::Leave 'Words' For Me::
::Followers::
Kamis, 24 Mei 2012
HELLO TO MY JI EUN [PART 7]
Author : Nur Fadhilah
Genre : Romance, friendship, comedy (a little bit)
Rating : PG-13
Length : Multi-chapter
Casts : Lee Ji Eun (IU), Lee Taemin (SHINee), Kim Jonghyun (SHINee), Song Jieun (Secret), Hyorin (Sistar), Sandara Park (2NE1)
Other casts : You can find it by yourselves
Disclaimer : The story just a fiction, because this is a fanfiction. The story is my own but the casts aren’t. I hope you like it. Happy reading :)
Baca PROLOG, PART 1, PART 2, PART 3, PART 4, PART 5, & PART 6 dulu ne...
Previous Part:
“Cinta yang sempurna, tulus, dan suci.”
Ji Eun terhenyak ketika membaca kalimat itu.
“Tidak salah lagi. Pasti dia orangnya,” kata Ji Eun menerawang langit.
*****
Triit.. triit..
Tiba-tiba Ji Eun dikagetkan oleh getaran ponselnya. Sebuah SMS dari…
“Taemin?”
“Ji Eun-ah… aku sudah kembali dari London. Aku ingin bertemu denganmu. Besok kujemput kau pukul 10. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”
Ji Eun menyunggingkan senyum manis di bibirnya. Diraihnya kembali kartu ucapan yang tadi dibacanya.
”Cinta yang sempurna, tulus, dan suci…” Ji Eun membacanya perlahan.
*****
Jonghyun sibuk mencari kontak orang yang ingin diteleponnya. Jujur, ia sangat merindukannya. Siapa lagi kalau bukan Ji Eun, calon tunangannya. Dua bulan lagi mereka benar-benar akan resmi bertunangan.
Karena terlalu sibuk dengan ponselnya, konsentrasinya menjadi terbagi antara menyetir dan mencari kontak Ji Eun. Sampai-sampai ia harus mengerem mobilnya mendadak ketika hampir menabrak seekor anjing kecil yang sedang menyeberang. Jonghyun sangat menyukai anjing.
“Huft… hampir saja!” ungkapnya lega.
Pada saat yang bersamaan, akhirnya ia menemukan kontak Ji Eun dan menekan tombol panggil.
BUKK!
“Arrrgghhhhh…”
*****
Ji Eun sibuk mondar-mandir di luar apartemennya. Ia menunggu seseorang, tapi bukan Taemin. Ia menunggu orang yang selalu mendatangi selama 5 hari sebelumnya. Namun, sudah lewat pukul 09.00, pengantar bunga belum juga datang.
“Kenapa ia tidak mengirimiku bunga hari ini? Padahal dia jelas-jelas sudah kembali dari London.”
“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”
“Ah, ara! Sesuatu yang ingin dia berikan padaku itu pasti bunga untuk hari ini. Makanya ia sengaja ingin menemuiku…” begitulah spekulasi Ji Eun setelah mengingat kembali SMS dari Taemin kemarin.
Triit.. triit..
Ponsel yang sedang digenggamnya bergetar. Telepon dari Jonghyun.
“Yoboseyo?”
“Yoboseyo…”
Ji Eun dapat menebak bahwa suara di seberang telepon bukanlah suara calon tunangannya.
“Nuguseyo?” tanya Ji Eun hati-hati.
“Jwesonghamnida, saya dari pihak kepolisian. Apakah Anda Ji Eun-ssi? Kerabat dari Kim Jonghyun?” tanya suara berat dari seberang telepon.
“Ie… hwe? Dia calon tunangan saya.”
“Nomor Anda merupakan nomor terakhir yang dihubungi oleh saudara Jonghyun. Jadi saya menelepon Anda. Saya hendak mengabari bahwa saudara Jonghyun mengalami kecelakaan. Ambulance sedang menuju kemari.”
“M, mwo?” ujar Ji Eun syok.
Ji Eun lalu menanyakan di mana persisnya kecelakaan itu terjadi. Ternyata tidak jauh dari apartemennya. Dia lalu menutup telepon dan segera berlari menuju tempat tersebut. Ji Eun bahkan tak memedulikan Nyonya Bom yang heran melihat sikap Ji Eun yang sangat panik dan terburu-buru.
Tidak sampai 5 menit, Ji Eun sudah berada di lokasi kejadian bersamaan dengan tibanya ambulance yang akan membawa Jonghyun. Ji Eun lalu mendekati Jonghyun yang terbaring di atas kasur yang dipapah pegawai rumah sakit dengan berlumuran darah.
“Jwesonghamnida! Anda siapa?” cegat seorang polisi yang melihat Ji Eun hendak ikut memasuki ambulance.
“Saya calon tunangannya. Jebal, biarkan saya ikut!” jawab Ji Eun panik.
Polisi itupun membiarkan Ji Eun masuk ke dalam ambulance menemani Jonghyun.
Ambulance pun melaju kencang sambil membunyikan sirenenya.
“Jonghyun Songsaengnim… mengapa bisa seperti ini?” gumam Ji Eun di sela isak tangisnya sambil menggenggam erat tangan kanan Jonghyun.
*****
Ji Eun menatap kosong ke arah Jonghyun yang masih terbaring di ruangan VIP Incheon St. Mary’s Hospital. Tuan Shin dan ommanya terdengar syok saat diberi tahu oleh Ji Eun perihal keadaan Jonghyun. Katanya, mereka berdua akan segera ke Seoul. Untungnya kata dokter, Jonghyun tidak apa-apa. Dia sudah melewati masa kritisnya dan tinggal menunggunya siuman saja. Tapi tetap saja Ji Eun khawatir akan kondisi Jonghyun.
Ji Eun lalu menatap jam dinding yang melekat di salah satu sisi dinding ruangan itu. Pukul 10.30. Tiba-tiba ia teringat akan janjinya dengan Taemin. Cepat-cepat ia mencari kontak Taemin di ponselnya. Ketemu.
“Yoboseyo?”
“Ya! Kau di mana? Aku ke apartemenmu tapi kau tak ada. Kukira kau sudah di café duluan. Tapi kau tak ada di sini. Kutelepon kau reject terus. Palli, datang! Kan sudah kubilang ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu,” oceh Taemin cerewet.
Ji Eun mendengarkan ocehan Taemin dengan sabar. Memang tadi Taemin beberapa kali meneleponnya. Tapi karena pikirannya masih terpusat pada Jonghyun, ia lalu mengrejectnya, dan begitu seterusnya. Ji Eun sama sekali tidak mengingat akan janjinya dengan Taemin.
“Mianhae… aku sekarang sedang di rumah sakit,” kata Ji Eun dengan suara yang sedikit dipelankan. Ia takut mengusik Jonghyun. Padahal Jonghyun masih berstatus belum sadarkan diri.
“Hwe? Gwenchana?” tanya Taemin yang terdengar khawatir.
“Gwenchana.”
“Kuromyon, siapa yang sakit?”
“Err… tem, temanku kecelakaan. Kebetulan kejadiannya di dekat apartemenku. Jadi aku menemaninya hingga ke rumah sakit. Orang tuanya berada di luar Seoul. Jadi aku menungguinya sampai orang tuanya datang. Kuharap kau mengerti, Taemin-ah…” jelas Ji Eun sedikit berbohong. Ia tak mau Taemin tahu bahwa yang sedang ditungguinya bukanlah sekadar teman biasa, melainkan namja yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya.
“Jinjja? Kuromyon, kau sekarang di rumah sakit mana?”
“Incheon St. Mary’s Hospital. Hwe?”
“Aku akan ke sana.”
“Mwo? Aniyo. Gwenchana,” larang Ji Eun panik. Ia tak mungkin mempertemukannya dengan Jonghyun. Sedikit ada rasa penyesalan di benaknya. Kenapa ia harus memberi tahu Taemin? Inilah akibatnya.
