia langsung menolah ke kamar Jin Ri. Timbul sedikit rasa bersalah di hatinya.
“Fuh…!” Minho menghela napas.
Dibereskannya meja makan. Ayam panggang dimasukkan ke dalam kulkas. Ia mengembalikan piring-piring.
“Apa ini?”
Minho mengambil amplop di atas meja dan membukanya.
“Aku dan Jin Ri ke Itali?”
Minho berpikir sejenak. Ia memasukkan amplop tersebut ke saku bajunya. Ia lalu mengambil kantung sampah. Sebelum Minho mengikatnya, ia mengambil bungkusan besar di dalamnya.
“Apa ini?”
‘Ayam Panggang Lezat’
Minho tertawa kecil.
“Jadi dia mencoba membohongiku? Dasar!”
Ia mengikat kantung sampah tersebut dan membuangnya.
*****
Kesesokan paginya…
Jin Ri merenggangkan badannya berkali-kali. Ia bingung kenapa terbaring di kamar. Apa dia berjalan dalam tidurnya?
Ia tiba-tiba teringat akan jadwal sarapan Minho. Ia menyingkap selimutnya dan berlari keluar kamar. Ia berlari menuju dapur, tapi dilihatnya Minho sudah berada di sana. Minho sedang mengeluarkan ayam panggang semalam dari microwave.
“Oh, kau sudah bangun?” katanya begitu melihat Jin Ri.
“Aku hanya menghangatkan ayam panggang semalam. Sayang kalau dibuang, jadi kumasukkan dalam kulkas,” katanya sambil meletakkan piring di meja.
Jin Ri melirik jam dinding.
“Kau tidak berangkat kerja?”
“Apa aku harus kerja di hari Sabtu?”
“Ah…” Jin Ri tidak ingat kalau hari ini hari Sabtu.
“Sudah siap. Ayo makan!” ajak Minho.
“Aku?” Jin Ri menunjuk dirinya.
“Siapa lagi orang di rumah ini selain kita berdua?”
Jin Ri tersenyum kikuk. Ia terlihat bodoh.
“Anggap saja ini sebagai permohonan maafku semalam.”
“Oh ya, memang kau ke mana semalam?” tanya Jin Ri.
“Semalam aku…” tiba-tiba Minho teringat bahwa tidak mungkin ia menceritakan kalau semalam ia makan malam berdua dengan Yuri.
“Aku ada pertemuan mendadak dengan klien,” jawab Minho singkat.
“Kenapa tak mengabariku? Kau kan bisa menelepon atau mengirim sms. Apa susahnya? Kau tahu, aku menunggu sangat sangat lama. Aku bahkan sampai tertidur di sofa. Tapi ketika bangun aku ada di kamar. Aku sempat berpikir kalau aku jalan tidur. Tapi aku belum pernah mengalami ini sebelumnya,” oceh Jin Ri.
“Siapa yang tahu apa yang kau lakukan saat tidur! Sudahlah, cepat makan! Tidak usah protes! Mumpung pagi ini moodku sedang baik. Jangan buat aku marah-marah lagi!”
Jin Ri menghela napas.
“Selamat makan!”
*****
Jin Ri baru selesai mencuci piring. Minho duduk menonton tv.
“Hei!” panggil Minho ketika Jin Ri akan memasuki kamar.
“Jangan panggil ‘hei’, aku punya nama!” protes Jin Ri.
“Jin Ri!” Minho mengulangi.
Jin Ri tersenyum.
“Ada apa?”
“Duduk sini!”
“Ada apa?” Jin Ri kembali bertanya seraya duduk.
“Apa maksudnya? Kita berdua akan ke Itali minggu depan?” tanya Minho sambil menunjukkan amplop yang didapatnya semalam.
“Oh, itu dari kakek. Kemarin dia memanggilku ke rumah. Dia memberiikan itu. Katanya itu tiket bulan madu.”
“APA??” Minho sangat kaget.
“Bu… bulan madu?” ia memperjelas.
Jin Ri mengangguk.
“Tidak mau! Aku tidak akan pergi!”
“Jangan, kita harus pergi! Kakek bisa marah. Kau tidak tahu kalau kakek marah dia bisa lebih mengerikan daripada monster,” Jin Ri ketakutan.
“Memang kau pernah dimarahi monster?”
Jin Ri menunduk, ia menggeleng.
“Itu kan hanya perumpamaan…”
“Pokoknya aku tidak mau!”
“Tapi kenapa? Itu kan Itali… aku sudah lama ingin ke sana! Terutama ke Venesia. Ayo… kita pergi ya…!” bujuk Jin Ri.
“Sekali tidak, tetap tidak, dan selama lama lama lamanya juga jawabanku tetap tidak. Tidak akan berubah sama sekali!” tegas Minho.
“Iya, tapi kenapa?”
“Aku banyak pekerjaan di kantor!” Minho berbohong.
*****
“APA? DIA TIDAK MAU PERGI?” suara Kim Myungsuk meninggi.
“Bukan tidak mau, Kek. Tapi tidak bisa…” protes Jin Ri.
“Apa bedanya? Kalian juga tidak akan ke sana.”
“Kak Minho kan banyak pekerjaan di kantor, Kek…” bela Jin Ri.
“Tidak bisa, tetap tidak bisa. Beraninya dia menomorduakan bulan madu kalian!”
*****
“Iya, Yah. Baik. Aku mengerti.”
Tit.
Minho menutup telepon. Ia menghembuskan napas beratnya.
Tok.. tok..
Ia mengetuk kamar Jin Ri.
Klek.
“Kenapa? Tolong jangan menyuruh atau memarahiku dalam waktu dekat ini… kakek baru saja memarahiku habis-habisan. Padahal kan bukan aku yang salah. Aku malah membelamu. Mengatakan kau memiliki pekerjaan yang sangat penting di kantor dan tidak bisa ditunda dan dialihtugaskan, apalagi ditinggalkan…” jelas Jin Ri.
“Ayo kita pergi!”
“Memang kau mau mengajakku ke mana?”
“Bukan kah kau yang bilang kalau sudah lama ingin pergi ke Itali?”
Mata Jin Ri berbinar-binar.
“Kau berubah pikiran?”
“Tidak usah banyak bertanya!” Minho kembali ke kamarnya.
Jin Ri tersenyum sendiri. Ia menutup pintunya.
“AAAAAAAAAAAA!!!!!! Italy, I’m coming!!!” Jin Ri berteriak sambil melompat-lompat di atas tempat tidur.
*****
FLASHBACK
“APA? DIA TIDAK MAU PERGI?” suara Kim Myungsuk meninggi.
“Bukan tidak mau, Kek. Tapi tidak bisa…” protes Jin Ri.
“Apa bedanya? Kalian juga tidak akan ke sana.”
“Kak Minho kan banyak pekerjaan di kantor, Kek…” bela Jin Ri.
“Tidak bisa, tetap tidak bisa. Beraninya dia menomorduakan bulan madu kalian!”
“Bukan begitu, Kek…”
“Memang apa yang sudah kau lakukan? Kau pasti membuat masalah sehingga Minho marah padamu. Akhirnya dia tidak mau pergi. Apa itu benar?”
“Ti… tidak, Kek… aku tidak membuat masalah kok. Kak Minho memang tidak bisa pergi. Kenapa aku yang disalahkan?”
“Jangan coba-coba menyalahkan orang lain. Sebagai istri, kau harusnya bisa membujuk suamimu!”
“Iya, Kek… aku mengerti…”
“Sudahlah, kau tenang saja! Aku akan mengurus semuanya.”
Tit.
*****
“Halo!”
“Halo, Hyunmoo. Ini aku, Kim Myungsuk.”
“Oh, tumben Anda menelepon. Ada masalah apa?”
“Ini masalah Minho dan Jin Ri.”
“Ada apa dengan mereka?”
Kim Myungsuk menceritakan semuanya.
“Apa? Apa-apaan anak itu! Anda tenang saja! Aku akan segera meneleponnya.”
“Ah, iya. Terima kasih sebelumnya. Maaf merepotkan Anda.”
“Tidak usah sungkan. Ini demi rumah tangga mereka.”
Tit.
*****
Minho sedang berbaring di kamarnya. Ponselnya berbunyi.
“Ya, Ayah!”
“Apa maksudmu tidak bisa pergi ke Itali karena banyak urusan di perusahaan?”
Minho langsung duduk mendengar ucapan ayahnya.
“Da… dari mana ayah tahu?”
“Barusan kakeknya Jin Ri meneleponku. Dia sangat marah pada kalian.”
“Ah, itu… aku benar-benar tidak bisa pergi, Yah. Terlalu banyak pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan. Rapat, meeting de…”
Belum sempat Minho menyelesaikan alasannya, Hyunmoo sudah memotong.
“Jangan membuat alasan yang bukan-bukan. Serahkan semuanya pada Sekertaris Yoon. Kau seharusnya mengambil cuti kerja. Masa kau hanya mengambil cuti di hari pernikahanmu? Itu tidak masuk akal sama sekali. Lagi pula perusahaan masih atas nama ayah. Jadi ayah yang punya otoritas paling tinggi di perusahaan. Ayah berhak menentukan kapan kau boleh bekerja dan kapan tidak. Yang harus kau lakukan sekarang adalah pergi ke Itali bersama Jin Ri. Mengerti?”
“Iya, Yah. Baik. Aku mengerti.”
Tit.
Minho menutup telepon. Ia menghembuskan napas beratnya.
FLASHBACK END
*****
Seminggu kemudian…
Jin Ri menatap schedule keberangkatan di bandara.
“Apa yang kau lakukan?” Minho baru selesai melakukan check in.
“Aku hanya tidak percaya, beberapa menit lagi kita akan terbang menuju Itali,” Jin Ri tersenyum.
“Ish, dasar lebay!”
Minho pergi. Jin Ri mengikutinya menuju waiting room.
*****
Jin Ri duduk di samping jendela. Dia sibuk memperhatikan sepasang kekasih yang duduk bersebelahan dengan penuh kemesraan.
Minho mengamati apa yang dilihat Jin Ri.
“Hei, apa yang kau lihat? Dasar tidak sopan!” kata Minho.
Jin Ri menghentikan aktivitasnya.
Selang beberapa menit penerbangan, Jin Ri kembali memperhatikan pasangan itu. Si perempuan tidur bersandar pada bahu kekasihnya. Minho kembali mengamati apa yang dilihat Jin Ri.
“Ingat ya, jangan coba-coba bersandar di bahuku!”
“Iya… aku juga tahu, kok…”
Beberapa saat kemudian Jin Ri tertidur. Saat itu pesawat dalam keadaan yang kurang baik. Cuaca buruk. Pesawat bergoyang. Kepala Jin Ri pun terantuk ke jendela di sampingnya. Ia memperbaiki posisi tidurnya. Ia hampir jatuh ke depan. Begitu seterusnya.
Tiba-tiba Minho menahan kepala Jin Ri lalu menyandarkannya di bahunya. Saat pesawat mulai bergoyang lagi, Minho menahan kepala Jin Ri.
Saat Jin Ri terbangun, ia kaget mendapati dirinya bersandar di bahu Minho. Ia melirik Minho. Ia juga tertidur. Jin Ri mengelus dadanya, lega. Lega kalau aksinya tidur bersandar di bahu Minho tidak disadari oleh Minho, pikirnya.
*****
Mata Jin Ri membulat. Itali. Keindahan kota Roma di malam hari benar-benar membuatnya kagum. Minho menahan taksi. Ia memperlihatkan supir taksi nama hotel yang sudah dibooking oleh Kim Myungsuk.
Di dalam taksi Jin Ri dan Minho tidak saling berbicara. Sesekali Jin Ri melirik Minho. Tapi Minho tidak berkata apa-apa. Ia benar-benar tidak sadar akan kejadian di pesawat tadi, pikir Jin Ri.
Mereka sampai di hotel yang mereka maksud. Ternyata tidak terlalu jauh dari bandara. Si supir taksi mengatakan sesuatu. Tapi Minho dan Jin Ri tidak mengerti. Mungkin si supir mengatakan kalau mereka sudah sampai. Minho membayar taksi sesuai harga yang tertera di argo taksi. Penunggu pintu hotel membantu membawakan barang.
Jin Ri dan Minho segera check in. Di meja resepsionis ada sebuah pamflet kecil yang bertuliskan ‘Trip to Venice’. Tulisan itu mengundang ketertarikan Jin Ri. Ia pun bertanya pada perempuan yang melayani mereka.
“Excuse me, does this hotel offer a trip to Venice?”
“Yes Madam. There are two seats left. Tonight is the time limit of the registration. We will leave tomorrow morning. Do you want to register?” si resepsionis menatap Jin Ri dan Minho bergantian.
Mereka menjawab bersamaan.
“No, thank you!” jawab Minho dingin.
“Yes!” jawab Jin Ri bersemangat.
