Piala ini adalah piala lomba esai pertamaku. Kaget, senang, bercampur haru. Baru ikutan, langsung menang. Meskipun hanya meraih juara 3, tapi saya bersyukur banget. Ini baru langkah awal, ya nggak apalah. Nanti harus lebih ditingkatkan lagi kemampuan menulis dan analisisnya. Untuk esai pertamaku ini, saya mengangkat judul 'Meluruskan Salah Kaprah Tentang E-Learning'. Judul ini terinspirasi dari teman-teman kelasku, ANALYSIS, yang belakangan selalu mengeluh dengan metode belajar baru bin ajaib yaitu electronic learning (e-learning).
Ehm, terima kasih juga kuucapkan buat Kak Syarifatul Umam yang telah meluangkan waktu untuk mengoreksi esaiku. Ribet sih. Soalnya Kak Syari tengah kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Jadi, aku kirimin dia lewat e-mail, terus telfon-telfonan, terus dikirim balik lagi hasil koreksinya. Pokoknya, Kak Syari berjasa banget deh.
Bertepatan dengan lomba ini, saya juga mengikuti lomba karya tulis ilmiah bersama Dewi Sundari Sucipta dan Ibrahim Fantry. Kedua lomba ini diselenggarakan oleh Lingkar Studi Penalaran Ilmiah (LSIP) Universitas Haluoleo Kendari. Alhamdulillah juga, dalam LKTI ini, kami bertiga berhasil meraih juara ke-2, dengan mengusung judul 'Peranan Pemuda Dengan Memanfaatkan TIK Sebagai Upaya Menanggulangi Penanggulangan HIV/AIDS'.
Alhamdulillah ya, sesuatu banget. Ini namanya sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Hehehe....
Acara penutupan pada Hari Minggu, tanggal 20 November 2011 dirangkaikan dengan jalan santai dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia yang jatuh setiap tanggal 1 Desember.
Uhhh, trophy I luph u deh!!!
::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Senin, 26 Desember 2011
Esai - Meluruskan ‘Salah Kaprah’ Tentang E-learning
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat mendorong berbagai lembaga pendidikan memanfaatkan sistem electronic learning (e-learning) untuk meningkatkan efektivitas dan fleksibilitas pembelajaran.
Sekilas perlu dikaji ulang apa e-learning itu sebenarnya. E-learning adalah pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer, dan internet.
E-learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka tanpa harus mengikuti pelajaran di kelas secara fisik. E-learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara on line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-learning. Dalam hal ini, aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.
Banyak pengertian berkaitan dengan e-learning. E-learning merupakan suatu jenis belajar-mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet, atau media jaringan komputer lain (Hartley, 2001). E-learning juga berarti sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar-mengajar dengan media internet, jaringan komputer, maupun komputer standalone (Glossary, 2001).
Meskipun banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran menggunakan sistem e-learning cenderung sama bila dibanding dengan pembelajaran konvensional atau klasikal, tetapi keuntungan yang bisa diperoleh dengan e-learning adalah dalam hal fleksibilitasnya. Melalui e-learning, materi pembelajaran dapat diakses kapan dan di mana saja. Di samping itu, materi yang dapat diperkaya dengan berbagai sumber belajar termasuk multimedia dengan cepat dapat diperbaharui oleh pengajar.
Di Indonesia, e-learning mulai berkembang sejak tahun 1999 dengan menggunakan Jaringan Internet (Jarnet). E-learning pun terus mengalami perkembangan signifikan yang ditandai dengan semakin canggihnya alat-alat yang digunakan. Dalam sejarah perkembangannya, e-learning pernah dikembangkan menggunakan Jaringan Informasi Sekolah (JIS) pada tahun 2000, Wide Area Network (WAN) Kota pada tahun 2002, Information and Communication Technology (ICT) Center pada tahun 2004, Indonesia Higher Education Network pada tahun 2006, Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) pada tahun 2007 hingga sekarang, dan Southeast Asian Education Network (SEA EduNet) pada tahun 2008 hingga sekarang.
Meskipun perkembangan e-learning tergolong cukup lama di Indonesia, akan tetapi program e-learning masih tabu bagi sebagian pelajar Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang tidak merata di berbagai daerah di Indonesia. Umumnya, e-learning berkembang pesat di daerah barat Indonesia. Akibatnya, terjadi ketimpangan pemikiran antara pelajar di daerah barat dan timur Indonesia.
Oleh karena perkembangan e-learning yang relatif masih baru di daerah timur Indonesia, penafsiran dan implementasi sistem e-learning sangatlah bervariasi dan belum ada standard yang baku, sehingga timbul pro dan kontra di kalangan pelajar.
Tidak perlu menilik daerah pedesaan atau pinggiran. Di daerah perkotaan pun e-learning masih terbilang tabu. Sebut saja Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, delapan dari sepuluh siswa yang bersekolah di sekolah favorit yang berbeda menyatakan tidak menyetujui adanya program e-learning. Sebagian besar beralasan bahwa program e-learning sulit untuk dipahami dan hanya membuat siswa menjadi pasif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pasif adalah berifat menerima saja, tidak giat, dan tidak aktif. Dengan kata lain, pasif berarti malas. Akan tetapi, apabila dikaji lebih lanjut, bukanlah e-learning yang membuat siswa menjadi malas, tapi memang siswa sendiri yang malas untuk mengkaji materi e-learning.
Siswa tidak sepenuhnya dapat disalahkan dalam hal ini, begitu pula dengan e-learning. Harus ada jalan tengah dalam mengatasi permasalahan ini. Siswa telah ‘salah kaprah’ mengenai apa itu e-learning, maksud, dan tujuannya. Hal ini disebabkan karena siswa tidak diberi pemahaman oleh pihak sekolah sebelum diberikan materi e-learning.
Meskipun implementasi sistem e-learning yang ada sekarang ini sangat bervariasi, namun semua itu didasarkan atas suatu prinsip atau konsep bahwa e-learning dimaksudkan sebagai upaya pendistribusian materi pembelajaran melalui media elektronik atau internet sehingga siswa dapat mengaksesnya kapan dan di mana saja. Ciri pembelajaran dengan e-learning adalah terciptanya lingkungan belajar yang fleksibel dan terdistribusi.
Fleksibilitas menjadi kata kunci dalam sistem e-learning. Siswa menjadi sangat fleksibel dalam memilih waktu dan tempat belajar karena mereka tidak harus datang di suatu tempat, misalnya sekolah, pada waktu tertentu. Di lain pihak, guru dapat memperbaharui materi pembelajarannya kapan dan di mana saja. Dari segi isi, materi pembelajaran pun dapat dibuat sangat fleksibel mulai dari bahan ajar yang berbasis teks sampai materi pembelajaran yang sarat dengan komponen multimedia, seperti gambar dan lain-lain.
Distributed learning menunjuk pada pembelajaran di mana guru, siswa, dan materi pembelajaran terletak di lokasi yang berbeda, sehingga mahasiswa dapat belajar kapan saja dan di mana saja.
Sistem e-learning dapat diimplementasikan dalam bentuk asynchronous, synchronous, atau campuran antara keduanya. Asynchronous adalah model belajar terpisah antara guru dan siswa yang dilakukan tidak dalam waktu bersamaan sehingga siswa dapat mengatur sendiri kecepatan waktu belajarnya. Sedangkan synchronous adalah bentuk belajar yang terpisah jarak antara guru dan siswa, tetapi dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, aspek jarak diabaikan, tetapi aspek waktu masih dipertahankan.
Contoh e-learning asynchronous banyak dijumpai di internet. Sedangkan dalam e-learning synchronous, guru dan siswa harus berada di depan komputer secara bersama-sama karena proses pembelajaran dilaksanakan secara langsung (live), baik melalui video maupun audio conference. Selanjutnya dikenal pula istilah blended learning yakni bentuk pembelajaran campuran antara asynchronous dan synchronous. Misalnya on line, live, maupun konvensional (tatap muka).
E-learning berfungsi sebagai pendukung proses pembelajaran bagi peserta didik yang dapat meminimalkan kendala waktu, jarak, dan ruang. E-learning bertujuan untuk menjembatani guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar di luar jam sekolah.
E-learning juga memiliki payung hukum yang sah, yaitu Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 31 yang berbunyi sebagai berikut.
1. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
2. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
4. Bentuk pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi), radio, audio/video, televisi, dan/atau berbasis jaringan komputer.
Perlu ditekankan bahwa belajar menggunakan e-learning bukan berarti harus meninggalkan cara belajar konvensional. Mengkombinasikan antara pertemuan secara tatap muka dengan pembelajaran elektronik dapat meningkatkan kontribusi dan interaktifitas antar peserta didik. Melalui tatap muka peserta didik dapat mengenal sesama peserta didik dan guru pendampingnya. Keakraban ini sangat menunjang kerja kolaborasi mereka secara virtual. Persiapan matang sebelum mengimplementasikan sebuah pembelajaran berbasis multimedia memegang peran penting demi kelancaran proses pembelajaran. Segala persiapan seperti penjadwalan sampai dengan penentuan teknis komunikasi selama proses pembelajaran merupakan tahapan penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis web.
Memang terdapat perbedaan mendasar antara pembelajaran konvensional dan e-learning, yaitu, dalam pembelajaran konvensional, guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan dalam pembelajaran e-learning fokus utamanya adalah siswa. Siswa mandiri pada waktu tertentu dan bertanggung jawab untuk pembelajarannya. Suasana pembelajaran e-learning akan memaksa pelajar memainkan peranan yang lebih aktif dalam pembelajarannya. Pelajar membuat perancangan dan mencari materi dengan usaha, dan inisiatif sendiri.
Khoe Yao Tung (2000) mengatakan bahwa setelah kehadiran guru dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan komplemen dalam menjadikan wakil guru yang mewakili sumber belajar yang penting di dunia.
Dengan kata lain, e-learning tidak membuat siswa menjadi pasif, akan tetapi sebaliknya. E-learning akan memperluas wawasan siswa karena siswa terpacu untuk terus mencari jawaban dari permasalahannya. E-learning mengajarkan agar siswa tidak selalu bergantung pada kehadiran guru. Tanpa guru, siswa juga dapat belajar sendiri.
Sekilas perlu dikaji ulang apa e-learning itu sebenarnya. E-learning adalah pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer, dan internet.
E-learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka tanpa harus mengikuti pelajaran di kelas secara fisik. E-learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara on line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-learning. Dalam hal ini, aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.
Banyak pengertian berkaitan dengan e-learning. E-learning merupakan suatu jenis belajar-mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet, atau media jaringan komputer lain (Hartley, 2001). E-learning juga berarti sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar-mengajar dengan media internet, jaringan komputer, maupun komputer standalone (Glossary, 2001).
Meskipun banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pembelajaran menggunakan sistem e-learning cenderung sama bila dibanding dengan pembelajaran konvensional atau klasikal, tetapi keuntungan yang bisa diperoleh dengan e-learning adalah dalam hal fleksibilitasnya. Melalui e-learning, materi pembelajaran dapat diakses kapan dan di mana saja. Di samping itu, materi yang dapat diperkaya dengan berbagai sumber belajar termasuk multimedia dengan cepat dapat diperbaharui oleh pengajar.
Di Indonesia, e-learning mulai berkembang sejak tahun 1999 dengan menggunakan Jaringan Internet (Jarnet). E-learning pun terus mengalami perkembangan signifikan yang ditandai dengan semakin canggihnya alat-alat yang digunakan. Dalam sejarah perkembangannya, e-learning pernah dikembangkan menggunakan Jaringan Informasi Sekolah (JIS) pada tahun 2000, Wide Area Network (WAN) Kota pada tahun 2002, Information and Communication Technology (ICT) Center pada tahun 2004, Indonesia Higher Education Network pada tahun 2006, Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) pada tahun 2007 hingga sekarang, dan Southeast Asian Education Network (SEA EduNet) pada tahun 2008 hingga sekarang.
Meskipun perkembangan e-learning tergolong cukup lama di Indonesia, akan tetapi program e-learning masih tabu bagi sebagian pelajar Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sosialisasi yang tidak merata di berbagai daerah di Indonesia. Umumnya, e-learning berkembang pesat di daerah barat Indonesia. Akibatnya, terjadi ketimpangan pemikiran antara pelajar di daerah barat dan timur Indonesia.
Oleh karena perkembangan e-learning yang relatif masih baru di daerah timur Indonesia, penafsiran dan implementasi sistem e-learning sangatlah bervariasi dan belum ada standard yang baku, sehingga timbul pro dan kontra di kalangan pelajar.
Tidak perlu menilik daerah pedesaan atau pinggiran. Di daerah perkotaan pun e-learning masih terbilang tabu. Sebut saja Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, delapan dari sepuluh siswa yang bersekolah di sekolah favorit yang berbeda menyatakan tidak menyetujui adanya program e-learning. Sebagian besar beralasan bahwa program e-learning sulit untuk dipahami dan hanya membuat siswa menjadi pasif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pasif adalah berifat menerima saja, tidak giat, dan tidak aktif. Dengan kata lain, pasif berarti malas. Akan tetapi, apabila dikaji lebih lanjut, bukanlah e-learning yang membuat siswa menjadi malas, tapi memang siswa sendiri yang malas untuk mengkaji materi e-learning.
Siswa tidak sepenuhnya dapat disalahkan dalam hal ini, begitu pula dengan e-learning. Harus ada jalan tengah dalam mengatasi permasalahan ini. Siswa telah ‘salah kaprah’ mengenai apa itu e-learning, maksud, dan tujuannya. Hal ini disebabkan karena siswa tidak diberi pemahaman oleh pihak sekolah sebelum diberikan materi e-learning.
Meskipun implementasi sistem e-learning yang ada sekarang ini sangat bervariasi, namun semua itu didasarkan atas suatu prinsip atau konsep bahwa e-learning dimaksudkan sebagai upaya pendistribusian materi pembelajaran melalui media elektronik atau internet sehingga siswa dapat mengaksesnya kapan dan di mana saja. Ciri pembelajaran dengan e-learning adalah terciptanya lingkungan belajar yang fleksibel dan terdistribusi.
Fleksibilitas menjadi kata kunci dalam sistem e-learning. Siswa menjadi sangat fleksibel dalam memilih waktu dan tempat belajar karena mereka tidak harus datang di suatu tempat, misalnya sekolah, pada waktu tertentu. Di lain pihak, guru dapat memperbaharui materi pembelajarannya kapan dan di mana saja. Dari segi isi, materi pembelajaran pun dapat dibuat sangat fleksibel mulai dari bahan ajar yang berbasis teks sampai materi pembelajaran yang sarat dengan komponen multimedia, seperti gambar dan lain-lain.
Distributed learning menunjuk pada pembelajaran di mana guru, siswa, dan materi pembelajaran terletak di lokasi yang berbeda, sehingga mahasiswa dapat belajar kapan saja dan di mana saja.
Sistem e-learning dapat diimplementasikan dalam bentuk asynchronous, synchronous, atau campuran antara keduanya. Asynchronous adalah model belajar terpisah antara guru dan siswa yang dilakukan tidak dalam waktu bersamaan sehingga siswa dapat mengatur sendiri kecepatan waktu belajarnya. Sedangkan synchronous adalah bentuk belajar yang terpisah jarak antara guru dan siswa, tetapi dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, aspek jarak diabaikan, tetapi aspek waktu masih dipertahankan.
Contoh e-learning asynchronous banyak dijumpai di internet. Sedangkan dalam e-learning synchronous, guru dan siswa harus berada di depan komputer secara bersama-sama karena proses pembelajaran dilaksanakan secara langsung (live), baik melalui video maupun audio conference. Selanjutnya dikenal pula istilah blended learning yakni bentuk pembelajaran campuran antara asynchronous dan synchronous. Misalnya on line, live, maupun konvensional (tatap muka).
E-learning berfungsi sebagai pendukung proses pembelajaran bagi peserta didik yang dapat meminimalkan kendala waktu, jarak, dan ruang. E-learning bertujuan untuk menjembatani guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar di luar jam sekolah.
E-learning juga memiliki payung hukum yang sah, yaitu Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 31 yang berbunyi sebagai berikut.
1. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
2. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
4. Bentuk pendidikan jarak jauh mencakup program pendidikan tertulis (korespondensi), radio, audio/video, televisi, dan/atau berbasis jaringan komputer.
Perlu ditekankan bahwa belajar menggunakan e-learning bukan berarti harus meninggalkan cara belajar konvensional. Mengkombinasikan antara pertemuan secara tatap muka dengan pembelajaran elektronik dapat meningkatkan kontribusi dan interaktifitas antar peserta didik. Melalui tatap muka peserta didik dapat mengenal sesama peserta didik dan guru pendampingnya. Keakraban ini sangat menunjang kerja kolaborasi mereka secara virtual. Persiapan matang sebelum mengimplementasikan sebuah pembelajaran berbasis multimedia memegang peran penting demi kelancaran proses pembelajaran. Segala persiapan seperti penjadwalan sampai dengan penentuan teknis komunikasi selama proses pembelajaran merupakan tahapan penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis web.
Memang terdapat perbedaan mendasar antara pembelajaran konvensional dan e-learning, yaitu, dalam pembelajaran konvensional, guru dianggap sebagai orang yang serba tahu dan ditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan dalam pembelajaran e-learning fokus utamanya adalah siswa. Siswa mandiri pada waktu tertentu dan bertanggung jawab untuk pembelajarannya. Suasana pembelajaran e-learning akan memaksa pelajar memainkan peranan yang lebih aktif dalam pembelajarannya. Pelajar membuat perancangan dan mencari materi dengan usaha, dan inisiatif sendiri.
Khoe Yao Tung (2000) mengatakan bahwa setelah kehadiran guru dalam arti sebenarnya, internet akan menjadi suplemen dan komplemen dalam menjadikan wakil guru yang mewakili sumber belajar yang penting di dunia.
Dengan kata lain, e-learning tidak membuat siswa menjadi pasif, akan tetapi sebaliknya. E-learning akan memperluas wawasan siswa karena siswa terpacu untuk terus mencari jawaban dari permasalahannya. E-learning mengajarkan agar siswa tidak selalu bergantung pada kehadiran guru. Tanpa guru, siswa juga dapat belajar sendiri.
Categories
Pengetahuan siBluuu
BAKSOS AIR MATA
Sabtu, 24 Desember 2011. Seperti yang telah dirapatkan sebelumnya, hari ini ANALYSIS (Anak Loyal-Solid Olimpiade Sains) SMAN 4 Kendari mengadakan bakti sosial di salah satu panti asuhan di Kota Kendari. Kami mengumpulkan uang senilai Rp10.000-Rp20.000/orang untuk membeli berbagai kebutuhan pangan. Seperti beras, minyak goreng, mie instant, dan telur beberapa rak. Kami juga mengumpulkan pakaian-pakaian bekas, mukena, mainan, buku-buku, tas, dan tempat pensil yang masih layak pakai tentunya.
Sore hari kami sudah selesai menyiapkan segala sesuatunya. Semua barang yang akan kami sumbangkan diangkut menuju mobil angkutan umum yang telah kami sewa. Dua angkot cukuplah. Kebetulan ada beberapa dari kami yang berhalangan hadir.
Di perjalanan, kami sibuk bercerita mengenai keadaan panti asuhan tersebut. Afriyanti S. Lamuru, Hikmawati Madjid, dan Desty Triyaswati lah yang paling banyak bercerita. Soalnya mereka bertiga sudah pernah berkunjung ke panti asuhan tersebut. Mendengar cerita mereka, saya semakin penasaran dengan keadaan panti asuhan tersebut. Memang ini adalah kali keempat saya berkunjung ke panti asuhan. Tapi menurutku inilah yang mungkin akan paling mengesankan. Soalnya saya terlibat langsung di dalamnya. Tidak seperti tiga kunjungan yang lalu.
Ternyata medan yang kami lalui tidaklah mudah. Letak panti asuhan yang kami tuju sangatlah tertutup alias terpencil. Meskipun terletak di kawasan Pasar Baruga Kendari, tapi kenyataannya tidak banyak yang tahu di mana posisi panti asuhan tersebut.
Akhirnya tiba juga di panti asuhan ini. Awalnya saya sempat sangsi kalau tempat tersebut adalah panti asuhan. Pasalnya tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau tempat ini adalah panti asuhan. Tempat ini sangat tertutup. Tidak ada papan namanya. Tapi sebenarnya bangunannya cukup bagus, walaupun bangunannya belum selesai dikerjakan.
Tempat ini dikelilingi oleh dinding yang terbuat dari batako yang sudah disemen setinggi ±2 m. Di dalamnya terdiri dari tiga bangunan. Dua bangunan belum selesai dikerjakan. Salah satunya sangat menarik perhatian. Dalam bangunan terbut tidak terdapat ruangan, tapi kolam. Saya tidak tahu persis apa fungsi kolam ini dulunya. Yang jelas, sekarang warna airnya telah berubah menjadi warna hitam seperti air got. Di kolam dan sekelilingnya bertumpuk sampah yang dapat menghilangkan selera makan kalau seseorang makan di hadapannya. Sungguh sangat kotor dan mengeluarkan bau menyengat. Seorang temanku, Mangedi Saputra, menunjukkan kepada kami bangkai seekor ikan lele raksasa yang panjangnya ±50 cm yang tergeletak mengapung di kolam tersebut.
Awalnya kami ragu untuk masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan anak-anak kecil yang sedang bermain itu. Tapi Nizar Fauzan mengajak kami masuk dan memposisikan diri sebagai pengganti wali kelas kami, Pak Hartono, yang berhalangan hadir.
Kesan pertamaku ketika memasuki ruangan tersebut adalah bau. Memang bukan bau menyengat, tapi ada tercium bau yang kurang sedap. Ya, persis seperti cerita yang kudengar di angkot tadi. Sedikit jijik mungkin ada. Tapi semua perasaan itu langsung sirna tatkala anak-anak yatim piatu itu menyambut kedatangan kami dengan shalawat nabi sambil menyalami tangan kami satu persatu. Tidak tahu perasaan apa yang timbul. Sepertinya ada setetes air mata yang ingin jatuh tapi masih bisa kutahan. Bahkan ada beberapa temanku yang sudah menitikkan air mata. Kami pun menyalami ibu panti.
Sambil menunggu kedatangan Darmalianti Rahim dan Annisa Nurul Ilmi (sebelum ke panti asuhan, mereka menyempatkan diri untuk membeli sekarung beras lagi), kami pun bermain-main dengan anak-anak panti. Saya pun berkeliling dan melihat spanduk bertuliskan ‘Panti Asuhan Al-Ikhlas’. Oh, ternyata panti asuhan ini bernama Al-Ikhlas, baru tahu saya. Lalu mata saya tertuju pada sesosok bayi yang sedang tidur berjenis kelamin laki-laki. Bayinya masih merah. Sepertinya tidurnya tidak nyenyak, karena dia dikerumuni lalat dari tadi.
Setelah bertanya, saya pun tahu kalau bayi itu didapat di luar panti asuhan ini. Sepertinya dia memang sengaja ditinggal. Kata ibu panti, mungkin orang tuanya tidak mampu menghidupinya. Hah, jadi iba melihat bayi itu. Umurnya baru satu bulan, tapi sudah mengalami cobaan berat seperti ini. Teringat keponakanku di rumah. Di kala umurnya baru satu bulan, semua orang-orang yang menyayanginya selalu berada di sampingnya. Saya sampai-sampai selau telat ke sekolah dan ingin pulang lebih cepat, karena saya selaku ingin menjaga si adik bayi.
Saya lalu bermain-main dengan anak-anak yang lebih besar. Mereka sangat pemalu. Ada yang mau diajak berkenalan, ada juga yang tidak. Tapi ada seorang anak yang sangat menarik perhatian saya. Namanya Abu. Kurasa dialah yang paling kakak di panti ini. Ketika saya bertanya mengenai umurnya, dia bilang tidak tahu. Kalau diperkirakan umurnya ±8 tahun. Abu orangnya sangat pendiam dan kurang bersosialisasi dengan teman-temannya yang lain. Tapi ketika tersenyum wajah anak ini sangat manis. Selanjutnya saya juga berkenalan dengan Mirna, Asep, dan Usuf.
Lalu, saya juga bermain dengan Irma. Sepertinya anak ini baru berumur 1 tahun. Awalnya kukira dia itu laki-laki, tapi ternyata dia adalah perempuan. Hahaha, lucu juga mengingat ekspresi kaget teman-teman mengetahui dia itu perempuan.
Saya baru menyadari ada yang unik dari anak-anak perempuan di panti ini. Mereka mengenakan baju yang sama dan rambut mereka dipotong pendek selayaknya rambut anak laki-laki. Menurutku, hal itu sengaja dilakukan agar mereka tidak kesusahan mengurus rambut mereka.
Saya juga sangat salut pada ibu panti. Mereka tidak ingin anak-anak panti ini diadopsi. Mereka takut anak-anak tersebut dipekerjakan atau malah diperdagangkan.
Akhirnya Lia dan Ilmi datang juga. Kami lalu membentuk formasi duduk melingkar. Nizar selaku pengganti pak guru, membuka pembicaraan. Tak lupa kami menyuguhkan kue yang telah susah payah dibuat oleh Afri dan Desty. Sebelum makan, anak-anak itu berdoa. Kami pun ikut berdoa. Subhanallah, mereka sangat pandai berdoa, sampai-sampai air mata yang sudah kubendung dari awal memasuki ruangan ini akhirnya terjatuh juga. Saya terus menangis sepanjang mereka memanjatkan doa. Karena tak tahan, saya lalu berbaik ke belakang dan menangis lagi. Tidak hanya saya, teman-teman yang lain juga ikut menangis. Anak-anak itu mungkin tidak mengerti mengapa kami menangis. Tapi tangisan ini membuatku mengerti akan arti penting keluarga. Saya bersyukur masih memiliki keluarga utuh hingga saat ini. Saya bersyukur termasuk anak-anak yang beruntung.
Selesai berdoa, mereka langsung memakan kue-kue yang kami sajikan dengan sangat lahap. Sangat bahagia melihat mereka makan. Walaupun sebenarnya kami ngiler juga melihat kue-kue buatan Afri dan Desty. Sungguh mengundang selera makan. Tapi, melihat anak-anak panti yang makan hingga kenyang, perut serasa ikut kenyang juga jadinya. Acara dilanjutkan dengan penyerahan bantuan secara simbolis yang diwakili oleh Nizar, saya, dan Afri.
Sebenarnya kami sudah ingin pulang, tapi ternyata banyak teman-teman yang sedang dalam perjalanan menuju panti ini. Mereka memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan sehingga tidak dapat datang bersama-sama kami.
Sambil menunggu mereka, kami mengajak anak-anak panti membuka dos yang berisi mainan. Mereka tampak sangat antusias mendengar kata mainan. Maklum, mainan mereka sangat sedikit dan terkadang membuat mereka bertengkar karena memperebutkan mainan itu. Ketika dos sudah dibuka, mereka saling memperebutkan mainan. Sangat lucu melihat tingkah mereka. Lalu datang seorang anak melihat isi dos yang berisi mainan tadi. Anak itu tampak sangat kecewa dan sedih melihat dos itu telah kosong. Ternyata dia tidak kebagian mainan. Untung ada kakaknya yang bersedia berbagi mainan. Hah, pemandangan yang sangat indah :)
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Setelah membiarkan mereka bermain-main sebentar dengan anak-anak panti, kami pun pamit pulang. Kasihan supir mobil yang sudah menunggu dari tadi. Tapi sebelum pulang, ada satu ritual yang wajib dilakukan sebelum pulang. Yaitu, foto bareng anak-anak panti. Kami pun mengatur formasi, sementara Ibrahim Fantri dan Lia sibuk mempersiapkan kamera. Mereka menggunakan pengaturan self timer. Waktunya 10 detik. Lalu mereka buru-buru masuk ke formasi untuk ikut berfoto. Klikk!!!!!!!!!!!Sedih rasanya harus berpisah dengan dengan anak-anak panti. Ingin rasanya tinggal lebih lama lagi bersama mereka. Kami pun bersalam-salaman dan melakukan high five (ces/tos). Daaahh, semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi. Doa kami, semoga di masa depan mereka bisa menjadi orang-orang yang sukses. Aamiiin!!
Sore hari kami sudah selesai menyiapkan segala sesuatunya. Semua barang yang akan kami sumbangkan diangkut menuju mobil angkutan umum yang telah kami sewa. Dua angkot cukuplah. Kebetulan ada beberapa dari kami yang berhalangan hadir.
Di perjalanan, kami sibuk bercerita mengenai keadaan panti asuhan tersebut. Afriyanti S. Lamuru, Hikmawati Madjid, dan Desty Triyaswati lah yang paling banyak bercerita. Soalnya mereka bertiga sudah pernah berkunjung ke panti asuhan tersebut. Mendengar cerita mereka, saya semakin penasaran dengan keadaan panti asuhan tersebut. Memang ini adalah kali keempat saya berkunjung ke panti asuhan. Tapi menurutku inilah yang mungkin akan paling mengesankan. Soalnya saya terlibat langsung di dalamnya. Tidak seperti tiga kunjungan yang lalu.
Ternyata medan yang kami lalui tidaklah mudah. Letak panti asuhan yang kami tuju sangatlah tertutup alias terpencil. Meskipun terletak di kawasan Pasar Baruga Kendari, tapi kenyataannya tidak banyak yang tahu di mana posisi panti asuhan tersebut.
Akhirnya tiba juga di panti asuhan ini. Awalnya saya sempat sangsi kalau tempat tersebut adalah panti asuhan. Pasalnya tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau tempat ini adalah panti asuhan. Tempat ini sangat tertutup. Tidak ada papan namanya. Tapi sebenarnya bangunannya cukup bagus, walaupun bangunannya belum selesai dikerjakan.
Tempat ini dikelilingi oleh dinding yang terbuat dari batako yang sudah disemen setinggi ±2 m. Di dalamnya terdiri dari tiga bangunan. Dua bangunan belum selesai dikerjakan. Salah satunya sangat menarik perhatian. Dalam bangunan terbut tidak terdapat ruangan, tapi kolam. Saya tidak tahu persis apa fungsi kolam ini dulunya. Yang jelas, sekarang warna airnya telah berubah menjadi warna hitam seperti air got. Di kolam dan sekelilingnya bertumpuk sampah yang dapat menghilangkan selera makan kalau seseorang makan di hadapannya. Sungguh sangat kotor dan mengeluarkan bau menyengat. Seorang temanku, Mangedi Saputra, menunjukkan kepada kami bangkai seekor ikan lele raksasa yang panjangnya ±50 cm yang tergeletak mengapung di kolam tersebut.
Awalnya kami ragu untuk masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan anak-anak kecil yang sedang bermain itu. Tapi Nizar Fauzan mengajak kami masuk dan memposisikan diri sebagai pengganti wali kelas kami, Pak Hartono, yang berhalangan hadir.
Kesan pertamaku ketika memasuki ruangan tersebut adalah bau. Memang bukan bau menyengat, tapi ada tercium bau yang kurang sedap. Ya, persis seperti cerita yang kudengar di angkot tadi. Sedikit jijik mungkin ada. Tapi semua perasaan itu langsung sirna tatkala anak-anak yatim piatu itu menyambut kedatangan kami dengan shalawat nabi sambil menyalami tangan kami satu persatu. Tidak tahu perasaan apa yang timbul. Sepertinya ada setetes air mata yang ingin jatuh tapi masih bisa kutahan. Bahkan ada beberapa temanku yang sudah menitikkan air mata. Kami pun menyalami ibu panti.
Sambil menunggu kedatangan Darmalianti Rahim dan Annisa Nurul Ilmi (sebelum ke panti asuhan, mereka menyempatkan diri untuk membeli sekarung beras lagi), kami pun bermain-main dengan anak-anak panti. Saya pun berkeliling dan melihat spanduk bertuliskan ‘Panti Asuhan Al-Ikhlas’. Oh, ternyata panti asuhan ini bernama Al-Ikhlas, baru tahu saya. Lalu mata saya tertuju pada sesosok bayi yang sedang tidur berjenis kelamin laki-laki. Bayinya masih merah. Sepertinya tidurnya tidak nyenyak, karena dia dikerumuni lalat dari tadi.
Setelah bertanya, saya pun tahu kalau bayi itu didapat di luar panti asuhan ini. Sepertinya dia memang sengaja ditinggal. Kata ibu panti, mungkin orang tuanya tidak mampu menghidupinya. Hah, jadi iba melihat bayi itu. Umurnya baru satu bulan, tapi sudah mengalami cobaan berat seperti ini. Teringat keponakanku di rumah. Di kala umurnya baru satu bulan, semua orang-orang yang menyayanginya selalu berada di sampingnya. Saya sampai-sampai selau telat ke sekolah dan ingin pulang lebih cepat, karena saya selaku ingin menjaga si adik bayi.
Saya lalu bermain-main dengan anak-anak yang lebih besar. Mereka sangat pemalu. Ada yang mau diajak berkenalan, ada juga yang tidak. Tapi ada seorang anak yang sangat menarik perhatian saya. Namanya Abu. Kurasa dialah yang paling kakak di panti ini. Ketika saya bertanya mengenai umurnya, dia bilang tidak tahu. Kalau diperkirakan umurnya ±8 tahun. Abu orangnya sangat pendiam dan kurang bersosialisasi dengan teman-temannya yang lain. Tapi ketika tersenyum wajah anak ini sangat manis. Selanjutnya saya juga berkenalan dengan Mirna, Asep, dan Usuf.
Lalu, saya juga bermain dengan Irma. Sepertinya anak ini baru berumur 1 tahun. Awalnya kukira dia itu laki-laki, tapi ternyata dia adalah perempuan. Hahaha, lucu juga mengingat ekspresi kaget teman-teman mengetahui dia itu perempuan.
Saya baru menyadari ada yang unik dari anak-anak perempuan di panti ini. Mereka mengenakan baju yang sama dan rambut mereka dipotong pendek selayaknya rambut anak laki-laki. Menurutku, hal itu sengaja dilakukan agar mereka tidak kesusahan mengurus rambut mereka.
Saya juga sangat salut pada ibu panti. Mereka tidak ingin anak-anak panti ini diadopsi. Mereka takut anak-anak tersebut dipekerjakan atau malah diperdagangkan.
Akhirnya Lia dan Ilmi datang juga. Kami lalu membentuk formasi duduk melingkar. Nizar selaku pengganti pak guru, membuka pembicaraan. Tak lupa kami menyuguhkan kue yang telah susah payah dibuat oleh Afri dan Desty. Sebelum makan, anak-anak itu berdoa. Kami pun ikut berdoa. Subhanallah, mereka sangat pandai berdoa, sampai-sampai air mata yang sudah kubendung dari awal memasuki ruangan ini akhirnya terjatuh juga. Saya terus menangis sepanjang mereka memanjatkan doa. Karena tak tahan, saya lalu berbaik ke belakang dan menangis lagi. Tidak hanya saya, teman-teman yang lain juga ikut menangis. Anak-anak itu mungkin tidak mengerti mengapa kami menangis. Tapi tangisan ini membuatku mengerti akan arti penting keluarga. Saya bersyukur masih memiliki keluarga utuh hingga saat ini. Saya bersyukur termasuk anak-anak yang beruntung.
Selesai berdoa, mereka langsung memakan kue-kue yang kami sajikan dengan sangat lahap. Sangat bahagia melihat mereka makan. Walaupun sebenarnya kami ngiler juga melihat kue-kue buatan Afri dan Desty. Sungguh mengundang selera makan. Tapi, melihat anak-anak panti yang makan hingga kenyang, perut serasa ikut kenyang juga jadinya. Acara dilanjutkan dengan penyerahan bantuan secara simbolis yang diwakili oleh Nizar, saya, dan Afri.
Sebenarnya kami sudah ingin pulang, tapi ternyata banyak teman-teman yang sedang dalam perjalanan menuju panti ini. Mereka memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan sehingga tidak dapat datang bersama-sama kami.
Sambil menunggu mereka, kami mengajak anak-anak panti membuka dos yang berisi mainan. Mereka tampak sangat antusias mendengar kata mainan. Maklum, mainan mereka sangat sedikit dan terkadang membuat mereka bertengkar karena memperebutkan mainan itu. Ketika dos sudah dibuka, mereka saling memperebutkan mainan. Sangat lucu melihat tingkah mereka. Lalu datang seorang anak melihat isi dos yang berisi mainan tadi. Anak itu tampak sangat kecewa dan sedih melihat dos itu telah kosong. Ternyata dia tidak kebagian mainan. Untung ada kakaknya yang bersedia berbagi mainan. Hah, pemandangan yang sangat indah :)
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Setelah membiarkan mereka bermain-main sebentar dengan anak-anak panti, kami pun pamit pulang. Kasihan supir mobil yang sudah menunggu dari tadi. Tapi sebelum pulang, ada satu ritual yang wajib dilakukan sebelum pulang. Yaitu, foto bareng anak-anak panti. Kami pun mengatur formasi, sementara Ibrahim Fantri dan Lia sibuk mempersiapkan kamera. Mereka menggunakan pengaturan self timer. Waktunya 10 detik. Lalu mereka buru-buru masuk ke formasi untuk ikut berfoto. Klikk!!!!!!!!!!!Sedih rasanya harus berpisah dengan dengan anak-anak panti. Ingin rasanya tinggal lebih lama lagi bersama mereka. Kami pun bersalam-salaman dan melakukan high five (ces/tos). Daaahh, semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi. Doa kami, semoga di masa depan mereka bisa menjadi orang-orang yang sukses. Aamiiin!!
Categories
Pengalaman siBluuu
Kamis, 24 November 2011
Makalah-Peranan Pemuda dalam Mensosialisasikan HIV/AIDS Menggunakan TIK, Khususnya Internet
Berikut ini hanya merupakan pembahasan.
Di Indonesia kasus HIV/AIDS semakin meningkat sejalan dengan kebiasaan hidup yang semakain maju dan bebas, khususnya di kalangan pemuda. Oleh karena itu, penanggulangan HIV/AIDS saat ini adalah kegiatan yang rutin dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan komponen masyarakat pemerhati HIV/AIDS, bahkan pemuda pun memiliki andil dalam menanggulangi HIV/AIDS. Pemuda menanggulangi HIV/AIDS dengan mecoba ikut serta menjadi aktivis-aktivis anti HIV/AIDS atau melalui kegitan sosialisasi kecil-kecilan mengenai bahaya HIV/AIDS.
Salah satu media untuk sosialisasi yang dilakukan oleh pemuda adalah internet, karena di era globalisasi internet merupakan hal yang sangat penting dan telah menyebar luas dan mencakup seluruh kalangan sehinnga mudah untuk diakses. Banyak di antara pemuda yang mensosialisasikan HIV/AIDS dengan memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Pemuda biasanya membuat sebuah forum atau page di Facebook yang berisi informasi-informasi mengenai bahaya HIV/AIDS dan membuat akun Twitter untuk membagikan nasihat-nasihat mengenai bahaya HIV/AIDS.
Sosialisasi juga dilakukan melalui website contohnya aidsindonesia.or.id. Di website ini dapat ditemukan beberapa informasi yang lengkap seputar HIV/AIDS khususnya untuk Indonesia. Sayang sekali, website ini tidak memberikan aplikasi sosial networking seperti tersambung ke Facebook, Twitter, atau RSS Feed, sehingga website ini tidak memiliki fasilitas interaksi antar pembaca dengan admin.
Membentuk komunitas-komunitas HIV/AIDS di dunia maya juga menjadi pilihan bagi pemuda dalam mensosialisasikan HIV/AIDS. Salah satu komunitas HIV/AIDS yang digagas oleh pemuda dan populer dikalangan pemuda adalah Komunitas AIDS Indonesia. komunitas ini memberikan informasi-informasi lengkap mengenai HIV/AIDS, selain itu komunitas ini juga sering memberikan motivasi berupa kata-kata kepada ODHA, serta layanan on line yang dikhususkan kepada ODHA agar bisa berinteraksi dengan masyarakat lain yang tergabung dalam komunitas tersebut. Selain melakukan kegiatan secara on line, komunitas ini melakukan kegiatan off line, seperti kampanye HIV/AIDS, mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS, dan berinteraksi dengan ODHA secara langsung. Tak jarang pemuda juga bergerak secara individual dengan membuat blog pribadi yang berisi berbagai macam informasi menarik seputar HIV/AIDS.
Dalam mensosialisasikan HIV/AIDS khususnya melalui media jejaring sosial, website, blog maupun komunitas pemuda tak hanya dapat memberikan informasi seputar HIV/AIDS, namun pemuda dapat menggunakan prinsip Valliant, Cautious dan Thinking (VCT). Valliant atau berani, maksudnya masyarakat harus berani mengatakan tidak pada HIV/AIDS, agar tertanam dalam diri masyarakat bahwa HIV/AIDS itu merupakan hal yang harus dijauhi. Cautious atau berhati-hati maksudnya, masyarakat harus berhati-hati dalam bergaul sehingga tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Thinking atau berpikir, maksudnya masyarakat harus berpikir jernih sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. Jadi, VCT dapat membentuk moral masyarakat terutama remaja, agar tidak terjerumus ke dalam HIV/AIDS.
Di Indonesia kasus HIV/AIDS semakin meningkat sejalan dengan kebiasaan hidup yang semakain maju dan bebas, khususnya di kalangan pemuda. Oleh karena itu, penanggulangan HIV/AIDS saat ini adalah kegiatan yang rutin dilakukan oleh pemerintah, LSM, dan komponen masyarakat pemerhati HIV/AIDS, bahkan pemuda pun memiliki andil dalam menanggulangi HIV/AIDS. Pemuda menanggulangi HIV/AIDS dengan mecoba ikut serta menjadi aktivis-aktivis anti HIV/AIDS atau melalui kegitan sosialisasi kecil-kecilan mengenai bahaya HIV/AIDS.
Salah satu media untuk sosialisasi yang dilakukan oleh pemuda adalah internet, karena di era globalisasi internet merupakan hal yang sangat penting dan telah menyebar luas dan mencakup seluruh kalangan sehinnga mudah untuk diakses. Banyak di antara pemuda yang mensosialisasikan HIV/AIDS dengan memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Pemuda biasanya membuat sebuah forum atau page di Facebook yang berisi informasi-informasi mengenai bahaya HIV/AIDS dan membuat akun Twitter untuk membagikan nasihat-nasihat mengenai bahaya HIV/AIDS.
Sosialisasi juga dilakukan melalui website contohnya aidsindonesia.or.id. Di website ini dapat ditemukan beberapa informasi yang lengkap seputar HIV/AIDS khususnya untuk Indonesia. Sayang sekali, website ini tidak memberikan aplikasi sosial networking seperti tersambung ke Facebook, Twitter, atau RSS Feed, sehingga website ini tidak memiliki fasilitas interaksi antar pembaca dengan admin.
Membentuk komunitas-komunitas HIV/AIDS di dunia maya juga menjadi pilihan bagi pemuda dalam mensosialisasikan HIV/AIDS. Salah satu komunitas HIV/AIDS yang digagas oleh pemuda dan populer dikalangan pemuda adalah Komunitas AIDS Indonesia. komunitas ini memberikan informasi-informasi lengkap mengenai HIV/AIDS, selain itu komunitas ini juga sering memberikan motivasi berupa kata-kata kepada ODHA, serta layanan on line yang dikhususkan kepada ODHA agar bisa berinteraksi dengan masyarakat lain yang tergabung dalam komunitas tersebut. Selain melakukan kegiatan secara on line, komunitas ini melakukan kegiatan off line, seperti kampanye HIV/AIDS, mensosialisasikan bahaya HIV/AIDS, dan berinteraksi dengan ODHA secara langsung. Tak jarang pemuda juga bergerak secara individual dengan membuat blog pribadi yang berisi berbagai macam informasi menarik seputar HIV/AIDS.
Dalam mensosialisasikan HIV/AIDS khususnya melalui media jejaring sosial, website, blog maupun komunitas pemuda tak hanya dapat memberikan informasi seputar HIV/AIDS, namun pemuda dapat menggunakan prinsip Valliant, Cautious dan Thinking (VCT). Valliant atau berani, maksudnya masyarakat harus berani mengatakan tidak pada HIV/AIDS, agar tertanam dalam diri masyarakat bahwa HIV/AIDS itu merupakan hal yang harus dijauhi. Cautious atau berhati-hati maksudnya, masyarakat harus berhati-hati dalam bergaul sehingga tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Thinking atau berpikir, maksudnya masyarakat harus berpikir jernih sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. Jadi, VCT dapat membentuk moral masyarakat terutama remaja, agar tidak terjerumus ke dalam HIV/AIDS.
Categories
Pengetahuan siBluuu
Kamis, 17 November 2011
Perjuangan Melawan Bom Waktu HIV/AIDS
Dalam sebuah rumah berdinding semen dan berkamar tiga di Sorong, Papua Barat, impian Angelina pun perlahan memudar. Dulu ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang polisi wanita. Alasannya karena Angelina sangat suka melihat polisi yang membantu dan melindungi orang.
Namun sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Enam bulan kemudian bayi perempuan pertamanya pun juga meninggal. Baru pada bulan Oktober, ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemungkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks dan kemudian menularinya.
Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan beresiko tetapi tertular oleh orang yang berkelakuan tidak baik.
Tentu saja banyak perhatian tercurah pada penyebaran HIV/AIDS di antara kelompok-kelompok yang beresiko. Tapi UNICEF justru memfokuskan pada anak muda dalam upayanya mencegah penularan virus ke masyarakat luas.
Sebagian besar anak muda Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi yang tepat tentang penyakit itu. Dalam satu penelitian, hanya satu dari tiga pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang tahu persis cara pencegahan penularan virus secara seksual.
Kurangnya pengetahuan ini menjadi sebuah bom waktu di daerah-daerah seperti Papua. Di sana anak muda mulai aktif secara seksual pada awal masa pubertas. Dengan memberikan pelatihan pada guru-guru sekolah menengah atas di Papua tentang keterampilan hidup dan HIV/AIDS, UNICEF berharap generasi muda di Papua akan memahami konsekuensi dari seks yang tidak aman.
Menyangkut pendidikan sebagai satu pilar strategi lima tahun HIV/AIDS, pemerintah Indonesia tetap berjalan di tempat. Karena itu UNICEF mencoba langkah berbeda dengan menyentuh langsung pelajar sekolah menengah atas.
“Saat kita berada di sekolah, kita mengkombinasikan strategi pendidikan ketrampilan hidup dan pendidikan sebaya untuk mencegah penularan HIV dan penyalahgunaan obat-obatan. Strategi itu pada dasarnya dirancang untuk memberikan kaum muda ketrampilan komunikasi antar pribadi, kreatifitas, kepercayaan diri, harga diri dan daya pikir kritis. Ini perlu untuk membantu mereka jika menghadapi kesempatan untuk mencoba obat-obatan atau melakukan seks yang tidak aman,” kata Rachel Odede, kepala unit HIV/AIDS UNICEF Indonesia.
Hambatan utama untuk pendidikan orang Indonesia adalah keyakinan bahwa penyakit ini hanya menjangkiti “orang tidak baik” dan memang mereka layak mendapatkannya. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS pun diberi stigma dan dipaksa pergi dari kampung halaman mereka. Mereka ditolak berobat ke dokter, diancam, dijauhi dan disingkirkan. Ketakutan dan stigma semacam itulah yang membuat para tetangga dan bahkan anggota keluarga Angelina tidak tahu sama sekali penyakitnya.
“Saya anggota aktif di gereja. Saya tidak ingin orang melihat ke saya dan berkata ‘Lihat, orang itu putrinya sakit’”, kata Yakobus, ayahnya. Ia seorang guru sekolah dasar yang mengambil pensiun dini untuk merawat putri bungsunya itu.
Meski orang Indonesia yang sekuler telah mengenal program keluarga berencana dengan slogan ‘dua anak cukup’, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu oleh sebagian penduduk yang sebagian besar Muslim dan konservatif ini. Saat ini epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada tingkat penularan HIV yang masih rendah pada penduduk secara umum. Namun pada populasi tertentu, tingkat penularannya cukup tinggi, yaitu di antara para pekerja seks komersil dan pengguna jarum suntik yang kian meningkat.
Namun sudah lama impian itu sirna. Pada Juni 2002, suaminya yang bekerja sebagai ahli mekanik meninggal. Enam bulan kemudian bayi perempuan pertamanya pun juga meninggal. Baru pada bulan Oktober, ia tahu penyebabnya. Belum juga hilang kesedihannya, perempuan 21 tahun itu diberitahu bahwa ia terinfeksi HIV. Kemungkinan besar suaminya terjangkit virus itu dari pekerja seks dan kemudian menularinya.
Angelina hanya salah satu korban yang polos dan tidak tahu menahu tentang HIV di Indonesia. Ia hanya orang biasa yang bahkan tidak pernah melakukan tindakan beresiko tetapi tertular oleh orang yang berkelakuan tidak baik.
Tentu saja banyak perhatian tercurah pada penyebaran HIV/AIDS di antara kelompok-kelompok yang beresiko. Tapi UNICEF justru memfokuskan pada anak muda dalam upayanya mencegah penularan virus ke masyarakat luas.
Sebagian besar anak muda Indonesia tidak tahu mengenai HIV/AIDS dan penyebarannya. Hanya sedikit yang mendapat informasi yang tepat tentang penyakit itu. Dalam satu penelitian, hanya satu dari tiga pelajar sekolah menengah atas di Jakarta yang tahu persis cara pencegahan penularan virus secara seksual.
Kurangnya pengetahuan ini menjadi sebuah bom waktu di daerah-daerah seperti Papua. Di sana anak muda mulai aktif secara seksual pada awal masa pubertas. Dengan memberikan pelatihan pada guru-guru sekolah menengah atas di Papua tentang keterampilan hidup dan HIV/AIDS, UNICEF berharap generasi muda di Papua akan memahami konsekuensi dari seks yang tidak aman.
Menyangkut pendidikan sebagai satu pilar strategi lima tahun HIV/AIDS, pemerintah Indonesia tetap berjalan di tempat. Karena itu UNICEF mencoba langkah berbeda dengan menyentuh langsung pelajar sekolah menengah atas.
“Saat kita berada di sekolah, kita mengkombinasikan strategi pendidikan ketrampilan hidup dan pendidikan sebaya untuk mencegah penularan HIV dan penyalahgunaan obat-obatan. Strategi itu pada dasarnya dirancang untuk memberikan kaum muda ketrampilan komunikasi antar pribadi, kreatifitas, kepercayaan diri, harga diri dan daya pikir kritis. Ini perlu untuk membantu mereka jika menghadapi kesempatan untuk mencoba obat-obatan atau melakukan seks yang tidak aman,” kata Rachel Odede, kepala unit HIV/AIDS UNICEF Indonesia.
Hambatan utama untuk pendidikan orang Indonesia adalah keyakinan bahwa penyakit ini hanya menjangkiti “orang tidak baik” dan memang mereka layak mendapatkannya. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS pun diberi stigma dan dipaksa pergi dari kampung halaman mereka. Mereka ditolak berobat ke dokter, diancam, dijauhi dan disingkirkan. Ketakutan dan stigma semacam itulah yang membuat para tetangga dan bahkan anggota keluarga Angelina tidak tahu sama sekali penyakitnya.
“Saya anggota aktif di gereja. Saya tidak ingin orang melihat ke saya dan berkata ‘Lihat, orang itu putrinya sakit’”, kata Yakobus, ayahnya. Ia seorang guru sekolah dasar yang mengambil pensiun dini untuk merawat putri bungsunya itu.
Meski orang Indonesia yang sekuler telah mengenal program keluarga berencana dengan slogan ‘dua anak cukup’, pembicaraan mengenai seks masih dianggap tabu oleh sebagian penduduk yang sebagian besar Muslim dan konservatif ini. Saat ini epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada tingkat penularan HIV yang masih rendah pada penduduk secara umum. Namun pada populasi tertentu, tingkat penularannya cukup tinggi, yaitu di antara para pekerja seks komersil dan pengguna jarum suntik yang kian meningkat.
Categories
Artikel siBluuu
Selasa, 08 November 2011
KTP Chukkahamnida ^^
Selasa, 8 November 2011. Hari ini adalah hari aku membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ya, walaupun sebenarnya hari ini umurku belum ‘ganjil’ 17 tahun, tapi tak apalah.
Awalnya sih aku tidak mau, padahal sudah dibujuk 1000 macam rayuan oleh ayahku tercinta (cie ile…), tapi hatiku tak goyah. Aku ingin membuat KTP tepat di usia 17 tahun (sebulan lagi, sebulan lagi!!). Ternyata, keluarga besarku akan mengurus KTP hari ini. Jadi, kalau tidak mau ngurus sendiri ya harus ikut, deh.
Ayahku berkata, kalau ada pelajaran yang kosong, aku disuruh pulang ke rumah. Nah, kebetulan sekali, ada pelajaran kosong di jam terakhir. Yee, kan enak bisa sekalian pulang ke rumah terus nggak balik-balik lagi ke sekolah. Hehe..
Jadilah aku pulang pukul 12.00 Wita. Sampai di pos satpam, aku menunjukkan surat izin yang kuambil di BK. Terus pak satpam bertanya, “Kamu mau pulang naik ojek?” Kujawab, “Sepertinya begitu, pak.” “Nih ada ojek, naik saja!” Wah, Alhamdulillah ya, sesuatu banget. Langsung deh aku naik ojek itu.
Tiba di rumah. Ternyata, ayahku terlambat ngambil nomor di Kantor Camat Kadia. Dapat nomor sih, tapi nomor 96. Wow. Nomor 96 kira-kira sore baru mendapat giliran. Eh, tadinya izin pulang ke rumah buat ngurus KTP, jadinya buat tidur. Hahaha…
Pukul 16.00 Wita, kami sekeluarga (ayah, ibu, kakak I, dan keponakanku Aiz) pergi ke P2ID. Ayahku naik motor, sedangkan sisanya naik taksi (SISA???!!). Ketika taksi masuk ke gerbang P2ID, jadi terbayang masa lalu. Terakhir kali aku ke sini sekitar usia TK. Dahulu kala, P2ID digunakan sebagai tempat promosi dan pameran budaya. Tempatnya juga unik. Pernah ke Keraton Buton tidak?? Hehe, aku juga belum pernah. Tapi pernah penelitian di sana (aduh gimana ceritanya tuh???). Tapi lagi, bukan aku yang pergi, tapi (lagi-lagi) temanku. Aku hanya melihat keadaan di sana lewat video yang direkam oleh temanku. Tapi sayang, ternyata tanah di P2ID bermasalah. Makanya hingga sekarang, P2ID sudah tidak difungsikan lagi. Keberadaannya juga yang jauh dari keramaian membuat tempat ini seperti tidak pernah ada.
SUDAH!! Kembali ke ceritaku tadi. Suasana di P2ID mirip dengan suasana di Keraton Buton. Gerbang P2ID dibangun ala benteng pertahanan, seperti Keraton Buton. Di dalam P2ID juga terdapat beberapa rumah masyarakat. Banyak rumah-rumah adat (asli) yang ada di sini. Ada juga lho tiruan tiang bendera Keraton Buton. Hanya kalau di keraton kan tiang benderanya setinggi 20 meter. Kalau tiruannya kukira tidak mencapai 10 meter. Terdapat lapangan bola juga, yang ramai dikunjungi baik dari kalangan anak-anak dan remaja laki-laki.
Nah, di samping lapangan bola itulah letaknya Kantor Camat Kadia. Di sebelahnya masih terdapat satu kantor lagi, yaitu Kantor Pariwisata. Di atas pintu masuk Kantor Camat Kadia, terdapat spanduk bertuliskan KTP elektronik bla bla bla (maaf aku tidak hapal ^^).
Ternyata giliran kami belum tiba. Masih ada beberapa nomor lagi. Ketika tiba giliran kami, datang tetangga belakang rumah bersama keluarganya. Sayang, gilirannya sudah lewat. Masuklah kami ke suatu ruangan. Ruangannya lumayan luas, tapi penataan perabot yang kurang tepat sehingga terlihat sangat sempit. Terdapat 4 kursi tunggu dan 4 petugas. Dua perempuan dan dua laki-laki. Kedua perempuan itu bertugas sebagai petugas yang melayani masyarakat apabila ada masalah, sedangkan kedua laki-laki itu sebagai tukang foto.
Pertama, foto giliran ayahku, lalu ibuku, terakhir aku. Proses pembuatan KTP elektronik ini sangat berbeda dengan pembuatan KTP biasa (ya iyalah..). Selain foto wajah, petugas juga meminta sidik jari dan memfoto bagian mata. Pengalaman ini membuatku deg-degan. Soalnya ini kan pengalaman pertama dan terakhir. Sewaktu di rumah, aku sengaja memilih pakaian yang bagus. Karena kalau di foto, foto itu yang akan ku pakai seumur hidup. Jadi harus cantik dong fotonya. Hehe..
Lalu tiba-tiba, seorang petugas laki-laki masuk bersama seorang perempuan. Ternyata perempuan itu adalah tetangga dekat rumah yang baru datang tadi. Ternyata dia protes karena ada seorang perempuan yang baru datang tapi kok tidak ngantri, langsung masuk ke ruangan pengambilan foto. Oh ya, sewaktu kami masuk ke ruangan ini, kami diikuti oleh seorang perempuan juga. Sebenarnya aku sempat mendengar percakapan antara perempuan itu dan salah satu petugas perempuan di ruangan tersebut. Sepertinya mereka adalah kerabat. Tidak adilnya, si petugas ini memperbolehkan kerabatnya itu masuk duluan tanpa nomor antrian. Jadi, wajar dong kalau ada yang protes.
Ya, sekianlah pengalamanku membuat KTP. Sebenarnya tadi tidak ada minat buat nulis di blog, makanya aku tidak menyertakan foto P2ID, karena memang aku tidak mengambil foto sewaktu di sana. Tapi kupikir, ini adalah pengalaman yang perlu ditulis. Jadi kutulis saja. Semoga Anda suka..
Awalnya sih aku tidak mau, padahal sudah dibujuk 1000 macam rayuan oleh ayahku tercinta (cie ile…), tapi hatiku tak goyah. Aku ingin membuat KTP tepat di usia 17 tahun (sebulan lagi, sebulan lagi!!). Ternyata, keluarga besarku akan mengurus KTP hari ini. Jadi, kalau tidak mau ngurus sendiri ya harus ikut, deh.
Ayahku berkata, kalau ada pelajaran yang kosong, aku disuruh pulang ke rumah. Nah, kebetulan sekali, ada pelajaran kosong di jam terakhir. Yee, kan enak bisa sekalian pulang ke rumah terus nggak balik-balik lagi ke sekolah. Hehe..
Jadilah aku pulang pukul 12.00 Wita. Sampai di pos satpam, aku menunjukkan surat izin yang kuambil di BK. Terus pak satpam bertanya, “Kamu mau pulang naik ojek?” Kujawab, “Sepertinya begitu, pak.” “Nih ada ojek, naik saja!” Wah, Alhamdulillah ya, sesuatu banget. Langsung deh aku naik ojek itu.
Tiba di rumah. Ternyata, ayahku terlambat ngambil nomor di Kantor Camat Kadia. Dapat nomor sih, tapi nomor 96. Wow. Nomor 96 kira-kira sore baru mendapat giliran. Eh, tadinya izin pulang ke rumah buat ngurus KTP, jadinya buat tidur. Hahaha…
Pukul 16.00 Wita, kami sekeluarga (ayah, ibu, kakak I, dan keponakanku Aiz) pergi ke P2ID. Ayahku naik motor, sedangkan sisanya naik taksi (SISA???!!). Ketika taksi masuk ke gerbang P2ID, jadi terbayang masa lalu. Terakhir kali aku ke sini sekitar usia TK. Dahulu kala, P2ID digunakan sebagai tempat promosi dan pameran budaya. Tempatnya juga unik. Pernah ke Keraton Buton tidak?? Hehe, aku juga belum pernah. Tapi pernah penelitian di sana (aduh gimana ceritanya tuh???). Tapi lagi, bukan aku yang pergi, tapi (lagi-lagi) temanku. Aku hanya melihat keadaan di sana lewat video yang direkam oleh temanku. Tapi sayang, ternyata tanah di P2ID bermasalah. Makanya hingga sekarang, P2ID sudah tidak difungsikan lagi. Keberadaannya juga yang jauh dari keramaian membuat tempat ini seperti tidak pernah ada.
SUDAH!! Kembali ke ceritaku tadi. Suasana di P2ID mirip dengan suasana di Keraton Buton. Gerbang P2ID dibangun ala benteng pertahanan, seperti Keraton Buton. Di dalam P2ID juga terdapat beberapa rumah masyarakat. Banyak rumah-rumah adat (asli) yang ada di sini. Ada juga lho tiruan tiang bendera Keraton Buton. Hanya kalau di keraton kan tiang benderanya setinggi 20 meter. Kalau tiruannya kukira tidak mencapai 10 meter. Terdapat lapangan bola juga, yang ramai dikunjungi baik dari kalangan anak-anak dan remaja laki-laki.
Nah, di samping lapangan bola itulah letaknya Kantor Camat Kadia. Di sebelahnya masih terdapat satu kantor lagi, yaitu Kantor Pariwisata. Di atas pintu masuk Kantor Camat Kadia, terdapat spanduk bertuliskan KTP elektronik bla bla bla (maaf aku tidak hapal ^^).
Ternyata giliran kami belum tiba. Masih ada beberapa nomor lagi. Ketika tiba giliran kami, datang tetangga belakang rumah bersama keluarganya. Sayang, gilirannya sudah lewat. Masuklah kami ke suatu ruangan. Ruangannya lumayan luas, tapi penataan perabot yang kurang tepat sehingga terlihat sangat sempit. Terdapat 4 kursi tunggu dan 4 petugas. Dua perempuan dan dua laki-laki. Kedua perempuan itu bertugas sebagai petugas yang melayani masyarakat apabila ada masalah, sedangkan kedua laki-laki itu sebagai tukang foto.
Pertama, foto giliran ayahku, lalu ibuku, terakhir aku. Proses pembuatan KTP elektronik ini sangat berbeda dengan pembuatan KTP biasa (ya iyalah..). Selain foto wajah, petugas juga meminta sidik jari dan memfoto bagian mata. Pengalaman ini membuatku deg-degan. Soalnya ini kan pengalaman pertama dan terakhir. Sewaktu di rumah, aku sengaja memilih pakaian yang bagus. Karena kalau di foto, foto itu yang akan ku pakai seumur hidup. Jadi harus cantik dong fotonya. Hehe..
Lalu tiba-tiba, seorang petugas laki-laki masuk bersama seorang perempuan. Ternyata perempuan itu adalah tetangga dekat rumah yang baru datang tadi. Ternyata dia protes karena ada seorang perempuan yang baru datang tapi kok tidak ngantri, langsung masuk ke ruangan pengambilan foto. Oh ya, sewaktu kami masuk ke ruangan ini, kami diikuti oleh seorang perempuan juga. Sebenarnya aku sempat mendengar percakapan antara perempuan itu dan salah satu petugas perempuan di ruangan tersebut. Sepertinya mereka adalah kerabat. Tidak adilnya, si petugas ini memperbolehkan kerabatnya itu masuk duluan tanpa nomor antrian. Jadi, wajar dong kalau ada yang protes.
Ya, sekianlah pengalamanku membuat KTP. Sebenarnya tadi tidak ada minat buat nulis di blog, makanya aku tidak menyertakan foto P2ID, karena memang aku tidak mengambil foto sewaktu di sana. Tapi kupikir, ini adalah pengalaman yang perlu ditulis. Jadi kutulis saja. Semoga Anda suka..
Categories
Pengalaman siBluuu
Minggu, 06 November 2011
SEPI, GO….!!!!!!
Minggu, 6 November 2011. Happy Idul Adha Day 1432 H, Guys! Alhamdulillah, Allah masih memberi kita umur sehingga bisa melaksanakan lebaran haji hari ini.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillah Ilhamd.” Sayup-sayup sudah mulai berkumandang sejak tadi malam. Menandakan bahwa Hari Raya Idul Adha telah tiba.
Sekitar pukul 06.00 Wita, aku, mama, kakak, keponakan (Aiz), dan suami kakakku (kecuali ayahku. Beliau lebih memilih untuk shalat di Masjid Ummushabri yang jaraknya lebih dekat dari rumah) menuju Masjid Agung Al-Kautsar untuk menunaikan Shalat Id. Masjid Agung Al-Kautsar adalah masjid paling besar dan mewah di Kendari. Tapi sayang, sepagi ini ternyata sudah terlalu terlambat untuk mengambil tempat paling depan. Orang-orang seperti tertumpah ruah di masjid yang super luas ini. Karena padatnya manusia dan kendaraan, suami kakakku berinisiatif untuk memarkir mobil di depan Bank Mandiri Syariah. Lalu kami berjalan menuju masjid.
Alhamdulillah, masih ada tempat kosong. Kami pun mengambil tempat di halaman masjid dekat tangga masuk, sedangkan suami kakakku mengambil tempat di halaman bagian depan masjid (maaf ya fotonya nggak ada, malas bawa kamera sih).
Tepat pukul 06.30 Wita, ritual Shalat Id dimulai. Dimulai dari pembacaan tata cara shalat, shalat, hingga khotbah Idul Adha. Jujur, aku sih melaluinya dengan tidak terlalu khusyuk. Penyebabnya bermacam-macam. Ketika shalat, banyak suara anak kecil yang menangis (ada yang menyuruh mamanya untuk berhenti shalat, ada yang ingin beli balon, ada yang ingin beli es krim, ada yang haus, dan ada yang takut nggak tahu kenapa. Alhamdulillah, Aiz tumbenan tenang banget, nggak rewel) dan suara handphone berdering.
Pulang pun ribet banget. Akses untuk keluar masjid sangat susah. Karena harus berdesak-desakan dengan manusia-manusia lain. Ada yang ingin minta sumbangan atas nama masjid, panti asuhan, dan pribadi. Belum lagi penjual-penjual yang berlomba-lomba menawarkan barang-barangnya demi menggaet hati anak kecil (Dhil, bukan penjual namanya kalau nggak begitu [==”]).
Akhirnya, setelah melalui berjuta-juta rintangan (lebay), akhirnya sampai juga di tempat parkir. Ternyata eh ternyata, mobil nggak bisa keluar. Karena banyak banget mobil lain yang ngantri dibelakangnya. Waduh, mau nunggu sampai jam berapa nih??
30 menit kemudian…
Akhirnya, kami bisa pulang juga. Ketika sampai di perempatan MTQ, suami kakakku mengambil haluan kanan, karena kondisi jalan di depan Ummushabri terlihat masih macet. Tiba di depan perempatan Masjid Nurul Huda, ternyata jalan di depan masjid itu juga macet. Kakakku pun berkata, “Lebih baik kita lewat di depan Ummushabri saja, biar pun agak macet, jalan di daerah itu lebih lebar.” Akhirnya kami belok kembali. Tiba di Ummushabri, ternyata mobil sama sekali tidak bisa bergerak. Macet total. Sepertinya kondisi jalan di sini lebih parah dibanding jalan di depan Masjid Nurul Huda tadi. Hah, akhirnya kami mengambil jalan memutar lewat MTQ, pasar bunga, dan belok di jalan samping Kantor Departemen Agama. Seharusnya, waktu tempuh dari Masjid Al-Kautsar ke rumahku hanya sekitar 10 menit. Gara-gara insiden ini, waktunya menjadi dua kali lipat.
Setibanya di rumah, ternyata ayahku belum datang. Kunci rumah kan ada sama beliau!! Ya, nunggu lagi deh. Padahal, cacing-cacing di perutku sudah berdemo meminta hak makan mereka. Ternyata, aku masih harus menunggu lagi sampai makanan benar-benar siap.
Alhamdulillah, akhirnya makan juga. Dengan lahap, aku pun menyantap makanan yang dimasak oleh mamaku. Ada buras, ketupat, kari ayam, ayam masak kelapa, dan ayam lilit laksa (makanan favoritku). Sebagai makanan penutup, tersedia pie dan salad buah. Mmm, yummy (slurp)…
Setelah agak kenyang, aku pun kembali bersiap-siap untuk ke sekolah. Eit, bukan untuk belajar, tapi aku diamanahkan untuk menjadi panitia qurban seksi dokumentasi. Alhamdulillah, ayahku yang baik hati bersedia mengantarku ke sekolah.
Tiba di sekolah, sudah lumayan banyak orang berkumpul. Terlihat ada dua sapi yang menunggu ajalnya tiba (hehe..). Heh, sapinya berwarna coklat, kebetulan banget aku juga pakai pakaian serba coklat mulai dari kerudung hingga sepatu. Hah, memang jodoh ya nggak ke mana (Haha, just kidding ><)!! Setelah absen, aku dan teman-teman pun menuju lokasi pemotongan sapi. Aku senang banget. Soalnya ini kali pertama aku mendengar suara "mooooo..." sapi secara langsung. Hehe, maklum, orang kota nggak pernah bergaul sama sapi (jangan tersinggung ya :)) Setelah itu, aku memulai aktivitasku menjadi fotografer gadungan. Berbekal kamera merek Nikon baruku (huuu, pamer. Astaghfirullah!!), aku mulai jepret sana, jempret sini, jempret itu, jempret ini. Hehe…. Foto sapi di awal cerita juga merupakan salah satu hasil jepretanku. Oh, aku dan teman-teman juga sempat berfoto sama sapi. Sudah bergaya bagus banget nih. Senyum lebar-lebar, lesung pipi harus kelihatan, ekspresi oke, pokoknya posisi sudah bagus banget nih, termasuk posisi sapinya. Tapi, ketika di foto, mungkin sapinya kaget lihat blitz kali, sapinya langsung melompat. Kami sangat kaget. Tapi hasilnya boelh juga kan?? Salut buat sang fotografer :) Pemotongan sapi pun dimulai. Para guru dan siswa terlihat bekerjasama. Adapun yang bertindak sebagai penggali lubang tutup lubang adalah Pak Petaho (tata usaha SMAN 4 Kendari), sebagai algojonya adalah Drs. Haddad Yahya (guru agama SMAN 4 Kendari), sebagai seksi dokumentasi versi guru adalah Drs. Sahama (guru bahasa Inggris SMAN 4 Kendari), sebagai seksi potong-potong daging adalah pak satpam, sebagai seksi timbang-menimbang adalah Pak Mangalisu (guru kimia SMAN 4 Kendari),sebagai pengasah pisau dan parang adalah Soekarno, sebagai pengangkat daging adalah Mukarram Rifai, dll. Hehe, peace…
Uhh, bosan juga foto-foto sapi melulu. Aku dan Lia (temanku) pun mengasingkan diri ke gazebo kelas XI Olimpiade. Di sana kami foto-foto menarsiskan diri. Sayang, foto-fotonya sudah terkena sensor nih, jadi tidak dapat ditampilkan. Hihi ^^
Sekitar pukul 11.00 Wita, aku dan Lia pamit pulang. Awalnya kami dicegah Munir (anggota OSIS). Katanya, tunggu sebentar lagi karena ada pembagian daging. Tapi kami menolak untuk untuk diberi. Aku mempertimbangkan bahwa keluargaku kurang suka makan daging. Lia menolak karena di rumahnya juga ada sapi yang katanya sebentar siang akan dipotong. Akhirnya kami pun pulang dengan tangan kosong.
Kami pun berjalan menuju gerbang kedua. Astaghfirullah, aku lupa bawa uang untuk pulang. Soalnya waktu datang ke sekolah, ayahku yang mengantarku, jadi lupa bawa deh. Alhamdulillah, Lia dengan senang hati meminjamkanku uangnya. Thank you, Lia..
Tiba di rumah, aku disambut keluargaku dengan pertanyaan, “Mana dagingnya??” Aku pun dengan santai menjawab, “Tidak ku ambil. Soalnya ku pikir tidak ada yng suka makan daging, palingan mama. Eh, bukannya ada pembagian dari masjid belakang rumah?” Ternyata ayahku juga menolak pemberian daging itu dengan alasan yang sama denganku.
Hahaha… sontak seluruh keluargaku tertawa. Mamaku bilang, ya sudah, nanti besok kita beli daging di pasar saja. Yaa, ada yang gratis malah beli.
Tapi belum berhenti sampai di situ. Sekitar pukul 13.00 Wita, pintu rumahku diketuk. Aku pun membukanya. Ternyata yang datang adalah remaja masjid dekat rumah. Dia mengantarkan jatah daging keluargaku. Ku kira hanya satu kantung. Eh, ternyata aku diberi lima kantung. Kaget aku. “Lho, kok banyak sekali?” “Sudah begini jatahnya. Memang banyak.”
Hahaha… Alhamdulillah. Allah selalu mendatangkan rezeki dari arah yang tidak terduga-duga. Dua kilo daging ditolak, yang datang malah lima kilo. Hah, sekarang mamaku jadi bingung. Daging segini banyaknya mau diapakan?? Bisa-bisa sampai bulan depan makan daging terus nih. Haha.. Sepi, go…!!
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillah Ilhamd.” Sayup-sayup sudah mulai berkumandang sejak tadi malam. Menandakan bahwa Hari Raya Idul Adha telah tiba.
Sekitar pukul 06.00 Wita, aku, mama, kakak, keponakan (Aiz), dan suami kakakku (kecuali ayahku. Beliau lebih memilih untuk shalat di Masjid Ummushabri yang jaraknya lebih dekat dari rumah) menuju Masjid Agung Al-Kautsar untuk menunaikan Shalat Id. Masjid Agung Al-Kautsar adalah masjid paling besar dan mewah di Kendari. Tapi sayang, sepagi ini ternyata sudah terlalu terlambat untuk mengambil tempat paling depan. Orang-orang seperti tertumpah ruah di masjid yang super luas ini. Karena padatnya manusia dan kendaraan, suami kakakku berinisiatif untuk memarkir mobil di depan Bank Mandiri Syariah. Lalu kami berjalan menuju masjid.
Alhamdulillah, masih ada tempat kosong. Kami pun mengambil tempat di halaman masjid dekat tangga masuk, sedangkan suami kakakku mengambil tempat di halaman bagian depan masjid (maaf ya fotonya nggak ada, malas bawa kamera sih).
Tepat pukul 06.30 Wita, ritual Shalat Id dimulai. Dimulai dari pembacaan tata cara shalat, shalat, hingga khotbah Idul Adha. Jujur, aku sih melaluinya dengan tidak terlalu khusyuk. Penyebabnya bermacam-macam. Ketika shalat, banyak suara anak kecil yang menangis (ada yang menyuruh mamanya untuk berhenti shalat, ada yang ingin beli balon, ada yang ingin beli es krim, ada yang haus, dan ada yang takut nggak tahu kenapa. Alhamdulillah, Aiz tumbenan tenang banget, nggak rewel) dan suara handphone berdering.
Pulang pun ribet banget. Akses untuk keluar masjid sangat susah. Karena harus berdesak-desakan dengan manusia-manusia lain. Ada yang ingin minta sumbangan atas nama masjid, panti asuhan, dan pribadi. Belum lagi penjual-penjual yang berlomba-lomba menawarkan barang-barangnya demi menggaet hati anak kecil (Dhil, bukan penjual namanya kalau nggak begitu [==”]).
Akhirnya, setelah melalui berjuta-juta rintangan (lebay), akhirnya sampai juga di tempat parkir. Ternyata eh ternyata, mobil nggak bisa keluar. Karena banyak banget mobil lain yang ngantri dibelakangnya. Waduh, mau nunggu sampai jam berapa nih??
30 menit kemudian…
Akhirnya, kami bisa pulang juga. Ketika sampai di perempatan MTQ, suami kakakku mengambil haluan kanan, karena kondisi jalan di depan Ummushabri terlihat masih macet. Tiba di depan perempatan Masjid Nurul Huda, ternyata jalan di depan masjid itu juga macet. Kakakku pun berkata, “Lebih baik kita lewat di depan Ummushabri saja, biar pun agak macet, jalan di daerah itu lebih lebar.” Akhirnya kami belok kembali. Tiba di Ummushabri, ternyata mobil sama sekali tidak bisa bergerak. Macet total. Sepertinya kondisi jalan di sini lebih parah dibanding jalan di depan Masjid Nurul Huda tadi. Hah, akhirnya kami mengambil jalan memutar lewat MTQ, pasar bunga, dan belok di jalan samping Kantor Departemen Agama. Seharusnya, waktu tempuh dari Masjid Al-Kautsar ke rumahku hanya sekitar 10 menit. Gara-gara insiden ini, waktunya menjadi dua kali lipat.
Setibanya di rumah, ternyata ayahku belum datang. Kunci rumah kan ada sama beliau!! Ya, nunggu lagi deh. Padahal, cacing-cacing di perutku sudah berdemo meminta hak makan mereka. Ternyata, aku masih harus menunggu lagi sampai makanan benar-benar siap.
Alhamdulillah, akhirnya makan juga. Dengan lahap, aku pun menyantap makanan yang dimasak oleh mamaku. Ada buras, ketupat, kari ayam, ayam masak kelapa, dan ayam lilit laksa (makanan favoritku). Sebagai makanan penutup, tersedia pie dan salad buah. Mmm, yummy (slurp)…
Setelah agak kenyang, aku pun kembali bersiap-siap untuk ke sekolah. Eit, bukan untuk belajar, tapi aku diamanahkan untuk menjadi panitia qurban seksi dokumentasi. Alhamdulillah, ayahku yang baik hati bersedia mengantarku ke sekolah.
Tiba di sekolah, sudah lumayan banyak orang berkumpul. Terlihat ada dua sapi yang menunggu ajalnya tiba (hehe..). Heh, sapinya berwarna coklat, kebetulan banget aku juga pakai pakaian serba coklat mulai dari kerudung hingga sepatu. Hah, memang jodoh ya nggak ke mana (Haha, just kidding ><)!! Setelah absen, aku dan teman-teman pun menuju lokasi pemotongan sapi. Aku senang banget. Soalnya ini kali pertama aku mendengar suara "mooooo..." sapi secara langsung. Hehe, maklum, orang kota nggak pernah bergaul sama sapi (jangan tersinggung ya :)) Setelah itu, aku memulai aktivitasku menjadi fotografer gadungan. Berbekal kamera merek Nikon baruku (huuu, pamer. Astaghfirullah!!), aku mulai jepret sana, jempret sini, jempret itu, jempret ini. Hehe…. Foto sapi di awal cerita juga merupakan salah satu hasil jepretanku. Oh, aku dan teman-teman juga sempat berfoto sama sapi. Sudah bergaya bagus banget nih. Senyum lebar-lebar, lesung pipi harus kelihatan, ekspresi oke, pokoknya posisi sudah bagus banget nih, termasuk posisi sapinya. Tapi, ketika di foto, mungkin sapinya kaget lihat blitz kali, sapinya langsung melompat. Kami sangat kaget. Tapi hasilnya boelh juga kan?? Salut buat sang fotografer :) Pemotongan sapi pun dimulai. Para guru dan siswa terlihat bekerjasama. Adapun yang bertindak sebagai penggali lubang tutup lubang adalah Pak Petaho (tata usaha SMAN 4 Kendari), sebagai algojonya adalah Drs. Haddad Yahya (guru agama SMAN 4 Kendari), sebagai seksi dokumentasi versi guru adalah Drs. Sahama (guru bahasa Inggris SMAN 4 Kendari), sebagai seksi potong-potong daging adalah pak satpam, sebagai seksi timbang-menimbang adalah Pak Mangalisu (guru kimia SMAN 4 Kendari),sebagai pengasah pisau dan parang adalah Soekarno, sebagai pengangkat daging adalah Mukarram Rifai, dll. Hehe, peace…
Uhh, bosan juga foto-foto sapi melulu. Aku dan Lia (temanku) pun mengasingkan diri ke gazebo kelas XI Olimpiade. Di sana kami foto-foto menarsiskan diri. Sayang, foto-fotonya sudah terkena sensor nih, jadi tidak dapat ditampilkan. Hihi ^^
Sekitar pukul 11.00 Wita, aku dan Lia pamit pulang. Awalnya kami dicegah Munir (anggota OSIS). Katanya, tunggu sebentar lagi karena ada pembagian daging. Tapi kami menolak untuk untuk diberi. Aku mempertimbangkan bahwa keluargaku kurang suka makan daging. Lia menolak karena di rumahnya juga ada sapi yang katanya sebentar siang akan dipotong. Akhirnya kami pun pulang dengan tangan kosong.
Kami pun berjalan menuju gerbang kedua. Astaghfirullah, aku lupa bawa uang untuk pulang. Soalnya waktu datang ke sekolah, ayahku yang mengantarku, jadi lupa bawa deh. Alhamdulillah, Lia dengan senang hati meminjamkanku uangnya. Thank you, Lia..
Tiba di rumah, aku disambut keluargaku dengan pertanyaan, “Mana dagingnya??” Aku pun dengan santai menjawab, “Tidak ku ambil. Soalnya ku pikir tidak ada yng suka makan daging, palingan mama. Eh, bukannya ada pembagian dari masjid belakang rumah?” Ternyata ayahku juga menolak pemberian daging itu dengan alasan yang sama denganku.
Hahaha… sontak seluruh keluargaku tertawa. Mamaku bilang, ya sudah, nanti besok kita beli daging di pasar saja. Yaa, ada yang gratis malah beli.
Tapi belum berhenti sampai di situ. Sekitar pukul 13.00 Wita, pintu rumahku diketuk. Aku pun membukanya. Ternyata yang datang adalah remaja masjid dekat rumah. Dia mengantarkan jatah daging keluargaku. Ku kira hanya satu kantung. Eh, ternyata aku diberi lima kantung. Kaget aku. “Lho, kok banyak sekali?” “Sudah begini jatahnya. Memang banyak.”
Hahaha… Alhamdulillah. Allah selalu mendatangkan rezeki dari arah yang tidak terduga-duga. Dua kilo daging ditolak, yang datang malah lima kilo. Hah, sekarang mamaku jadi bingung. Daging segini banyaknya mau diapakan?? Bisa-bisa sampai bulan depan makan daging terus nih. Haha.. Sepi, go…!!
Categories
Pengalaman siBluuu
Sabtu, 29 Oktober 2011
24 JAM
Oleh: Nur Fadhilah
Aku baru tahu berartinya 24 jam
Padahal kalian seenaknya memeras 24 jamku yang aku sendiri tak tahu untuk apa
Kenapa tidak ambil hariku saja?
Agar aku tak usah hidup sekalian
Kini aku sadar..
Aku tak menggunakan 24 jamku hanya untuk manusia-manusia tak berguna seperti kalian
Aku juga punya 24 jam sendiri yang bisa ku gunakan untuk hal yang lebih berguna
Aku bukan ibu yang mengurus anaknya selama 24 jam
Aku juga bukan ayah yang mencari nafkah selama 24 jam
Aku hanya mau 24 jamku sendiri
Tak ada yang boleh mengganggu 24 jamku
Andai aku bisa menambah sejam lagi
Pasti sejam itu hanya ku gunakan hanya untukku
Untukku lagi
Karena 24 jam yang Tuhan berikan tidak cukup untuk mengganti 24 jam-24 jam sebelumnya yang aku sia-siakan untuk manusia-manusia tidak berguna seperti kalian
Aku hanya ingin 24 jamku sendiri
Jangan ganggu 24 jamku
24 jamku sendiri
Telah dimuat di Harian Kendari Pos edisi 7 Desember 2011
Aku baru tahu berartinya 24 jam
Padahal kalian seenaknya memeras 24 jamku yang aku sendiri tak tahu untuk apa
Kenapa tidak ambil hariku saja?
Agar aku tak usah hidup sekalian
Kini aku sadar..
Aku tak menggunakan 24 jamku hanya untuk manusia-manusia tak berguna seperti kalian
Aku juga punya 24 jam sendiri yang bisa ku gunakan untuk hal yang lebih berguna
Aku bukan ibu yang mengurus anaknya selama 24 jam
Aku juga bukan ayah yang mencari nafkah selama 24 jam
Aku hanya mau 24 jamku sendiri
Tak ada yang boleh mengganggu 24 jamku
Andai aku bisa menambah sejam lagi
Pasti sejam itu hanya ku gunakan hanya untukku
Untukku lagi
Karena 24 jam yang Tuhan berikan tidak cukup untuk mengganti 24 jam-24 jam sebelumnya yang aku sia-siakan untuk manusia-manusia tidak berguna seperti kalian
Aku hanya ingin 24 jamku sendiri
Jangan ganggu 24 jamku
24 jamku sendiri
Telah dimuat di Harian Kendari Pos edisi 7 Desember 2011
Categories
Puisi siBluuu
Jumat, 28 Oktober 2011
Puisi Orang Kecil
Oleh: Nur Fadhilah
Ini hanya puisi orang kecil
Jadi tak perlu didengar
Aku hanya orang kecil
Jadi tak usah dipedulikan
Bukankah begitu dunia ini?
Orang kecil bagaikan bemo dan bajaj
Tak boleh parkir sembarangan
Dunia tak adil pada orang kecil
Orang besar bagaikan limosin
Boleh klakson sembarangan
Katanya roda selalu berputar
Tapi kapan orang kecil duduk di atas?
Sebab orang besar yang duduk di atas tidak mau turun lagi
Enak betul jadi orang besar
Segala sesuatu terhidang di meja
Sementara kami?
Mengetuk kaca mobil pun belum tentu dibuka
Memang enak jadi orang besar
Kalau jalan, semua membungkuk
Barangkali takut gajinya dipotong
Kasihan orang kecil
Kalau jalan, semua bersembunyi
Takut pintu rumahnya diketuk
Menunggu diberikan sepeser keikhlasan
Ini hanya puisi orang kecil
Kenapa didengar?
Aku hanya orang kecil
Kenapa dipedulikan?
Telah dimuat di Harian Kendari Pos edisi 7 Desember 2011
Ini hanya puisi orang kecil
Jadi tak perlu didengar
Aku hanya orang kecil
Jadi tak usah dipedulikan
Bukankah begitu dunia ini?
Orang kecil bagaikan bemo dan bajaj
Tak boleh parkir sembarangan
Dunia tak adil pada orang kecil
Orang besar bagaikan limosin
Boleh klakson sembarangan
Katanya roda selalu berputar
Tapi kapan orang kecil duduk di atas?
Sebab orang besar yang duduk di atas tidak mau turun lagi
Enak betul jadi orang besar
Segala sesuatu terhidang di meja
Sementara kami?
Mengetuk kaca mobil pun belum tentu dibuka
Memang enak jadi orang besar
Kalau jalan, semua membungkuk
Barangkali takut gajinya dipotong
Kasihan orang kecil
Kalau jalan, semua bersembunyi
Takut pintu rumahnya diketuk
Menunggu diberikan sepeser keikhlasan
Ini hanya puisi orang kecil
Kenapa didengar?
Aku hanya orang kecil
Kenapa dipedulikan?
Telah dimuat di Harian Kendari Pos edisi 7 Desember 2011
Categories
Puisi siBluuu
Selasa, 27 September 2011
Lomba Foto PLN 2011
Dalam rangka menyambut Hari Listrik Nasional (HLN) pada tanggal 27 Oktober 2011 mendatang, PLN mengadakan lomba foto PLN 2011 tingkat nasional dengan tema 'Listrik Menggerakkan Kehidupan Bangsa'yang berhadiah total puluhan juta rupiah. Yuk, buruan ikut! Berikut ketentuan lombanya..
1. Lomba terbuka untuk umum seluruh warga Negara Indonesia dan tidak dipungut biaya.
2. Foto adalah hasil karya sendiri yang memotret dunia kelistrikan di Indonesia. Obyek foto tidak terbatas : mulai dari pembangkit listrik, jaringan transmisi, pelayanan pelanggan/konsumen (pelayanan gangguan, pekerjaan pemeliharaan jaringan, pelayanan di loket/kantor PLN) hingga penggunaan/pemanfaatan listrik dalam kehidupan masyarakat mulai dari pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi, industri kecil, penerangan, pendidikan, budaya, sosial dan pemanfaatan listrik lainnya.
3. Foto dibuat dalam jangka waktu 3 tahun terakhir.
4. Materi yang diikutsertakan dalam lomba adalah foto berwarna, tidak diperkenankan menggunakan teknik infra-merah atau metoda pengubahan warna lainnya.
5. Olah digital diperkenankan, sebatas pada perbaikan kualitas foto (sharpening, cropping, color balance) tanpa mengubah keaslian objek foto.
6. Peserta adalah satu-satunya pemilik sah atas hak kekayaan intelektual dari foto yang dikirimkan yang dinyatakan dengan surat pernyataan.
7. Model dan property release sepenuhnya menjadi tanggungjawab peserta.
8. PT PLN (Persero) dan pelaksana lomba tidak bertanggungjawab atas pihak lain sehubungan dengan materi foto yang dikirimkan.
9. Foto pemenang lomba dapat dipergunakan PT PLN (Persero) untuk seluruh kegiatan publikasi dan advertorial untuk jangka waktu 5 tahun.
10. Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan/mengikutsertakan maksimal 5 (lima) buah materi foto.
11. 40 karya foto terpilih akan dipamerkan dalam Pameran Foto Kelistrikan 2011 dalam rangka Hari Listrik Nasional (HLN).
12. Dewan juri dan keluarga besar PLN tidak diperkenankan mengikuti lomba.
13. Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat serta tidak melayani korespondensi.
14. Materi foto yang dikirimkan harus berupa file elektronik dengan format JPG High Resolution dalam bentuk CD dengan menyertakan: judul foto, nama lengkap, alamat lengkap, nomor telepon/HP yang mudah dihubungi dan alamat email dalam amplop tertutup dengan mencantumkan tulisan LOMBA FOTO PLN 2011 di pojok kiri atas amplop. Dikirimkan ke alamat:
PANITIA LOMBA FOTO PLN 2011
BIDANG KOMUNIKASI KORPORAT PT PLN (PERSERO)
Kantor PLN Pusat
Gedung Utama Lantai 3
Jl. Trunojoyo Blok M / 135
Jakarta Selatan
Paling Lambat tanggal 16 Oktober 2011 (Cap Pos).
HADIAH
1 (Satu) Hadiah Pertama : Rp15.000.000 + Trophy.
1 (Satu) Hadiah Kedua : Rp10.000.000 + Trophy.
1 (Satu) Hadiah Ketiga : Rp7.000.000 + Trophy.
3 (Tiga) Hadiah Harapan : @ Rp3.000.000 + Trophy.
DEWAN JURI
1. Arbain Rambey (Fotografer senior Kompas)
2. Willy Pitrawirya (Penggiat fotografi di Federasi Perkumpulan Seni Fotografi Indonesia/FPSI).
3. Corporate Communication PT PLN (Persero)
PENGUMUMAN PEMENANG
Pengumuman pemenang Lomba Foto PLN 2011 Tingkat Nasional dapat dilihat di Website PLN www.pln.co.id dan diberitahukan secara tertulis pada tanggal 24 Oktober 2011
Organized by: Java Kirana Indonesia
CP: Dkw (02133153890), Mitha (081511268486)
Categories
Artikel siBluuu
Sabtu, 24 September 2011
Kontes Inovator Muda 6
Kontes Inovator Muda (KIM) 6 adalah lomba karya tulis ilmiah berbentuk inovasi tingkat nasional. KIM diusung sebagai salah satu upaya COREMAP untuk mensosialisasikan pentingnya terumbu karang sekaligus mengajak generasi muda untuk ikut melestarikan terumbu karang yang sudah semakin sedikit keberadaannya.
Sekedar membagi info saja, ikut KIM tidak ada ruginya. Apalagi kalau sudah lulus ke tingkat nasional mewakili daerah masing-masing. Mengingat pengalaman sewaktu di KIM 5 dulu, rasanya ingin ikut KIM 6 lagi. Sayang, peraturan di sekolahku menyebutkan bahwa siswa kelas XII harus fokus belajar dan mengurangi kegiatan ekstrakurikuler menyongsong UAN 2012. Hiks, jadi ingat, blog ini kan sebagai salah satu ilmu yang kudapatkan sewaktu pelatihan KIM 5.
Jadi, teman-teman yang sudah membaca blogku, ayo ikutan KIM 6, Dijamin tidak akan menyesal mengingat pengalaman, pengetahuan, dan teman-teman baru yang akan kalian dapatkan nanti..!!!
Tema: MODEL PELESTARIAN TERUMBU KARANG DARI KACAMATA GENERASI MUDA
Persyaratan Kontestan:
1. Kontestan merupakan siswa SMA/ sederajat se- Indonesia
2. Tim terdiri dari 3 orang
3. Kreatif dan mandiri
4. Mampu berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia
5. Lampiran persetujuan dari sekolah, biodata kontestan dan nomor telepon yang bisa di hubungi
6. Makalah belum pernah dipublikasikan di media manapun
7. Lolos pra-seleksi di tingkat daerah (khusus site COREMAP) pusat
Pra Seleksi:
1. Kontestan dari wilayah kerja COREMAP akan mengikuti seleksi tingkat daerah
2. Kontestan di luar wilayah kerja COREMAP dapat langsung mengirimkan makalah ke panitia pusat
3. Penerimaan makalah terakhir 15 Oktober 2011
4. Seleksi nasional 16 - 30 Oktober 2011
5. Pengumunan finalis (3 terbaik) 31 Oktober 2011
Format Makalah:
1. Tebal makalah 10 - 15 halaman
2. Huruf arial ukuran 12
3. Spasi 1,5 pt
4. Cover terdiri dari : Judul, Nama Tim, Nomor Induk Siswa, Asal Sekolah
5. Isi : Abstrak, Kata Pengantar, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil, dan Referensi
Alamat Pengiriman dan Informasi:
PANITIA PUSAT KIM 6 - TAHUN 2011
Gedung LIPI - Jl. Raden Saleh No. 43 Jakarta Pusat
Telp : (021) 314 3080 ext. 1403 dan 1405
e-mail : edukasi@coremap.or.id atau edukasicoremap@yahoo.co.id
Categories
Artikel siBluuu
Lari Estafet
1. Pengertian Lari Estafet
Lari sambung atau lari estafet adalah salah satu lomba lari pada perlombaan atletik yang dilaksanakan secara bergantian atau beranting. Lari ini dilakukan bersambung dan bergantian membawa tongkat dari garis start sampai ke garis finish. Dalam satu regu lari sambung terdapat empat orang pelari. Pada nomor lari sambung ada kekhususan yang tidak akan dijumpai pada nomor pelari lain, yaitu memindahkan tongkat sambil berlari cepat dari pelari sebelumnya ke pelari berikutnya.
Start yang digunakan dalam lari bersambung adalah untuk pelari pertama menggunakan start jongkok. Sedangkan untuk pelari kedua, ketiga, dan pelari yang keempat menggunakan start melayang. Jarak lari bersambung yang sering diperlombakan dalam atletik baik untuk putra maupun putri adalah 4 x 100 meter atau 4 x 400 meter. Dalam melakukan lari sambung bukan teknik saja yang diperlukan tetapi pemberian dan penerimaan tongkat di zona atau daerah pergantian serta penyesuaian jarak dan kecepatan dari setiap pelari.
2. Sejarah Lari Estafet
Lari sambung dimulai dari bangsa Aztek, Inka, dan Maya bertujuan untuk meneruskan berita yang telah diketahui sejak lama. Di Yunani, estafet obor diselenggarakan dalam hubungannya dengan pemujaan leluhur dan untuk meneruskan api keramat ke jajahan-jajahan baru. Tradisi api olimpiade berasal dari tradisi Yunani tersebut.
Lari estafet 4 x 100 meter dan 4 x 400 meter bagi pria dalam bentuk sekarang ini, pertama-tama diselenggarakan pada olimpiade tahun 1992 di Stockholm. Estafet 4 x 100 meter bagi wanita sejak tahun 1928 menjadi nomor olimpiade dan 4 x 400 meter dilombakan sejak tahun 1972.
3. Peraturan Lari Estafet
Masing-masing pelari mempunyai peran penting dalam olahraga lari estafet. Oleh karena itu, kekompakan dan irama lari juga harus selalu dijaga. Dalam jarak tempuh 4 x 100 meter, pelari tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan tongkat estafet. Jadi harus benar-benar dilatih cara mengoper tongkat. Karena bila terjatuh, peserta lari akan langsung didiskualifikasi. Berbeda halnya dengan olahraga lari estafet dengan jarak tempuh 4 x 400 meter. Karena jarak tempuh yang lebih jauh, maka peraturannya pun lebih ringan. Peserta lari boleh menjatuhkan dan mengambil kembali tongkat estafet yang terjatuh. Tetapi resikonya adalah kalah. Karena ketika peserta lari mengambil tongkat, maka dipastikan peserta tersebut akan jauh tertinggal dari peserta-peserta lain.
4. Tongkat Estafet
Tongkat estafet adalah benda yang diberikan secara bergilir dari satu peserta ke peserta lari lainnya dalam satu regu. Karena itu, tongkat ini pun tidak sembarang tongkat. Ukurannya dibuat sesuai dan pas dengan panjang genggaman pelari pada umumnya.
Ukuran tongkat yang digunakan pada lari estafet adalah:
• Panjang tongkat : 29 – 30 cm
• Diameter tongkat : 3,81 cm (dewasa) dan 2,54 cm (anak-anak)
• Berat tongkat : 50 gr
Cara memegang tongkat estafet harus dilakukan dengan benar. Memegang tongkat dapat dilakukan dengan dipegang oleh tangan kiri atau kanan. Setengah bagian dari tongkat dipegang oleh pemberi tongkat. Dan ujungnya lagi akan dipegang oleh penerima tongkat estafet berikutnya. Dan bagi pelari pertama, tongkat estafet harus dipegang dibelakang garis start dan tidak menyentuh garis start.
5. Teknik Pergantian Tongkat Estafet
Perlombaan lari estafet mengenal dua cara pergantian tongkat, yaitu:
a. Teknik penerimaan tongkat dengan cara melihat (visual)
Pelari yang menerima tongkat melakukannya dengan berlari sambil menolehkan kepala untuk melihat tongkat yang diberikan oleh pelari sebelumnya. Penerimaan tongkat dengan cara melihat biasanya dilakukan pada nomor 4 x 400 meter.
b. Teknik penerimaan tongkat dengan cara tidak melihat (non visual)
Pelari yang menerima tongkat melakukannya dengan berlari tanpa melihat tongkat yang akan diterimanya. Cara penerimaan tongkat tanpa melihat biasanya digunakan dalam lari estafet 4 x 100 meter.
Dilihat dari cara menerima tongkat, keterampilan gerak penerima tongkat tanpa melihat lebih sulit dari pada dengan cara melihat. Dalam pelaksanaannya, antara penerima dan pemberi perlu melakukan latihan yang lebih lama melalui pendekatan yang tepat.
6. Teknik Pemberian dan Penerimaan Tongkat Estafet
Prinsip lari sambung adalah berusaha membawa tongkat secepat-cepatnya yang dilakukan dengan memberi dan menerima tongkat dari satu pelari kepada pelari lainnya, agar dapat melakukan teknik tersebut, pelari harus menguasai keterampilan gerak lari dan keterampilan memberi serta menerima tongkat yang dibawanya.
Dalam beberapa perlombaan lari sambung, seringkali suatu regu dikalahkan oleh regu lainnya hanya karena kurang menguasai keterampilan gerak menerima dan memberikan tongkat dari satu pelari kepada pelari yang lainnya. Bahkan, seringkali suatu regu didiskualifikasi hanya karena kurang tepatnya penerimaan dan pemberian tongkat.
Perlombaan lari estafet mengenal dua cara pemberian dan penerimaan tongkat, yaitu:
a. Teknik pemberian dan penerimaan tongkat estafet dari bawah
Teknik ini dilakukan dengan cara pelari membawa tongkat dengan tangan kiri. Sambil berlari atlet akan memberikan tongkat tersebut dengan tangan kiri. Saat akan memberi tongkat, ayunkan tongkat dari belakang ke depan melalui bawah. Sementara itu, tangan penerima telah siap dibelakang dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Ibu jari terbuka lebar, sementara jari-jari tangan lainnya dirapatkan.
b. Teknik pemberian dan penerimaan tongkat estafet dari atas
Teknik ini dilakukan dengan cara mengayunkan tangan dari belakang ke depan, kemudian dengan segera meletakan tongkat dari atas pada telapak tangan penerima. Pelari yang akan menerima tongkat mengayunkan tangan dari depan ke belakang dengan telapak tangan menghadap ke atas. Ibu jari di buka lebar dan jari-jari tangan lainnya rapat.
Ada sebuah cara yang dilakukan dalam olahraga lari estafet agar tongkat estafet tidak jatuh saat diberikan pada peserta lain. Yaitu pelari yang memegang tongkat estafet meegang tongkat estafet dengan tangan kiri dan memberikannya juga dengan tangan kiri. Sedangkan si penerima tongkat bersiap menerima tongkat dengan tangan kanan.
7. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Lari Estafet
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam olahraga lari estafet, sebagai berikut:
a. Pemberian tongkat sebaiknya secara bersilang, yaitu pelari 1 dan 3 memegang tongkat pada tangan kanan, sedangkan pelari 2 dan 4 menerima atau memegang tongkat dengan tangan kiri atau sebaliknya.
b. Penempatan pelari hendaknya disesuaikan dengan keistimewaan dari masing-masing pelari. Misalnya, pelari 1 dan 3 dipilih yang benar-benar baik dalam tikungan. Pelari 2 dan 4 merupakan pelari yang mempunyai daya tahan yang baik.
c. Jarak penantian pelari 2, 3, dan 4 harus benar-benar diukur dengan tepat.
d. Setelah memberikan tongkat estafet jangan segera keluar dari lintasan masing-masing.
8. Peraturan Perlombaan
Adapun peraturan perlombaan dalam olahraga lari estafet, sebagai berikut:
a. Panjang daerah pergantian tongkat estafet adalah 20 meter dan bagi pelari estafet 4 x 100 meter ditambah 10 meter prazona. Prazona adalah suatu daerah di mana pelari yang akan berangkat dapat mempercepat larinya, tetapi di sini tidak terjadi pergantian tongkat.
b. Setiap pelari harus tetap tinggal di jalur lintasan masing-masing meskipun sudah memberikan tongkatnya kepada pelari berikutnya. Apabila tongkat terjatuh, pelari yang menjatuhkannya harus mengambilnya.
c. Dalam lari estafet, pelari pertama berlari pada lintasannya masing-masing sampai tikungan pertama, kemudian boleh masuk ke lintasan dalam, pelari ketiga dan pelari keempat menunggu di daerah pergantian secara berurutan sesuai kedatangan pelari seregunya.
Lari sambung atau lari estafet adalah salah satu lomba lari pada perlombaan atletik yang dilaksanakan secara bergantian atau beranting. Lari ini dilakukan bersambung dan bergantian membawa tongkat dari garis start sampai ke garis finish. Dalam satu regu lari sambung terdapat empat orang pelari. Pada nomor lari sambung ada kekhususan yang tidak akan dijumpai pada nomor pelari lain, yaitu memindahkan tongkat sambil berlari cepat dari pelari sebelumnya ke pelari berikutnya.
Start yang digunakan dalam lari bersambung adalah untuk pelari pertama menggunakan start jongkok. Sedangkan untuk pelari kedua, ketiga, dan pelari yang keempat menggunakan start melayang. Jarak lari bersambung yang sering diperlombakan dalam atletik baik untuk putra maupun putri adalah 4 x 100 meter atau 4 x 400 meter. Dalam melakukan lari sambung bukan teknik saja yang diperlukan tetapi pemberian dan penerimaan tongkat di zona atau daerah pergantian serta penyesuaian jarak dan kecepatan dari setiap pelari.
2. Sejarah Lari Estafet
Lari sambung dimulai dari bangsa Aztek, Inka, dan Maya bertujuan untuk meneruskan berita yang telah diketahui sejak lama. Di Yunani, estafet obor diselenggarakan dalam hubungannya dengan pemujaan leluhur dan untuk meneruskan api keramat ke jajahan-jajahan baru. Tradisi api olimpiade berasal dari tradisi Yunani tersebut.
Lari estafet 4 x 100 meter dan 4 x 400 meter bagi pria dalam bentuk sekarang ini, pertama-tama diselenggarakan pada olimpiade tahun 1992 di Stockholm. Estafet 4 x 100 meter bagi wanita sejak tahun 1928 menjadi nomor olimpiade dan 4 x 400 meter dilombakan sejak tahun 1972.
3. Peraturan Lari Estafet
Masing-masing pelari mempunyai peran penting dalam olahraga lari estafet. Oleh karena itu, kekompakan dan irama lari juga harus selalu dijaga. Dalam jarak tempuh 4 x 100 meter, pelari tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan tongkat estafet. Jadi harus benar-benar dilatih cara mengoper tongkat. Karena bila terjatuh, peserta lari akan langsung didiskualifikasi. Berbeda halnya dengan olahraga lari estafet dengan jarak tempuh 4 x 400 meter. Karena jarak tempuh yang lebih jauh, maka peraturannya pun lebih ringan. Peserta lari boleh menjatuhkan dan mengambil kembali tongkat estafet yang terjatuh. Tetapi resikonya adalah kalah. Karena ketika peserta lari mengambil tongkat, maka dipastikan peserta tersebut akan jauh tertinggal dari peserta-peserta lain.
4. Tongkat Estafet
Tongkat estafet adalah benda yang diberikan secara bergilir dari satu peserta ke peserta lari lainnya dalam satu regu. Karena itu, tongkat ini pun tidak sembarang tongkat. Ukurannya dibuat sesuai dan pas dengan panjang genggaman pelari pada umumnya.
Ukuran tongkat yang digunakan pada lari estafet adalah:
• Panjang tongkat : 29 – 30 cm
• Diameter tongkat : 3,81 cm (dewasa) dan 2,54 cm (anak-anak)
• Berat tongkat : 50 gr
Cara memegang tongkat estafet harus dilakukan dengan benar. Memegang tongkat dapat dilakukan dengan dipegang oleh tangan kiri atau kanan. Setengah bagian dari tongkat dipegang oleh pemberi tongkat. Dan ujungnya lagi akan dipegang oleh penerima tongkat estafet berikutnya. Dan bagi pelari pertama, tongkat estafet harus dipegang dibelakang garis start dan tidak menyentuh garis start.
5. Teknik Pergantian Tongkat Estafet
Perlombaan lari estafet mengenal dua cara pergantian tongkat, yaitu:
a. Teknik penerimaan tongkat dengan cara melihat (visual)
Pelari yang menerima tongkat melakukannya dengan berlari sambil menolehkan kepala untuk melihat tongkat yang diberikan oleh pelari sebelumnya. Penerimaan tongkat dengan cara melihat biasanya dilakukan pada nomor 4 x 400 meter.
b. Teknik penerimaan tongkat dengan cara tidak melihat (non visual)
Pelari yang menerima tongkat melakukannya dengan berlari tanpa melihat tongkat yang akan diterimanya. Cara penerimaan tongkat tanpa melihat biasanya digunakan dalam lari estafet 4 x 100 meter.
Dilihat dari cara menerima tongkat, keterampilan gerak penerima tongkat tanpa melihat lebih sulit dari pada dengan cara melihat. Dalam pelaksanaannya, antara penerima dan pemberi perlu melakukan latihan yang lebih lama melalui pendekatan yang tepat.
6. Teknik Pemberian dan Penerimaan Tongkat Estafet
Prinsip lari sambung adalah berusaha membawa tongkat secepat-cepatnya yang dilakukan dengan memberi dan menerima tongkat dari satu pelari kepada pelari lainnya, agar dapat melakukan teknik tersebut, pelari harus menguasai keterampilan gerak lari dan keterampilan memberi serta menerima tongkat yang dibawanya.
Dalam beberapa perlombaan lari sambung, seringkali suatu regu dikalahkan oleh regu lainnya hanya karena kurang menguasai keterampilan gerak menerima dan memberikan tongkat dari satu pelari kepada pelari yang lainnya. Bahkan, seringkali suatu regu didiskualifikasi hanya karena kurang tepatnya penerimaan dan pemberian tongkat.
Perlombaan lari estafet mengenal dua cara pemberian dan penerimaan tongkat, yaitu:
a. Teknik pemberian dan penerimaan tongkat estafet dari bawah
Teknik ini dilakukan dengan cara pelari membawa tongkat dengan tangan kiri. Sambil berlari atlet akan memberikan tongkat tersebut dengan tangan kiri. Saat akan memberi tongkat, ayunkan tongkat dari belakang ke depan melalui bawah. Sementara itu, tangan penerima telah siap dibelakang dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Ibu jari terbuka lebar, sementara jari-jari tangan lainnya dirapatkan.
b. Teknik pemberian dan penerimaan tongkat estafet dari atas
Teknik ini dilakukan dengan cara mengayunkan tangan dari belakang ke depan, kemudian dengan segera meletakan tongkat dari atas pada telapak tangan penerima. Pelari yang akan menerima tongkat mengayunkan tangan dari depan ke belakang dengan telapak tangan menghadap ke atas. Ibu jari di buka lebar dan jari-jari tangan lainnya rapat.
Ada sebuah cara yang dilakukan dalam olahraga lari estafet agar tongkat estafet tidak jatuh saat diberikan pada peserta lain. Yaitu pelari yang memegang tongkat estafet meegang tongkat estafet dengan tangan kiri dan memberikannya juga dengan tangan kiri. Sedangkan si penerima tongkat bersiap menerima tongkat dengan tangan kanan.
7. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Lari Estafet
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam olahraga lari estafet, sebagai berikut:
a. Pemberian tongkat sebaiknya secara bersilang, yaitu pelari 1 dan 3 memegang tongkat pada tangan kanan, sedangkan pelari 2 dan 4 menerima atau memegang tongkat dengan tangan kiri atau sebaliknya.
b. Penempatan pelari hendaknya disesuaikan dengan keistimewaan dari masing-masing pelari. Misalnya, pelari 1 dan 3 dipilih yang benar-benar baik dalam tikungan. Pelari 2 dan 4 merupakan pelari yang mempunyai daya tahan yang baik.
c. Jarak penantian pelari 2, 3, dan 4 harus benar-benar diukur dengan tepat.
d. Setelah memberikan tongkat estafet jangan segera keluar dari lintasan masing-masing.
8. Peraturan Perlombaan
Adapun peraturan perlombaan dalam olahraga lari estafet, sebagai berikut:
a. Panjang daerah pergantian tongkat estafet adalah 20 meter dan bagi pelari estafet 4 x 100 meter ditambah 10 meter prazona. Prazona adalah suatu daerah di mana pelari yang akan berangkat dapat mempercepat larinya, tetapi di sini tidak terjadi pergantian tongkat.
b. Setiap pelari harus tetap tinggal di jalur lintasan masing-masing meskipun sudah memberikan tongkatnya kepada pelari berikutnya. Apabila tongkat terjatuh, pelari yang menjatuhkannya harus mengambilnya.
c. Dalam lari estafet, pelari pertama berlari pada lintasannya masing-masing sampai tikungan pertama, kemudian boleh masuk ke lintasan dalam, pelari ketiga dan pelari keempat menunggu di daerah pergantian secara berurutan sesuai kedatangan pelari seregunya.
Categories
Pengetahuan siBluuu
Selasa, 16 Agustus 2011
ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN
Mungkin ini adalah kenangan terpahit dalam hidupku. Di mana aku kehilangan kedua orang tuaku beserta semua orang yang ku sayangi. Teman-temanku, semuanya. Saat Kristen dan Islam tak bisa berdamai…
“Bu, cepat lari!”, teriak ayah. Ayah terus berlari kecil tapi cepat sambil menjulurkan tangannya ke belakang untuk menyambut tangan ibu yang juga berlari cepat dengan membawa perutnya yang besar, berusaha menggapai tangan ayah.
“Tembak!!” Dooorrr…. Ayah tertembak di kakinya. Saat itu, ayah sudah berhasil menggenggam tangan ibu.
“Bu, lari bu, lari! Cepat bu!”
“Ayah..”
“Lari bu. Sembunyi. Ayah Insya Allah jihad di jalan-Nya.”
“Ayah..”
Ibu terus berlari dan berlari. Sambil seskali berbalik ke belakang. Teriris rasanya hati ibu melihat mayat ayah diinjak-injak oleh kafir-kafir biadab. Ibu terus berlari, berlari, berlari…
Ayah adalah seorang pemuka agama pada zaman itu. Ibu adalah ketua pengajian di RT setempat. Setiap Jum’at selalu diadakan pengajian di rumah. Sampai suatu saat terjadi kristenisasi besar-besaran, yang akhirnya memicu peperangan antara kaum mujahidin dan para kafir.
***
“Ta, cepat bangun! Matahari sudah tinggi. Itu temanmu sudah panggil-panggil dari tadi,” ibu terus mengguncangku hingga aku terbangun.
Haha… matahari sudah tinggi adalah senjata ampuh ibu untuk membangunkanku. Seperti hari-hari biasa, aku selalu terbangun kaget karena tertipu oleh kata-kata ibu. Jarum jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Memang benar, teman-temanku sudah menunggu dari tadi.
“Ta, buruan. Hari ini kita harus bekerja lebih keras. Semakin pagi, semakin banyak sampah yang bisa kita kumpulkan,” kata Rina, temanku.
“Bu, Tata pergi dulu.” “Ya,” teriak ibu dari dalam rumah yang sebenarnya lebih pantas disebut gubuk reot.
“Rina dan Tata kalian di timur, Agus dan Darma di barat, Arfa dan Sinta di Selatan, sementara aku dan Lia di utara. Ok? Selamat bekerja!” Seperti biasa, Wawan sebagai ketua selalu membagi kelompok-kelompok agar kami bisa mendapat tumpukan sampah yang lebih banyak.
“Ta, kita ke persimpangan rumah elit saja. Biasanya, sampahnya bagus-bagus loh,” ajak Rina.
“Boleh. Asal jangan sampai dilemparin sandal kayak kemarin lagi.” Kami lalu tertawa cekikikan berdua.
Matahari semakin menjauhi timur menuju barat. Aku dan Rina berhasil mengisi penuh karung-karung kami. Hasil memulung di perumahan elit sangat memuaskan. Saatnya untuk kembali dan bertemu dengan teman-teman yang lain. Aku yakin, hari ini kelompok kami yang akan menang.
“Haha, itu kan. Aku bilang kita pasti menang. Kumpulan sampah kita paling banyak,” teriakku senang.
“Yah, kalah deh,” keluh teman-teman.
“Kita pulang duluan ya. Selamat bekerja!” kompak aku dan Rina.
Dalam peraturan kami, kelompok yang berhasil mengumpulkan sampah terbanyak mempunyai keuntungan, yaitu tidak bekerja dalam mengumpulkan barang sejenis dan membersihkan sampah-sampah. Kelompok-kelompok yang kalah yang mengerjakannya.
“Ta, sukses hari ini. Besok lagi ya..”
“Siipp…” Aku pun melambaikan tangan pada Rina.
“Apa kabar, bu? Sudah sehat?”
“Untuk apa kamu diberi mata kalau tidak bisa melihat sendiri, hah?”
“Yah, ibu. Kan tinggal dijawab ya atau tidak.”
Ibu sudah menderita sakit batuk sejak ± sebulan yang lalu. Aku setiap hari menyarankan ibu untuk ke dokter saja, tapi ibu tak mau. Akhirnya, untuk meringankan batuk, ibu selalu mengoleskan minyak tawon di lehernya agar hangat. Perawakan ibu sebenarnya agak menyeramkan. Rambutnya yang jarang disisir. Ubannya sudah terlihat jelas. Hobi ibu adalah mengomel padaku. Aku tak pernah melihat sosok ayahku. Fotonya pun tiada. Ibu tak mau menceritakan riwayat ayah. Jelasnya, ayah meninggal ketika aku masih dalam kandungan.
***
“Wah, tumben. Aku pagi banget nih,” kataku.
“Hosh, hosh… maaf ya, aku terlambat,” kata Wawan. “Sinta, Lia, Arfa, Agus, Darma, Tata, … lho, Rina mana?”
“Oh, jadi dia belum datang?” aku kaget.
“Jadi terpaksa, Ta, kamu harus bekerja sendiri hari ini,” sesal Wawan.
“Yaa…” Jujur aku sangat kecewa mendengar hal ini. Rin, kamu kok nggak masuk, sih? Aku kan jadi harus bekerja sendiri. Gerutuku dalam hati.
Mau tidak mau, aku harus menyusuri perumahan elit sendirian. Harap-harap cemas tidak dilempari sandal, disemprot air, dikejar pakai sapu atau bahkan lebih parah dikejar anjing. Padahal kalau ada Rina, aku kan tenang-tenang saja.
Hari sudah mulai sore. Mungkin sekitar jam setengah empat. Aku sudah sangat capai. Maklum, hari ini aku bekerja sendiri. Karungku belum penuh. Aku pasti kalah. Ku langkahkan kakiku yang berat menyusuri jalan pulang. Kali ini aku mengambil jalan yang berbeda dari biasanya agar lebih dekat. Biasanya, aku dan Rina mengambil jalan memutar agar kami bisa jalan-jalan dulu.
Sampai aku tiba di depan sebuah rumah yang lumayan besar, langkahku terhenti. Terdengar sayup-sayup orang bernyanyi. Semakin ku dekati, sayup-sayup itu terdengar semakin jelas. Aku semakin mendekat dan akhirnya aku berada tepat di depan pagar rumah itu. Aku kemudian melongokkan kepalaku ke dalam sela-sela pagar yang lebar.
Dari pintu yang sedikit terbuka, aku melihat banyak anak-anak yang duduk bersila di pinggir tembok. Yang laki-laki memakai topi yang bentuknya aneh dan yang perempuan memakai …, apa itu? Aku tak tahu. Hanya wajah mereka saja yang terlihat. Di dalam ruangan itu juga terdapat sebuah papan tulis yang cukup besar yang menempel di dinding. Aku juga melihat seorang ibu setengah baya memakai pakaian yang sama dengan anak-anak perempuan.
Ya ampun, sudah waktunya aku kembali. Aku terlalu asyik melihat pemandangan itu. Sampai lupa waktu.
Aku pun kembali untuk mengumpulkan sampah. Ternyata benar, sampahku lah yang paling sedikit. Kali ini kelompok Wawan dan Lia yang menang. Aku dan kelompok-kelompok yang kalah harus mengumpulkan sampah dengan barang sejenis serta membersihkannya.
Matahari pun sudah berganti bulan. Saatnya pulang ke rumah. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri mampir ke rumah Rina. Ternyata Rina demam. Menurut perkiraan ibunya, besok Rina belum bisa ikut memulung. Mungkin sakitnya akan lama. Aku tahu, Rina sakit pasti karena kemarin kami terlalu lama berjemur matahari. Kasihan Rina.
Sesampai di rumah, aku pun menceritakan kondisi Rina pada ibu. “Itulah, kau jangan sampai sakit. Karena kalau sakit kau akan merepotkan ibu. Ibu tidak mau repot. Maka kalau kau sakit, urus saja dirimu sendiri. Ibu masih punya tubuh yang juga harus diurus.” Itulah tanggapan ibu.
“Oh ya bu, tadi sewaktu berjalan pulang, tak sengaja aku melewati sebuah rumah. Di rumah itu, aku melihat banyak orang sedang bernyanyi. Yang laki-laki memakai topi yang aneh sementara yang perempuan memakai pakaian yang hanya wajahnya saja yang terlihat. Kulihat mereka membaca sesuatu. Nyanyian mereka merdu sekali di telinga,” ceritaku panjang lebar.
Ibu yang sedang menyalakan api tungku terlihat sangat kaget mendengar ceritaku. Beliau lalu menghentikan aktivitasnya.
“Jangan ke sana lagi!” bisik ibu.
“Kenapa, bu?” aku heran.
“Pokoknya jangan ke sana lagi. Mengerti?” kali ini nada suara ibu meninggi.
Aku hanya diam. Aku tidak mau membuat ibu marah. Karena kalau marah, batuk-batuk ibu akan kambuh.
“Pergi tidur. Pergi!” suruh ibu sambil mengacung-acungkan tangannya ke kasur tempat ku tidur. Dengan langkah yang sengaja ku seret-seret, aku menuju kasurku. Aku lalu berbaring dan memejamkan mataku. Jujur aku masih sangat penasaran. Mengapa ibu melarangku pergi ke sana. Ada apa di rumah itu? Marahnya ibu membuatku semakin penasaran sampai tak bisa tidur. Belum sempat aku tertidur pulas, aku sempat mendengar isakan ibu di sudut ruangan. Ibu menangis.
***
Keesokan harinya, aku tidak tahu, apakah aku masih mempunyai keberanian untuk pergi ke rumah itu lagi. Hari ini Rina belum sembuh. Sesuai dengan perkiraan ibunya.
Ketika berjalan pulang, aku tidak tahu. Kakiku membawaku kembali ke rumah itu. Jujur aku sangat penasaran dengan apa yang dilakukan di rumah itu. Apa yang membuat ibu melarangku untuk datang kembali ke rumah ini? Apakah ada yang salah dari ceritaku semalam sehingga mungkin ibu tersinggung dengan ucapanku? Aku tak tahu.
Kali ini pintu pagarnya terbuka. Aku tidak tahu ada angin apa yang menghampiriku, aku dengan sangat berani melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah itu. Tak terpikirkan olehku, apakah si tuan rumah akan melemparkanku sandal, menyemprotku dengan air, mengejarku dengan sapu di tangannya atau tiba-tiba ada anjing penjaga yang memburuku. Aku serasa terhipnotis mendengar nyanyian yang semakin merdu saja di telingaku.
Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya keluar dari kumpulan anak-anak yang bernyanyi dan berjalan menghampiriku. Aku sudah siap mengambil ancang-ancang untuk lari jika ibu itu meneriakiku. Tapi ternyata tidak.
“Hei nak, tunggu!” cegatnya ketika aku sudah bersiap untuk lari. “Ada apa? Ku lihat sekilas kemarin kau juga datang kemari?” tanyanya lembut, berbeda dengan suara ibuku yang membuatku takut.
“Ng…, tidak apa-apa bu. Maaf kalau saya mengganggu ibu dan maaf kalau saya lancang masuk ke halaman ibu. Saya pergi dulu,” ucapku cepat sebelum semua hal buruk yang kupikirkan terjadi padaku.
“Tunggu, nak!” cegatnya kembali. Apa kau mau belajar mengaji di sini?”
Mengaji? Apa itu? Seumur hidup aku baru tahu, kalau di dunia ini ada kosa kata seperti itu.
“Meng, mengaji itu apa?” tanyaku gugup.
“Kamu tak tahu mengaji? Kamu tak pernah diajarkan orang tuamu? Agama kamu apa?”
Apa lagi agama itu? Tanyaku dalam hati.
“Maaf bu, aku sama sekali tak mengerti mengenai apa yang ibu tanyakan. Ayahku sudah meninggal ketika ibu masih mengandungku. Sementara ibu tidak pernah mengajarkanku mengaji. Oh ya, aku juga tidak mengerti agama itu apa,” ungkapku polos.
“Astaghfirullahal’adzim!! Ayo nak, masuklah!” ajaknya. Tapi aku terlalu takut untuk masuk ke rumahnya. Rumahnya begitu bagus, sementara aku sangat kotor.
“Tidak usah bu. Aku sangat kotor dan bau. Takutnya, rumah ibu akan kotor dan bau sepertiku. Lagi pula aku malu dengan orang-orang di dalam.”
“Kalau begitu, cucilah dulu kakimu, lalu masuk. Ayo!”
Aku pun mencuci kakiku dengan selang di samping rumah. Lalu mengikuti ibu itu masuk ke dalam rumah.
“Mandilah dulu. Lalu kenakan pakaian ini.” Ia lalu memberikanku sebuah pakaian yang sangat bagus. Pakaian terbagus dalam hidupku. Setelah mandi, ibu itu mengajakku kembali ke ruangan yang banyak orang menyanyi. Ibu itu lalu menyuruhku memakai pakaian aneh seperti yang dikenakan anak-anak perempuan lainnya.
“Kau belum punya agama? Apa kau pernah mendengar Agama Islam?” tanya ibu itu.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Ya Allah, aku sampai lupa menanyakan namamu. Namaku Hanifah. Anak-anak di sini memanggilku Bunda Hanifah, tapi masayarakat lebih mengenalku dengan nama Ustadzah Hanifah. Siapa namamu, nak?”
“T, Ta, Tata, mmm…”
“Panggil saja aku dengan bunda!”
“B, Bu, Bunda…” panggilku.
“Haha… Bisakah kau mengucapkan ini? ?"ﺍَﺷْﻬَﺪُ ﺍَﻥْ ﻻَۤ ﺍِﻟٰﻪَ ﺍِﻻَّ ﺍﷲُ ﻭَ ﺍَﺷْﻬَﺪُ ﺍَﻥَّ ﳏَُﻤَّﺪًﺍ ﺭَّﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ
Dengan susah payah Tata berusaha mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Karena kesabaran Ustadzah Hanifah, Tata akhirnya bisa melafalkannya dengan fasih.
“Alhamdulillah, Tata sekarang sudah mempunyai agama, yaitu agama Islam. Sekarang saatnya bunda mengajarkanmu huruf-huruf hijaiyyah.”
Tak terasa, sudah lebih dari sejam aku berada di tempat itu. Matahari sudah sampai di penghujung mata.
“Ya ampun. Apa yang ku lakukan? Bisa-bisa aku dimarahi ibu. Bunda, aku pulang dulu ya. Besok aku akan datang lagi.”
Belum sempat Ustadzah Hanifah berkata apa-apa, Tata sudah berlari jauh sambil membawa karung sampahnya.
***
“Ta, kok telat, sih?” tanya Wawan dengan nada yang kurang mengenakkan.
“Maaf, Wan. Maaf teman-teman. Aku tadi dari suatu tempat,” ungkap Tata.
“Cieee, nyolong di mana kamu, Ta? Baju baru nih?” sindir Lia.
“Ya ampun, bajunya. Aku lupa,” batin Tata. Maka Tata pun terpaksa bohong. Dia tak mau kalau teman-temannya mengetahui apa yang baru saja dia lakukan. “Ada deh…,” kata Tata akhirnya.
***
Ketika aku melangkahkan kakiku memasuki rumah, seperti biasa aku selalu disambut dengan suara batuk ibu yang begitu keras. Lalu dilanjutkan dengan omelan-omelannya.
“Kamu tidak ke tempat itu lagi kan?” Suara ibu tiba-tiba membuatku kaget.
Awalnya aku tidak berani menjawab. Hatiku ragu untuk menjawab pertanyaan ibu. Tapi sebuah tatapan tajam tiba-tiba menyudutkanku. “Eng… ti, tidak bu,” bohongku lagi.
“Baguslah. Aku senang kau mendengar perkataanku.” Suasana hening sejenak. “Hari ini ibu tidak punya cukup uang. Makanlah ubi rebus itu. Hanya itu yang tersisa,” lanjut ibu.
“I, iya,” kataku. Selama mengunyah ubi goreng, aku terus memperhatikan ibu yang sedang mengipas-ngipas dirinya. Sampai saat ini aku belum mengerti, kenapa ibu masih melarangku untuk ke rumah Uztadzah Hanifah. Padahal Uztadzah Hanifah adalah orang yang sangat baik.
Ibu lalu memperhatikanku. “Baju siapa itu? Kamu nyolong?” “Eng, eng, anu bu, baju ini….” “Sudahlah, cepat makan lalu pergi tidur.” Huft, syukurlah ibu tidak mempermasalahkan baju ini. Padahal aku sudah takut dibuatnya.
Usai menghabiskan ubi, aku lalu menuju kasurku. Di atas pembaringanku, aku menerawang. Mencoba kembali mengingat-ingat apa yang telah diajarkan bunda padaku. “Asy, asyh, asyhadu a, alla ilaha illallah, illallah.. wa, wa asyhadu anna muh, muham, muhammadarrasulullah. Asyhadualla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah,” ucap Tata pelan tapi pasti. “Yee, aku bisa. Bunda pasti akan bangga padaku. Besok aku akan ke tempat itu lagi. Mudah-mudahan Rina belum sembuh. Jadi aku bisa pergi ke sana tanpa diketahui orang.”
Rina belum masuk lagi hari ini. Itu berarti aku bisa ke rumah Ustadzah Hanifah lagi. Tapi sepertinya aku salah. Ada masalah baru hari ini. Lia ingin ikut denganku.
“Wan, hari ini aku pergi sama Tata, boleh ya? Kan kasihan dia. Sudah dua hari ini Tata selalu pergi sendiri. Akhirnya penghasilannya selalu menurun. Kamu kan laki-laki. Seharusnya kamu bisa lebih kuat dari Tata, dong?” rayu Lia pada Wawan.
“Memangnya kamu kenapa tiba-tiba mau berpindah pasangan? Kita kan sudah bagi-bagi kelompok,” balas Wawan.
“Memang salah kalau aku kasihan sama Tata. Kamu sebagai ketua harusnya ngerti dong. Ini namanya penindasan terhadap kaum perempuan.”
“Ish, sejak kapan kamu bicara masalah hukum. Hukum itu nggak ada yang benar.” Lia mencibir. “Ya sudahlah. Kamu boleh pergi sama Tata hanya sampai Rina kembali,” Wawan memutuskan.
“Wan, tapi kan…,” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Lia langsung menggaet tanganku pergi meninggalkan teman-teman yang lain.
“Tapi kan aku nggak setuju. Ini sih namanya keputusan sepihak,” sanggahku dalam hati. Tapi aku tidak berani lagi mengungkapkannya. Aku merasa tidak enak dengan Lia. Aku takut kalau Lia tersinggung.
“Li, kok kamu tiba-tiba mau pergi sama aku sih? Selama ini kan kamu sama Wawan. Kan kasihan Wawan jadinya,” tanyaku.
“Aku mau dapat baju bagus kayak kamu,” jawab Lia cepat.
“Jadi yang tadi kamu katakan??”
“Itu sih gombal. Maaf ya, aku pake jual-jual nama kamu segala,” tukas Lia tanpa merasa bersalah sama sekali. “Sekarang katakan padaku! Di mana kamu mengambil baju kamu yang kemarin?”
“Apa?” tanyaku kaget. Sebenarnya aku sangat marah pada Lia. Karena ternyata dia hanya memanfaatkan aku. “Aku tidak mau memberitahu.”
“Kau sombong sekali sih. Sekali dapat rezeki nggak mau berbagi sama orang lain. Kamu pelit,” kata Lia marah.
“Terserah kamu,” kataku.
Lia kelihatannya marah sekali karena perkataanku. Dia lalu pergi meninggalkanku. Aku juga sangat marah padanya. Setelah kepergiannya, aku terus berjalan, mengais sampah di pinggir jalan. Aku sudah melupakan masalah Lia. Aku pikir, Lia pasti nanti akan melupakannya juga. Aku terlalu asyik dengan sampah-sampahku. Sampai tak sadar, ada seseorang yang mengawasiku dari jauh.
Menjelang sore hari, aku memutuskan untuk ke rumah Ustadzah Hanifah. Kali ini aku sudah benar-benar melupakan masalah Lia. Bahkan aku sudah lupa kalau tadi pagi aku bertengkar dengan Lia. Aku lalu menenteng karung sampahku yang penuh dan bau ke rumah Ustadzah Hanifah.
Sesampai di sana, ustadzah menyambutku dengan baik. Dia lalu menyuruhku mandi dan berganti pakaian. Bunda kemudian memberikanku sebuah buku kecil yang kata bunda bernama iqro’. Dengan sabar, bunda mengajarku dengan tulus. Beliau sama sekali tidak pernah memarahiku jika salah. Aku sangat senang.
***
“Oh, jadi di situ dia mendapatkan baju bagus itu. Lalu dengan sombongnya ia tidak mau memberitahukan padaku. Tapi apa yang dilakukannya di situ? Ini harus ku laporkan pada Bu Enab,” kata Lia.
Ternyata Lia sejauh ini telah membuntutiku. Dengan cepat, Lia berlari menuju ke rumahku. Dari kejauhan, terlihat ibu sedang mengambil pakaian yang sudah kering diterpa sinar matahari.
“Bu, Bu, hosh… hosh…,” desah Lia yang kecapaian karena berlari. “Tata bu…”
“Tata kenapa?” tanya ibu dengan nada sedikit khawatir.
“Ibu tahu tidak di mana Tata mengambil bajunya kemarin?” tanya Lia bersemangat.
“Oh, itu. Bukan masalah ibu,” jawab ibu enteng.
“Hah, kalau begitu buat apa aku capek-capek lari ke sini hanya untuk memberi tahu bahwa Tata mendapat baju bagus itu dari seorang ustadzah?” ucap Lia kecewa seraya pergi menjauh.
Mata ibu tiba-tiba membelalak kaget. Ia lalu membalikkan badannya ke arah Lia. “Apa kamu bilang tadi?”
Lia yang kaget lalu membalikkan badannya menghadap ibu. “Hah? Aku bilang kalau Tata mendapatkan baju dari seorang ustadzah.”
“Di mana rumah ustadzah itu?” tanya ibu dengan nada marah.
“Ru, rumahnya di seberang jalan warung Pak Jamal,” jawab Lia takut.
“Antarkan ibu ke sana!”
“I, i, iya…”
Lia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Tadi ibu menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sekarang, setelah tahu bahwa bajuku diberikan oleh seorang ustadzah, ibu menjadi sangat marah. Lia tak punya pilihan lain selain mengantar ibu ke rumah Ustadzah Hanifah. Lia sangat takut melihat kemarahan ibu. Sebenarnya ia merasa cukup bersalah. Ia tidak menyangka bahwa ibu akan semarah ini padaku.
Ibu lalu berjalan cepat mengikuti arahan Lia di depannya. Dengan tanpa alas kaki, ibu tetap berjalan menuju rumah Ustadzah Hanifah. Tampaknya akan terjadi sesuatu yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehku.
“Tata, Tata!!” teriak ibu dari luar pagar rumah Ustadzah Hanifah. “Keluar kamu Tata!”
Semua orang yang berada di dalam rumah sontak kaget mendengar teriakan ibu. Wajahku pucat begitu menyadari bahwa suara itu adalah suara ibu. Dalam hati aku bertanya, dari mana ibu tahu kalau aku berada di sini?
Ustadzah yang juga mendengar teriakan itu segera memeriksa keluar pagar.
“Maaf ibu, ibu mencari siapa?”
“Mana Tata? Di mana kamu sembunyikan dia?”
“Maaf, ibu ini siapanya Tata ya?” Tanya ustadzah halus.
Mendengar Ustadzah Hanifah dibentak oleh ibu, aku segera keluar melihat keadaan. Walaupun sebenarnya hatiku sangatlah takut.
Melihat aku berdiri di depan pintu, ibu nekat menerobos masuk melewati pagar. “He, Tata. Sini kamu cepat!” gertak ibu sembari menuju ke tempatku berdiri. Ustadzah yang mencoba menghalangi menjadi tidak berdaya.
Ibu lalu menggenggam tanganku erat dan menatap mataku dalam. “Sudah pintar bohong kamu, yah? Apa yang kamu lakukan di sini? Pulang!!”
“Tidak mau, bu. Aku suka di sini. Lagi pula kenapa ibu sangat marah?” tantangku.
“Berani nentang ibu sekarang kamu ya? Pasti dia yang ajari kamu kan? tanya ibu sambil menunjuk-nunjuk Ustadzah Hanifah.
Air mataku mulai menetes satu per satu. Ibu membuka kerudungku dan menarik paksa tanganku. Aku sangat malu. Aku malu pada semua murid-murid ustadzah yang menatapku aneh. Terlebih pada bunda ketika aku melewatinya. Aku lalu menatap bunda untuk meminta pertolongan. Semoga dia mengerti. Tapi sayang, bunda tidak berdaya. Dia tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ibuku.
“Lepaskan bu, aku tidak mau pulang!!” kataku meronta-ronta sambil memukul-mukul tangan ibu yang menggenggamku erat. Tapi tak ada guna. Aku tak kuat. Ibu terlalu kuat untuk dilawan.
Keluar dari pagar rumah bunda, aku melihat sosok Lia berpegang di besi pagar. Kenapa Lia bisa ada di sini?
“Ta, maafkan aku. Aku tidak bermaksud demikian…,” bisiknya saat aku lewat di hadapannya.
Aku mengerti. Lia pasti membuntutiku. Lalu memberitahu ibu kalau aku ada di rumah Ustadzah Hanifah karena dia pasti masih marah padaku karena kejadian tadi pagi. Dasar kau, Lia. Gara-gara kau, aku jadi seperti ini. “Aku benci kamu,” kataku padanya sesaat setelah lewat di hadapannya. Dari jauh, aku masih sempat melihat wajah Lia yang tampak sangat menyesali perbuatannya. Tapi aku sudah sangat marah. Maaf Lia, aku marah padamu.
Aku masih berusaha melepaskan diri dari ibu. Tapi tetap saja tidak bisa. Sepanjang jalan pulang, aku masih meronta-ronta. Tentu saja pemandangan tidak biasa ini sontak mengundang perhatian dari orang-orang sekitar. Jujur aku sangat malu.
“Apa yang telah ibu katakan padamu? Hah? Jangan datang lagi ke rumah itu. Tapi kamu tidak dengar. Ibu sungguh kecewa padamu.”
“Apa yang ibu katakan? Ibu kecewa? Seharusnya itu adalah perkataanku untuk ibu. Ibu itu ibu macam apa? Ibu tidak pernah mengajarkanku agama. Sedangkan Ustadzah Hanifah? Kurang dari seminggu aku kenal dia, tapi dia sudah mengajarkanku banyak hal tentang agama. Memangnya selama 15 tahun aku hidup dengan ibu, apa yang pernah ibu ajarkan padaku? Memulung? Hanya itu? Bahkan tentang ayah pun ibu tidak mau memberitahukan padaku. Padahal aku ini anak ibu. Aku berhak tahu tentang…”
Paakkk!! Ibu menamparku keras. Aku menangis. Berbeda dengan tangisanku di rumah Ustadzah Hanifah. Kali ini tangisanku lebih keras. Sekeras apapun ibu padaku, tapi ibu tidak pernah memukulku.
“Sudah? Sudah kamu ajar ibu?” Kali ini mata ibu mulai berair. “Kamu itu sama sekali tidak tahu apa-apa. Tahu apa kamu tentang ibu, hah? Tahu apa kamu dengan apa yang terjadi sebelum kamu lahir? Tahu apa kamu tentang ayah? Tahu apa kamu??” Kali ini ibu benar-benar menangis. Ibu terduduk.
***
“Aku harus lari ke mana lagi? Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Ayah kini sudah tak ada..,” ibu menangis lemas.
Tiba-tiba perut ibu terasa sangat sakit. Maklum saat itu kandungan ibu sudah berumur sembilan bulan lebih. Ibu lalu duduk di bawah sebuah pohon rindang. Keadaan di daerah itu sangat sepi. Sudah waktunya bagi ibu untuk melahirkan. Tapi tak ada siapa-siapa di situ. Dengan menahan sakit yang luar biasa, akhirnya ibu melahirkan diriku tanpa bantuan siapa-siapa.
Melihat diriku berlumuran darah, ibu lalu menggendongku. “Kau lahir di saat yang tidak tepat anakku. Ayahmu kini sudah tak ada. Ayahmu telah mati. Kau tahu, ayahmu mati gara-gara agamanya. Kita pun seperti ini gara-gara agama kita. Seandainya kita bukan muslim, tentunya kita masih hidup tenteram bersama ayah di rumah. Kamu tentunya tidak dilahirkan di bawah pohon, pasti di rumah sakit. Aku pun pasti tidak akan menanggung sakit seperti ini, karena dokter akan memberiku obat bius saat melahirkan. Ibu janji nak. Ibu tak akan pernah membiarkanmu mengenal agama yang telah membuat hidup kita menjadi seperti ini. Ibu bersumpah.” Langit lalu menumpahkan hujan.
***
Setelah kejadian hari itu, ibu tidak lagi mengizinkanku untuk keluar. Bahkan untuk bertemu teman-temanku. Setiap pagi ibu pergi mencari nasi sisa untuk dijemur kembali. Hanya ini hal yang bisa ibu lakukan agar kami bisa tetap makan tanpa aku harus bekerja lagi.
Rina yang dua hari kemudian baru sembuh dari sakitnya tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Sakitnya telah membuat dirinya ketinggalan informasi. Lia semenjak kejadian itu menjadi pribadi yang pemurung. Ia masih merasa sangat bersalah. Ustadzah Hanifah? Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Sudah hampir tiga bulan aku tidak pernah keluar rumah. Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi di luar. Sampai suatu hari, kejadian yang sangat membuat ibu takut terjadi lagi…
***
“Tata, cepat keluar!” teriak ibu dari luar.
“Kenapa, bu?” tanyaku sambil berlari keluar. Belum sempat aku melihat apa yang terjadi, ibu langsung menarikku dan berlari kencang. Aku benar-benar bingung. Yang aku lihat semua orang berlari. Rina yang tinggal tidak jauh dari rumahku, juga ku lihat berlari bersama ayah, ibu dan adik-adiknya.
“Ibu, apa yang terjadi?” tanyaku sambil terus berlari.
“Mereka menyerang lagi,” jawab ibu. Dari nada ibu terdengar ibu sangat takut.
“Mereka siapa bu?” Kali ini ibu tidak menjawab lagi. Melihat ibu yang takut, aku juga menjadi takut. Tapi apa yang ada dalam pikiran ibu? Ibu terlihat seperti orang yang trauma dengan kejadian ini. Apa kejadian ini pernah terjadi pada ibu? Aku tak bisa menjawab semua pertanyaan ini. Aku nanti harus menanyakan hal ini pada ibu.
***
“Apa kita sudah aman, bu?” tanyaku.
“Mungkin untuk saat ini. Tetaplah di samping ibu!”
Setelah berlari cukup jauh, kami akhirnya menemukan tempat persembunyian yang cukup aman. Semua penduduk mengungsi di sini.
“Apa kalian tak apa?” tanya seorang pemuda baik hati padaku dan ibu. “Untuk sementara, kita akan aman di sini. Tapi kami akan terus memantau keadaan di luar. Kami akan terus bersiap-siap, jikalau mereka menyerang tiba-tiba.”
“Memangnya siapa yang menyerang? Apakah sedang terjadi perang?” tanyaku polos.
“Iya. Mereka. Mereka telah kembali setelah enam belas tahun yang lalu mereka menyerang daerah sebelah. Ini adalah jihad melawan kaum kafir. Kalian tenang saja. Kami para mujahidin pasti akan melindungi kalian.”
Enam belas tahun yang lalu? Apa ibu pernah mengalami hal ini. Teringat kembali perkataan ibu sewaktu berlari tadi.
“Mereka menyerang lagi,” jawab ibu.
“Bu, apa ayah meninggal gara-gara penyerangan enam belas tahun yang lalu?” tanyaku berharap ibu akan menjelaskannya padaku.
Ibu kaget dan balas menatapku yang menatapnya penuh harap. “Untuk apa kau tahu? Diam saja!” Aku tidak berani meneruskan pertanyaanku.
Malam telah berlalu. Sampai pagi ini, keadaan kami masih baik-baik saja. Ibu meminta izin padaku untuk keluar sebentar. Aku tak tahu ada perihal apa dan aku juga tak menanyakannya.
Dorrr!! “Aaarrgggghhhhh!!” Itu pekikan ibu. Aku hapal betul suaranya. Segera aku berlari keluar tenda. Aku melihat ibu terkapar penuh darah tepat di depan mataku.
“Apa itu?” “Mereka tahu persembunyian kita!” “Siapkan pasukan dan senjata!” “Seraaaaanggggg!!!!!!!!!!” “Allahu Akbar!!” teriak para mujahidin.
Aku melihat ibu melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku mendekat. Aku sudah tidak dapat membendung air mata melihat keadaan ibu seperti itu.
Ibu membuka-buka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Na, nak, ma, maafkan , ib, ibu…”
“Sudah ku maafkan bu,” kataku sambil terisak.
“Se, sebelum ibu ma, mati, ibu i, ingin mengatakan se, sesuatu pa, padamu. Se, semua ya, yang kamu katakan itu be, benar. Te, tentang kematian ayahmu da, dan tentang ibu. Se, semuanya be, benar. Ibu pi, pikir dengan menjauhkanmu da, dari Is, Islam, itu akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Ter, ternyata ibu salah. Ma, maaf ka, karena ibu telah begitu la, lama menyembunyikannya da, darimu. Ma, maaf…”
“Ibu, berhentilah bicara!” kataku masih sambil menangis. “Ibu, ikuti apa yang ku katakan!” Aku lalu menuntun ibu untuk mengucapkan kalimat syahadat. Alhamdulillah, ternyata ibu masih hapal. Ibu meninggal dalam keadaan yang tenang, menyusul ayah yang sudah lebih dulu pergi enam belas tahun yang lalu. Pergi untuk selamanya. Aku tersenyum di dalam tangisanku.
Bumm!! Para penyerang itu melemparkan bom ke tenda kami.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo, cepat lari!” Tiba-tiba seorang pemuda menghampiriku. Dia adalah pemuda yang berbicara denganku dan ibu kemarin. “Tapi ibu??” “Tinggalkan dia, kalau kamu tetap di sini, kamu juga akan mati. Insya Allah, ibumu sudah tenang,” katanya. “Aamiiin…,” kataku seraya pergi meninggal jasad ibu.
***
Kini aku sudah tidak tahu bagaimana keadaan kampungku sekarang. Aku sudah tidak pernah kembali ke sana. Terlalu banyak kenangan bila aku kembali. Aku tidak tahu lagi bagaimana keadaan teman-temanku. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.
Setelah kejadian mengerikan itu, takdir kembali mempertemukanku dengan Ustadzah Hanifah. Ternyata beliau pindah ke kota lain setelah kejadian aku dipulangkan paksa oleh ibuku dari rumahnya. Aku kemudian diangkat menjadi anaknya. Dia adalah ustadzah, bunda sekaligus ibu kedua bagiku. Aku olehnya disekolahkan hingga mencapai gelar sarjana Islam.
Hidup memang tak bisa ditebak akan berjalan ke mana. Setelah lulus, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah menyelamatkanku dulu. Dia lalu meminangku.
Allahu Akbar! Maha Besar Allah yang telah membuat hidupku menjadi seperti ini. Alhamdulillah..
***
“Bu, cepat lari!”, teriak ayah. Ayah terus berlari kecil tapi cepat sambil menjulurkan tangannya ke belakang untuk menyambut tangan ibu yang juga berlari cepat dengan membawa perutnya yang besar, berusaha menggapai tangan ayah.
“Tembak!!” Dooorrr…. Ayah tertembak di kakinya. Saat itu, ayah sudah berhasil menggenggam tangan ibu.
“Bu, lari bu, lari! Cepat bu!”
“Ayah..”
“Lari bu. Sembunyi. Ayah Insya Allah jihad di jalan-Nya.”
“Ayah..”
Ibu terus berlari dan berlari. Sambil seskali berbalik ke belakang. Teriris rasanya hati ibu melihat mayat ayah diinjak-injak oleh kafir-kafir biadab. Ibu terus berlari, berlari, berlari…
Ayah adalah seorang pemuka agama pada zaman itu. Ibu adalah ketua pengajian di RT setempat. Setiap Jum’at selalu diadakan pengajian di rumah. Sampai suatu saat terjadi kristenisasi besar-besaran, yang akhirnya memicu peperangan antara kaum mujahidin dan para kafir.
***
“Ta, cepat bangun! Matahari sudah tinggi. Itu temanmu sudah panggil-panggil dari tadi,” ibu terus mengguncangku hingga aku terbangun.
Haha… matahari sudah tinggi adalah senjata ampuh ibu untuk membangunkanku. Seperti hari-hari biasa, aku selalu terbangun kaget karena tertipu oleh kata-kata ibu. Jarum jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Memang benar, teman-temanku sudah menunggu dari tadi.
“Ta, buruan. Hari ini kita harus bekerja lebih keras. Semakin pagi, semakin banyak sampah yang bisa kita kumpulkan,” kata Rina, temanku.
“Bu, Tata pergi dulu.” “Ya,” teriak ibu dari dalam rumah yang sebenarnya lebih pantas disebut gubuk reot.
“Rina dan Tata kalian di timur, Agus dan Darma di barat, Arfa dan Sinta di Selatan, sementara aku dan Lia di utara. Ok? Selamat bekerja!” Seperti biasa, Wawan sebagai ketua selalu membagi kelompok-kelompok agar kami bisa mendapat tumpukan sampah yang lebih banyak.
“Ta, kita ke persimpangan rumah elit saja. Biasanya, sampahnya bagus-bagus loh,” ajak Rina.
“Boleh. Asal jangan sampai dilemparin sandal kayak kemarin lagi.” Kami lalu tertawa cekikikan berdua.
Matahari semakin menjauhi timur menuju barat. Aku dan Rina berhasil mengisi penuh karung-karung kami. Hasil memulung di perumahan elit sangat memuaskan. Saatnya untuk kembali dan bertemu dengan teman-teman yang lain. Aku yakin, hari ini kelompok kami yang akan menang.
“Haha, itu kan. Aku bilang kita pasti menang. Kumpulan sampah kita paling banyak,” teriakku senang.
“Yah, kalah deh,” keluh teman-teman.
“Kita pulang duluan ya. Selamat bekerja!” kompak aku dan Rina.
Dalam peraturan kami, kelompok yang berhasil mengumpulkan sampah terbanyak mempunyai keuntungan, yaitu tidak bekerja dalam mengumpulkan barang sejenis dan membersihkan sampah-sampah. Kelompok-kelompok yang kalah yang mengerjakannya.
“Ta, sukses hari ini. Besok lagi ya..”
“Siipp…” Aku pun melambaikan tangan pada Rina.
“Apa kabar, bu? Sudah sehat?”
“Untuk apa kamu diberi mata kalau tidak bisa melihat sendiri, hah?”
“Yah, ibu. Kan tinggal dijawab ya atau tidak.”
Ibu sudah menderita sakit batuk sejak ± sebulan yang lalu. Aku setiap hari menyarankan ibu untuk ke dokter saja, tapi ibu tak mau. Akhirnya, untuk meringankan batuk, ibu selalu mengoleskan minyak tawon di lehernya agar hangat. Perawakan ibu sebenarnya agak menyeramkan. Rambutnya yang jarang disisir. Ubannya sudah terlihat jelas. Hobi ibu adalah mengomel padaku. Aku tak pernah melihat sosok ayahku. Fotonya pun tiada. Ibu tak mau menceritakan riwayat ayah. Jelasnya, ayah meninggal ketika aku masih dalam kandungan.
***
“Wah, tumben. Aku pagi banget nih,” kataku.
“Hosh, hosh… maaf ya, aku terlambat,” kata Wawan. “Sinta, Lia, Arfa, Agus, Darma, Tata, … lho, Rina mana?”
“Oh, jadi dia belum datang?” aku kaget.
“Jadi terpaksa, Ta, kamu harus bekerja sendiri hari ini,” sesal Wawan.
“Yaa…” Jujur aku sangat kecewa mendengar hal ini. Rin, kamu kok nggak masuk, sih? Aku kan jadi harus bekerja sendiri. Gerutuku dalam hati.
Mau tidak mau, aku harus menyusuri perumahan elit sendirian. Harap-harap cemas tidak dilempari sandal, disemprot air, dikejar pakai sapu atau bahkan lebih parah dikejar anjing. Padahal kalau ada Rina, aku kan tenang-tenang saja.
Hari sudah mulai sore. Mungkin sekitar jam setengah empat. Aku sudah sangat capai. Maklum, hari ini aku bekerja sendiri. Karungku belum penuh. Aku pasti kalah. Ku langkahkan kakiku yang berat menyusuri jalan pulang. Kali ini aku mengambil jalan yang berbeda dari biasanya agar lebih dekat. Biasanya, aku dan Rina mengambil jalan memutar agar kami bisa jalan-jalan dulu.
Sampai aku tiba di depan sebuah rumah yang lumayan besar, langkahku terhenti. Terdengar sayup-sayup orang bernyanyi. Semakin ku dekati, sayup-sayup itu terdengar semakin jelas. Aku semakin mendekat dan akhirnya aku berada tepat di depan pagar rumah itu. Aku kemudian melongokkan kepalaku ke dalam sela-sela pagar yang lebar.
Dari pintu yang sedikit terbuka, aku melihat banyak anak-anak yang duduk bersila di pinggir tembok. Yang laki-laki memakai topi yang bentuknya aneh dan yang perempuan memakai …, apa itu? Aku tak tahu. Hanya wajah mereka saja yang terlihat. Di dalam ruangan itu juga terdapat sebuah papan tulis yang cukup besar yang menempel di dinding. Aku juga melihat seorang ibu setengah baya memakai pakaian yang sama dengan anak-anak perempuan.
Ya ampun, sudah waktunya aku kembali. Aku terlalu asyik melihat pemandangan itu. Sampai lupa waktu.
Aku pun kembali untuk mengumpulkan sampah. Ternyata benar, sampahku lah yang paling sedikit. Kali ini kelompok Wawan dan Lia yang menang. Aku dan kelompok-kelompok yang kalah harus mengumpulkan sampah dengan barang sejenis serta membersihkannya.
Matahari pun sudah berganti bulan. Saatnya pulang ke rumah. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri mampir ke rumah Rina. Ternyata Rina demam. Menurut perkiraan ibunya, besok Rina belum bisa ikut memulung. Mungkin sakitnya akan lama. Aku tahu, Rina sakit pasti karena kemarin kami terlalu lama berjemur matahari. Kasihan Rina.
Sesampai di rumah, aku pun menceritakan kondisi Rina pada ibu. “Itulah, kau jangan sampai sakit. Karena kalau sakit kau akan merepotkan ibu. Ibu tidak mau repot. Maka kalau kau sakit, urus saja dirimu sendiri. Ibu masih punya tubuh yang juga harus diurus.” Itulah tanggapan ibu.
“Oh ya bu, tadi sewaktu berjalan pulang, tak sengaja aku melewati sebuah rumah. Di rumah itu, aku melihat banyak orang sedang bernyanyi. Yang laki-laki memakai topi yang aneh sementara yang perempuan memakai pakaian yang hanya wajahnya saja yang terlihat. Kulihat mereka membaca sesuatu. Nyanyian mereka merdu sekali di telinga,” ceritaku panjang lebar.
Ibu yang sedang menyalakan api tungku terlihat sangat kaget mendengar ceritaku. Beliau lalu menghentikan aktivitasnya.
“Jangan ke sana lagi!” bisik ibu.
“Kenapa, bu?” aku heran.
“Pokoknya jangan ke sana lagi. Mengerti?” kali ini nada suara ibu meninggi.
Aku hanya diam. Aku tidak mau membuat ibu marah. Karena kalau marah, batuk-batuk ibu akan kambuh.
“Pergi tidur. Pergi!” suruh ibu sambil mengacung-acungkan tangannya ke kasur tempat ku tidur. Dengan langkah yang sengaja ku seret-seret, aku menuju kasurku. Aku lalu berbaring dan memejamkan mataku. Jujur aku masih sangat penasaran. Mengapa ibu melarangku pergi ke sana. Ada apa di rumah itu? Marahnya ibu membuatku semakin penasaran sampai tak bisa tidur. Belum sempat aku tertidur pulas, aku sempat mendengar isakan ibu di sudut ruangan. Ibu menangis.
***
Keesokan harinya, aku tidak tahu, apakah aku masih mempunyai keberanian untuk pergi ke rumah itu lagi. Hari ini Rina belum sembuh. Sesuai dengan perkiraan ibunya.
Ketika berjalan pulang, aku tidak tahu. Kakiku membawaku kembali ke rumah itu. Jujur aku sangat penasaran dengan apa yang dilakukan di rumah itu. Apa yang membuat ibu melarangku untuk datang kembali ke rumah ini? Apakah ada yang salah dari ceritaku semalam sehingga mungkin ibu tersinggung dengan ucapanku? Aku tak tahu.
Kali ini pintu pagarnya terbuka. Aku tidak tahu ada angin apa yang menghampiriku, aku dengan sangat berani melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah itu. Tak terpikirkan olehku, apakah si tuan rumah akan melemparkanku sandal, menyemprotku dengan air, mengejarku dengan sapu di tangannya atau tiba-tiba ada anjing penjaga yang memburuku. Aku serasa terhipnotis mendengar nyanyian yang semakin merdu saja di telingaku.
Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya keluar dari kumpulan anak-anak yang bernyanyi dan berjalan menghampiriku. Aku sudah siap mengambil ancang-ancang untuk lari jika ibu itu meneriakiku. Tapi ternyata tidak.
“Hei nak, tunggu!” cegatnya ketika aku sudah bersiap untuk lari. “Ada apa? Ku lihat sekilas kemarin kau juga datang kemari?” tanyanya lembut, berbeda dengan suara ibuku yang membuatku takut.
“Ng…, tidak apa-apa bu. Maaf kalau saya mengganggu ibu dan maaf kalau saya lancang masuk ke halaman ibu. Saya pergi dulu,” ucapku cepat sebelum semua hal buruk yang kupikirkan terjadi padaku.
“Tunggu, nak!” cegatnya kembali. Apa kau mau belajar mengaji di sini?”
Mengaji? Apa itu? Seumur hidup aku baru tahu, kalau di dunia ini ada kosa kata seperti itu.
“Meng, mengaji itu apa?” tanyaku gugup.
“Kamu tak tahu mengaji? Kamu tak pernah diajarkan orang tuamu? Agama kamu apa?”
Apa lagi agama itu? Tanyaku dalam hati.
“Maaf bu, aku sama sekali tak mengerti mengenai apa yang ibu tanyakan. Ayahku sudah meninggal ketika ibu masih mengandungku. Sementara ibu tidak pernah mengajarkanku mengaji. Oh ya, aku juga tidak mengerti agama itu apa,” ungkapku polos.
“Astaghfirullahal’adzim!! Ayo nak, masuklah!” ajaknya. Tapi aku terlalu takut untuk masuk ke rumahnya. Rumahnya begitu bagus, sementara aku sangat kotor.
“Tidak usah bu. Aku sangat kotor dan bau. Takutnya, rumah ibu akan kotor dan bau sepertiku. Lagi pula aku malu dengan orang-orang di dalam.”
“Kalau begitu, cucilah dulu kakimu, lalu masuk. Ayo!”
Aku pun mencuci kakiku dengan selang di samping rumah. Lalu mengikuti ibu itu masuk ke dalam rumah.
“Mandilah dulu. Lalu kenakan pakaian ini.” Ia lalu memberikanku sebuah pakaian yang sangat bagus. Pakaian terbagus dalam hidupku. Setelah mandi, ibu itu mengajakku kembali ke ruangan yang banyak orang menyanyi. Ibu itu lalu menyuruhku memakai pakaian aneh seperti yang dikenakan anak-anak perempuan lainnya.
“Kau belum punya agama? Apa kau pernah mendengar Agama Islam?” tanya ibu itu.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Ya Allah, aku sampai lupa menanyakan namamu. Namaku Hanifah. Anak-anak di sini memanggilku Bunda Hanifah, tapi masayarakat lebih mengenalku dengan nama Ustadzah Hanifah. Siapa namamu, nak?”
“T, Ta, Tata, mmm…”
“Panggil saja aku dengan bunda!”
“B, Bu, Bunda…” panggilku.
“Haha… Bisakah kau mengucapkan ini? ?"ﺍَﺷْﻬَﺪُ ﺍَﻥْ ﻻَۤ ﺍِﻟٰﻪَ ﺍِﻻَّ ﺍﷲُ ﻭَ ﺍَﺷْﻬَﺪُ ﺍَﻥَّ ﳏَُﻤَّﺪًﺍ ﺭَّﺳُﻮْﻝُ ﺍﷲِ
Dengan susah payah Tata berusaha mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Karena kesabaran Ustadzah Hanifah, Tata akhirnya bisa melafalkannya dengan fasih.
“Alhamdulillah, Tata sekarang sudah mempunyai agama, yaitu agama Islam. Sekarang saatnya bunda mengajarkanmu huruf-huruf hijaiyyah.”
Tak terasa, sudah lebih dari sejam aku berada di tempat itu. Matahari sudah sampai di penghujung mata.
“Ya ampun. Apa yang ku lakukan? Bisa-bisa aku dimarahi ibu. Bunda, aku pulang dulu ya. Besok aku akan datang lagi.”
Belum sempat Ustadzah Hanifah berkata apa-apa, Tata sudah berlari jauh sambil membawa karung sampahnya.
***
“Ta, kok telat, sih?” tanya Wawan dengan nada yang kurang mengenakkan.
“Maaf, Wan. Maaf teman-teman. Aku tadi dari suatu tempat,” ungkap Tata.
“Cieee, nyolong di mana kamu, Ta? Baju baru nih?” sindir Lia.
“Ya ampun, bajunya. Aku lupa,” batin Tata. Maka Tata pun terpaksa bohong. Dia tak mau kalau teman-temannya mengetahui apa yang baru saja dia lakukan. “Ada deh…,” kata Tata akhirnya.
***
Ketika aku melangkahkan kakiku memasuki rumah, seperti biasa aku selalu disambut dengan suara batuk ibu yang begitu keras. Lalu dilanjutkan dengan omelan-omelannya.
“Kamu tidak ke tempat itu lagi kan?” Suara ibu tiba-tiba membuatku kaget.
Awalnya aku tidak berani menjawab. Hatiku ragu untuk menjawab pertanyaan ibu. Tapi sebuah tatapan tajam tiba-tiba menyudutkanku. “Eng… ti, tidak bu,” bohongku lagi.
“Baguslah. Aku senang kau mendengar perkataanku.” Suasana hening sejenak. “Hari ini ibu tidak punya cukup uang. Makanlah ubi rebus itu. Hanya itu yang tersisa,” lanjut ibu.
“I, iya,” kataku. Selama mengunyah ubi goreng, aku terus memperhatikan ibu yang sedang mengipas-ngipas dirinya. Sampai saat ini aku belum mengerti, kenapa ibu masih melarangku untuk ke rumah Uztadzah Hanifah. Padahal Uztadzah Hanifah adalah orang yang sangat baik.
Ibu lalu memperhatikanku. “Baju siapa itu? Kamu nyolong?” “Eng, eng, anu bu, baju ini….” “Sudahlah, cepat makan lalu pergi tidur.” Huft, syukurlah ibu tidak mempermasalahkan baju ini. Padahal aku sudah takut dibuatnya.
Usai menghabiskan ubi, aku lalu menuju kasurku. Di atas pembaringanku, aku menerawang. Mencoba kembali mengingat-ingat apa yang telah diajarkan bunda padaku. “Asy, asyh, asyhadu a, alla ilaha illallah, illallah.. wa, wa asyhadu anna muh, muham, muhammadarrasulullah. Asyhadualla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah,” ucap Tata pelan tapi pasti. “Yee, aku bisa. Bunda pasti akan bangga padaku. Besok aku akan ke tempat itu lagi. Mudah-mudahan Rina belum sembuh. Jadi aku bisa pergi ke sana tanpa diketahui orang.”
Rina belum masuk lagi hari ini. Itu berarti aku bisa ke rumah Ustadzah Hanifah lagi. Tapi sepertinya aku salah. Ada masalah baru hari ini. Lia ingin ikut denganku.
“Wan, hari ini aku pergi sama Tata, boleh ya? Kan kasihan dia. Sudah dua hari ini Tata selalu pergi sendiri. Akhirnya penghasilannya selalu menurun. Kamu kan laki-laki. Seharusnya kamu bisa lebih kuat dari Tata, dong?” rayu Lia pada Wawan.
“Memangnya kamu kenapa tiba-tiba mau berpindah pasangan? Kita kan sudah bagi-bagi kelompok,” balas Wawan.
“Memang salah kalau aku kasihan sama Tata. Kamu sebagai ketua harusnya ngerti dong. Ini namanya penindasan terhadap kaum perempuan.”
“Ish, sejak kapan kamu bicara masalah hukum. Hukum itu nggak ada yang benar.” Lia mencibir. “Ya sudahlah. Kamu boleh pergi sama Tata hanya sampai Rina kembali,” Wawan memutuskan.
“Wan, tapi kan…,” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba Lia langsung menggaet tanganku pergi meninggalkan teman-teman yang lain.
“Tapi kan aku nggak setuju. Ini sih namanya keputusan sepihak,” sanggahku dalam hati. Tapi aku tidak berani lagi mengungkapkannya. Aku merasa tidak enak dengan Lia. Aku takut kalau Lia tersinggung.
“Li, kok kamu tiba-tiba mau pergi sama aku sih? Selama ini kan kamu sama Wawan. Kan kasihan Wawan jadinya,” tanyaku.
“Aku mau dapat baju bagus kayak kamu,” jawab Lia cepat.
“Jadi yang tadi kamu katakan??”
“Itu sih gombal. Maaf ya, aku pake jual-jual nama kamu segala,” tukas Lia tanpa merasa bersalah sama sekali. “Sekarang katakan padaku! Di mana kamu mengambil baju kamu yang kemarin?”
“Apa?” tanyaku kaget. Sebenarnya aku sangat marah pada Lia. Karena ternyata dia hanya memanfaatkan aku. “Aku tidak mau memberitahu.”
“Kau sombong sekali sih. Sekali dapat rezeki nggak mau berbagi sama orang lain. Kamu pelit,” kata Lia marah.
“Terserah kamu,” kataku.
Lia kelihatannya marah sekali karena perkataanku. Dia lalu pergi meninggalkanku. Aku juga sangat marah padanya. Setelah kepergiannya, aku terus berjalan, mengais sampah di pinggir jalan. Aku sudah melupakan masalah Lia. Aku pikir, Lia pasti nanti akan melupakannya juga. Aku terlalu asyik dengan sampah-sampahku. Sampai tak sadar, ada seseorang yang mengawasiku dari jauh.
Menjelang sore hari, aku memutuskan untuk ke rumah Ustadzah Hanifah. Kali ini aku sudah benar-benar melupakan masalah Lia. Bahkan aku sudah lupa kalau tadi pagi aku bertengkar dengan Lia. Aku lalu menenteng karung sampahku yang penuh dan bau ke rumah Ustadzah Hanifah.
Sesampai di sana, ustadzah menyambutku dengan baik. Dia lalu menyuruhku mandi dan berganti pakaian. Bunda kemudian memberikanku sebuah buku kecil yang kata bunda bernama iqro’. Dengan sabar, bunda mengajarku dengan tulus. Beliau sama sekali tidak pernah memarahiku jika salah. Aku sangat senang.
***
“Oh, jadi di situ dia mendapatkan baju bagus itu. Lalu dengan sombongnya ia tidak mau memberitahukan padaku. Tapi apa yang dilakukannya di situ? Ini harus ku laporkan pada Bu Enab,” kata Lia.
Ternyata Lia sejauh ini telah membuntutiku. Dengan cepat, Lia berlari menuju ke rumahku. Dari kejauhan, terlihat ibu sedang mengambil pakaian yang sudah kering diterpa sinar matahari.
“Bu, Bu, hosh… hosh…,” desah Lia yang kecapaian karena berlari. “Tata bu…”
“Tata kenapa?” tanya ibu dengan nada sedikit khawatir.
“Ibu tahu tidak di mana Tata mengambil bajunya kemarin?” tanya Lia bersemangat.
“Oh, itu. Bukan masalah ibu,” jawab ibu enteng.
“Hah, kalau begitu buat apa aku capek-capek lari ke sini hanya untuk memberi tahu bahwa Tata mendapat baju bagus itu dari seorang ustadzah?” ucap Lia kecewa seraya pergi menjauh.
Mata ibu tiba-tiba membelalak kaget. Ia lalu membalikkan badannya ke arah Lia. “Apa kamu bilang tadi?”
Lia yang kaget lalu membalikkan badannya menghadap ibu. “Hah? Aku bilang kalau Tata mendapatkan baju dari seorang ustadzah.”
“Di mana rumah ustadzah itu?” tanya ibu dengan nada marah.
“Ru, rumahnya di seberang jalan warung Pak Jamal,” jawab Lia takut.
“Antarkan ibu ke sana!”
“I, i, iya…”
Lia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Tadi ibu menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sekarang, setelah tahu bahwa bajuku diberikan oleh seorang ustadzah, ibu menjadi sangat marah. Lia tak punya pilihan lain selain mengantar ibu ke rumah Ustadzah Hanifah. Lia sangat takut melihat kemarahan ibu. Sebenarnya ia merasa cukup bersalah. Ia tidak menyangka bahwa ibu akan semarah ini padaku.
Ibu lalu berjalan cepat mengikuti arahan Lia di depannya. Dengan tanpa alas kaki, ibu tetap berjalan menuju rumah Ustadzah Hanifah. Tampaknya akan terjadi sesuatu yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehku.
“Tata, Tata!!” teriak ibu dari luar pagar rumah Ustadzah Hanifah. “Keluar kamu Tata!”
Semua orang yang berada di dalam rumah sontak kaget mendengar teriakan ibu. Wajahku pucat begitu menyadari bahwa suara itu adalah suara ibu. Dalam hati aku bertanya, dari mana ibu tahu kalau aku berada di sini?
Ustadzah yang juga mendengar teriakan itu segera memeriksa keluar pagar.
“Maaf ibu, ibu mencari siapa?”
“Mana Tata? Di mana kamu sembunyikan dia?”
“Maaf, ibu ini siapanya Tata ya?” Tanya ustadzah halus.
Mendengar Ustadzah Hanifah dibentak oleh ibu, aku segera keluar melihat keadaan. Walaupun sebenarnya hatiku sangatlah takut.
Melihat aku berdiri di depan pintu, ibu nekat menerobos masuk melewati pagar. “He, Tata. Sini kamu cepat!” gertak ibu sembari menuju ke tempatku berdiri. Ustadzah yang mencoba menghalangi menjadi tidak berdaya.
Ibu lalu menggenggam tanganku erat dan menatap mataku dalam. “Sudah pintar bohong kamu, yah? Apa yang kamu lakukan di sini? Pulang!!”
“Tidak mau, bu. Aku suka di sini. Lagi pula kenapa ibu sangat marah?” tantangku.
“Berani nentang ibu sekarang kamu ya? Pasti dia yang ajari kamu kan? tanya ibu sambil menunjuk-nunjuk Ustadzah Hanifah.
Air mataku mulai menetes satu per satu. Ibu membuka kerudungku dan menarik paksa tanganku. Aku sangat malu. Aku malu pada semua murid-murid ustadzah yang menatapku aneh. Terlebih pada bunda ketika aku melewatinya. Aku lalu menatap bunda untuk meminta pertolongan. Semoga dia mengerti. Tapi sayang, bunda tidak berdaya. Dia tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ibuku.
“Lepaskan bu, aku tidak mau pulang!!” kataku meronta-ronta sambil memukul-mukul tangan ibu yang menggenggamku erat. Tapi tak ada guna. Aku tak kuat. Ibu terlalu kuat untuk dilawan.
Keluar dari pagar rumah bunda, aku melihat sosok Lia berpegang di besi pagar. Kenapa Lia bisa ada di sini?
“Ta, maafkan aku. Aku tidak bermaksud demikian…,” bisiknya saat aku lewat di hadapannya.
Aku mengerti. Lia pasti membuntutiku. Lalu memberitahu ibu kalau aku ada di rumah Ustadzah Hanifah karena dia pasti masih marah padaku karena kejadian tadi pagi. Dasar kau, Lia. Gara-gara kau, aku jadi seperti ini. “Aku benci kamu,” kataku padanya sesaat setelah lewat di hadapannya. Dari jauh, aku masih sempat melihat wajah Lia yang tampak sangat menyesali perbuatannya. Tapi aku sudah sangat marah. Maaf Lia, aku marah padamu.
Aku masih berusaha melepaskan diri dari ibu. Tapi tetap saja tidak bisa. Sepanjang jalan pulang, aku masih meronta-ronta. Tentu saja pemandangan tidak biasa ini sontak mengundang perhatian dari orang-orang sekitar. Jujur aku sangat malu.
“Apa yang telah ibu katakan padamu? Hah? Jangan datang lagi ke rumah itu. Tapi kamu tidak dengar. Ibu sungguh kecewa padamu.”
“Apa yang ibu katakan? Ibu kecewa? Seharusnya itu adalah perkataanku untuk ibu. Ibu itu ibu macam apa? Ibu tidak pernah mengajarkanku agama. Sedangkan Ustadzah Hanifah? Kurang dari seminggu aku kenal dia, tapi dia sudah mengajarkanku banyak hal tentang agama. Memangnya selama 15 tahun aku hidup dengan ibu, apa yang pernah ibu ajarkan padaku? Memulung? Hanya itu? Bahkan tentang ayah pun ibu tidak mau memberitahukan padaku. Padahal aku ini anak ibu. Aku berhak tahu tentang…”
Paakkk!! Ibu menamparku keras. Aku menangis. Berbeda dengan tangisanku di rumah Ustadzah Hanifah. Kali ini tangisanku lebih keras. Sekeras apapun ibu padaku, tapi ibu tidak pernah memukulku.
“Sudah? Sudah kamu ajar ibu?” Kali ini mata ibu mulai berair. “Kamu itu sama sekali tidak tahu apa-apa. Tahu apa kamu tentang ibu, hah? Tahu apa kamu dengan apa yang terjadi sebelum kamu lahir? Tahu apa kamu tentang ayah? Tahu apa kamu??” Kali ini ibu benar-benar menangis. Ibu terduduk.
***
“Aku harus lari ke mana lagi? Aku sudah tidak punya siapa-siapa. Ayah kini sudah tak ada..,” ibu menangis lemas.
Tiba-tiba perut ibu terasa sangat sakit. Maklum saat itu kandungan ibu sudah berumur sembilan bulan lebih. Ibu lalu duduk di bawah sebuah pohon rindang. Keadaan di daerah itu sangat sepi. Sudah waktunya bagi ibu untuk melahirkan. Tapi tak ada siapa-siapa di situ. Dengan menahan sakit yang luar biasa, akhirnya ibu melahirkan diriku tanpa bantuan siapa-siapa.
Melihat diriku berlumuran darah, ibu lalu menggendongku. “Kau lahir di saat yang tidak tepat anakku. Ayahmu kini sudah tak ada. Ayahmu telah mati. Kau tahu, ayahmu mati gara-gara agamanya. Kita pun seperti ini gara-gara agama kita. Seandainya kita bukan muslim, tentunya kita masih hidup tenteram bersama ayah di rumah. Kamu tentunya tidak dilahirkan di bawah pohon, pasti di rumah sakit. Aku pun pasti tidak akan menanggung sakit seperti ini, karena dokter akan memberiku obat bius saat melahirkan. Ibu janji nak. Ibu tak akan pernah membiarkanmu mengenal agama yang telah membuat hidup kita menjadi seperti ini. Ibu bersumpah.” Langit lalu menumpahkan hujan.
***
Setelah kejadian hari itu, ibu tidak lagi mengizinkanku untuk keluar. Bahkan untuk bertemu teman-temanku. Setiap pagi ibu pergi mencari nasi sisa untuk dijemur kembali. Hanya ini hal yang bisa ibu lakukan agar kami bisa tetap makan tanpa aku harus bekerja lagi.
Rina yang dua hari kemudian baru sembuh dari sakitnya tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Sakitnya telah membuat dirinya ketinggalan informasi. Lia semenjak kejadian itu menjadi pribadi yang pemurung. Ia masih merasa sangat bersalah. Ustadzah Hanifah? Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Sudah hampir tiga bulan aku tidak pernah keluar rumah. Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi di luar. Sampai suatu hari, kejadian yang sangat membuat ibu takut terjadi lagi…
***
“Tata, cepat keluar!” teriak ibu dari luar.
“Kenapa, bu?” tanyaku sambil berlari keluar. Belum sempat aku melihat apa yang terjadi, ibu langsung menarikku dan berlari kencang. Aku benar-benar bingung. Yang aku lihat semua orang berlari. Rina yang tinggal tidak jauh dari rumahku, juga ku lihat berlari bersama ayah, ibu dan adik-adiknya.
“Ibu, apa yang terjadi?” tanyaku sambil terus berlari.
“Mereka menyerang lagi,” jawab ibu. Dari nada ibu terdengar ibu sangat takut.
“Mereka siapa bu?” Kali ini ibu tidak menjawab lagi. Melihat ibu yang takut, aku juga menjadi takut. Tapi apa yang ada dalam pikiran ibu? Ibu terlihat seperti orang yang trauma dengan kejadian ini. Apa kejadian ini pernah terjadi pada ibu? Aku tak bisa menjawab semua pertanyaan ini. Aku nanti harus menanyakan hal ini pada ibu.
***
“Apa kita sudah aman, bu?” tanyaku.
“Mungkin untuk saat ini. Tetaplah di samping ibu!”
Setelah berlari cukup jauh, kami akhirnya menemukan tempat persembunyian yang cukup aman. Semua penduduk mengungsi di sini.
“Apa kalian tak apa?” tanya seorang pemuda baik hati padaku dan ibu. “Untuk sementara, kita akan aman di sini. Tapi kami akan terus memantau keadaan di luar. Kami akan terus bersiap-siap, jikalau mereka menyerang tiba-tiba.”
“Memangnya siapa yang menyerang? Apakah sedang terjadi perang?” tanyaku polos.
“Iya. Mereka. Mereka telah kembali setelah enam belas tahun yang lalu mereka menyerang daerah sebelah. Ini adalah jihad melawan kaum kafir. Kalian tenang saja. Kami para mujahidin pasti akan melindungi kalian.”
Enam belas tahun yang lalu? Apa ibu pernah mengalami hal ini. Teringat kembali perkataan ibu sewaktu berlari tadi.
“Mereka menyerang lagi,” jawab ibu.
“Bu, apa ayah meninggal gara-gara penyerangan enam belas tahun yang lalu?” tanyaku berharap ibu akan menjelaskannya padaku.
Ibu kaget dan balas menatapku yang menatapnya penuh harap. “Untuk apa kau tahu? Diam saja!” Aku tidak berani meneruskan pertanyaanku.
Malam telah berlalu. Sampai pagi ini, keadaan kami masih baik-baik saja. Ibu meminta izin padaku untuk keluar sebentar. Aku tak tahu ada perihal apa dan aku juga tak menanyakannya.
Dorrr!! “Aaarrgggghhhhh!!” Itu pekikan ibu. Aku hapal betul suaranya. Segera aku berlari keluar tenda. Aku melihat ibu terkapar penuh darah tepat di depan mataku.
“Apa itu?” “Mereka tahu persembunyian kita!” “Siapkan pasukan dan senjata!” “Seraaaaanggggg!!!!!!!!!!” “Allahu Akbar!!” teriak para mujahidin.
Aku melihat ibu melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku mendekat. Aku sudah tidak dapat membendung air mata melihat keadaan ibu seperti itu.
Ibu membuka-buka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Na, nak, ma, maafkan , ib, ibu…”
“Sudah ku maafkan bu,” kataku sambil terisak.
“Se, sebelum ibu ma, mati, ibu i, ingin mengatakan se, sesuatu pa, padamu. Se, semua ya, yang kamu katakan itu be, benar. Te, tentang kematian ayahmu da, dan tentang ibu. Se, semuanya be, benar. Ibu pi, pikir dengan menjauhkanmu da, dari Is, Islam, itu akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Ter, ternyata ibu salah. Ma, maaf ka, karena ibu telah begitu la, lama menyembunyikannya da, darimu. Ma, maaf…”
“Ibu, berhentilah bicara!” kataku masih sambil menangis. “Ibu, ikuti apa yang ku katakan!” Aku lalu menuntun ibu untuk mengucapkan kalimat syahadat. Alhamdulillah, ternyata ibu masih hapal. Ibu meninggal dalam keadaan yang tenang, menyusul ayah yang sudah lebih dulu pergi enam belas tahun yang lalu. Pergi untuk selamanya. Aku tersenyum di dalam tangisanku.
Bumm!! Para penyerang itu melemparkan bom ke tenda kami.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo, cepat lari!” Tiba-tiba seorang pemuda menghampiriku. Dia adalah pemuda yang berbicara denganku dan ibu kemarin. “Tapi ibu??” “Tinggalkan dia, kalau kamu tetap di sini, kamu juga akan mati. Insya Allah, ibumu sudah tenang,” katanya. “Aamiiin…,” kataku seraya pergi meninggal jasad ibu.
***
Kini aku sudah tidak tahu bagaimana keadaan kampungku sekarang. Aku sudah tidak pernah kembali ke sana. Terlalu banyak kenangan bila aku kembali. Aku tidak tahu lagi bagaimana keadaan teman-temanku. Aku tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.
Setelah kejadian mengerikan itu, takdir kembali mempertemukanku dengan Ustadzah Hanifah. Ternyata beliau pindah ke kota lain setelah kejadian aku dipulangkan paksa oleh ibuku dari rumahnya. Aku kemudian diangkat menjadi anaknya. Dia adalah ustadzah, bunda sekaligus ibu kedua bagiku. Aku olehnya disekolahkan hingga mencapai gelar sarjana Islam.
Hidup memang tak bisa ditebak akan berjalan ke mana. Setelah lulus, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah menyelamatkanku dulu. Dia lalu meminangku.
Allahu Akbar! Maha Besar Allah yang telah membuat hidupku menjadi seperti ini. Alhamdulillah..
***
Categories
Hikmah siBluuu
ANALYSIS
Oleh: Nur Fadhilah
Ketika diri sudah semakin dewasa
Ku temukan sesuatu yang tak ku sangka
Di celah-celah kesibukan orang dewasa
Dirimu berdiri bagai laksamana
Awalnya tak saling menyapa
Berpapasan pun tak pernah
Saling menuduh adalah kegemaran
Banyak yang berdarah ditikam dari belakang
Engkau baik jika aku marah
Engkau marah jika aku baik
Tak pernah saling bertemu
Tapi apakah kau tahu?
Kebetulan tidak selalu salah
Kau tahu?
Karena kebetulan kita benar
Kita satu dalam nama
Ku harap kita satu dalam sikap
Kita satu dalam perbuatan
Ku harap kita satu dalam hati
Apakah sesuatu itu?
Sesuatu yang ku temukan di celah-celah kesibukan orang dewasa
Coba lihat!
Itu, ANALYSIS..
Ketika diri sudah semakin dewasa
Ku temukan sesuatu yang tak ku sangka
Di celah-celah kesibukan orang dewasa
Dirimu berdiri bagai laksamana
Awalnya tak saling menyapa
Berpapasan pun tak pernah
Saling menuduh adalah kegemaran
Banyak yang berdarah ditikam dari belakang
Engkau baik jika aku marah
Engkau marah jika aku baik
Tak pernah saling bertemu
Tapi apakah kau tahu?
Kebetulan tidak selalu salah
Kau tahu?
Karena kebetulan kita benar
Kita satu dalam nama
Ku harap kita satu dalam sikap
Kita satu dalam perbuatan
Ku harap kita satu dalam hati
Apakah sesuatu itu?
Sesuatu yang ku temukan di celah-celah kesibukan orang dewasa
Coba lihat!
Itu, ANALYSIS..
Categories
Puisi siBluuu
CINTAKU JAUH DI PULAU
Oleh: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
Categories
Puisi siBluuu
KABUNGKA, BUTON
Oleh: Raudal Tanjung Banua
Berbungkah-bungkah aspal di tambang
Digiling, dihaluskan jadi tambah hitam
Menghampar di pelabuhan dan jalan-jalan
Tapi tidak membawa siapa pun pergi
Karena pelabuhan bukan lagi pintu
Bagi onggokan nasib burukmu menghambur
Dan jalan-jalan buntu, berantakan
Tanpa batu dan aspal
Ironi yang membenam harapan
Kembali ke perut bumi
Ku saksikan matahari terbit dan terbenam di sini
Tanpa alasan pasti, anak-anak Kabungka
Terus melintasi lumpur dan semak-semak berduri
Memasuki sekolah yang tak pernah
Memasuki hidup mereka
Mau jadi apa, kau bertanya
Seorang anak menyeringai
Menggigit pahit asam
Jambu mete yang berguguran
Bagai mengunyah buah derita
Berabad-abad kekal di tanah kelahiran
Percik getahnya beserta ingus yang meleleh
Membuat bintik hitam di baju sekolah
Jadi tambah kusam serupa peta jalur tambang
Di sepanjang badan masa depan
Orang-orang Kabungka
Aku pun menambangnya
Diam-diam, dengan tinta hitam air mata
Buton, 2009-Yogyakarta, 2010
Berbungkah-bungkah aspal di tambang
Digiling, dihaluskan jadi tambah hitam
Menghampar di pelabuhan dan jalan-jalan
Tapi tidak membawa siapa pun pergi
Karena pelabuhan bukan lagi pintu
Bagi onggokan nasib burukmu menghambur
Dan jalan-jalan buntu, berantakan
Tanpa batu dan aspal
Ironi yang membenam harapan
Kembali ke perut bumi
Ku saksikan matahari terbit dan terbenam di sini
Tanpa alasan pasti, anak-anak Kabungka
Terus melintasi lumpur dan semak-semak berduri
Memasuki sekolah yang tak pernah
Memasuki hidup mereka
Mau jadi apa, kau bertanya
Seorang anak menyeringai
Menggigit pahit asam
Jambu mete yang berguguran
Bagai mengunyah buah derita
Berabad-abad kekal di tanah kelahiran
Percik getahnya beserta ingus yang meleleh
Membuat bintik hitam di baju sekolah
Jadi tambah kusam serupa peta jalur tambang
Di sepanjang badan masa depan
Orang-orang Kabungka
Aku pun menambangnya
Diam-diam, dengan tinta hitam air mata
Buton, 2009-Yogyakarta, 2010
Categories
Puisi siBluuu
Sabtu, 23 Juli 2011
Di Saat Daku Tua
Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu
Maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku
Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku
Di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu
Ingatlah saat-saat bagaimana daku mengajarimu
Membimbingmu untuk melakukannya
Di saat daku dengan pikunnya mengulang terus-menerus ucapan yang membosankanmu
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku
Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus
Sebuah cerita yang telah daku ceritakan ribuan kali
Hingga dirimu terbuai dalam mimpi
Di saat daku membutuhkanmu untuk memandikanku
Janganlah menyalahkanku
Ingatkah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?
Di saat daku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern
Janganlah menertawaiku
Renungkanlah bagaimana daku dengan sabarnya menjawab
Setiap ‘mengapa’ yang engkau ajukan di saat itu
Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan
Ulurkanlah tanganmu yang mudah dan kuat untuk memapahku
Bagaikan di masa kecil aku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan
Di saat aku melupakan topik pembicaraan kita
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya
Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku
Asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku, daku telah bahagia
Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih
Maklumilah diriku, dukunglah daku
Bagaikan daku terhadapmu
Di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan
Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini
Kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku
Berilah daku cinta kasih dan kesabaranmu
Daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur
Di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga padamu
Maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku
Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku
Di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu
Ingatlah saat-saat bagaimana daku mengajarimu
Membimbingmu untuk melakukannya
Di saat daku dengan pikunnya mengulang terus-menerus ucapan yang membosankanmu
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku
Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus
Sebuah cerita yang telah daku ceritakan ribuan kali
Hingga dirimu terbuai dalam mimpi
Di saat daku membutuhkanmu untuk memandikanku
Janganlah menyalahkanku
Ingatkah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?
Di saat daku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern
Janganlah menertawaiku
Renungkanlah bagaimana daku dengan sabarnya menjawab
Setiap ‘mengapa’ yang engkau ajukan di saat itu
Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan
Ulurkanlah tanganmu yang mudah dan kuat untuk memapahku
Bagaikan di masa kecil aku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan
Di saat aku melupakan topik pembicaraan kita
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya
Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku
Asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku, daku telah bahagia
Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih
Maklumilah diriku, dukunglah daku
Bagaikan daku terhadapmu
Di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan
Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini
Kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku
Berilah daku cinta kasih dan kesabaranmu
Daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur
Di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga padamu
Categories
Puisi siBluuu
Langganan:
Postingan (Atom)