“Sudah kubilang, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”
“Hah… di saat seperti ini dia masih memikirkan bunga itu…” batin Ji Eun.
“Gwenchana. Kau bisa memberikannya lain kali.”
“Shiro! Aku sudah janji padamu. Jadi, aku harus memberikanmu hari ini juga.”
“Dasar, namja ini! Namja pemaksa.”
“Gure. Terserah kau saja! Tapi kau menunggu di taman saja. Nanti aku yang akan datang ke sana,” kata Ji Eun mengalah.
*****
“Kau di mana? Aku sudah di taman rumah sakit.”
Ji Eun membaca SMS Taemin dalam hati.
Diliriknya Jonghyun yang masih terkulai lemas di atas tempat tidur. Dia belum sadarkan diri.
“Jonghyun Songsaengnim, aku tinggal dulu sebentar ne…” kata Ji Eun meminta izin.
Tentu saja Jonghyun hanya diam. Ji Eun lalu melangkah mengendap-endap keluar dari ruangan itu. Padahal dengan membanting pintu pun, Jonghyun belum tentu terbangun dari pengaruh obat biusnya.
Ji Eun lalu mencari sosok Taemin di taman rumah sakit yang cukup luas itu. Dia kemudian melihat sesosok namja yang sedang terduduk sambil memegang sebucket bunga.
“Annyeong!” sapa Ji Eun sambil berjalan mendekati Taemin.
Taemin yang kaget spontan menyembunyikan bunga tadi di belakang punggungnya.
“Ya, kau membuatku kaget,” ujar Taemin gugup.
“Palli! Apa yang mau kau berikan padaku? Kau sudah membuatku meninggalkan temanku sendirian,” kata Ji Eun tersenyum sendiri. Sebenarnya dia sudah tahu apa yang akan Taemin berikan padanya hari ini.
“Ini!” kata Taemin sambil memberikan sebucket white tulip yang disembunyikannya tadi.
“Kali ini masih fresh dan tidak layu,” sambungnya.
Teringat kembali red rose yang diberikannya minggu lalu. Ji Eun lalu menerimanya dengan senyum mengembang.
“Mengapa hari ini banyak sekali?”
“Banyak? Ya, sudah syukur aku memberikamu white tulip.”
“Aniyo. Maksudku, seharusnya hari ini kau hanya memberiku…” Ji Eun sibuk menghitung jarinya. “Enam. Ne, enam tangkai.”
“Enam tangkai? Hwe?”
“Ya, apa kau menderita penyakit lupa tingkat akut? Lalu white tulip yang kemarin itu apa?” tanya Ji Eun kesal.
“White tulip? Aku baru sekali ini memberikannya padamu.”
“Ha? Maksudmu?”
“Kau ingat janjiku kan? Aku akan memberikanmu white tulip ketika aku kembali dari London. Dan ini dia. Janjiku tertepati,” ujar Taemin senang. “Jankanman! Jangan bilang, ada namja lain yang sudah mendahuluiku memberikan white tulip pertamamu padamu?” selidik Taemin.
“Ha? A, aniyo. Arayo? Tadi aku sedikit bercanda. Hahaha…” terdengar tawa garing menghiasi kebohongannya.
“Huft… syukurlah. Kukira ada namja lain yang menduluaniku.”
Mereka pun tertawa bersama.
“Kuromyon, kalau buka dia, siapa pengirim bunga itu? Mengapa pagi ini dia tidak mengirimiku bunga?”
*****
Tangan Jonghyun mulai bergerak pelan. Matanya terbuka. Walaupun samar, ia masih melihat dengan jelas sekelilingnya. Ketika penglihatannya sudah kembali jelas sepenuhnya, ia menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang. Ia kemudian teringat peristiwa yang menimpanya beberapa waktu yang lalu.
Triit.. triit..
Jonghyun menengok ke asal suara. Dilihatnya ponsel seseorang yang tak asing lagi baginya. Itu ponsel milik Ji Eun.
“Berarti Ji Eun ada di sini.”
Ia lalu mencoba bangikit dari tidurnya. Sedikit pusing. Ia memanggil nama Ji Eun. Tapi tak ada jawaban.
“Mungkin dia sedang keluar.”
Dilihatnya jarum infus yang menancap di tangan kirinya. Ia mencoba berdiri dan berjalan sambil mendorong tiang penggantung kantung infusnya menuju balkon ruangannya. Ruangannya saat ini terletak di lantai dua. Jonghyun lalu mengamati pemandangan dari balkon ruangan tersebut.
Tiba-tiba, matanya terhenti pada yeoja dan namja yang sedang duduk di kursi taman. Namja itu tampak memberikan bunga pada yeoja di sampingnya. White tulip. Bisa dilihatnya dengan jelas. Wajah Ji Eun pun dapat dilihatnya dengan lebih jelas. Jonghyun memicingkan matanya untuk melihat siapa namja yang bersamanya itu.
“Bukankah dia namja yang bersama Ji Eun malam itu?”
Jonghyun lalu memalingkan muka dari mereka dan berjalan kembali menuju tempat tidurnya. Kepalanya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia lebih memilih untuk kembali berbaring, daripada menjadi penonton dua pasangan yang sedang tertawa bersama tadi.
*****
Klek..
Ji Eun mendongakkan kepalanya ke dalam ruangan tempat Jonghyun dirawat. Untunglah dia belum sadar. Dengan cepat, ia kembali melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan mengendap-endap. Ditaruhnya sebucket white tulip yang tadi diberikan Taemin di atas meja di samping tempat tidur Jonghyun. Diperhatikannya baik-baik white tulip itu.
“Apakah ia tadi berkata jujur?”
“Hah… jinjja! Kau membuatku bingung…” gumamnya.
“Siapa yang membuatmu bingung?”
Suara Jonghyun membuat perhatian Ji Eun mengarah padanya.
“Jonghyun Songsaengnim, akhirnya kau sadar juga. Gwenchana? Apa ada yang sakit?” tanya Ji Eun khawatir.
“Kepalaku sedikit terasa berat…”
“Gure. Jankanman, aku akan memanggil dokter!”
Ji Eun lalu beranjak dari duduknya, tapi lengannya dicegat oleh Jonghyun.
“Tetaplah di sini! Aku tak perlu dokter. Tetaplah di sini menemaniku!”
Mau tak mau, Ji Eun kembali ke posisi duduknya yang semula.
“Bunga dari siapa?” tanya Jonghyun setelah melihat sebucket white tulip duduk manis di meja sampingnya.
“Ah, dari seseorang.”
“Penggemar rahasiamu lagi?”
“Molla. Mungkin sama dengan orang memberikanku bunga tempo hari,” jawab Ji Eun berbohong.
“Sudahlah, daripada menanyakan hal itu, lebih baik songsaengnim beristirahat. Aku sudah menelepon omma dan Tuan Shin. Mereka sedang menuju kemari,” sambungnya.
Ji Eun memutar bola matanya, sengaja tak mau menatap mata Jonghyun yang sedari tadi menatapnya. Ia tidak mau ketahuan berbohong.
“Ji Eun-ah, kenapa kau masih berbohong padaku? Ada hubungan apa kau dengan namja itu?”
Klek..
Jonghyun dan Ji Eun menoleh.
“Ji Eun-ah…”
Nyonya Lee dan Tuan Shin memasuki ruangan. Mereka terlihat sangat khawatir.
“Mengapa kau tak mengangkat teleponku?” tanya Nyonya Lee.
“Jwesonghamnida, omma. Aku tadi keluar sebentar.”
“Jadi yang menelepon tadi Nyonya Lee…” batin Jonghyun.
“Ah, kau sudah sadar rupanya. Syukurlah…” kata Nyonya Lee bahagia ketika melihat Jonghyun.
“Aboji tadi sangat panik ketika ditelepon oleh Ji Eun. Apalagi suara Ji Eun yang serak karena menangis. Aboji pikir sesuatu yang sangat buruk menimpamu. Untungnya, kau tidak separah apa yang aboji pikirkan…”
“Ji Eun menangis?”
Jonghyun lalu mengalihkan pandangannya ke Ji Eun. Ji Eun lalu menunduk malu.
“Oh, Jonghyun-ah, mengapa sampai bisa terjadi kecelakaan seperti ini?” tanya Tuan Shin.
“Molla. Saat itu aku mengerem mendadak mobilku karena hampir menabrak seekor anjing yang menyeberang tiba-tiba. Lalu, sebuah mobil menghantamku dari belakang. Setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi,” jelas Jonghyun.
“Lalu seorang polisi meneleponku dan mengatakan kejadiannya padaku. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke tempat kejadian yang terletak tidak begitu jauh dari apartemenku. Sesampainya di sana, aku menemukan Jonghyun Songsaengnim yang pingsan berlumuran darah. Untung saja ambulance segera datang dan membawanya. Aku pun…”
Ji Eun menghentikan penjelasannya ketika menyadari kebodohannya. Semua mata menatapnya dengan heran. Terutama Jonghyun.
“Aku pun ikut bersama Jonghyun Songsaengnim di ambulance dan tiba di sini…” Ji Eun mengakhiri penjelasannya dengan ragu-ragu. Ia menunduk malu.
“Aigoo… Ji Eun-ah, kebodohan apa lagi yang kau buat. Tidak seharusnya kau berkata seperti itu tadi!!” Ji Eun merutuki dirnya sendiri dalam hati.
“Hahaha… gomawo Ji Eun-ah. Gomawo karena kau telah mengkhawatirkan Jonghyun. Aku senang melihat perkembangan kalian berdua,” kata Tuan Shin.
“Oh, mengenai pertunangan kalian, omma telah membuatkan design baju untuk pertunangan kalian nanti,” kata Nyonya Lee membuka topik baru.
“Omma, kenapa repot sekali? Ini kan hanya pertunangan. Kami belum akan menikah, omma…” ucap Ji Eun.
“Kau jangan pernah menganggap remeh upacara sakral, walaupun itu hanyalah pertunangan. Kau ini seorang putri designer terkenal. Jadi mana mungkin omma membiarkanmu dan Jonghyun memakai baju hasil design orang lain. Apa kata orang nantinya? Apa kau keberatan Jonghyun-ah?”
Jonghyun tersenyum.
“Aniyo, Nyonya Lee. Saya pastinya akan merasa sangat bangga mengenakan baju rancangan Anda.”
“Aigoo… kenapa kau masih memanggilku dengan sebutan itu? Mulai hari ini dan seterusnya, panggil aku omma. Sebentar lagi kau akan menjadi menantuku.”
“Tapi aku merasa tidak sopan, Nyonya Lee…”
“Aish… sebutan itu lagi. Gwenchana. Cobalah!”
“Om, omma?” terdengar suara Jonghyun kaku yang tidak terdengar seperti sebuah pernyataan, tapi pertanyaan.
“Ah, gure. Aku menyukai panggilan itu…”
“Dan kau, Ji Eun-ah. Kau juga harus memanggilku aboji!” suruh Tuan Lee.
“Ie?” Ji Eun terlihat kaget.
“Dulu aku sangat menginginkan anak perempuan. Tapi sayang, ommoni Jonghyun sudah lebih dulu pergi meninggalkanku.”
“Aboji…” kali ini suara Ji Eun sangat pelan dan terdengar malu-malu. Lidahnya juga terasa kaku mengucapkan kata itu.
Tuan Shin terlihat sangat gembira dengan panggilan itu.
“Satu lagi, tadi omma mendengar kau memanggil Jonghyun… apa?” tanya Nyonya Leepada Ji Eun.
“Jonghyun Songsaengnim. Hwe?”
“Mulai hari ini juga, kau tidak boleh memanggilnya sepertinya itu. Dia itu calon tunanganmu. Mau sampai kapan kau memanggilnya seperti itu?”
“Tapi dia kan memang songsaengnimku…” ucap Ji Eun membela diri.
“Mengenai hal itu, aku sudah pernah menyuruhnya untuk berhenti bersikap terlalu formal padaku. Dia menurut. Tapi ia tidak bisa memberhentikan kebisaaannya memanggilku songsaengnim,” ujar Jonghyun menambahkan.
“Gwenchana. Nyonya Lee, anggap saja songsaengnim itu sebagai panggilan sayang bagi Ji Eun pada Jonghyun,” Tuan Lee ikut berargumen.
“Mwo?” ucap Ji Eun dan Jonghyun hampir bersamaan.
“Panggilan sayang? Padahal semua orang di kampus juga memanggilnya seperti itu…” batin Ji Eun.
Jonghyun hanya tersenyum melihat sikap Ji Eun.
Tiba-tiba Ji Eun membuka mulut. Ia ingin mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang dianggapnya aneh.
“Aku akan mencobanya!”
Ji Eun memberanikan diri memandang wajah Jonghyun dan memanggilnya.
“Jo, Jonghyun Songsaengnim…”
Karena Tuan Shin telah terlanjur mendoktrin kata songsaengnim sebagai panggilan sayang Ji Eun pada Jonghyun, Jonghyun lantas tertawa mendengar Ji Eun memanggilnya.
“Aish… kenapa panggilan itu jadi terdengar sangat aneh??” rajuk Ji Eun manja sambil memandang wajah omma dan Tuan Shin bergantian.
Seketika tawa meledak di ruangan itu.
*****
Dua minggu sebelum hari pertunangan Ji Eun dan Jonghyun…
Shining Boutique
“Aigoo… kenapa ponsel Ji Eun sibuk terus?” gerutu Nyonya Lee sambil terus mencoba menghubungi Ji Eun. Tapi hasilnya sama saja.
Nyonya Lee lalu mencari kontak Jonghyun di ponselnya.
“Yoboseyo?”
“Yoboseyo, omma. Tumben meneleponku. Ada apa?”
“Kau dan Ji Eun pulanglah ke Busan untuk mencoba pakaian yang akan kalian kenakan saat acara pertunangan kalian. Aku sudah menyelesaikannya. Aku yakin, kalian berdua pasti menyukainya. Ponsel Ji Eun tak bisa dihubungi, jebal beritahu Ji Eun, ne?”
“Oh, gure. Kamsahamnida omma. Omma terlalu memaksakan diri.”
“Gwenchana. Jaga kesehatanmu ne? Kau dan Ji Eun jangan sampai sakit. Kau juga harus sering-sering mengingatkan Ji Eun agar tak lupa makan. Soalnya, dia kalau sudah berkutat dengan buku pasti jadi lupa makan…”
“Ne, arasseo. Omma juga jaga kesehatan.”
“Ne… kututup teleponnya…”
Tit.
*****
“Kalian mau pesan apa?” tanya Ji Eun pada ketiga sahabatnya setelah lama membolak-balik daftar menu.
“Ji Eun-ah… di sini makanannya mahal-mahal. Orang tuaku belum megirimiku uang bulan ini…” keluh Dara.
“Uang bulananku juga dipotong appa, karena ketahuan kubelanjakan barang-barang yang menurutnya tak berguna,” sambung Song.
“Aku juga sedang berhemat, Ji Eun-ah. Kau tahu kan, aku ingin membeli biola baru…” kali ini giliran Hyorin.
“Ya… tapi aku ingin sekali makan pasta di tempat ini. Pasta di sini, pasta terenak yang pernah aku makan,” kata Ji Eun sedikit kecewa.
“Tapi bagaimana lagi, Ji Eun-ah?” tanya Dara tak kalah kecewanya.
Ji Eun berpikir sebentar. Uang bulanannya masih tersisa banyak. Karena belakangan ini, Jonghyun selalu mentraktirnya makan.
“Gure. Hari ini aku yang traktir. Kalian boleh pesan apa saja.”
“Jinjja? Yeah!!!”
Ji Eun pun memanggil pelayan. Pelayan itu lalu mencatat pesanan keempat sahabat itu.
“Ya, aku mau ke toilet sebentar,” izin Ji Eun pada sahabat-sahabatnya.
Ji Eun lalu beranjak menuju toilet.
Triit.. triit..
“Omma? Ya, aku angkat telepon dulu… Yoboseyo?” Hyorin lalu berjalan ke luar café, karena di dalam café sangat bising. Suara musik di mana-mana.
Triit.. triit..
Kali ini ponsel Ji Eun yang berbunyi. Dara yang duduk di samping kursi Ji Eun melongokkan kepalanya untuk melihat siapa yang menelepon.
“Jonghyun Songsaengnim?”
“Biarkan saja…” kata Song.
Dara pun membiarkannya berbunyi hingga berhenti sendiri.
Triit.. triit..
Ponsel Ji Eun kembali berbunyi.
Dara kembali melihat siapa yang menelepon. Jonghyun Songsaengnim lagi.
“Song, mungkin ini telepon penting. Jonghyun Songsaengnim sampai menelepon dua kali. Berarti ini benar-benar penting dan darurat,” kata Dara berspekulasi.
“Jangan diangkat. Tunggu Ji Eun kembali!” cegat Song.
“Tapi Ji Eun lama sekali… Kalau telepon ini benar-benar darurat, otte? Kau mau bertanggungjawab?”
“Mm… mungkin kau benar juga. Kuromyon, angkat saja! Katakan, Ji Eun sedang ke toilet!”
“Ne, aku juga tahu dia sedang ke toilet.”
Maka Dara pun mengangkat telepon dari Jonghyun.
“Yoboseyo?”
“Ji Eun-ah, lama sekali kau mengangkat teleponnya,” kata Jonghyun cepat.
“Aku buk…”
Jonghyun segera memotong perkataan Dara.
“Tadi omma menelepon, katanya sulit sekali menghubungimu. Dia juga berkata, pakaian yang akan kita kenakan di hari pertunangan telah selesai. Dia menyuruhmu dan aku pulang ke Busan segera untuk mencoba pakaian tersebut. Otte kalau besok? Besok kau tak ada kuliah kan?”
Dara kaget mendengar perkataan Jonghyun. Ia menatap Song.
“Hwe? Kenapa ekspresimu seperti itu?” tanya Song setelah melihat keganjilan pada ekspresi Dara.
“Siapa yang menelepon?” tiba-tiba Ji Eun sudah duduk kembali di kursinya. Ia melihat ponselnya menempel di telinga Dara.
“Yoboseyo? Ji Eun-ah? Kau mendengarku?” tanya Jonghyun karena tak mendapat respon dari orang yang diteleponnya.
Tit. Dara menutup telepon. Ia meletakkan ponsel Ji Eun kembali.
“Siapa yang menelepon?” Ji Eun kembali mengulang pertanyaannya. “Mianhae, membuatmu mengangkatnya. Tadi toilet lumayan penuh. Jadi kami mengantre.”
“Kau ada hubungan apa dengan Jonghyun Songsaengnim?” tanya Dara dingin.
“Ha?” Ji Eun terdengar sangat kaget disodori pertanyaan seperti itu. Matanya membulat. Ia menelan ludah.
“Ap, apa maksudku? Dia songsaengnimku dan aku mahasiswanya. Kalian juga seperti itu kan? Hwe?” ucapnya takut-takut. Ia tidak mau salah bicara.
“Hyorin-ah, kau ke mana? Cuma kau yang bisa menolongku pada saat seperti ini…” batin Ji Eun sambil jelalatan mencari keberadaan Hyorin, sang dewi penyelamatnya.
“Oh, gure? Kuromyon, songsaengnimmu tadi mengatakan bahwa omma menyuruhnya dan kau pulang ke Busan untuk mencoba pakaian yang akan kalian pakai pada hari pertunangan.”
Ji Eun dan Song terperanjat mendengar perkataan Dara.
“APA ITU MASIH BISA DISEBUT HUBUNGAN ANTARA SONGSAENGNIM DAN MAHASISWA?” suara Dara meninggi.
Pengunjung lain yang berada di dekat mereka segera menoleh ke asal suara dengan ekspresi risih.
“Kau anggap apa kami, Ji Eun-ah?” kali ini suaranya lebih pelan. Matanya berair. “Apa masih kurang kebersamaan kita selama ini, sehingga hal penting seperti ini kau sembunyikan dari kami? Hah?”
“Dara, jebal, dengarkan penjelasanku dulu. Ini tidak seperti yang kau pikirkan…” ucap Ji Eun yang kini telah menitikkan air mata.
“Cukup, Ji Eun-ah. Gomawo karena telah mentraktirku hari ini. Tapi aku pastikan, ini yang terakhir,” kata Dara sambil melangkah pergi yang diikuti oleh Song.
Ji Eun diam seribu bahasa. Tak ada yang bisa diucapkannya. Dia memang bersalah.
“Ah, Dara? Song? Ada apa? Apa kalian sudah selesai makan? Hwe? Kau menangis?” tanya Hyorin bertubi-tubi ketika berpapasan dengan Dara dan Song.
“Kau juga akan melakukan hal yang sama setelah mengetahui apa yang selama ini dia sembunyikan dari kita,” kata Dara lalu melangkah keluar dari café, mencegat taksi, dan menaikinya bersama Song.
Perasaan Hyorin jadi tidak enak. Hyorin yakin, ‘dia’ yang dimaksud Dara adalah Ji Eun. Dengan cepat, Hyorin berjalan ke arah Ji Eun.
“Ada apa?”
“Mereka… mereka sudah tahu, Hyorin-ah…” kata Ji Eun lalu menghambur ke pelukan Hyorin.
Menangis.
~to be continued~
Next TEASER:
“Aku penasaran, bagaimana reaksi Taemin setelah mengetahui hal ini.”
“Nyonya kecelakaan.”
Author’s NOTE:
Hai hai! Sebagai penebus rasa bersalahku karena dua postingan terakhirku telat, jadi postingan kali ini lebih cepat. Juga sebagai penebus PART 6 yang ceritanya rada-rada aneh menurutku. Mumpung lagi ada mood untuk menulis. Jadi bersemangat banget. Alhamdulillah, kerannya lagi tidak mampet. Hihi.. (bagi readers yang baca author’s note sebelumnya pasti ngerti)
Pemberitahuan saja nih, sebenarnya adegan Jonghyun kecelakaan itu tidak ada dalam skenarioku. Hanya saja tidak tahu kenapa, pas nulis nih cerita, saya kepingin ceritanya dibuat kayak gitu. Yah, jadi kayak gini deh. Oh ya, dalam part kali ini tidak ada kosa kata baru, jadi gak butuh word’s list.
Okay. Now, please drop your comment. Mau pendapat, kritik, saran, atau hanya sekadar comment iseng boleh saja, asal menggunakan bahasa yang sopan serta ejaan yang disempurnakan. Hehe… ^lol^
:: Setiap comment akan saya baca dengan ketelitian 0,01 mm dan Insya Allah akan saya balas ::
Categories
Fanfiction siBluuu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 comments:
waaah.. Seneng deh kalo nextnya cepet kaya gini . Hmm.. Makin penasaran ntar end-nya gimana . Next cingu.. Hwaiting ^^
Haha... Nextnya yakin & percaya bakalan lebih lama lagi dari part yg lalu. Soalnya sy lagi sibuk ngurusin SNMPTN. Sabar ya. Tq :)
Posting Komentar