Minho dan Jin Ri bertatapan.
“Kau gila? Mereka akan melakukan perjalanannya besok pagi. Apa kau tak capek?” tanya Minho kesal mengetahui jawabannya berbeda dari Jin Ri.
“Dengan atau tanpa dirimu, aku akan ke Venesia besok. Hal ini sudah lama kuimpikan dan sudah menjadi keputusanku. Rugi kalau tidak ke sana,” Jin Ri sangat senang dengan keputusannya.
“I want to register!” ucap Jin Ri pada si resepsionis.
“You can fill this form please!” si resepsionis memberiikan formulirnya.
Minho menarik napas panjang.
“Please give me one, I’ll register!” kata Minho akhirnya.
Jin Ri berhenti menulis. Ia menoleh pada Minho. Ia tersenyum melihat Minho juga mengisi formulir tersebut.
*****
“Kenapa kau mau ikut?” tanya Jin Ri dalam lift.
“Kau pikir apa yang akan terjadi kalau kakek, ayahmu, dan ayahku tahu kalau kau pergi ke Venesia sendirian? Habislah aku. Aku juga pergi semata-mata karena aku peduli akan keselamatan diriku, bukan karena dirimu,” terang Minho.
“Benar juga sih…”
Ting. Pintu lift terbuka.
Mereka menuju kamar 402.
“Kau boleh tidur di sana, aku akan tidur di sofa,” kata Minho sambil menoleh ke tempat tidur.
“Tumben…” Jin Ri belum selesai bicara tapi Minho sudah memotong pembicaraannya.
“Sudah… aku ngantuk. Sebaiknya kau juga cepat tidur kalau besok kau tak mau ditinggal rombongan,” Minho menaruh bantal di sofa.
*****
Ternyata benar, Jin Ri bangun kesiangan. Dia hampir saja ditinggal rombongan. Bahkan Minho sudah tidak ada di kamar. Dia sedang sarapan di restoran hotel.
Jin Ri menggerutu. Dia mengutuki Minho yang tidak membangunkannya. Dia lalu mandi dan berdandan seadanya. Karena telat, Jin Ri bahkan tak sempat sarapan. Semua orang telah menunggu dalam bus wisata.
Jin Ri duduk di samping Minho dengan kesal. Jin Ri mengelus perutnya. Dia lapar. Minho memberiikannya sebuah bungkusan.
“Apa ini?” tanya Jin Ri.
“Ambil saja…”
Jin Ri membuka bungkusan itu. Isinya sandwich dan susu. Wajah Jin Ri berubah sumringah.
“Terima kasih. Tahu aja kalau aku lapar…”
Minho tersenyum tipis. Saking tipisnya, Jin Ri pun tak akan melihat senyumannya.
Setelah makan dengan lahap, Jin Ri mengutak-atik ponselnya. Dia mengetik ‘Venice’ di Google. Dia membuka salah satu situs.
Deg. Dada Jin Ri berdebar. Ia menaruh kedua tangannya di dadanya, sehingga ia bisa merasakan debaran jantungnya yang sahut-menyahut. Ia menoleh pada Minho. Merasa diperhatikan oleh Jin Ri, Minho pun balas menoleh. Jantung Jin Ri serasa berdetak semakin cepat. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke ponselnya lagi. Pura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Dia kenapa?” pikir Minho.
Bus terus melaju. Mereka akhirnya tiba di dermaga. Rombongan harus melanjutkan perjalanan menggunakan kapal.
Venesia terkenal dengan julukan ‘Kota di atas air’. Di kota ini hanya terdapat kapal dan perahu sebagai alat transportasi utama, selebihnya orang-orang lebih senang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.
Setelah beberapa menit, rombongan akhirnya tiba di Venesia. Tempat yang sangat indah. Itulah kesan pertama Jin Ri ketika menginjakkan kaki di kota ini. Sepanjang mata memandang, yang ada hanyalah turis. Turis-turis berdatangan ke kota ini setiap harinya dari berbagai belahan dunia. Betapa tidak? Kota ini menawarkan keindahan dan wisata yang sangat luar biasa dan tidak ada duanya di tempat lain.
Gondola adalah wisata unggulan Venesia. Guide mengajak rombongan berkeliling kota, sampai akhirnya tiba di suatu tempat yang penuh dengan gondola. Setiap gondola hanya bisa dinaiki 6 orang, ditambah si pemilik gondola yang mendayung gondola. Si pendayung memakai seragam bergaris hitam putih.
Hampir seluruh rombongan terdiri dari pasangan. Ada pasangan suami-istri dan kekasih. Setiap orang yang menaiki gondola akan diberikan anggur. Setelah mengantri beberapa saat, Jin Ri dan Minho akhirnya naik juga. Mereka berdua duduk di bangku paling belakang. Tepat di belakang mereka, berdiri si pendayung. Setelah semuanya siap, si pendayung mulai mendayung. Ia bernyanyi dalam bahasa Italia yang sama sekali tidak dimengerti oleh Jin Ri dan Minho. Tapi mereka tetap menikmati setiap irama lagunya.
*****
Minho mulai sibuk memotret pemandangan-pemandangan di hadapannya.
Deg. Debaran itu muncul lagi. Jin Ri bisa dengan jelas merasakannya.
“Jembatan itu, Rialto Bridge.” kata Jin Ri melihat jembatan itu dari kejauhan.
“Apa?” Minho menghentikan aktivitasnya.
“Jembatan itu sangat terkenal. Ternyata benar, jembatan itu sangat indah.”
“Jadi itu terkenal?”
“Mm...” gumam Jin Ri.
Minho pun mulai memotret jembatan itu.
“Kenapa bisa terkenal?” tanya Minho.
Deg. Lagi-lagi debaran itu muncul dengan sendirinya.
“Katanya, setiap pasangan yang berciuman tepat di bawah jembatan itu akan selalu bersama selamanya. Cinta mereka akan kokoh seperti jembatan itu,” Jin Ri menjelaskan sambil tersenyum.
Minho memperhatikan setiap perkataan Jin Ri. Ia lalu memperhatikan jembatan itu dengan seksama.
“Aku berani taruhan, kedua pasangan di depan kita pasti akan berciuman tepat di bawah jembatan itu!” ucap Jin Ri bersemangat.
“Kau tak percaya?”
Minho tidak menjawab.
“Kita lihat saja nanti!” sambung Jin Ri.
Ketika jembatan itu sudah semakin dekat, Jin Ri menghitung mundur.
“Perhatikan baik-baik! 10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3… 2… 1! Mmpfhh…”
Tepat hitungan terakhir, Minho mencium Jin Ri. Jin Ri sangat kaget. Ia sama sekali tidak mengira hal itu akan terjadi. Seharusnya Minho memberi tahunya sebelum melakukan hal itu.
Pikiran Jin Ri melayang ke mana-mana. Minho melepaskan ciumannya setelah gondola mereka melewati jembatan itu. Jin Ri bisa merasakan air mukanya yang merah. Ia bahkan tidak mau menoleh pada Minho. Ia sangat malu.
*****
“Jin Ri… Jin Ri…!!!” Minho mengguncang-guncang bahu Jin Ri.
Jin Ri tersadar.
“Kau kenapa sih? Kau melamun? Kita sudah sampai nih. Lihat, semua penumpang bahkan sudah turun. Kita harus kembali ke rombongan. Cepat!” Minho meninggalkan Jin Ri.
Jin Ri menepuk jidatnya.
“Jadi aku dari tadi melamun? Dasar mesum! Dasar bodoh!” Jin Ri mengutuki dirinya sendiri.
“Jin Ri…” Minho memanggilnya lagi.
“Iya… iya… aku ke sana…”
Dompet Jin Ri terjatuh. Terselip di bawah bangkunya.
*****
Rombongan berjalan melewati Rialto Bridge, menyusuri jalan-jalan yang seperti labirin, dan akhirnya tiba di Piazza San Marco.
“Wah…!” Jin Ri takjub melihat sekumpulan burung merpati di tengah jalan.
“Kak Minho, foto aku… foto akuuuu!!”
“Ish, anak ini…” gumam Minho.
Walaupun menggerutu, Minho tetap memenuhi permintaan Jin Ri.
“Excuse us, can you take some pictures of me and my wife?” seorang laki-laki dan perempuan paruh baya menepuk pundak Minho.
“Oh, sure,” jawab Minho.
Laki-laki itu memberiikan kameranya. Mereka berdua berdiri di tengah-tengah kumpulan burung merpati tak jauh dari Jin Ri.
“Thank you!” kata laki-laki itu tersenyum.
“No problem,” Minho balas tersenyum sambil menyerahkan kamera milik laki-laki itu.
“I’ll take pictures of you,” kata laki-laki itu sambil melihat ke arah Minho dan Jin Ri.
Minho dan Jin Ri saling berpandangan.
“It’s okay, I don’t mind,” sambung laki-laki itu.
“Eh, th… thank you,” jawab Minho dan Jin Ri.
Mereka berdua pun berfoto di tempat yang sama dengan laki-laki tadi.
“Closer!” teriak laki-laki itu sambil mengisyaratkan agar Minho dan Jin Ri lebih rapat.
Minho dan Jin Ri berpandangan lagi. Mereka pun bergeser agar lebih dekat.
Jin Ri serasa ingin meledak. Jantungnya berdegup sangat kencang.
*****
Rombongan kembali berjalan. Minho dan Jin Ri berjalan paling belakang. Terdengar suara guide yang memimpin perjalanan mereka menjelaskan berbagai bangunan bersejarah dan terkenal di kiri kanan mereka.
Mereka berhenti tepat di depan toko penjual es krim. Katanya es krim khas Venesia dijual di toko itu. Mereka semua masuk ke toko itu.
“Aku mau beli es krim. Kau mau juga?” tanya Jin Ri pada Minho.
Minho menggeleng.
Jin Ri memilih es krim yang dia suka. Ketika akan membayar, ia merogoh tasnya mencari dompet.
Wajah Jin Ri pucat. Ia tak bisa menemukan dompetnya. Ia menoleh pada Minho.
“Apa?” tanya Minho.
“Dompetku nggak ada,” jawab Jin Ri panik.
Minho pun membayarkan es krim yang sudah terlanjur diminta Jin Ri.
“Sudah kau periksa baik-baik?” tanya Minho.
“Sudah…” jawab Jin Ri sambil mengorek isi tasnya.
“Apa mungkin kau lupa membawanya?”
“Tidak mungkin. Aku tidak pernah mengeluarkan isi tasku semenjak kita tiba kemarin. Aku ingat sekali dompetku ada di sini.”
“Kapan terakhir kali kau melihatnya?”
“Aku masih melihatnya sewaktu menaiki gondola tadi. Aku mengambil ikat rambut di tas. Jelas-jelas aku melihat dompetku…” Jin Ri rasanya akan menangis.
“Apa mungkin kau kecopetan?”
“Ah… betul juga. Bisa jadi begitu! Apa yang harus aku lakukan??”
“Tunggu di sini. Aku akan bicara dengan guide kita.”
Minho pergi bertanya pada guide mereka. Ia menjelaskan duduk perkaranya. Guide sangat menyesal tidak bisa membantu mencari karena memandu rombongan. Minho berjanji akan kembali ke rombongan sejam lagi. Mereka sepakat bertemu pusat kerajinan kaca tak jauh dari tempat itu.
“Ayo!” Minho menarik tangan Jin Ri.
“Ke mana?”
“Mencari dompetmu yang hilang entah di mana.”
“Maksudku ke mana kita akan mencarinya?”
“Kita harus menemukan gondola yang kita naiki tadi. Kemungkinan besar dompetmu jatuh di situ.”
Setiba di sana, mereka mulai mencari gondola yang mereka naiki. Setelah mencari beberapa saat, mereka tidak menemukan gondola yang mereka cari. Mereka lalu menuju tempat pemberhentian gondola. Beruntung, gondola yang mereka cari baru saja merapat.
Setelah semua penumpangnya turun, Minho bertanya pada tukang gondola.
“Excuse me, I’m looking for my wife’s wallet. She thinks maybe she forgot hers in your gondola.”
Tukang gondola itu lalu berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Minho dan Jin Ri. Tukang gondola itu menggelengkan kepalanya.
Minho mengerti. Rupanya tukang gondola itu tidak bisa berbahasa Inggris. Minho menjelaskan pelan-pelan.
“She (Minho menunjuk Jin Ri) forgot her wallet (Minho menunjukkan dompetnya) in your gondola (Minho menunjuk gondolanya).”
Setelah mengulangnya beberapa kali dengan bahasa isyarat, akhirnya tukang gondola itu mengerti. Ia mempersilakan Minho dan Jin Ri mencari dompet tersebut di gondola.
Jin Ri dan Minho mencarinya. Jin Ri tidak menemukannya. Minho melongok ke bawah tempat duduk yang tadi mereka duduki. Ketemu.
“Apa ini dompetmu?”
“Ah… benar! Itu dompetku. Di mana kau menemukannya?” Jin Ri kegirangan.
“Di bawah situ. Coba kau periksa isinya! Apa ada yang kurang atau hilang?”
Jin Ri memeriksa isi dompetnya. Lengkap dan tidak kurang suatu apapun.
“Isinya masih lengkap,” Jin Ri tersenyum.
“Syukurlah! Ayo kita kembali.”
“Thank you,” Minho memberiikan sedikit tip pada tukang gondola itu.
“Thank you,” Jin Ri juga mengucapkan terima kasih.
Tukang gondola itu berbicara dalam bahasanya. Satu-satunya kata yang dimengerti Minho dan Jin Ri adalah ketika tukang gondola itu mengucapkan, “Sayonara!”, sambil melambaikan tangan. Mereka berdua membalas lambaian tersebut sambil tersenyum.
“Terima kasih sudah membantu menemukannya,” ucap Jin Ri tulus.
“Aku tidak membantu, tapi memang aku yang menemukannya. Kau tidak melakukan apa-apa,” balas Minho dingin.
“Iya… iya… aku tahu. Terima kasih sudah menemukan dompetku. Terima kasih juga sudah membayarkan es krimku tadi, meski aku tak sempat memakannya karena panik dompetku hilang.”
Mereka terus berjalan.
“Ah, bisa berhenti sebentar. Aku lelah,” pinta Jin Ri.
Mereka berhenti di Rialto Bridge.
“Bukankah ini jembatan yang kita lewati tadi?” tanya Minho.
“Mm… indah, bukan?”
“Ya. Pemandangannya berbeda dengan saat kita melihatnya dari bawah.”
Minho memotret sekelilingnya.
“Aku memutuskan tidak akan membeli dompet baru,” kata Jin Ri.
“Kenapa?” tanya Minho sambil terus memotret.
“Aku punya 2 alasan. Pertama, karena dompet ini pernah hilang di Venesia, kota yang paling ingin kukunjungi dalam hidupku. Kedua, karena Kak Minho yang telah menemukannya.”
Minho berhenti memotret. Ia menoleh pada Jin Ri yang tersenyum padanya.
Minho menarik napas panjang.
“Lihat itu! Ada yang berciuman di bawah jembatan!” seru Minho tiba-tiba.
“Mana?” Jin Ri penasaran.
Cup~
Jepret.
Minho mencium pipi Jin Ri. Ia juga memotret dirinya tengah mencium Jin Ri.
Jin Ri kaget. Ia mematung sejenak. Kali ini tak hanya jantungnya yang berdegup sangat kencang. Tangannya dingin dan wajahnya juga memerah.
“Aku tak akan menghapus foto ini,” kata Minho.
“Kenapa?” Jin Ri penasaran.
“Karena…. di foto ini…. kau terlihat sangat…. jelek!” Minho tertawa.
“Dasar! Berikan kameramu biar kuhapus foto itu!”
“Ambil saja kalau bisa!” Minho mengangkat kameranya tinggi-tinggi.
Jin Ri berusaha mengambilnya, tapi tentu saja tidak bisa. Minho sangat tinggi.
“Kau boleh menghapusnya setelah berhasil mendapatkannya,” kata Minho sambil berlari.
“Aish!” Jin Ri mengejar Minho.
“Tunggu saja, akan kuhapus foto ituuuuuuuuuuu!!!!!!”
*****
“Ke mana kita hari ini?” tanya Minho pada Jin Ri.
“Ayo pergi makan pizza dan pasta!” jawab Jin Ri bersemangat.
“Hei, apa kita tidak bisa makan makanan lain? Jauh-jauh ke sini masa hanya makan pizza dan pasta.”
“Ini hari terakhir kita di sini. Lagi pula rasanya pasti akan berbeda dengan dengan yang biasa kumakan di Korea.”
“Terserah kau sajalah!”
Jin Ri tersenyum bahagia.
Mereka berdua berjalan menelusuri jalan-jalan yang ramai dengan para pejalan kaki. Mereka mampir di sebuah kafe.
Seorang pelayan menghampiri mereka berdua. Pelayan itu menunjukkan tempat duduk untuk mereka.
Pelayan itu tidak bisa berbahasa Inggris. Dia menunjukkan menu kafe itu.
Jin Ri segera mencari menu pizza dan pasta.
“1 pizza, 2 pasta, and 2 cappucino,” pesan Minho menggunakan bahasa isyarat.
Pelayan itu mengerti dan mencatat pesanan mereka, lalu pergi.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Jin Ri sibuk dengan ponselnya sedangkan Minho sibuk dengan kameranya.
“Aku baru ingat kalau aku belum membelikan ibu, ayah, kakek, Kak Kibum, dan Jisun apapun,” kata Jin Ri mengingat-ingat.
“Nanti kita beli…” timpal Minho tetap fokus pada kameranya.
Jin Ri menopang dagunya memperhatikan Minho.
Merasa diperhatikan, Minho mengangkat wajahnya.
“Apa?”
Jin Ri tidak merespon. Ia terus memperhatikan Minho.
Minho memperhatikan bajunya, mungkin ada yang salah. Menurutnya ia baik-baik saja.
“Hei!”
“Ah?” Jin Ri tersadar.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa…”
Beberapa detik kemudian Jin Ri kembali memperhatikan Minho.
“Ada apa sih?” Minho penasaran.
Jin Ri memutar matanya dan melontarkan jawaban yang sama.
“Tidak ada apa-apa…”
Pelayan tadi datang membawa minuman mereka. Tidak lama kemudian disusul pasta dan pizza pesanan mereka.
Jin Ri makan dengan tenang. Ia terlihat menikmati pastanya. Ia menghabiskannya dengan cepat.
Minho lalu mengambil tisu dan melap mulut Jin Ri yang belepotan karena saus pasta.
Deg.. deg..
Jantung Jin Ri berdetak semakin kencang. Ia berdeham dan menyingkirkan tangan Minho.
“Aku bisa melakukannya sendiri,” katanya tersenyum.
Jin Ri lalu mengambil tisu dan melap mulutnya sendiri. Ia melanjutkan aktivitasnya untuk memakan pizza.
Jin Ri merasa suasananya menjadi sedikit berbeda.
“Eh… kau juga punya sesuatu di sini…” kata Jin Ri menunjuk sudut bibirnya.
“Eh…” Minho melap mulutnya sendiri.
Jin Ri tersenyum lalu menghabiskan pizza bagiannya.
“Kita ke mana setelah ini?” tanya Minho.
“Jalan-jalan!”
“Ke mana?”
“Ke mana saja…”
*****
Jin Ri terdiam melihat pemandangan di depannya. Ia tersenyum melihat puluhan burung merpati berkumpul di tengah-tengah kota. Banyak turis yang berdiri di tengah kawanan burung itu untuk memberi makan.
Jin Ri celingak-celinguk mencari penjual makanan burung. Ia melihat beberapa penjual berjejer tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berlari ke sana.
“Kau mau ke mana?” teriak Minho.
Ia mengejar Jin Ri.
“Kau mau apa?”
“Foto aku yah!” suruh Jin Ri.
Jin Ri lalu berlari ke tengah-tengah kumpulan burung tersebut. Burung-burung mulai mengerumuninya.
“Ayooo… foto akuuu!!!” teriak Jin Ri.
Minho mengambil beberapa foto, walaupun masih merasa bingung.
“Sudah?”
Minho mengangguk.
“Ayo kita pergi!” ajak Jin Ri setelah memberi makan burung-burung itu.
“Ada ide kita mau ke mana?” sambungnya.
“Bagaimana kalau kita ke…”
Mereka pun sibuk merencanakan tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi.
*****
Esok paginya, Jin Ri dan Minho sibuk menge-pack barang-barang mereka.
Jin Ri sibuk menghitung-hitung.
“Kau sedang apa?” tanya Minho.
“Memastikan bahwa tidak ada oleh-oleh yang terlupa!” seringai Jin Ri.
Tit.. tit..
Ponsel Minho berdering. Nomor tak dikenal.
Minho malas menjawap panggilan itu.
Tit.. tit..
Ponselnya kembali berdering.
Minho melirik. Masih nomor yang tadi.
“Angkat saja…!” saran Jin Ri sambil sibuk memasukkan pakaiannya ke koper.
Dengan malas Minho menjawab panggilan itu.
“Halo…”
“Minho? Sekarang aku di Itali!”
To be continued
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Maaf untuk keterlambatan yang sangat sangat terlambat ini. Semoga tetap setia mengikuti cerita Lovey Dovey Cookey ini hingga selesai. Terima kasih *sekali lagi deep bow.
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar