::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Jumat, 28 Juni 2013
LOVEY DOVEY COOKEY [PART 6]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Comedy romantic (comrom)
Length : Series
Rating : PG-13
Main casts : Choi Jin Ri (Sulli f(x)), Choi Minho (Minho SHINee), Kwon Yuri (Yuri SNSD), Kim Ki Bum (Key SHINee)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fan fiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Previous part:
Jin Ri lemas. Ia lalu membuka pintu. Dilihatnya Minho dan Ki Bum pergi. Ia dijodohkan dengan Minho. Dengan cepat dicarinya kontak Jisun.
Tersambung.
“Halo. Kau kenapa tadi? Seenaknya saja memutuskan pembicaraan…” omel Jisun.
“Jisun, aku tak percaya ini. Sungguh tak percaya…”
*****
“Ah, tunggu sebentar! Ada baiknya aku pamit pada Jin Ri. Seharusnya aku yang menjaga kakek. Biar kubilang padanya untuk menggantikanku sebentar,” kata Ki Bum.
“Mm…” Minho mengangguk.
Ki Bum berjalan kembali ke ruang rawat kakeknya. Dibukanya pintu.
“Kau kenapa?” tanya Ki Bum yang kaget melihat Jin Ri menangis sambil berbicara di telepon.
Mata Jin Ri yang merah menatap kakaknya. Ia lalu berlari keluar dan menabrak bahu kanan Ki Bum.
Minho yang sedang menunggu Ki Bum tak jauh dari ruang rawat Kim Myungsuk. Ia melihat Jin Ri berlari di depannya sambil mengusap air mata. Ki Bum mengejarnya keluar.
“Jin Ri? Dia kenapa? Kau baru masuk beberapa detik yang lalu dan secepat itu kau membuatnya menangis?” tanya Minho pada Ki Bum.
“Enak saja! Bukan aku. Kejar dia!”
“Kenapa aku?” Minho heran.
“Kalau aku yang mengejar, siapa yang jaga kakek? Kamu?”
Minho berpikir sejenak.
“Kau saja…” Minho lalu berlari menyusul Jin Ri.
Jin Ri berlari menuju halaman rumah sakit. Suasana di sana tidak begitu ramai karena bukan merupakan jam besuk.
Minho berhasil menyusul Jin Ri. Dia berdiri di sampingnya.
“Aku tahu perjodohan ini berat untukmu.”
“Kalau berat kenapa kakak terima?” tanya Jin Ri tanpa menoleh ke arah Minho.
“Karena ini permintaan terakhir kakekku dan aku sudah berjanji di depannya.”
Jin Ri diam.
“Namun seberat apapun bebanmu, bebanku lebih berat,” sambung Minho.
“Kenapa bisa?” kali ini Jin Ri menoleh ke Minho.
“Harus ada yang berkorban dan sakit hati karena perjodohan ini…”
“Apa maksud kakak, perempuan yang pernah datang ke rumah kami waktu itu?”
Minho mengangguk pelan.
“Jadi kau jangan merasa menjadi orang yang sangat terpuruk di dunia ini. Masih ada yang lebih darimu.”
Minho menepuk bahu Jin Ri sekali dan pergi.
Jin Ri menoleh mengikuti bayang Minho yang pergi.
“Kakak benar. Aku seharusnya bisa lebih kuat dari kakak. Lagipula pernikahan nanti belum tentu akan berjalan lama…”
*****
Dua hari kemudian…
“Ah… senang rasanya kembali ke rumah…” ucap Kim Myungsuk senang ketika memasuki rumah keluarga Kim.
“Kakek tetap harus banyak istirahat! Itu kata dokter…” timpal Ki Bum.
“Iya, iya… kakek akan banyak istirahat. Kalau kakek sudah pulih betul, barulah kita melangsungkan acara pernikahan Jin Ri dan Minho.”
“APA??!” Jin Ri yang sedari tadi diam, kaget mendengar pernyataan kakeknya.
Semua mata tertuju pada Jin Ri. Jin Ri menelan ludah.
“Mak… maksudku… apa tidak sebaiknya kita tunangan dulu, Kek?”
“Ah… tidak perlu. Yang penting kan kalian cocok. Aku juga sudah tidak sabar ingin punya cicit, hahaha…”
“Apa? Cicit? Anak dari aku dong maksudnya. Ah… tidak mungkin, tidak mungkin!!!”
Min Ah yang melihat raut wajah Jin Ri langsung mengalihkan pembicaraan.
“Yah, jangan membahas hal itu dulu. Sekarang ayah harus beristirahat.”
“Ah… iya, iya… aku harus beristirahat,” Kim Myungsuk berkata sambil berlalu.
*****
“Arrgghhhh!! Kakek sudah gila apa? Masa dia menginginkan aku dan Kak Minho langsung menikah? Kita kan belum saling mengenal baik…” keluh Jin Ri pada Jisun.
Jisun diam saja.
“Kenapa kau diam saja? Kasih solusi kek… nasihat kek… motivasi kek… atau apalah…”
“Hei, bagaimana bisa aku memberimu solusi, nasihat, atau motivasi? Aku kan belum pernah menikah. Jangankan menikah, dijodohkan pun belum pernah.”
“Lalu aku harus bagaimana??”
“Daripada mengeluh, lebih baik kau berusaha untuk mengenal dia lebih jauh sebelum kalian menikah!”
“Dia? Maksudmu Kak Minho?”
“Memang siapa lagi?”
Jin Ri berpikir sejenak.
“Ah, nggak ah… ide gila tuh…”
“Ya sudah. Terserah kamu saja. Itu kan cuma saran…”
Jin Ri kembali berpikir.
*****
Minho mematut diri di depan cermin. Ia mengencangkan dasinya. Diliriknya jam tangannya sebentar. Sudah hampir pukul 8.
Tiit… tiit…
Jam makan siang sebentar, kakak ada acara lain? Kalau tidak, aku ingin menemuimu di kafe seberang jalan. Ada yang ingin kubicarakan.
Jin Ri
Minho mengerutkan kening. Ia memasukkan ponselnya ke saku celananya dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
*****
“Adikmu gila.”
“Ha? Maksudmu?” Ki Bum tidak mengerti.
“Dia mengajakku makan siang bersama. Apa itu idemu?”
“Enak saja kau menuduhku. Tapi benarkah? Aku harus memberikan selamat padanya. Ia sudah berani mengajakmu kencan.”
“Kau sebut ini kencan?”
“Ya. Lagipula kalian kan akan menikah.”
“Maafkan aku. Tapi seharusnya aku tidak menikahinya. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan apapun padanya.”
“Aku mengerti. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau melakukannya demi kakekmu?”
“Iya sih… eh, sudah dulu ya! Aku sudah sampai nih…”
“Ok.”
Tit.
Minho mencabut earphone dari telinganya, memarkir mobil, dan berjalan memasuki perusahaan.
“Selamat pagi, Pak!”
“Pagi!”
*****
Jin Ri memandangi jam tangan mungilnya. Pukul 12. Tangannya memegang gagang pintu mobil. Bimbang. Turun atau tidak. Dilihatnya Minho sudah menunggu di dalam kafe.
Jin Ri berpikir keras. Ia pun menyambar tas tangannya dan turun dari mobil. Setengah berlari ia memasuki kafe. Dipandangnya Minho yang duduk membelakangi dirinya. Dia menelan ludah.
“Se… selamat siang!”
Minho berbalik. Ia lalu berdiri.
“Kau terlambat!”
“Maafkan aku…”
“Duduklah…” kata Minho yang juga kembali duduk. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Aku tahu waktu kakak tidak banyak. Jadi aku langsung ke intinya saja. Begini….”
“Selamat siang! Maaf, Anda ingin pesan apa?” seorang pelayan memotong pembicaraan Jin Ri. Ia memberikan menu pada Minho dan Jin Ri.
“Teh hangat, jangan terlalu manis!” pesan Minho. “Kau ingin pesan apa? Aku tidak ingin makan. Kalau kau mau pesan makanan, silakan!”
“Tidak usah. Orange juice saja…” jawab Jin Ri.
“Dia pesan orange juice,” kata Minho pada pelayan.
“Baik, saya ulangi pesanan Anda, teh hangat dan orange juice. Apa masih ada tambahan lain?”
“Tidak ada. Tehnya jangan terlalu manis ya…”
Pelayan itu mengangguk dan pergi.
“Lanjutkan!” kata Minho.
“Apa kita benar akan menikah?” tanya Jin Ri polos.
“Hah?” Minho terlihat aneh mendengar pertanyaan itu.
“Kalau itu benar, maka menurutku kita harus mengenal lebih jauh. Ada baiknya sebelum menikah kita saling mengenal satu sama lain. Kita harus bisa…”
“Tunggu! Tunggu dulu!” sergah Minho. “Apa kau sangat mengharapkan pernikahan ini?”
“Siapa? Aku?” Jin Ri menunjuk dirinya.
“Iya, kamu…”
Jin Ri diam.
“Aku… aku… walaupun kita menikah nantinya, kuharap itu tidak akan lama…” Jin Ri memelankan suaranya.
“Maksudmu?”
“Kita kan sama-sama tidak mengharapkan pernikahan ini. Jadi kukira lebih baik kalau kita menjalaninya saja dulu. Kalau sudah beberapa bulan, barulah kita bicarakan pada keluarga kita kalau kita tidak merasa cocok, atau apalah itu…”
“Permisi… ini pesanan Anda… satu teh hangat tidak terlalu manis dan satu orange juice,” kata pelayan tadi sambil menaruh pesanan Minho dan Jin Ri di atas meja.
“Selamat menikmati…”
“Terima kasih…” ucap Minho dan Jin Ri bersamaan sambil menganggukkan kepala.
Minho menyeruput tehnya.
“Aku setuju!” kata Minho sambil menaruh cangkirnya kembali.
Jin Ri tersenyum lega mendengar persetujuan Minho.
“Kuharap kita bisa lebih saling mengenal lagi setelah ini.”
Minho menjawab dengan anggukan kepala.
*****
Dua minggu kemudian…
“Jin Ri… kemari sebentar!” panggil Min Ah.
“Ada apa, Bu?”
“Mau ke mana?”
“Mau jalan sama teman-teman. Kenapa, Bu?” tanya Jin Ri sambil berjalan menuju ibunya.
“Lihat ini! Ini adalah contoh beberapa undangan pernikahan. Lalu ibu juga sudah buat janji dengan ibu Minho untuk mengukur gaun pengantinmu nanti dengan desainer kenalan ibu Minho. Kapan kamu ada waktu?”
“Ibu kok jadi bersemangat seperti ini?” Jin Ri heran.
“Kakek sudah mempercayakan hal ini pada ibu. Ibu hanya tidak mau mengecewakan kakek… kamu tolong mengerti keadaan kakek ya?”
Jin Ri mengangguk sambil tersenyum.
“Oh ya, bagaimana keadaan ibumu?”
“Ibu keadaanya baik,” jawab Jin Ri.
“Tapi dia sudah setuju kan? Kapan katanya mau kembali ke Korea?”
“Iya, Bu… Ibu sudah setuju kok. Tapi dia belum memberi tahu kapan akan kembali ke sini.”
“Oh… tapi kapan kamu ada waktu untuk mengukur gaun pengantin?”
“Lusa mungkin bisa, Bu.”
“Baik. Sekarang ibu akan menghubungi Tae Jinah…”
“Kalau begitu aku pergi dulu ya, Bu. Dah ibu…” Jin Ri mengecup kedua pipi ibunya.
*****
“Bagaimana Jin Ri, apa kau suka desain gaunnya?” tanya Tae Jinah setelah Jin Ri selesai mengukur gaun.
“Iya, Bi. Desainnya terlihat sederhana namun tetap elegan.”
“Begitu ya? Bagaimana menurut ibunya Jin Ri?” tanyanya pada Min Ah.
“Aku suka dengan desainnya. Kuharap bisa cocok di badan Jin Ri.”
Tae Jinah tersenyum.
“Syukurlah…”
Tae Jinah lalu mengambil ponselnya. Ia mengecek daftar panggilan terakhir.
“Halo, Bu,” terdengar suara di telepon.
“Kau di mana?”
“Sudah dekat kok, Bu. Ibu sudah mau pulang?”
“Iya. Ibu tunggu ya…”
Tit.
“Siapa?” tanya Min Ah.
“Ah, Minho. Sebelum ke sini aku memintanya untuk menjemputku.”
“Loh, kita kan juga naik mobil. Untuk apa meminta Minho datang menjemput?”
“Biar saya dan ibunya Jin Ri saja yang naik mobil saya. Jin Ri akan pulang bersama Minho.”
“Lah, kok gitu, Bi?” Jin Ri setengah tak terima.
“Biarlah… biar kalian bisa saling mengenal karakter satu sama lain. Pernikahan kalian kan sudah dekat. Sebulan lagi…” goda Tae Jinah.
Tin… tin…
“Nah, itu Minho sudah datang…” kata Tae Jinah.
Minho turun dari mobil.
“Jin Ri… baik-baik dengan Minho ya! Minho, antar Jin Ri pulang! Tapi jangan langsung pulang dulu, ajak dia ke suatu tempat!” perintah Tae Jinah.
“Maksud ibu?” Minho terlihat bingung.
“Biar aku dan ibunya Jin Ri pulang naik mobil ibu,” jawabnya sambil menunjuk mobilnya.
“Ibu bawa mobil? Jadi untuk apa ibu menyuruhku menjemput ibu?”
“Untuk mengantar Jin Ri pulang.”
“Bu…” bujuk Minho tak terima.
“Dah…” lambai Tae Jinah.
“Sampai bertemu di rumah…” ucap Min Ah pada Jin Ri.
Tae Jinah dan Min Ah menaiki mobil. Minho dan Jin Ri saling berpandangan.
“Hah…” desah mereka berdua sambil memalingkan wajah masing-masing.
“Naiklah!” perintah Minho tanpa menoleh ke arah Jin Ri.
Ia menaiki mobil. Jin Ri juga.
“Mau ke mana?” tanya Minho.
“Aku tidak punya rencana apa pun hari ini,” jawab Jin Ri pelan.
“Aku akan pergi menemui beberapa temanku. Kau mau ikut?”
Jin Ri mengangguk pelan.
*****
“Hai… apa kabar?” sapa teman-teman Minho sesampainya di sebuah bar.
“Aku baik. Kalian?” balas Minho sambil memeluk satu-persatu teman-temannya.
“Seperti yang kau lihat…” jawab mereka disambut tawa masing-masing orang.
“Siapa dia?” bisik salah seorang temannya.
“Calon istriku,” bisik Minho juga.
Jin Ri merasa tak enak melihat Minho dan teman-temannya saling berbisik-bisik. Ditambah lagi beberapa temannya memandanginya dengan pandangan aneh.
“Calon istri? Memang kapan kau akan menikah?”
“Bulan depan… datang ya!”
“Dia cantik. Kalau suatu saat kau sudah bosan dengannya, untukku saja ya!”
Minho meninju bahu temannya.
“Hei, memangnya aku tipe pria seperti itu?”
“Bagaimana dengan Yuri? Kapan kalian putus?”
“Err… maaf. Bukannya aku lancang, tapi apa sebaiknya kita berbicara secara terang-terangan?” sergah Jin Ri.
“Oh, silakan duduk!” kata teman-teman Minho bersamaan.
Jin Ri duduk di sebelah Minho.
“Siapa namamu?” tanya salah seorang teman Minho.
“Namaku Jin Ri. Kim Jin Ri.”
“Jadi, kalian bertemu di mana?”
“Bukannya kau dan Yuri hampir bertunangan?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi? Kapan kalian putus?”
“Kalian ini kenapa sih? Aku tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu! Lagipula tujuan kita berkumpul di sini bukan untuk membicarakan hal itu…” ucap Minho kesal.
“Baiklah… kalian mau pesan apa?” tanya salah seorang teman.
“Aku mau minum bersama kalian. Bagaimana denganmu?” Minho bertanya pada Jin Ri.
“Apa kau mau minum bersama kami, Jin Ri-ssi?”
“Maaf, aku tidak minum. Aku pesan orange juice saja…” jawab Jin Ri tersenyum simpul.
“Pelayan!” panggil teman Minho.
“Kami pesan satu minuman lagi yang sama dengan ini dan orange juice satu!”
“Kenapa kau tak memberi tahu kami kalau kau akan menikah?”
“Tadi kan sudah kuberitahu…” bela Minho.
“Tapi kalau kau tak bertemu dengan kami di sini, kau berniat tak akan memberi tahu kami kan?”
“Kalian kan teman-temanku… jadi aku pasti memberi tahu kalian lah…”
Tidak lama kemudian, pelayan tadi datang membawakan minuman yang dipesan tadi.
“Ayo kita minum!”
*****
“Ah… terima kasih…” Jin Ri membungkukkan badannya pada teman-teman Minho.
“Apa kau yakin mau mengantarnya pulang?”
“Iya. Aku bisa menyetir kok. Sekali lagi terima kasih…”
“Ya sudah, hati-hati ya…!” pesan teman-teman Minho sambil berlalu.
Jin Ri kini duduk di kursi kemudi. Ia menoleh pada Minho. Minho yang setengah tertidur tertawa sendiri. Ia mabuk.
“Kak… ayo bangun! Bangun!” Jin Ri menggoyang-goyangkan tubuh Minho.
Minho melerai tangan Jin Ri.
“Siapa sih? Jangan ganggu aku!” katanya dengan mata yang masih dipejamkan.
“Aku Jin Ri… ayo bangun…!”
“Oh, Jin Ri…”
“Kakak sih minumnya terlalu banyak. Begini deh jadinya…”
Minho membuka matanya sedikit. Ia memperhatikan Jin Ri.
“Hei, kau! Gara-gara kau, Yuri memutuskan hubungan denganku. Karena aku harus menikahimu. Awalnya aku tidak mau. Aku hanya kasihan pada kakek…” Minho terbatuk.
“Iya, kak… aku sudah tahu… maafkan aku… ini kan juga bukan kemauanku. Sekarang kita pulang ya? Aku akan mengantar kakak pulang.”
“Dengar! Aku sudah mulai suka padamu! Aku suka padamu! Hahaha…” Minho memegangi kepalanya yang sakit, lalu kembali tertidur.
“Apa… yang barusan dikatakannya?”
Jin Ri terdiam membisu memandangi Minho yang kembali tertidur. Ia berbalik ke kemudi dan menginjak gas.
*****
Jin Ri berhenti di sebuah danau. Tempat favoritnya ketika ia sedang ingin sendirian. Danau itu tidak terlalu besar. Airnya hijau dan dipenuhi bunga teratai. Ada warna merah jambu dan putih.
Ia berbalik sebentar pada Minho. Diperhatikan wajahnya yang tertidur pulas. Jin Ri menurunkan sandaran kursi Minho agar ia bisa berbaring dengan nyaman. Tak lupa ia menurunkan kaca mobil.
Jin Ri turun dari mobil. Ia berjalan menuju tepi danau dan bersandar di sebuah pohon. Sudah pukul 4 dan Minho belum bangun. Ia berubah pikiran. Tak mungkin ia membawa Minho pulang dalam keadaan seperti itu. Ia memutuskan untuk menunggu sampai Minho terbangun.
Suara katak dan jangkrik yang saling bergantian membuat mata Jin Ri mulai terpejam. Kepala disandarkan dengan nyaman ke batang pohon besar di belakangnya. Ia tertidur.
*****
“Arrghhh!”
Minho memegangi kepalanya. Rasanya masih cukup berat. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengingat-ingat di mana ia berada sekarang. Di mobilnya. Tiba-tiba ia teringat kalau tadi ia minum bersama teman-temannya. Seharusnya ia tidak kebanyakan minum. Dipukulnya jidatnya mengingat kebodohannya.
Ia menoleh ke samping. Dilihatnya sebuah tas tangan tergeletak di kursi kemudi. Ia mengambilnya.
“Milik siapa ini? Ya ampun, ini milik…”
“JIN RI!” Minho terduduk.
Dicari-carinya perempuan itu. Dengan cepat ia turun dari mobil. Jalannya masih sempoyongan. Belum sempat ia berteriak memanggil nama Jin Ri, dilihatnya sesosok perempuan yang duduk bersandar di sebuah pohon di tepi danau. Ia mengenali perempuan itu. Minho mengernyitkan kening dan berjalan menuju tempat Jin Ri.
“Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya sambil duduk di samping Jin Ri.
Tak ada jawaban.
“Hei, kenapa tak menjawab?” Minho menyikut lengan Jin Ri sambil berbalik ke arahnya.
Kepala Jin Ri tiba-tiba jatuh ke pundak Minho. Ia bergerak sedikit lalu melanjutkan tidurnya.
Minho kaget. Dengan hati-hati, ia menaruh jari telunjuknya di bawah hidung Jin Ri.
“Hah… kukira kau sudah mati…” ucap Minho lega.
Ia memperhatikan wajah Jin Ri. Ada seulas senyum di wajahnya.
Minho mengangkat kepalanya. Dilihatnya matahari sudah mulai terbenam. Bulan sudah nampak, juga bintang-bintang yang menemani. Ia membiarkan Jin Ri tertidur di pundaknya.
*****
Jin Ri membuka kelopak matanya. Dilihatnya langit sudah gelap. Kepalanya terasa berat seperti ada yang menindis. Maka ditariknya kepalanya.
“Awww…” Jin Ri merintih kesakitan.
Minho terbangun. Ia juga tertidur dan bersandar pada kepala Jin Ri.
“Kau sudah bangun? Ada apa?”
“Telingaku… sepertinya anting-antingku terkait di bajumu…” jawab Jin Ri masih merintih.
“Masa? Coba kulihat!”
Minho memeriksa pundaknya. Ternyata benar, anting-anting Jin Ri terkait di baju Minho. Minho mencoba membantu melepasnya, namun sulit.
“Tidak bisa terlepas…”
“Aduh, gimana dong? Ini kan kado ulang tahun dari ibuku…” Jin Ri panik.
“Tunggu sebentar!”
Minho lalu membuka bajunya. Dimulai dari mengeluarkan tangan kirinya, kepalanya, dan tangan kanannya. Ia pun dengan mudah melepas anting-anting Jin Ri dari bajunya.
Jin Ri mengusap-usap telinganya yang sakit.
“Terima kasih…” kata Jin Ri sambil menoleh pada Minho. “Ahhhh!! Apa yang kau lakukan?”
Dengan cepat Jin Ri berbalik.
“Aku melepas bajuku agar lebih mudah melepas anting-antingmu,” jelas Minho.
“Pakai bajumu, cepat!” perintah Jin Ri.
“Hei, aku juga akan memakainya. Siapa yang tahan tidak pakai baju malam-malam begini?”
Tiba-tiba Jin Ri terbayang kakaknya, Ki Bum, yang sering melepas bajunya di malam hari dalam kamar.
“Ada kok… hihi…”
“Ya sudah, kalau tidak tahan, cepat dipakai!”
Minho memakai bajunya kembali.
“Sudah…”
Jin Ri berbalik dan berdiri.
“Sudah malam. Tolong antar aku pulang!”
Jin Ri berjalan dengan sangat cepat dan menaiki mobil. Minho berjalan lambat di belakangnya. Kebingungan.
*****
Klek.
Jin Ri menutup pintu kamarnya. Ia bersandar di belakangnya. Tangannya meraba dadanya, tepat di jantungnya.
Deg.. deg..
Jantungnya berdegup cepat.
“Dengar! Aku sudah mulai suka padamu! Aku suka padamu! Hahaha…”
Ia terduduk lemas.
Deg.. deg..
“Tidak boleh… tidak boleh…!” Jin Ri menggelengkan kepalanya. ”Pernikahan itu hanya akan sementara.”
*****
“Selamat pagi, Pak!” sapa sekretaris Minho.
“Pagi!” balas Minho tersenyum sambil berjalan menuju ruangannya.
“Maaf, Pak! Ada seseorang yang menunggu bapak di dalam.”
“Kenapa dipersilakan masuk? Kau kan tahu, kalau aku belum datang, tidak boleh ada tamu yang menunggu di ruanganku. Semua harus menunggu di ruang tunggu!” Minho sedikit marah.
“Maafkan saya, Pak. Tapi dia memaksa. Lagipula dia adalah orang yang bapak kenal.”
“Siapa?”
Si sekretaris tidak menjawab. Ia menunduk. Minho tidak peduli. Ia segera memasuki ruangannya.
Tidak ada siapa-siapa duduk di sofa. Namun seseorang duduk di kursi kerjanya. Minho geram.
“Maaf, Anda siapa?” Minho masih berusaha bersikap sopan.
Dia tidak menjawab. Ia membalikkan kursi putar Minho.
“Apa secepat itu kau melupakanku?”
“Yuri?”
*****
AUTHOR’S Note:
Hai hai! Long time no see :)
Ampuuunnn! Aku hilang seperti ditelan bumi yak? Hiks, maaf… :’(
Terlalu banyak alasan yang akan kuungkapkan jika ingin kujelaskan satu-persatu. Malas ngetik, ah. Pokoknya, intinya author minta maaf dari lubuk hati yang paling dalam. Mulai hari ini, Insya Allah fanfic LOVEY DOVEY COOKEY sudah tidak akan putus-putus lagi. Palingan berselang seminggu atau dua minggu, pasti aku publish part selanjutnya.
Part 6… butuh waktu sangaaaaaattt lama untuk mengetiknya. Jujur, aku mati ide readers. Idenya baru muncul lagi nih. Sudah tergambar pula gambaran cerita selanjutnya. Pasti seru deh part selanjutnya. Makanya tetap tunggu part selanjutnya ya… aku sudah gregetan banget nih pingin lanjut ngetik, hehe…
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 comments:
ka kapan lanjutannya :(
yg cepet ya ;)
Sabar yaa!!!
Yah elah knp yuri muncul lg, aduh jgn tergoda ɪ̣̝̇ÿ̲̣̣̣̥Ω̶̣̣̥̇̊ minho
Posting Komentar