::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Kamis, 06 September 2012
SUMUR KERAMAT KAKEK SAM
“JANGAN DEKATI SUMUR ITU!!!”
Aku selalu menutup telinga ketika mendengar kakek mengatakan hal itu. Kata-kata itu sudah kudengar ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali. Sejak aku kecil berumur 4 tahun hingga kini usiaku 16 tahun.
Sumur itu hanyalah sumur tua yang ada di belakang rumah Kakek Sam. Dikatakan sumur Kakek Sam karena letaknya yang masih berada di tanah hak milik Kakek Sam. Sedangkan keramat? Aku tak tahu. Itu hanya kata kakekku dan warga sekitar yang meyakini kalau sumur itu memang ada penunggunya alias keramat.
Katanya, sumur itu telah ada jauh sebelum aku lahir dan mungkin jauh sebelum kakek lahir. Ya, dengan kata lain sumur itu sudah ada sejak kampung ini ada.
Setiap kali kakek memperdengarkanku wejangan-wejangannya yang membosankan, aku selalu bertanya hal yang sama. “Kenapa, Kek? Kenapa tidak boleh?” Tapi aku juga selalu mendapat jawaban yang sama. “Tidak boleh karena sumur itu keramat.” “Kenapa keramat, Kek?” “Karena ada penunggunya.” Hah… sumur itu semakin lama semakin membuatku muak.
Karena tak mendapat satu petunjuk pun dari kakek, aku menanyakan hal yang sama dengan warga lain. Sebut saja Nenek Lela. Dia adalah teman kecil kakekku. Nenek Lela tinggal sebatang kara di kampung ini. Suaminya meninggal karena sakit dan anak pergi merantau tak kunjung kembali.
“Nek, kumohon ceritakanlah padaku!”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Karena sumur itu keramat.”
“Kata siapa keramat?”
“Sejak nenek tinggal di sini, sumur itu sudah dikeramatkan. Jadi berhentilah bertanya!”
“Tapi aku bisa mati penasaran karena sumur itu.”
“DAN AKU BISA MATI KARENA MENCERITAKAN SUMUR ITU!”
Nenek Lela tampak terengah-engah. Sepertinya dia sangat marah. Apa yang barusan dikatakannya? Dia pasti hanya menakut-nakutiku saja agar aku tak bertanya lagi padanya.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku menanyakan hal ini padanya. Sudah berkali-kali. Tapi tidak sebanyak kakekku.
“Apa maksud nenek?”
“Ah, lupakanlah!”
Aku tergolong orang yang kuat, keras, dan pantang menyerah. Meskipun sudah ditolak berkali-kali, aku tetap tidak putus asa. Aku terus bertanya dan bertanya. Baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Termasuk Kakek Sam.
“Jangan! Jangan bertanya padaku!” kata Kakek Sam saat melihatku datang. Padahal menyapanya saja belum aku lakukan. “Pergi! Tanya saja pada kakekmu atau pada orang lain! Yang penting, jangan pernah tanya padaku!”
“Tapi sumur itu milik Kakek Sam. Aku yakin, tidak ada satu pun orang di kampung ini yang tahu pasti selain kakek sendiri.”
“Aku masih belum terlalu tua. Aku tak mau mati hanya karenamu. Biarlah Tuhan saja yang mengambil nyawaku. Jangan kamu! Pergi sana! Aku tak akan mau bercerita apa-apa.”
Apa ini? Kakek Sam juga membicarakan hal yang sama dengan Nenek Lela. Sumur itu… sumur itu benar-benar membuatku penasaran. Meskipun aku akan mati, aku tak akan membiarkan diriku mati sebelum mengetahui rahasia di balik sumur itu. Aku berjanji.
Di suatu siang yang terik, saat itu kakek sedang tidur siang, aku pergi ke rumah Kakek Sam. Tapi bukan untuk menemui Kakek Sam, melainkan sumur itu. Aku bukan anak kecil lagi. Saat ini aku berusia 16 tahun. Jadi aku sudah tak bisa dibohongi lagi.
Dengan mengendap-endap aku berjalan menuju halaman belakang rumah Kakek Sam. Sepertinya dia juga sedang tidur.
Nah, ini dia! Sumur itu sudah di depan mataku. Sumur itu ditutupi oleh seng bekas yang sudah karatan. Aku coba membuka tutupnya tanpa menimbulkan suara, tapi tetap saja seng tua itu menimbulkan suara yang membuat gigiku ngilu. Aku berhenti sejenak. Kutajamkan pendengaranku. Mungkin akan ada reaksi dari Kakek Sam. Setelah kutunggu beberapa saat, tak terdengar apa-apa, berarti aku aman.
Kulanjutkan aktivitasku membuka tutup seng itu. Perlahan-lahan, akhirnya terbuka juga. Aku melongok ke dalam sumur itu. Gelap. Tak ada apa-apa. Aku memegang dinding bagian dalam sumur itu. Lembab dan berlumut. Aku mengeluarkan kepalaku.
“Apanya yang keramat? Di sini bahkan tak ada apa-apa.”
Sialnya, seseorang mendapatiku di sumur itu, tanpa aku menyadarinya. Ia lalu memberitahukan hal itu pada kakek. Kakek sangat marah. Mungkin kakek murka padaku. Air mukanya memerah, matanya melotot. Aku sangat takut. Belum pernah aku melihat kakek yang seperti itu.
“SUDAH KAKEK BILANG, JANGAN DEKATI SUMUR ITU! SUMUR ITU KERAMAT!”
“Kek, aku sudah besar. Aku tahu bahwa sesuatu yang keramat bukanlah hal yang mesti dipercayai. Itu hanya cerita orang dulu. Lagi pula aku tidak mendapati sesuatu yang aneh dengan sumur itu. Sumur itu sama seperti sumur-sumur tua lainnya.”
Kakek diam. Aku tahu kakek sedang memikirkan sesuatu. Mungkin ia memikirkan cara agar aku mempercayainya lagi. Tapi aku sudah tak akan termakan ucapan kakek lagi.
“Nak…,” kakek berhenti sejenak. Tubuhku melemas. Telingaku rasanya panas mendengar wejangan kakek tentang sumur itu.
“Apa kau benar-benar ingin tahu rahasia di balik sumur itu?”
Aku mengangguk.
“Baiklah. Tapi kakek punya satu pesan. Jangan pernah menyesali keputusanmu ini!”
Aku menegakkan tubuhku. Mimpikah aku? Kakek akan memberitahuku rahasia sumur itu. Aku sudah tak peduli, setan apa kira-kira yang merasuki pikiran kakek. Yang penting semua keingintahuanku ini akan terpecahkan.
“Aku tak akan pernah menyesalinya. Kakek juga tak akan menyesal karena sudah menceritakan hal ini padaku.”
Kakek menghela napas beratnya.
“Kau tahu kenapa Kakek Sam tetap mempertahankan sumur itu?”
Aku menggeleng.
“Karena orang tua dan istri Kakek Sam terakhir kali terlihat di sumur itu, sebelum akhirnya menghilang untuk selamanya.”
Aku memiringkan kepalaku. Aku belum begitu mengerti.
“Kau tahu ke mana perginya anak Kakek Sam?”
Aku lagi-lagi menggelengkan kepalaku.
“Dia gila karena sumur itu.”
“Nenek dan ayahmu juga terakhir kali terlihat di sumur itu sebelum menghilang.
Sedang ibumu gila seperti anak Kakek Sam dan akhirnya bunuh diri.”
Aku tersentak kaget mendengar pengakuan kakek tentang orang tuaku. Selama ini kakek tidak pernah menceritakan alasan kematian orang tuaku.
“Sumur itu dikeramatkan karena selalu memakan korban. Akan selalu seperti itu hingga akhir zaman. Kakek harap, jangan pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada keluargamu jika kelak kau menikah dan punya anak.”
Aku sudah tak tahan mendengar perkataan kakek. Air mataku mengalir. Aku berlari keluar rumah tanpa mempedulikan kakek yang terus memanggil namaku. Aku berlari menuju sumur itu. Aku hanya melihatnya dari luar pagar rumah Kakek Sam. Aku menangis.
Tiba-tiba, guntur menggelegar dan hujan turun dengan derasnya. Padahal siang ini begitu terik. Tak tahu kenapa aku teringat kakek. Aku segera berlari pulang.
Setibanya di rumah aku langsung mencari kakek. Aku meneriakkan namanya, tapi tak ada sahutan. Aku mencarinya di semua seluk beluk rumah, tapi tak menemukannya. Aku lihat sandal yang sering dipakainya juga masih ada. Lalu kakek ke mana? Apa lagi hujan sangat deras.
Tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Aku tahu persis itu bukan suara kakek. Itu Nenek Lela. Ia datang menembus hujan bermodalkan payung motif bunga-bunganya. Sarung dan kakinya basah. Wajahnya tampak sangat ketakutan.
“Mana kakekmu?”
“Aku tidak tahu. Aku keluar sebentar dan ketika kembali dia sudah tak ada. Bahkan sendalnya pun masih ada.”
“Apa dia menceritakan sesuatu padamu?”
“Ya. Dia menberitahuku rahasia dibalik sumur Kakek Sam.”
Tiba-tiba tubuh Nenek Lela menjadi lemas. Payungnya terjatuh begitu saja dari tangannya. Ia terduduk dan menangis.
“KAU JAHAT! KAU TELAH MEMBUNUH KAKEKMU!”
Aku hanya mengerutkan kening mendengar ucapan Nenek Lela.
“Ada satu hal yang tidak kakekmu ceritakan padamu.”
“Apa?”
“Siapapun yang telah membuka rahasia ini, pasti akan menghilang untuk selamanya. Bahkan jasadnya tak akan ditemukan.”
“Ali! Ali!”
Itu suara Kakek Sam. Dengan motor butut dan jas hujannya, ia menerobos derasnya hujan siang itu.
“Kakekmu! Kakekmu! Aku melihatnya di sumur.”
Seluruh tubuhku merinding, bergetar. Aku tak percaya atas apa yang terjadi. Kejadian ini, sumur itu, sungguh membuatku gila.
*****
Telah diterbitkan di Kendari Pos edisi 1 September 2012.
Categories
Artikel siBluuu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar