Dalam sebuah rumah berdinding semen dan berkamar tiga di Sorong, Papua Barat, impian Angelina pun perlahan memudar. Dulu ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi wanita. Alasannya karena Angelina sangat suka melihat polisi yang membantu dan melindungi orang.
Namun sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Enam bulan kemudian bayi perempuan pertamanya pun juga meninggal. Baru pada bulan Oktober, ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemungkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks dan kemudian menularinya.
Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan beresiko tetapi tertular oleh orang yang berkelakuan tidak baik.
Tentu saja banyak perhatian tercurah pada penyebaran HIV/AIDS di antara kelompok-kelompok yang beresiko. Tapi UNICEF justru memfokuskan pada anak muda dalam upayanya mencegah penularan virus ke masyarakat luas.
Sebagian besar anak muda Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi yang tepat tentang penyakit itu. Dalam satu penelitian, hanya satu dari tiga pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang tahu persis cara pencegahan penularan virus secara seksual.
Kurangnya pengetahuan ini menjadi sebuah bom waktu di daerah-daerah seperti Papua. Di sana anak muda mulai aktif secara seksual pada awal masa pubertas. Dengan memberikan pelatihan pada guru-guru sekolah menengah atas di Papua tentang keterampilan hidup dan HIV/AIDS, UNICEF berharap generasi muda di Papua akan memahami konsekuensi dari seks yang tidak aman.
Menyangkut pendidikan sebagai satu pilar strategi lima tahun HIV/AIDS, pemerintah Indonesia tetap berjalan di tempat. Karena itu UNICEF mencoba langkah berbeda dengan menyentuh langsung pelajar sekolah menengah atas.
“Saat kita berada di sekolah, kita mengkombinasikan strategi pendidikan ketrampilan hidup dan pendidikan sebaya untuk mencegah penularan HIV dan penyalahgunaan obat-obatan. Strategi itu pada dasarnya dirancang untuk memberikan kaum muda ketrampilan komunikasi antar pribadi, kreatifitas, kepercayaan diri, harga diri dan daya pikir kritis. Ini perlu untuk membantu mereka jika menghadapi kesempatan untuk mencoba obat-obatan atau melakukan seks yang tidak aman,” kata Rachel Odede, kepala unit HIV/AIDS UNICEF Indonesia.
Hambatan utama untuk pendidikan orang Indonesia adalah keyakinan bahwa penyakit ini hanya menjangkiti “orang tidak baik” dan memang mereka layak mendapatkannya. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS pun diberi stigma dan dipaksa pergi dari kampung halaman mereka. Mereka ditolak berobat ke dokter, diancam, dijauhi dan disingkirkan. Ketakutan dan stigma semacam itulah yang membuat para tetangga dan bahkan anggota keluarga Angelina tidak tahu sama sekali penyakitnya.
“Saya anggota aktif di gereja. Saya tidak ingin orang melihat ke saya dan berkata ‘Lihat, orang itu putrinya sakit’”, kata Yakobus, ayahnya. Ia seorang guru sekolah dasar yang mengambil pensiun dini untuk merawat putri bungsunya itu.
Meski orang Indonesia yang sekuler telah mengenal program keluarga berencana dengan slogan ‘dua anak cukup’, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu oleh sebagian penduduk yang sebagian besar Muslim dan konservatif ini. Saat ini epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada tingkat penularan HIV yang masih rendah pada penduduk secara umum. Namun pada populasi tertentu, tingkat penularannya cukup tinggi, yaitu di antara para pekerja seks komersil dan pengguna jarum suntik yang kian meningkat.
::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Kamis, 17 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar