Selasa, 08 Mei 2012

HELLO TO MY JI EUN [PART 3]

Posted by Nur Fadhilah at 5:42:00 AM

Author : Nur Fadhilah
Genre : Romance, friendship, comedy (a little bit)
Rating : PG-13
Length : Multi-chapter
Casts : Lee Ji Eun (IU), Lee Taemin (SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Song Jieun (Secret) Hyorin (Sistar), Sandara Park (2NE1)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)


Baca PROLOG, PART 1, & PART 2 dulu ne...


Previous Part:
“Ya Tuhan, mana mungkin dia yang akan bertunangan denganku? Dia, dia, dia kan…” batin Ji Eun setelah melihat wajah namja itu.

“JONGHYUN SONGSAENGNIM??!” katanya tak percaya.


*****

Wajah Ji Eun memerah ketika tahu bahwa namja yang akan dijodohkan dengannya adalah Jonghyun Songsaengnim. Tidak pernah terbesit di pikirannya sedikit pun bahwa namja itu adalah songsaengnimnya sendiri. Pantas saja Nyonya Lee selalu mengelak ketika Ji Eun menanyakan nama, pekerjaan, dan rupa namja tersebut.

“Kau lihat saja nanti! Omma yakin, kau pasti akan terkejut melihat siapa dia,” kata ommanya.

“Om, omma… jadi ini alasannya kenapa omma tidak mau memberitahuku?” tanya Ji Eun. Pelupuk matanya mulai berair.

“Ji, Ji Eun-ah… maksud omma baik. Omma hanya ingin memberi kejutan untukmu…” kata Nyonya Lee membela diri.

“Aniyo omma, aniyo! Ini salah…” kata Ji Eun sambil berjalan mundur, lalu berbalik dan berlari menjauh.

BUKK!

Terdengar suara pintu kamar Ji Eun yang dibanting keras.

“Ji Eun-ah!” teriak Nyonya Lee pada Ji Eun.

Nyonya Lee bingung harus berbuat apa. Ia merasa bersalah pada Ji Eun, Tuan Shin, dan Jonghyun.

“Shin-ah, jeongmal mianhae. Aku tidak tahu akan seperti ini jadinya. Aku janji, akan bicara dengan Ji Eun,” sesal Nyonya Lee pada Tuan Shin.

“Gwenchana, Gyeongsil-ah. Mungkin Ji Eun hanya kaget. Aku yakin, jika marahnya sudah redam, dia akan kembali seperti sedia kala,” kata Tuan Shin menenangkan Nyonya Lee.

“Gomawo, Shin-ah…” ucap Nyonya Lee.

“Mm, jwesonghamnida, Nyonya Lee. Boleh saya menengok Ji Eun? Mungkin dengan berbicara dengannya akan membuat dia mengerti,” kata Jonghyun meninta izin.

“Jinjja? Oh, gomawo Jonghyun-ah! Pergilah ke kamar Ji Eun!” suruh Nyonya Lee.

“Ne…” ucap Jonghyun.

Jonghyun lalu berdiri dan berjalan menaiki tangga ke lantai dua rumah itu. Lalu ditengoknya kanan dan kiri ruangan itu, mencari letak kamar Ji Eun. Lalu dilihatnya sebuah pintu yang bertuliskan ‘Ji Eun’s room’, lalu terdapat foto Ji Eun di bawah tulisan itu.

Jonghyun lalu melangkah menuju pintu itu dan mengetuknya.

“Ji Eun-ah, ini aku…”

Tak ada jawaban.

“Jebal, bukalah pintunya! Mari kita bicara…”

Masih tak ada jawaban.

“Ji Eun-ah? Gwenchana?”

Tetap tak ada jawaban.

“Ji Eun-ah, jika kau baik-baik saja, jebal menjawablah. Jangan diam. Aku akan pergi…”

Tetap saja, tak ada jawaban. Jonghyun mulai khawatir. Jangan sampai Ji Eun melakukan perbuatan nekat. Kabur dari rumah atau… atau mungkin bunuh diri. Jankanman! Bunuh diri? Jonghyun semakin khawatir. Berbagai praduga-praduga negatif kini berkecamuk di otaknya. Lalu didekatkan telinganya ke pintu. Ia sama sekali tak mendengar apa-apa.

“Jangan, jangan…” batinnya.

Jonghyun lalu mencoba mendobrak pintu kamar Ji Eun sambil memanggil namanya.

“Ji Eun-ah, Ji Eun-ah, gwenchanayo?” teriaknya.

Tiba-tiba…

“Jonghyun Songsaengnim! Apa yang kau lakukan? Aku di sini…” teriak Ji Eun dari balkon rumah.

Jonghyun lalu berbalik ke asal suara. Dilihatnya Ji Eun sedang meringkuk di sudut balkon rumahnya.

“Ji Eun-ah! Gwenchana? tanya Jonghyun yang berlari menghampiri Ji Eun.

“Ya, Songsaengnim! Kenapa menggedor-gedor pintu kamarku? Kau kira aku akan bunuh diri apa? Aku masih ingin hidup.”

“Mianhae. Aku sangat khawatir. Lagipula kau tak menjawabku…” kata Jonghyun.

“Dari tadi aku di sini. Karena aku membuka pintu balkon, angin masuk dan menutup pintu kamarku,” jelas Ji Eun seakan-akan tahu permasalahan yang membuat Jonghyun menjadi bingung.

“Ooh, hahaha…” Jonghyun tertawa lega karena pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya akhirnya terjawab, lalu duduk di samping Ji Eun.

“Ji Eun-ah…” ucap Jonghyun membuka pembicaraan sambil memandang wajah Ji Eun.

“Aku juga baru tahu kalau kaulah orangnya.”

“Mwo?” tanya Ji Eun kaget.

“Aku juga baru tahu bahwa yeoja yang akan aboji jodohkan denganku adalah kau, Ji Eun. Hah, pabo!! Padahal aku sudah menduga bahwa Ji Eun yang dimaksud adalah kau. Aku belum pernah melihat fotomu. Hanya aboji yang pernah melihatnya. Setiap ciri-ciri yang disebutkan aboji mengingatkanku padamu. Andwe! Aku selalu mencoba tak memikirkanmu. Tapi nyatanya, memang benar kaulah orangnya,” jelas Jonghyun. “Jadi kau jangan marah! Aku pun tak tahu apa-apa.”

“Jonghyun Songsaengnim, jwesonghamnida, karena telah berpikir buruk tentangmu…” sesal Ji Eun.

“Gwenchana,” ucap Jonghyun. “Kau sudah merasa baikan sekarang? Sudah tidak marah lagi kan?”

“Ne…” ucap Ji Eun tersenyum.

“Gure. Aku turun dulu,” pamit Jonghyun seraya berdiri. “Haikke!”

Ji Eun hanya membalasnya dengan senyuman.

*****

Tok tok tok…

“Ji Eun-ah! Boleh omma masuk?”

“Ne, omma…” ucap Ji Eun dari dalam kamar.

Nyonya Lee membuka pintu kamar Ji Eun dan memasukinya.

“Kenapa kau tak turun makan malam bersama omma? Kau masih marah pada omma?” tanya Nyonya Lee sambil meletakkan semangkuk sup rumput laut dan air putih di atas meja belajar Ji Eun.

“Aniyo, omma. Aku hanya tidak lapar,” jawab Ji Eun.

“Walaupun kau tak lapar, kau tetap harus makan demi menjaga kesehatanmu, meskipun hanya sesuap,” nasihat Nyonya Lee pada putri semata wayangnya itu.

“Otte?” tanya Nyonya Lee sambil duduk di samping Ji Eun di atas spring bednya.

“Apanya yang bagaimana?” Ji Eun bertanya balik karena tak mengerti maksud ommanya.

“Jonghyun…” jawab Nyonya Lee singkat.

“Oh… Molla. Aku belum memikirkannya,” jawab Ji Eun datar disertai perubahan ekspresi wajahnya.

“Kau harus cepat memberi jawaban, Ji Eun-ah! Tidak baik membiarkan seseorang menunggu suatu hal yang belum pasti terlalu lama…” ujar Nyonya Lee.

“Maksud omma apa? Aku tak paham,” tanya Ji Eun lagi.

“Jonghyun memutuskan untuk menerima perjodohan ini…” jawab Nyonya Lee.

“Mwo?”

*****

“Kau harus cepat memberi jawaban, Ji Eun-ah! Tidak baik membiarkan seseorang menunggu suatu hal yang belum pasti terlalu lama…”

Ji Eun tak bisa tidur. Kalimat ommanya tadi selalu membayang-bayangi pikirannya.

“Otteokhe?” tanyanya pada diri sendiri.

Ji Eun bingung harus berbuat apa. Ia tidak habis pikir mengapa Jonghyun Songsaengnim menerima perjodohan ini. Apakah ia harus meneleponnya untuk menanyakan hal tersebut?

“Andwe!” itu bukan pilihan yang tepat, pikirnya.

“Aaahhh… otteokhe, otteokhe?”

Hyorin. Tiba-tiba dirinya teringat Hyorin. Hyorin sangat pandai memberi nasihat. Saat ini hanya Hyorinlah yang bisa ia percaya. Ji Eun tidak mungkin meminta nasihat pada ommanya. Sementara ommanya sangat mengharapkan respon positif darinya. Song dan Dara juga sepertinya tidak bisa diharapkan, mengingat kedua sahabatnya itu sangat dekat. Ditambah lagi Dara adalah ratu gosip di kampus. Bisa-bisa, kabar ini akan tersebar hanya dalam beberapa menit jika Ji Eun memberiitahukannya pada mereka.

Ji Eun mengambil ponselnya, lalu mencari nomor ponsel Hyorin di kontaknya dan meneleponnya. Saat itu pukul 00.00. Ia tak peduli apakah Hyorin sudah tidur atau belum.

Tiit… tiit…

“Mm, yoboseyo?” Hyorin mengangkat ponsel dalam keadaan masih setengah sadar.

“Yoboseyo. Hyorin-ah…” jawab Ji Eun.

“Oh, Ji Eun-ah… Hwe?” tanya Hyorin yang belum sadar sepenuhnya dari tidurnya.

“Hyorin-ah, Jonghyun Songsaengnim…” kata Ji Eun ragu.

“Hwe? Kalau kau belum bisa menyelesaikan tugasmu, gwenchana. Katakanlah yang sejujurnya padanya. Minta tambahan waktu, jelaskan bahwa saat itu kau mengalami kec…” belum sempat Hyorin menyelesaikan nasihatnya, Ji Eun sudah lebih dulu memotong pembicaraannya.

“Aniyo, Hyorin-ah. Aku dijodohkan dengannya... Otteokhe?”

Mata Hyorin yang sedari tadi masih terpejam, langsung membulat. Ia terduduk di atas kasurnya.

“Ji, Jinjjayo?”

*****

Rumah Keluarga Lee

“Taemin-ah, ommoni perhatikan akhir-akhir ini kau menjadi kurang bersemangat,” kata Nyonya Lee setelah berhasil menelan steak sapi buatannya.

“Apa ada masalah di perusahaan? Aboji seharusnya tahu kalau ada masalah,” ucap Tuan Lee.

“Aniyo, ommoni, aboji…” kata Taemin menggeleng.

“Kuromyon, hwe? Apa kau menyembunyikan sesuatu dari kami?” tanya Tuan Lee penasaran.

“Aniyo, aboji. Jeongmal, gwenchana. Akhir-akhir ini aku memang kehilangan nafsu makan,” kata Taemin pelan.

“Kau bahkan tidak memakan cake cokelat buatan ommoni. Padahal itu adalah cake kesukaanmu,” ujar Nyonya Lee sedikit sedih mengingat cake yang dibuatnya kemarin belum dicicipi Taemin sama sekali.

“Jwesonghamnida, ommoni. Tapi aku memang kehilangan selera makanku,” sesal Taemin.

“Kuromyon, kalau Ji Eun pergi selama sebulan, maka kau juga akan kehilangan nafsu makan selama itu?” tanya Nyonya Lee menyindir setelah menelan steak suapan terakhirnya.

“Ie? Ah, aniyo ommoni. Bukan karena itu…” kata Taemin sedikit kaget mendengar pertanyaan ommoninya.

“Taemin-ah, kau mungkin bisa membohongi orang lain, tapi tidak orang tuamu,” kata Nyonya Lee sambil melirik suaminya dan tersenyum nakal pada Taemin. “Kugol jhoahaseyo?”

“Ie? Uhuk… uhuk…” Taemin yang kaget terbatuk-batuk lalu meminum air putih di gelasnya. “Apa maksud ommoni?”

“Ah, kau tak usah berpura-pura. Kami berdua sudah tahu,” kata Nyonya Lee tersenyum.

Lalu Nyonya Lee mendekatkan wajahnya ke arah Taemin yang duduk di depannya sambil berbisik, “Kami mendukungmu 100%.”

“Mwo?” mata Taemin membulat, kaget.

“Jika kau memang benar menyukainya, maka kejarlah. Cinta tak akan datang bila didiamkan saja. Seperti ketika aboji jatuh cinta pada ommonimu,” kata Tuan Lee sambil memandang wajah istrinya yang hampir termakan usia.

*****

“Berikan ini pada Nyonya Bom, Nyonya Lee, dan sisanya boleh kau berikan pada teman-temanmu!” kata Nyonya Lee (omma Ji Eun) pada Ji Eun sambil memasukkan beberapa bungkus oleh-oleh khas Busan ke dalam sebuah kantung hitam, lalu menyerahkannya pada Ji Eun.

“Jaga dirimu baik-baik, ne!” ucap Nyonya Lee sembari memeluk Ji Eun. “Jangan lupa, kau harus memberi jawabanmu secepatnya pada Jonghyun!”

“Ne, omma…” jawab Ji Eun tersenyum. “Haikke!”

Ji Eun lalu memasuki mobil yang telah dipersiapkan untuk mengantarnya kembali ke Seoul setelah menginap selama empat hari di Busan, rumah ommanya. Ji Eun lalu membuka kaca jendela dan sekali lagi mengucapkan salam perpisahan pada ommanya. Ketika mobil itu sudah mulai melaju meninggalkan halaman rumah Ji Eun yang cukup luas, dia pun melambaikan tangan pada ommanya. Nyonya Lee juga membalasnya dengan lambaian tangan, meskipun berat harus berpisah dengan sang putri lagi.

Teringat kembali nasihat Hyorin padanya. Walaupun sudah diberi nasihat, tetap saja Ji Eun masih bingung, apakah ia harus menerima perjodohan ini atau tidak. Tapi ia sadar, ia harus mengambil keputusan secepatnya.

“Ji Eun-ah, aku tak bisa berkata banyak. Namun pesanku, ikutilah kata hatimu. Jika menurutmu perjodohan ini baik, maka terimalah. Tapi dalam mengambil keputusan, bersikaplah adil pada orang-orang di sekitarmu! Jangan egois demi dirimu sendiri! Ommamu pasti sudah memikirkan perjodohan ini dengan sangat matang, sampai akhirnya memutuskan untuk memberiitahumu. Ingat Ji Eun-ah, sesakit-sakitnya hatimu, hati ommamu tentu lebih sakit jika kau bersikap tak acuh pada perjodohan ini.”

“Hah…” Ji Eun hanya bisa menghela napasnya ketika memikirkan hal ini. Ia merasa belum siap, harus dihadapkan pada perkara rumit seperti ini.

*****

“Songsaengnim, tolong berhenti di sini!” kata Ji Eun pada supir keluarganya.

“Tapi, apartemen nona masih di depan sana,” kata supir tersebut seraya menunjuk sebuah bangunan tingkat tiga yang bertuliskan Donghook Apartment.

“Aku turun di sini saja,” kata Ji Eun sambil membuka pintu mobil. “Oh ya, apa songsaengnim tidak keberatan mengantarkan koperku ke kamar?”

“Oh, ne…”

“Ini kunci kamarku. Nanti songsaengnim tidak perlu menguncinya. Jadi kuncinya taruh saja di dalam. Aku cuma sebentar,” kata Ji Eun ketika memberiikan kunci kamar apartemennya pada supir. “Kamsahamnida…”

Mobil Maybach 62 itu pun berlalu dari hadapan Ji Eun. Ji Eun lalu menatap sebuah rumah besar bergaya Eropa di seberang jalan hadapannya. Setelah menengok kanan dan kiri, Ji Eun pun menyeberang jalan, lalu menuju pintu utama rumah tersebut. Dilihatnya kembali bungkusan yang dibawanya, oleh-oleh khas Busan dari ommanya untuk Nyonya Lee. Sebenarnya hatinya sedikit takut. Bukan takut karena ia harus menyerahkan oleh-oleh itu atau tidak. Memberikan oleh-oleh pada keluarga Lee sudah biasa baginya. Tapi… ia sedikit takut akan bertemu Taemin. Semoga, bukan Taemin yang membuka pintu.

“Hah, molla…”

Lalu ditekannya bel digital yang berada di samping pintu.

“Nuguseyo?” terdengar suara seorang wanita yang Ji Eun yakini merupakan suara Nyonya Lee.

“Annyeong haseyo, Ji Eun-imnida!” ucap Ji Eun tersenyum.

Terdengar suara derap langkah dari dalam rumah, lalu muncul sesosok perempuan yang membuka pintu, Nyonya Lee.

“Annyeong haseyo!” sapa Ji Eun kembali sambil membungkukkan badan.

“Ji Eun-ah! Kapan kau kembali?” tanya Nyonya Lee gembira.

“Baru saja. Bagaimana Anda bisa tahu kalau aku pergi?” tanya Ji Eun. Karena seingatnya, ia tidak memberi tahu siapapun selain Nyonya Bom dan beberapa temannya di apartemen.

“Taemin yang memberi tahuku. Katanya ia juga diberitahu oleh temanmu. Kalau tidak salah, namanya Da… Da…,” kata Nyonya Lee mengingat-ingat.

“Dara?” terka Ji Eun.

“Ah, ie. Namanya Dara…” ucap Nyonya Lee.

“Hah, anak itu…” umpat Ji Eun pelan. Memang suatu keputusan yang benar bila ia tidak mau menceritakan masalah perjodohannya dengan Dara. Kalau sudah menyangkut rahasia, anak itu tidak bisa dipercaya.

“Oh ya, aku membawa oleh-oleh dari omma untuk Anda,” kata Ji Eun sambil menyerahkan sebuah bungkusan.

“Gomawo. Ommamu sangat baik. Ia selalu mengirimkan oleh-oleh, padahal kami belum pernah bertemu,” kata Nyonya Lee menerima bungkusan itu.

“Anda sangat baik. Aku bercerita banyak tentang Anda.”

“Hahaha, kau bisa saja,” ucap Nyonya Lee tersipu malu. “Masuklah, Ji Eun-ah! Kemarin aku membuat cake cokelat kesukaan Taemin. Tapi dia sama sekali belum mencicipinya,” kata Nyonya Lee sedih.

“Ah, aniyo Nyonya Lee. Aku pulang saja,” kata Ji Eun menolak.

“Gwenchana. Kalau kau tak mau, maka aku akan tersinggung,” ancam Nyonya Lee.

“Ta, tapi… ah, ne…” jawab Ji Eun mengalah.

Nyonya Lee lalu menggandeng Ji Eun masuk dan mempersilakannya duduk.

“Jankanman, ne…!” kata Nyonya Lee berlalu.

Ji Eun lalu memandang rumah keluarga Lee. Baru kali ini ia masuk ke rumah ini, meskipun sudah beberapa kali datang ke rumah ini. Biasanya, ia hanya bisa melihat isi rumah ini dari luar. Tapi kini, ia dipersilakan masuk. Memang luas, sangat luas malah. Memang tak kalah luas dengan rumahnya, tapi itu tak mengurangi kekagumannya. Setiap sisi rumah dihiasi dengan berbagai pernak pernik yang ditaksirnya pasti bernilai mahal.

*****

Tok tok tok…

“Taemin-ah, buka pintunya!” bisik Nyonya Lee.

Taemin yang sedang asyik membaca buku, beranjak dari tempat duduknya menuju pintu setelah menyimpan bukunya terlebih dahulu.
“Ommoni, hwe? Kenapa berbisik seperti itu?” tanya Taemin setelah membuka pintu.

“Taemin-ah, lihat, siapa yang datang!”

Taemin yang sedikit penasaran, lalu menuju balkon lantai dua untuk melihat siapa orang yang dimaksud Nyonya Lee. Mata Taemin lalu membulat setelah mengetahui siapa yang datang.

“Turunlah!” suruh Nyonya Lee lalu pergi menuju dapur.

*****

“Mianhae, sudah menunggu lama…” kata Nyonya Lee membuyarkan lamunan Ji Eun.

“Ah, gwenchana…” kata Ji Eun tersenyum ramah.

Nyonya Lee lalu duduk di sofa depan Ji Eun. Beberapa detik kemudian, datang seorang pelayan membawa nampan yang di atasnya terdapat dua piring cake cokelat dan dua cangkir teh hangat.

“Kamsahamnida…” kata Ji Eun ramah setelah pelayan tersebut menaruh apa yang dibawanya tadi di atas meja tamu.

“Cicipilah, Ji Eun-ah!” kata Nyonya Lee mempersilakan.

“I, ie…” jawab Ji Eun sedikit ragu.

Ji Eun lalu mengambil piring yang berisi ¬cake tersebut, menyendoknya sedikit, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

“Bagaimana rasanya?” kata Taemin yang tiba-tiba muncul dan berdiri tidak jauh dari Ji Eun.

Ji Eun yang kaget langsung terbatuk-batuk.

“Uhuk, uhuk…” Ji Eun lalu meletaknya piring cake yang tadi dipegangnya ke atas meja dan meminum teh hangat yang disediakan untuknya.

Taemin yang juga kaget karena melihat Ji Eun terbatuk, lalu duduk di samping Ji Eun.

“Gwenchana? Mianhae, bila aku membuatmu kaget…” sesal Taemin.

“Ah, ne, gwenchana…” kata Ji Eun setelah menenggak teh hangatnya.

“Mm, Ji Eun-ah, aku permisi dulu. Taemin-ah, kau temanilah Ji Eun, ne?” ucap Nyonya Lee tersenyum.

“Ne, ommoni,” jawab Taemin tersenyum. Ji Eun hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

“Bagaimana rasanya?” tanya Taemin kembali pada Ji Eun.

“Ie?” balas Ji Eun bertanya.

Cakenya. Bagaimana rasa cakenya? Aku sama sekali belum mencobanya,” kata Taemin lagi setelah memperjelas pertanyaannya.

“Mm, massita. Rasanya massita…” jawab Ji Eun tanpa memandang Taemin. “Mengapa kau tak mencicipinya? Nyonya Lee terlihat sangat sedih ketika bercerita padaku kalau kau tak mau mencobanya.”

Hening beberapa saat.

“Aku mau mencobanya,” kata Taemin tiba-tiba.

“Hah? Kalau begitu cobalah!” kata Ji Eun sambil menyerahkan sepiring cake cokelat yang tadi dibawa pelayan keluarga Lee.

“Shiro! Aku mau mencobanya hanya jika…” Taemin menggantungkan perkataannya, lalu melirik nakal pada Ji Eun. “Hanya jika kau menyuapiku.”

“Mwo?” ucap Ji Eun kaget. “Shiro! Kau makan saja sendiri! Aku tidak akan terjebak olehmu lagi. Kejadian di Bukhansan adalah yang pertama dan terakhir.”

Taemin lalu tertawa melihat sikap polos Ji Eun.

“Kau yeoja aneh!” kata Taemin.

“Mwo?” Ji Eun kembali kaget mendengar perkataan Taemin.

“Kau tahu, banyak yeoja yang berlomba mendekatiku. Tapi kau, malah terkesan menjauhiku. Aku ini namja tampan, kaya, mapan pula,” ujar Taemin membanggakan diri.

“Cih, sudah. Aku pulang saja. Aku bisa sakit perut jika berada di dekatmu terus dan mendengar gombalanmu itu,” kata Ji Eun ketus.

“Tolong sampaikan salamku pada Nyonya Lee. Haikke!” sambung Ji Eun sambil mengambil tasnya dan keluar dari rumah keluarga Lee.
Taemin hanya tersenyum menatap kepergian Ji Eun.

*****

Ji Eun terus menggeliat di atas tempat tidurnya. Malam itu ia tidak bisa tidur. Bukan karena insomnia, tapi karena memikirkan masalah perjodohannya dengan Jonghyun. Kata-kata ommanya dan Hyorin kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Ditambah lagi Taemin. Namja itu kini berhasil merasuki pikiran Ji Eun. Menambah berat volume otaknya sehingga membuat Ji Eun seperti orang gila.

“Besok pagi adalah kelas Jonghyun Songsaengnim. Bagaimana aku akan bertemu dengannya? Mukaku mau ditaruh di mana? Apa yang harus kujawab jika dia bertanya padaku? Bagaimana jika dia telah menyebar berita mengenai perjodohan ini pada teman-temannya? Atau mungkin dia akan menempelnya di papan pengumuman kampus? Aish…” Ji Eun mengacak-acak rambutnya.

“Kalau begini terus, aku benar-benar akan gila!!!” sambungnya.

Ji Eun lalu bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Ia lalu berdiri dan mengambil ponselnya di atas meja belajar yang tak jauh dari tempat tidurnya. Ia berjalan kembali ke arah tempat tidurnya dan kembali duduk. Dibukanya kembali sms yang diterimanya sejam yang lalu.

“Ji Eun-ah, kau sudah tidur? Apa kau sudah mendengar dari ommamu? Aku menerima perjodohan ini. Mianhae karena tidak membicarakannya denganmu sebelumnya. Tentu kau ingin tahu alasanku menerima perjodohan ini. Aku akan memberiitahumu. Tapi, setelah kau memberikan jawabanmu. Jawaban apapun itu, aku akan menerimanya. Jal jayo…”

“Huft…” Ji Eun menghela napas. “Kau benar-benar membuatku penasaran, Jonghyun Songsaengnim.”

Ji Eun lalu menyimpan kembali ponselnya di atas meja belajarnya dan kembali berbaring.

“Apa aku terima saja?”

Khayalan Ji Eun masih menari-nari di atas kepalanya, hingga akhirnya terlelap dalam mimpinya.

*****

Seoul National University

“Ji Eun-ah, kenapa duduk di belakang?” tanya Dara kaget ketika mendapati Ji Eun tidak duduk di depan seperti biasanya.

“Mm, itu… itu…” kata Ji Eun sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena bingung harus menjawab apa.

“Mungkin Ji Eun hanya ingin tahu saja, bagaimana rasanya duduk di bangku belakang. Selama ini kan dia selalu duduk di depan,” bela Hyorin lalu melirik Ji Eun sambil tersenyum. Ji Eun membalas senyuman itu dengan senyuman yang tak kalah manisnya. Seakan-akan ia mengirim sinyal ke Hyorin yang mengatakan, “Gomawo Hyorin-ah… Kau adalah malaikat penyelamatku.”

“Kuromyon, karena Ji Eun duduk di belakang, kita juga harus duduk di belakang. Karena tanpa Ji Eun, kita bagaikan kacang tanpa kulit,” kata Song yang disambut tawa ketiga sahabatnya.

Hari ini Ji Eun datang ke kampus lebih pagi dari biasanya. Tentu ia tidak pergi secara diam-diam, seperti yang pernah dilakukan ketiga sahabatnya. Ia sengaja datang lebih pagi untuk mengecek papan pengumuman kampus, apakah berita tentang dirinya dan Jonghyun Songsaengnim benar-benar ada. Ji Eun bersyukur karena semua itu hanyalah khayalannya belaka. Ia lalu menuju kelas dan mengambil bangku di deretan belakang (atas), tidak seperti biasanya. Alasannya sederhana, ia takut bertemu dengan Jonghyun Songsaengnim. Memang, walaupun duduk di bangku paling belakang wajah Jonghyun Songsaengnim akan tetap jelas terlihat, karena bangku ditata seperti tangga. Tapi dengan begitu, Ji Eun akan sedikit terbantu, karena wajah Jonghyun Songsaengnim hanya akan dilihatnya dari jarak jauh.

Tiba-tiba, suasana kelas yang tadinya gaduh menjadi hening. Jonghyun Songsaengnim memasuki kelas.

“Annyeong haseyo!” sapa Jonghyun pada siswanya.

Dilihatnya deretan bangku depan. Ia tak menemukan Ji Eun. Lalu dilihatnya deretan-deretan bangku setelahnya. Akhirnya, ia menemukan Ji Eun dan ketiga sahabatnya di deretan bangku teratas. Tatapan matanya bertemu dengan mata Ji Eun. Jonghyun tersenyum manis.

“Baik, mari kita mulai pelajaran hari ini…”

*****

“Ji Eun-ah, mengapa kau melarangku memberi tahu Song dan Dara mengenai hal ini?” tanya Hyorin yang sebelumnya kewalahan mengejar Ji Eun, karena segera keluar kelas selepas kelas Jonghyun Songsaengnim.

“Hyorin-ah, kau seperti tak tahu sifat Song dan Dara saja. Jika aku atau kau memberi tahu mereka berdua, maka hanya dalam hitungan detik berita ini akan menyebar ke seantero kampus. Aku tak mau itu terjadi…” jawab Ji Eun yang berhenti berjalan untuk menjawab pertanyaan Hyorin. “Aku hanya memberi tahumu saja, karena bingung harus bercerita pada siapa. Jebal, jangan ceritakan masalah ini pada siapapun, ne?”

“Hah…” Hyorin menghela napas. “Ne, aku janji,” kata Hyorin akhirnya.

“Gomawo, Hyorin-ah…” kata Ji Eun tersenyum.

“Otte? Kau sudah membuat keputusan?” tanya Hyorin.

Ji Eun mengangguk pelan. Hyorin membalasnya dengan senyuman. Meraka baru saja akan melangkah pergi ketika suara seseorang menhentikan langkah mereka.

“Lee Ji Eun-ssi!!”

Ji Eun dan Hyorin berbalik ke asal suara.

“Jonghyun Songsaengnim?” ucap Ji Eun kaget.

“Kau sudah tak ada kelas lagi kan? Aku ingin bicara berdua denganmu. Ini penting…” kata Jonghyun tersengal-sengal karena berlari mengejar Ji Eun.

Ji Eun memandang Hyorin, begitupun sebaliknya. Hyorin mengaggukkan kepala.

“Pergilah, ne… Jangan lupakan nasihatku!” kata Hyorin tersenyum tipis.

*****

Coffee Prince Café

“Kau mau pesan apa?” tanya Jonghyun pada Ji Eun.

“Terserah songsaengnim saja,” jawab Ji Eun tersenyum tipis.

“Kami pesan hot cappuccino,” kata Jonghyun pada pelayan kafe yang sudah berdiri di samping meja sambil mencatat pesanan Jonghyun.

“Apa tidurmu nyenyak semalam? Aku perhatikan, kau memiliki lingkaran hitam di bawah mata,” kata Jonghyun membuka pembicaraan setelah pelayan tadi pergi.

“Ah, jinjja? Aku tidak memperhatikannya. Memang akhir-akhir ini aku kurang tidur,” jawab Ji Eun sedikit malu.

“Apa kau membaca smsku semalam?” tanya Jonghyun lagi.

“Mm…” jawab Ji Eun singkat sambil menganggukkan kepala.

“Kau sudah memikirkan jawabannya?”

“Mm…” jawab Ji Eun tak berani membalas tatapan mata Jonghyun yang sedari tadi memandanginya.

Hening beberapa saat.

“Ap, apa jawabanmu?” tanya Jonghyun sedikit gugup.

Hening kembali.

“Aku… aku…” Ji Eun tiba-tiba menghentikan kalimatnya ketika melihat pelayan yang tadi mencatat pesanan mereka datang.

“Ini pesanan Anda, dua gelas hot cappuccino,” katanya ramah sambil menaruh gelas-gelas tersebut di atas meja. “Apa masih ada keperluan lain?”

“Aniyo,” jawab Jonghyun menggeleng. “Kamsahamnida.”

“Gure. Selamat menikmati!” kata pelayan lalu pergi meninggalkan Ji Eun dan Jonghyun.

Suasana kembali hening.

“Otte?” tanya Jonghyun kembali.

Jantung Ji Eun berdegup kencang. Tangannya dingin. Tenggorokannya kering. Lidahnya terasa keluh. Ji Eun lalu mengambil gelas yang berisi cappuccino di depannya dan meminum beberapa teguk. Kini tenggorokannya telah basah. Dia siap untuk berbicara.

“Jwesonghamnida songsaengnim, karena terlalu lama membuat keputusan. Jujur, aku sangat kaget ketika mengetahui bahwa songsaengnim menerima perjodohan ini. Aku sudah memikirkannya. Aku tidak tahu apakah keputusanku ini akan membuat keadaan menjadi lebih baik atau sebaliknya, menjadi lebih rumit,” jelas Ji Eun.

“Lalu?” tanya Jonghyun tak sabar ingin mendengar jawaban Ji Eun.

“Aku… aku…, hah…” Ji Eun menghela napas.

“Ayo Ji Eun, kau pasti bisa!” batinnya.

Ji Eun menghela napas sekali lagi, lalu berkata dengan mantap.

“Aku menerima perjodohan ini.”

~to be continued~


Word’s List:
1. Jebal : tolong
2. Otteokhe : aku harus bagaimana?
3. Jal jayo : selamat tidur
4. Kugol jhoahaseyo? : apa kau menyukainya?
5. Kuromyon : jika begitu


Next TEASER:
“Jinjja? Syukurlah. Kuromyon, rencananya kapan pertunangan kalian akan digelar?”

“Gure, kalau itu maumu. Sabtu ini, ikutlah denganku ke suatu tempat.”


Author’s NOTE:
Hai hai!! PART 3 sudah selesai nih. Bagaimana pendapat kalian? Ceritanya semakin seru atau membosankan? Di part ini, lebih banyak bercerita tentang kegalauan Lee Ji Eun. Bagian Jonghyun juga sudah mulai banyak. Sengaja di part-part sebelumnya, peran Jonghyun tidak terlalu ditonjolkan. Tujuannya agar pembaca surprise saja ketika mengetahui bahwa Jonghyun ternyata punya peran besar dalam cerita ini.
Makasih ya, buat pembaca yang sudah mau comment. Walaupun sedikit, tapi saya tetap merasa senang. Senang ketika mengetahui ternyata fanfic ini mendapat respon positif dari pembaca. Tahu tidak, saya tuh kalau baca comment-comment kalian, bacanya sambil senyam-senyum nggak jelas dan lompat-lompat kegirangan di atas tempat tidur. Hihihi..
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^

:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::

2 comments:

chanji yoo mengatakan...

waaaaah.. Udh next yah ternyata. Hmm.. Makin penasarn nih, pas bagian jieun mau jwb eh udah TBC . Oh goood.. Hahaha
Pas baca next partnya jieun said 'aku menyetujui pertunangan ini' , OMG gimana yah ntar reaksi taemin pas tahu berita ini. Hmm... Ayo cingu cepet next yah? Hehhe
Hwaiting ^^

Nur Fadhilah mengatakan...

OK, sy usahain cepat posting next partnya. Tq commentnya n_n

Posting Komentar

 

Dhilah siBluuu Girl Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review